Thursday, June 28, 2018

Obesitas Pada Anak (Konsultasi Skripsi dan Tesis)


Angka kejadian obesitas pada masa kanak-kanak  meningkat secara cepat  diseluruh dunia. Rata-rata penyebabnya adalah anak-anak menghbiskan lebih banyak  waktu  didepan TV, komputer atau perangkat video game dari pada bermain diluar ruangan. Ditambah dengan tipikal keluarga masa kini yang sangat sibuk dan biasanya hanya mempunyai sedikit waktu  untuk menyiapkan makanan sehari-hari. Edukasi nutrisi anak pada orang tua terus digencarkan, mengingat negeri Indonesia masih memiliki fenomena paradoks pediatrik yang unik,  jutaan anak mengalami malnutrisi, sementara di lain sisi jutaan anak pula yang mengalami obesitas.
 Obesitas pada anak-anak secara khusus akan menjadi masalah karena berat ekstra yang dimiliki sianak  pada akhirnya akan menghantarkan nya pada masalah kesehatan yang biasanya dialami orang dewasa seperti diabetes,tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi. Obesitas pada anak juga secara otomatis meningkatkan angka kejadian Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Banyak hal yang multi dimensional - yang menyebabkan anak menjadi obes, namun jalur metabolisme pada akhirnya akan menyebabkan imbalans energi, yakni ketidakseimbangan kalori yang masuk dengan kalori yang dihabiskan. DM tipe 2 yang sejak dulu menjadi langganan kaum tua, saat ini sudah menjamur merambah kalangan anak-anak (Aurora, 2007)
Anak yang obesitas, terutama apabila pembentukan jaringan lemaknya (the adiposity rebound) terjadi sebelum periode usia 5-7 tahun, memiliki kecenderungan berat badan berlebih saat tumbuh dewasa. Sama seperti orang dewasa, kelebihan berat badan anak terjadi karena ketidak seimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar; terlalu banyak makan, atau terlalu sedikit beraktivitas, atau pun keduanya. Akan tetapi, berbeda dengan orang dewasa, berat badan anak pada kasus obesitas tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan berat badan sebaiknya dihentikan atau diperlambat sampai proporsi berat terhadap tinggi badan mencapai normal. Perlambatan ini dapat dicapai dengan cara mengurangi makan sambil memperbanyak olahraga.

    

Faktor Obesitas (Konsultasi Skripsi dan Tesis)


Menurut para ahli, didasarkan pada hasil penelitian, obesitas dapat   dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :

1.      Umur

       Obesitas dapat terjadi pada semua umur, obesitas  sering  dianggap sebagai kelainan pada umur pertengahan

2.      Jenis kelamin

        Jenis kelamin ikut berperan dalam timbulnya obesitas terutama obesitas lebih umum dijumpai pada wanita

3.      Genetik 

       Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam     sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula.  Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh.  Hal ini dimungkinkan karena pada saat  ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar (Tambunan, 2002).
          Orang yang obes lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan. Menurut dr. Inayah Budiasti, ahli nutrisi dari RS Jakarta fenomena makan cepat saji merupakan sala satu penyebab utamanya. Makanan cepat saji mengandung energy yang sangat tinggi karena 40-50% adalah lemak.sementara kebutuhan tubuh akan lemak hanya sekitar  15% sebagian besar kebutuhan tubuh adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan Protein 20%  (Budiasti,  2004)
      4.   Kurang Gerak/Olahraga
                                   Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum; 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal (Tambunan,  2002) 
                                    Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori  secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olah raga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi olah raga sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolisme normal.
    5.  Pengaruh Emosional
                    Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang tidak teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi untuk pengganti kepuasan lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya.  Walaupun penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan berat badan tidaklah lebih terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan /tekanan batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.
                                  Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang mencekam (McKenna,1999).
              Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosankan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun film yang membosankan  (Tambunan, 2002)
      6.Lingkungan
       Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut  tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan (Tambunan, 2002) Aurora  (2007) berpendapat  bahwa lingkungan modern telah banyak mengurangi kesempatan untuk melakukan aktifitas fisik, trasfortasi yang nyaman, komputer, pekerjaan rumah (PR) yang banyak, film, dan televisi, serta makanan cepat saji telah mendorong kebiasaan hidup yang santai dan malas.

Menurut para ahli, didasarkan pada hasil penelitian, obesitas dapat   dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :

1.      Umur

       Obesitas dapat terjadi pada semua umur, obesitas  sering  dianggap sebagai kelainan pada umur pertengahan

2.      Jenis kelamin

        Jenis kelamin ikut berperan dalam timbulnya obesitas terutama obesitas lebih umum dijumpai pada wanita

3.      Genetik 

       Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam     sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula.  Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh.  Hal ini dimungkinkan karena pada saat  ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar (Tambunan, 2002).
          Orang yang obes lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan. Menurut dr. Inayah Budiasti, ahli nutrisi dari RS Jakarta fenomena makan cepat saji merupakan sala satu penyebab utamanya. Makanan cepat saji mengandung energy yang sangat tinggi karena 40-50% adalah lemak.sementara kebutuhan tubuh akan lemak hanya sekitar  15% sebagian besar kebutuhan tubuh adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan Protein 20%  (Budiasti,  2004)
      4.   Kurang Gerak/Olahraga
                                   Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum; 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal (Tambunan,  2002) 
                                    Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori  secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olah raga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi olah raga sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolisme normal.
    5.  Pengaruh Emosional
                    Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang tidak teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi untuk pengganti kepuasan lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya.  Walaupun penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan berat badan tidaklah lebih terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan /tekanan batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.
                                  Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang mencekam (McKenna,1999).
              Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosankan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun film yang membosankan  (Tambunan, 2002)
      6.Lingkungan
       Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut  tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan (Tambunan, 2002) Aurora  (2007) berpendapat  bahwa lingkungan modern telah banyak mengurangi kesempatan untuk melakukan aktifitas fisik, trasfortasi yang nyaman, komputer, pekerjaan rumah (PR) yang banyak, film, dan televisi, serta makanan cepat saji telah mendorong kebiasaan hidup yang santai dan malas.


Pengertian Obesitas (konsultasi skripsi dan tesis)



Obesitas adalah istilah yang sering digunakan untuk menyatakan adanya kelebihan berat badan. Kata obesitas berasal dari bahasa Latin yang berarti makan berlebihan, Soerasmo dan taufan (2002)  menyatakan saat ini obesitas atau gemuk didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
        Di Indonesia masih ada anggapan bahwa gemuk merupakan suatu simbol kemakmuran, kesehatan dan kewibawaan. Oleh karena itu, masih banyak dijumpai  individu yang sengaja membiarkan dirinya dalam ke-adaan obesitas. Sementara di negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa, obesitas sudah dianggap sebagai suatu penyakit yang harus mendapat penanganan serius, mengingat dampaknya terhadap kesehatan (Syarif, 2002)   
      Di Indonesia berdasarkan data  RISKESDAS, (2007), (2008) dan WHO, (2005) laki-laki berumur lebih dari  15 tahun dengan lingkar perut di atas 90 cm atau perempuan dengan lingkar perut di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral. Prevalensi obesitas sentral pada perempuan 29% lebih tinggi dibanding laki-laki 7,7%. Menurut tipe daerah, obesitas sentral lebih tinggi di daerah perkotaan 23,6% dari pada daerah perdesaan 15,7%. Demikian juga semakin meningkat tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan, semakin tinggi prevalensi obesitas sentral.  
         Orang yang obes lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan. Menurut   Budiasti (2004) ahli nutrisi dari RS Jakarta fenomena makan cepat saji merupakan sala satu penyebab utamanya. Makanan cepat saji mengandung energy yang sangat tinggi karena 40-50% adalah lemak. sementara kebutuhan tubuh akan lemak hanya sekitar  15% sebagian besar kebutuhan tubuh adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan Protein 20%. 


Dimensi Dalam Agresivitas (konsultasi skripsi dan tesis)



Buss dan Perry (1992) mengatakan bahwa ada empat macam agresi, yaitu:
1)        Agresi fisik adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Hal ini termasuk memukul, menendang, menusuk, membakar, dan sebagainya.
2)        Agresi verbal adalah agresi yang dilakukan untuk melukai orang lain secara verbal. Bila seorang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek, dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi verbal.
3)        Kemarahan hanya berupa perasaan dan tidak mempunyai tujuan apapun. Contoh seseorang dapat dikatakan marah apabila apabila dia sedang merasa frustrasi atau tersinggung
Kebencian adalah sikap yang negatif terhadap orang lain karena penilaian sendiri yang negatif. Contohnya adalah seseorang curiga kepada orang lain karena orang lain tersebut baik dan lain sebagainya
Buss (dalam Bukhori, 2008) mengklasifikasikan agresivitas yaitu agresivitas secara fisik dan verbal, secara aktif maupun pasif, secara langsung maupun tidak langsung. Tiga klasifikasi tersebut masing-masing saling berinteraksi, sehingga menghasilkan bentuk-bentuk agresivitas.Pendapat ini dikemukakan oleh Buss ada 8 agresivitas yaitu;
1)        Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara langsung misalnya menusuk, memukul, mencubit.
2)        Agresivitas fisik aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menjebak untuk mencelakakan orang lain.
3)        Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara langsung misalnya memberikan jalan untuk orang lain.
4)        Agresivitas fisik pasif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menolak melakukan sesuatu.
5)        Agresivitas verbal aktif secara langsung misalnya mencaci maki orang lain menusuk, memukul.
6)        Agresivitas verbal aktif yang dilakukan secara tidak langsung misalnya menyebarkan gosip yang tidak benar kepada orang lain.
7)        Agresivitas verbal pasif yang dilakukan secara langsung misalnya tidak mau berbicara pada orang lain.
8)        Agresivitas verbal pasif fisik aktif yang dilakukan secar tidak langsung misalnya diam saja meskipun tidak setuju.
Perilaku agresi menurut Myers (2002). Agresi dibagi menjadi dua tipe yaitu:
a.         Agresi Instrumental (Instrumental aggression)
Yaitu agresi yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat untuk mencapai tujuan.
b.    Agresi benci (Hostile Aggression)
 Adalah agresi yang di lakukan semata – mata sebagai pelampiasan keinginan untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korban.
Buzz & Perry (dalam Abd-El-Fattah, 2007:237) membagi tipe agresivitas menjadi empat kelompok yaitu:
a.         Physical agression, yaitu tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik.
b.        Verbal agression, yaitu tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk verbal.
c.         Anger, merupakan suatu bentuk reaksi afektif berupa dorongan fisiologis sebagai tahap persiapan agresi. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah
d.        Hostility, yaitu tergolong kedalam agresi covert (tidak kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari kebencian seperti cemburu dan iri terhadap orang lain, dan kecurigaan seperti adanya ketidakpercayaan, kekhawatiran.


Pengertian Agresivitas (konsultasi skripsi dan tesis)



Kartono (2005) menyatakan bahwa perilaku agresif merupakan reaksi primitif dalam bentuk kemarahan hebat dan ledakan emosi tanpa terkendali, serangan, kekerasan, tingkah laku kegila-gilaan dan sadistis. Lebih lanjut Mahmudah (2010) menyatakan bahwa perilaku agresif merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain. Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun verbal yang diniatkan untuk melukai obyek yang menjadi sasaran agresi. Secara umum, agresi adalah tanggapan yang mampu memberikan stimulus merugikan atau merusak terhadap organisme lain.
Kaplan, Santrock, dan Grebb (2003) menjelaskan bahwa agresi adalah tipe bentuk perilaku yang diarahkan pada tujuan menyakiti atau melukai orang lain. Agresi sendiri menurut Berkowitz (2003) selalu mengacu pada beberapa jenis perilaku, baik secara fisik maupun simbolis, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti. Murray (dalam Chaplin, 2004) mengatakan bahwa agresif adalah kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, 16 menjahati, mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara sehat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadis lainnya. Dayakisni dan Hudaniah (2006) mengartikan agresi sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu organism terhadap organism lain, objek lain dan bahkan dirinya sendiri. Chaplin (2004) mengatakan bahwa agresif adalah satu serangan atau serbuan tindakan permusuhan yang ditujukan pada seseorang atau benda.


Aspek Dalam Kontrol Diri (konsultasi skripsi dan tesis)



Berdasarkan konsep Averill (Devinthia, 2008) terdapat tiga jenis kontrol diri yang meliputi lima aspek, yaitu :
a.         Kemampuan mengontrol perilaku (Behavioral Control)
Kemampuan mengontrol perilaku didefinisikan sebagai kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan ini diperinci lebih lanjut ke dalam dua komponen :
1)             Kemampuan mengontrol pelaksanaan (regulated administration), yaitu kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya.
2)             Kemampuan mengontrol stimulus (stimulus modifiability), merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi.
b.        Kontrol Kognitif (Cognitive Control)
Kontrol kognitif yaitu kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Kemampuan ini diperinci lebih lanjut ke dalam dua komponen:
1)             Kemampuan memperoleh informasi (information gain), dengan informasi yang dimiliki, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan secara relatif objektif.
2)             Kemampuan melakukan penilaian (appraisal), yaitu melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara objektif.
c.         Kemampuan Mengontrol Keputusan (Decisional Control).
Kemampuan mengontrol keputusan merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya.
Menurut Block and Block (dalam Ghufron, 2011) ada tiga jenis kontrol yaitu:
a.    Over control, yaitu kontrol yang berlebihan dan menyebabkan seseorang banyak mengontrol dan menahan diri untuk bereaksi terhadap suatu stimulus
b.    Under control, yaitu kecenderungan untuk melepaskan implus yang bebas tanpa perhitungan yang masak.
c.    Approprite control, yaitu kontrol yang memungkinkan individu mengendalikan implusnya secara tepat.
Dalam penelitian ini akan menggunakan pengukuran berdasarkan teori Averill (Devinthia, 2008) yang membagi kontrol diri menjadi (1) Kemampuan mengontrol perilaku (Behavioral Control) (2) Kontrol Kognitif (Cognitive Control) (3) Kemampuan Mengontrol Keputusan (Decisional Control).


Pengertian Kontrol Diri (skripsi dan tesis)



Menurut Chaplin (2002) kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah lakunya sendiri; kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-implus atau tingkah laku yang impulsif. Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi. Kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, selalu nyaman dengan orang lain, menutup perasaannya (Gufron & Risnawati, 2011).
Marvin R. Goldfried dan Michael Merbaum (dalam Ghufron, 2011) berpendapat kontrol diri secara fungsional didefinisikan sebagai konsep dimana ada atau tidak adanya seseorang memiliki kemampuan untuk mengontrol tingkah lakunya yang tidak hanya ditentukan cara dan teknik yang digunakan melainkan berdasarkan konsekuensi dari apa yang mereka lakukan. Menurut Goleman (2005), kontrol diri adalah ketrampilan untuk mengendalikan diri dari api-api emosi yang terlihat mencolok. Tanda-tandanya meliputi ketegangan saat menghadapi stress atau menghadapi seseorang yang bersikap bermusuhan tanpa membalas dengan sikap atau perilaku serupa. Skiner menyatakan bahwa kontrol diri merupakan tindakan diri dalam mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Dan tingkah laku dapat dikontrol melalui berbagai cara yaitu menghindar, penjenuhan, stimuli yang tidak disukai, dan memperkuat diri (Alwisol, 2009).
Berdasarkan dari beberapa uraian di atas maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud kontrol diri dalam bentuk penelitian ini adalah kemampuan seseorang untuk menahan keinginan dan mengendalikan tingkah lakunya sendiri, mampu mengendalikan emosi serta dorongandorongan dari dalam dirinya yang berhubungan dengan orang lain, lingkungan, pengalaman dalam bentuk fisik maupun psikologis untuk memperoleh tujuan di masa depan dan dinilai secara sosial

Sunday, June 10, 2018

Prinsip-prinsip Indonesia dalam Melakukan Kerjasama (Skripsi dan Tesis)

Kerjasama antar dua negara atau lebih selalu memiliki dasar adanya kepentingan bersama dan adanya kesepakatan bersama untuk memperoleh keuntungan bersama. Namun kondisi dan situsasi dari tiap negara serta posisi relatifnya terhadap engara lain membuat sifat atau bentuk kerjasama akan berbeda satu dengan lainnya. Posisi geografis Indonesia yang diapit oleh Samudera Hindia dan samudar Pasifik mendesak adanya kebutuhan adanya kerjasama baik dengan negara-negara tetangga yang berbatasan langsung maupun dengan negara-negara perikanan dunia lainnya yang memiliki armada perikanan jarak jauh (distant fishing fleet). Namun sebagaiman dikemukakan diatas, keperluan satu negara untuk memperoleh kesepakatan kerja sama yang saling menguntungkan sangat dipengaruhi oleh landasan ataupun kondisi dalam negeri yang memadai. Tanpa adanya fondasi yang kuat maka kerjasama internasional baik regional maupun global hanya akan merugikan kepentingan bangsa dan negara.
Bentuk kerjasama dilakukan Indonesia dalam forum regional dan global dituangkan dalam bentuk perjanjian sebagai salah satu dari kegiatan harmonisasi yang merupakan upaya untuk menyelaraskan suatu bentuk permasalahan dalam suatu bidang yang diperlukan kerjasama dengan negara lain dan diikuti dengan pengakuan atas solusi yang dicapai masing-masing negara. Perjanjian atau kerjasama luar negeri dapat dicapai melalui penyusunan suatu perangkat standar ataupun perangkat standar atau peraturan bersama dengan mengadakan kesepakatan tertentu bahwa dalam mengambil kesepakatan di bidang standar atau peraturan, setiap negara harus mengacu pada peraturan atau standar internasional.
Upaya ini jelas lebih mempermudah penyelesaian bagi ke dua belah pihak ataupun dengan pihak-pihak yang terkait. Proses penyusunan ini pun harus dilanjutkan dalam bentuk spesifik misalnya dengan proses MoU (Memorandum of Understanding) dimana MoU memuat tentang garis besar lingkup kegiatan yang menjadi point kerjasama. MoU ini menjadi payung dan menjadi acuan dalam melaksanakan MRA. Di lain sisi MoU tidak bisa berdiri sendiri, karena MoU tidak dapat terbentuk tanpa Agreement di antara kedua negara yang bekerjasama [1]
Upaya ini jelas lebih mempermudah penyelesaian bagi ke dua belah pihak ataupun dengan pihak-pihak yang terkait. Proses penyusunan ini pun harus didukung dengan proses MoU (memorandum of Understanding) dimana MoU memuat tentang garis besar lingkup kegiatan yang menjadi point kerjasama. MoU ini menjadi payung dan menjadi acuan dalam melaksanakan perjanjian atau kerjasama luar negeri. Di lain sisi MoU tidak bisa berdiri sendiri, karena MoU tidak dapat trbentuk tanpa Agreement di antara kedua negara yang bekerjasama[2].
Dengan kata lain bahwa penjenjangan yang harus dilakukan dari kegiatan harmonisasi standar maupun peraturan yang dituangkan dalam perjanjian atau kerjasama luar negeri adalah :
1.       Agreement
Agreement dilakukan antar pemerintah dengan pemerintah. Agreement bersifat umum/global antara 2 negara dimana dari perjanjian ini dapat dijadikan acuan yang dapat membuka peluang kepada anggotanya dalam melakukan kerjasama dan harmonisasi sesuai dengan bidang yang dijadikan wilayah kesepakatan.
Agreement ini ditanda tangani dan disahkan oleh kedua negara diwakili oleh Menteri Luar Negeri
2.       Memorandum of Understanding
Posisi MoU adalah di bawah dan dipayungi oleh Agreement. MoU pada umumnya merupakan kerjasama yang menghasilkan kesepakatan antar badan atau lembaga pemerintahan atau non pemerintah yang dibentuk dengan maksud dan kepentingan yang sama antar anggota. Ruang lingkup dan kerjasama ini lebih mengarah pada bidang atau substansi yang dikerjasamakan.
MoU ini disahkan dan ditandangani pimpinan puncak dari masing-masing negara anggota
3.       Mutual Recognition Arrangement
Perjanjian saling mengakui (MRA) merupakan perjanjian kesepakatan antara 2 badan, lembaga atau organisasi yang merupakan jabaran serta dipayungi oleh MoU. Pada tahap MRA ini sudah menjurus ke spesifik teknis, baik dari segi administrasi, pelaksanaan maupun substansi yang dikerjasamakan