Monday, October 7, 2019

Karakteristik Pekerjaan (skripsi dan tesis)


 Setiap organisasi pada umumnya memiliki karakteristik yang berbedabeda meskipun tingkat perbedaannya relatif tipis. Perbedaan tersebut galibnya tergantung pada jenis organisasi terkait dengan bidang usaha, karakteristik individu, dan kebijakan-kebijakan yang ada dalam organisasi. Hal ini sesuai dengan definisi dari Turner dan Lawrence(1965: 124) yang menyatakan bahwa karakteristik pekerjaan merupakan atribut-atribut tugas yang ada di dalam pekerjaan. Sementara itu, dengan bahasa yang berbeda namun esensinya sama, Abush dan Burkhead (1984: 75) mengungkapkan bahwa karakteristik pekerjaan adalah dimensi inti pekerjaan yang berisi sifat-sifat tugas yang ada dalam suatu pekerjaan. Kedua pakar ini sama-sama ”tugas yang ada dalam pekerjaan.”
 Sejalan dengan pandangan kedua pakar tersebut, Hackman dan Oldham (dalam Luthan, 2008: 239), merinsi karakteristik pekerjaan menjadi lima dimensi inti, yakni: (1) variasi keterampilan, (2) identitas tugas, (3) signifikansi tugas, (4) otomoni, dan (5) umpan balik. Hackman dan Oldham telah mengidentifikasi dimensi inti (core dimension) untuk memperkaya pekerjaan (job enrichment). Apabila salah satu dimensi tidak ada, secara psikologis karyawan merasa ada yang hilang dan motivasi cenderung menurun. Seluruh dimensi inti itu cenderung mempertinggi motivasi, Analisis pengaruh  kepuasan, dan kualitas kerja dan mengurangi pergantian pegawai dan kemangkiran. Kelima dimensi inti yang disebutkan Hackman dan Oldham tersebut secara rinci dijelaskan Newstom dan Davis (1990: 240-241) sebagai berikut: Pertama, variasi keterampilan (skill variety). Variasi memungkinkan karyawan untuk melaksanakan bidang tugas yang berbeda yang mengharuskan adanya keterampilan yang berbeda-beda. Pekerjaan yang sangat beragam dipandang para karyawan lebih menantang karena mencakup beberapa jenis keterampilan. Pekerjaan seperti ini juga meniadakan kemonotonan yang timbul dari setiap aktivitas yang berulang. Apabila pekerjaan itu bersifat fisik, digunakan otot yang berbeda, sehingga satu bidang otot tidak digunakan berlebihan dan letih pada sore hari. Keragaman menimbulkan perasaan kompeten yang lebih besar bagi pegawai, karena mereka dapat melakukan jenis pekerjaan yang berlainan dengan cara yang berbeda. Kedua, identitas tugas (task identity). Identitas tugas memungkinkan karyawan untuk melaksanakan sebuah pekerjaan seutuhnya. Banyak upaya pemerkayaan pekerjaan telah dilakukan pada dimensi ini, karena di masa lampau gerakan manajemen ilmiah menimbulkan pekerjaan yang terlalu dispesialisasikan dan rutin. Para karyawan secara individu mengerjakan bagian kecil pekerjaan sehingga mereka tidak dapat mengidentifikasikan salah satu produk dengan upaya mereka. Mereka tidak dapat memiliki rasa menyelesaikan atau bertanggung jawab bagi produk secara keseluruhan. Apabila tugas diperluas untuk menghasilkan sebuah produk secara keseluruhan atau bagiannya yang dapat diidentifikasi, maka telah terbentuk identitas tugas. Sebuah tugas menjadi bagian kerja yang dijelaskan secara sempit dan dirancang bagi seseorang (Daft, 2007: 30). Namun, dalam klasifikasi tugas Steiner, ada kemungkinan untuk mewujudkan kinerja kelompok yang mengerjakan berbagai tugas. Di sini fokus bukan ditujukan pada sifat atau peran anggota kelompok yang lebih disukai atau sebenarnya pada proses kelompok khusus, tetapi pada tipe tugas yang akan diselesaikan oleh kelompok itu.
Karya Steiner mungkin tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya. Steiner menunjukkan banyak hipotesa teruji tentang kapan berusaha bekerja dalam kelompok dan kapan tidak (Furnham, 2006: 499). Ketiga, signifikansi tugas (task significance). Dimensi ini megacu pada kadar dampak pekerjaan terhadap orang lain, seperti yang dipersepsikan karyawan. Dampak itu bisa terjadi pada atas orang lain dalam organisasi bersangkutan, seperti pada saat karyawan melakukan langkah pokok dalam proses kerja, tetapi bisa juga terjadi pada pihak lain di luar organisasi. Hal yang penting adalah bahwa karyawan percaya mereka melakukan sesuatu yang penting dalam organisasi dan/atau masyarakat. Keempat, otonomi (autonomy). Ini adalah karakteristik pekerjaan yang memberikan kebijaksanaan dan kendali tertentu bagi karyawan suatu keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan. Dimensi ini merupakan hal yang mendasar untuk menimbulkan rasa tanggung jawab dalam diri karyawan. Walaupun karyawan mau bekerja dalam berbagai kendala organisai, karyawan juga bersikeras untuk memiliki keluasaan tertentu. Terkait dengan hal ini, para pakar memberikan pandangan yang hampir serupa. Schunk, Pintrich dan Meece (2006: 171) mendefinisikan otonomi sebagai mendapatkan kebebasan, menolak tekanan dan pembatasan, bebas dan merdeka untuk bertindak, menghindari atau aktivitas melepaskan diri yang diatur oleh pejabat yang berkuasa. Kemudian menurut Snell dan Bohlander (2007: 151), otonomi adalah tingkat sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan besar, kemerdekaan dan keleluasaaan kepada individu dalam menjadwalkan pekerjaan dan dalam menentukan prosedur untuk digunakan dalam melaksanakannya. Lalu bagi Furnham (2006: 314), otonomi adalah tingkat kebebasan, kemerdekaan dan keleluasaan yang dimiliki pelaksana kerja dalam pekerjaannya; menjadi tanggung jawab pribadi bagi proses dan hasil kerja. Sementara itu menurut Gomez-Mejia, Balkin, & Cardy (2007: 54), otonomi adalah jumlah kebebasan, kemerdekaan dan keleluasaan yang dimiliki pegawai di bidang seperti penjadwalan kerja, pembuatan keputusan dan menentukan bagaimana melaksanakan pekerjaan.
Selain itu, Mondy dan Noe (2005: 341) memandang otonomi sebagai tingkat kebebasan dan keleluasaan individu yang dimiliki pegawai dalam mengerjakan pekerjaannya. Menurut Mondy dan Noe, pekerjaan yang memberikan otonomi sering mendorong pegawai untuk merasa bertanggung jawab bagi hasil kerjanya. Kebanyakan pekerja tidak ingin seseorang menanggung sendiri di pundaknya sepanjang hari sambil menunggunya melakukan kesalahan. Individu mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dengan alasan menghendaki kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Otonomi menjadi inti dari tim kerja yang mengatur sendiri. Beberapa kelompok ini memiliki otonomi untuk membuat keputusan siapa yang akan disewa dan dipromosikan, jadwal kerja dan metode yang harus diikuti. Kebebasan bertindak ini menciptakan rasa bertanggung jawab yang mungkin tidak bisa dicapai dengan cara lain. Otonomi juga merujuk pada kontrol atas (aspek) pelaksanaan tugas dan khususnya dianggap sebagai sesuatu yang positif, menyehatkan dan memuaskan bagi pegawai yang terlepas darinya, dan proses kerja efisien, keuntungan dan klien yang puas bagi majikan yang memberikannya (van Mierlo, et al., 2005: 4). Otonomi dalam pekerjaan pada masyarakat merupakan “otonomi yang diberikan” – sejauh berusaha memadukan pekerja dengan proses kerja, seperti memadukan unsur-unsur yang tidak bisa diduga misalnya kepandaian, koordinasi dan mobilisasi subyektif. Kepentingannya adalah menyelidiki dan menganalisis otonomi di tempat kerja yang berkaitan dengan informasi dan teknologi komunikasi. Dalam kajian di bidang manufaktur, perubahan menunjukkan tuntutan yang dibebankan kepada pekerja bagi mobilisasi subyektif untuk mencapai tugasnya. Ini mulai membentuk kondisi “otonomi yang diberikan” – otonomi diberikan dalam arti “diserahkan” kepada pekerja, tetapi sekaligus merupakan kewajiban yang harus diikuti (Rosenfeld, 2004: 1). Kelima, umpan balik (feedback). Umpan balik mengacu pada informasi yang memberi tahu karyawan tentang seberapa baik prestasinya. Umpan balik timbul dari pekerjaan itu sendiri, pimpinan, dan karyawan lainnya. Gagasan Analisis pengaruh ..., Laksmy Hanidinarti, FISIP-UI, 2009 20 umpan balik cukup sederhana, tetapi sangat penting bagi orang-orang di tempat kerja. Karena karyawan menginvestasikan bagian yang substansial dari kehidupannya dalam pekerjaan, karyawan ingin mengetahui seberapa baik prestasinya. Lebih lanjut, karyawan perlu mengetahui agak sering karena mengakui bahwa prestasi itu memang berbeda-beda, dan satu-satunya cara untuk mengadakan penyesuaian adalah dengan mengetahui bagaimana prestasinya sekarang. Menurut Kreitner dan Kinicki (2004: 326), umpan balik merupakan informasi obyektif tentang kinerja kolektif individu. Umpan balik memiliki dua fungsi bagi yang menerimanya. Pertama, fungsi instruksi. Kedua, fungsi motivasi. Umpan balik menuntut ketika menjelaskan peran atau mengajarkan perilaku baru. Di sisi lain, umpan balik memotivasi ketika berfungsi sebagai imbalan atau menjanjikan suatu imbalan (Kreitner dan Kinicki (2004: 326). Ketika dipertimbangkan secara luas, umpan balik kinerja merupakan sarana bagi hal-hal berikut ini: (1) bimbingan: perbaikan yang harus dilakukan oleh pekerja dalam kinerjanya, dan langkah-langkah yang bisa dia ambil untuk perbaikan. Ini berada di antara tanggungjawab manager paling dasar; (2) evaluasi: bagaimana organisasi memandang kinerja pegawai sehubungan dengan harapan dan bagi orang lain. Apakah pegawai bekerja dengan baik, buruk atau rata-rata? (3) pengakuan: mengungkapkan penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan; (4) imbalan: pengakuan yang dituangkan dalam sesuatu yang bisa dijangkau (biasanya uang); dan (5) arah: menyampaikan atau memperkuat apa yang diperlukan organisasi, nilai-nilai dan harapan dari pegawai (Sirota, Mischkind & Meltzer, 2005: 208). Lima aspek dan hasil umpan balik ini diperlukan bagi karyawan dan organisasi. Meskipun kebanyakan orang memiliki tingkat tanggung jawab dan ingin menyelesaikan tugasnya, motivasi menurun tajam jika tidak seorangpun memperhatikan. Di sisi lain, jika tidak seorangpun yang memperhatikan kecuali ketika sesuatu berubah buruk, motivasi segera akan berubah menjadi kebencian (Sirota, Mischkind & Meltzer, 2005: 209). Umpan balik penting dalam mempertahankan motivasi. Agar efektif secara maksimal, umpan balik harus disajikan secepat mungkin setelah perilaku yang tidak memadai terjadi

No comments:

Post a Comment