Tuesday, March 31, 2020

Arus Modal Asing dan Harga Aset (Skripsi dan tesis)

Secara teoritis, pemodal asing dapat memengaruhi kinerja pasar modal domestik secara positif maupun negatif. Menurut pandangan ekonom mainstream, salah satu manfaat arus modal asing adalah mendorong kenaikan harga saham. Arus modal asing membawa dampak pada price earning ratio (P/E ratio) perusahaan. P/E ratio yang tinggi membuat ongkos pembiayaan menjadi lebih rendah yang selanjutnya akan meningkatkan nilai investasi perusahaan. Biaya modal yang rendah dan pasar modal yang sedang booming juga dapat mendorong perusahaan untuk melakukan emisi saham. Harga premium emisi baru menjadi pendorong perusahaan lain untuk melakukan emisi saham (BAPEPAM-LK, 2008). Namun, peningkatan harga saham yang tidak masuk ke perusahaan – hanya meningkatkan P/E ratio – tidak akan membawa multiplier pada peningkatan output karena investasi hanya terjadi di pasar sekunder yang hanya memengaruhi harga saham dan tidak terjadi aliran masuk modal ke perusahaan. Hal inilah yang menjadi perhatian serius dalam transaksi di pasar sekunder. Wang (2007) berpendapat bahwa peran asing dalam pasar sekunder dapat dilihat dari dua aspek yaitu aktivitas perdagangan (trading) dan kepemilikan efek (ownership). Keduanya akan akan memberikan dampak berbeda bagi volatilitas di bursa. Peningkatan harga saham dalam jangka pendek akan meningkatkan transaksi di pasar bursa sehingga memberikan dampak peningkatan volatilitas. Sebaliknya peningkatan kepemilikan saham justru akan membawa pada penurunan volatilitas. Hubungan negatif tersebut dinamakan sebagai dampak yang menenangkan (calming effect) terhadap volatilitas harga saham yang akan datang. Hubungan antara lonjakan modal dan booming harga aset domestik juga cukup relevan dalam ekonomi negara-negara emerging markets.
 Negara-negara emerging markets telah sering mengalami serangkaian siklus boom-bust yang menghasilkan krisis ekonomi. Ini dimulai dengan tahap booming ekspansi kredit, peningkatan investasi, harga aset naik, dan arus modal masuk meningkat, dan berakhir dengan tahap meledak ketika semua berbalik (Kim & Yang, 2009). Arus masuk modal dapat membantu ekonomi domestik dengan berbagai cara, tetapi arus masuk modal yang besar juga dapat menghasilkan keadaan ekonomi makro yang tidak diinginkan. Sejarah mencatat bahwa perekonomian di negara-negara emerging markets sering mengalami periode arus masuk modal yang cepat diikuti dengan arus keluar yang cepat juga, menghasilkan siklus boombust. Periode awal aliran modal sering ditandai dengan apresiasi nilai tukar riil, ekspansi kredit domestik, booming konsumsi dan/atau investasi, dan gelembung harga aset. Seiring waktu, proses tersebut cenderung untuk membalikkan sendiri: arus modal masuk bersih berubah menjadi arus keluar bersih dan ternyata boom berubah menjadi bust, dengan konsekuensi yang merugikan bagi harga aset lokal dan, sering, ekonomi riil. Bahkan, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa krisis Asia pada tahun 1990-an terkait dengan arus modal yang berlebihan (Kim & Yang, 2009). Kim dan Yang (2009) menyebutkan bahwa arus masuk modal dapat memengaruhi harga aset dalam tiga cara. Pertama, arus masuk portofolio asing langsung dapat memengaruhi permintaan untuk aset. Sebagai contoh, arus masuk modal ke pasar saham meningkatkan permintaan dan, oleh karena itu, harga saham. Selain itu, arus masuk portofolio kemudian dapat memengaruhi pasar lain. Misalnya, sebagai arus modal ke pasar saham, adanya kenaikan harga saham tidak serta-merta akan meningkatkan hasil (return) yang diharapkan dari saham tersebut, tetapi hasil yang diharapkan dari saham dapat juga menurun. Investor mungkin akan mencari keuntungan yang lebih tinggi di pasar aset lainnya, seperti real estate dan obligasi, sehingga menempatkan tekanan terhadap harga aset lainnya. Kedua, arus masuk modal dapat mengakibatkan peningkatan jumlah uang beredar dan likuiditas, yang pada gilirannya dapat meningkatkan harga aset. Arus masuk modal cenderung menyebabkan nilai tukar nominal dan riil menjadi terapresiasi. Jika otoritas moneter ingin menghindari hal tersebut, mereka harus melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk mengimbangi kelebihan permintaan untuk mata uang lokal dengan membeli mata uang asing. Hal ini 25 menyebabkan akumulasi cadangan devisa dan karenanya, pasokan uang domestik. Ketika hal ini mengarah ke peningkatan aliran likuiditas ke pasar aset, harga aset mungkin akan melonjak. Intervensi mata uang asing dapat disterilkan dengan menjual surat berharga pemerintah melalui operasi pasar terbuka. Namun, jika sterilisasi parsial, kemudian likuiditas dan aset harga dapat meningkat. Ketiga, arus masuk modal cenderung mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat dan mengarah pada peningkatan harga aset dalam beberapa cara. Ekspansi moneter mengikuti arus modal masuk dapat menyebabkan ledakan ekonomi. Tingkat suku bunga dunia yang jatuh dapat menyebabkan ledakan konsumsi dan ledakan investasi, dan juga penurunan suku bunga domestik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan investasi. Dan, untuk negara debitur, penurunan tingkat suku bunga dunia akan menyebabkan efek pendapatan dan efek substitusi, yang juga dapat menyebabkan ledakan konsumsi. 

Permanent Component dan Transitory Component Volatility (skripsi dan tesis)


Setiap data runtun waktu (time series) dapat didekomposisi menjadi dua komponen additive, yaitu sebuah series yang stasioner dan sebuah random walk. Bagian yang stasioner disebut sebagai komponen cyclical, didefinisikan sebagai momentum yang dapat diproyeksikan di setiap titik waktu dalam  series. Sedangkan bagian yang random walk merupakan nilai tengah dari distribusi yang diduga untuk jalur (model) masa depan dari series yang sebenarnya. Beveridge dan Nelson (1981) menyebutkan bahwa komponen permanen ditunjukkan sebagai random walk dengan drift. Perbedaan antara komponen permanen dan nilai sebenarnya dari series data merupakan momentum yang terkandung dalam series pada suatu titik tertentu dan hal tersebut secara alami mengukur komponen transitory atau cyclical-nya. Komponen transitory merupakan proses stasioneritas dengan rata-rata nol. Pergerakan transitory atau cyclical dapat diamati dalam data runtun waktu ekonomi dan dapat dipisahkan dari komponen permanen atau trend yang memiliki peran penting dalam membentuk pemikiran kita mengenai fenomena yang terjadi dalam perekonomian. Dalam pasar saham juga terdapat dekomposisi komponen-komponen volatilitas. Hal ini disebabkan agen-agen dalam pasar saham yang heterogen memiliki horizon waktu perdagangan yang berbeda sehingga mengindikasikan adanya volatilitas jangka pendek (short-run volatility) dan volatilitas jangka panjang (long-run volatility) (Muller et al.,1997). 
Andersen dan Bollerslev (1997) menunjukkan bahwa volatilitas pasar mencerminkan agregasi dari berbagai komponen volatilitas yang saling bebas, dimana masing-masing komponen tersebut memiliki struktur yang berbeda karena perbedaan datangnya informasi. Informasi yang heterogen ini akan masuk ke pasar sehingga menciptakan efek volatilitas jangka pendek (short-run) dan jangka panjang (long-run). Lisenfeld (2001) juga menjelaskan bahwa sejumlah kedatangan informasi dan sensitifitas berita merupakan faktor penting yang dapat menjelaskan pergerakan dalam volatilitas perubahan harga saham. Volatilitas jangka pendek utamanya disebabkan oleh proses kedatangan informasi, sedangkan volatilitas jangka panjang disebabkan oleh sensitifitas berita baru. Muller et al.(1997) berpendapat bahwa pedagang dalam jangka pendek akan bereaksi terhadap komponen volatilitas transitory dengan meningkatkan aktivitas perdagangan mereka, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan volatilitas. Park et al. (2007) menyebutkan bahwa informasi yang memengaruhi seluruh pasar dicerminkan oleh komponen permanen dari conditional variance. Informasi ini 23 berkaitan dengan fundamental makroekonomi. Di sisi lain, komponen transitory dari conditional variance berasal dari noise traders atau market friction yang didasarkan pada efek mikroekonomi dari struktur pasar keuangan. 

Estimate of Volatility (skripsi dan tesis)

 Volatilitas return ditunjukan dengan varian atau standar deviasi return. Volatilitas adalah pengukuran statistik variasi harga suatu instrumen (Butler, 1999). Dengan kata lain, volatilitas adalah kecepatan naik turunnya return. Semakin tinggi volatilitasnya, maka kepastian return suatu saham semakin rendah, begitu juga sebaliknya. Dalam melakukan forecasting, volatilitas umumnya diasumsikan konstan dari waktu ke waktu, walaupun kenyataannya tidak. Menurut Watsham (1997), volatilitas yang konstan dari waktu ke waktu disebut homoskedastic, sedangkan volatilitas yang tidak konstan disebut heteroskedastic. Volatilitas Konstan (Constant Volatility) dapat diukur menggunakan Standar Deviasi (Standard Deviation), rata-rata bergerak sederhana (Simple Moving Average) dan Historical Simulation. Standar deviasi dapat digunakan untuk mengukur volatilitas data yang memiliki distribusi normal. Standar deviasi mengukur penyebaran atau distribusi yang merupakan jarak rata-rata perubahan harga terhadap mean sebagai puncak. Asumsi volatilitas dan korelasi biasanya konstan, tetapi kenyataannya volatilitas dan korelasi pada data keuangan adalah tidak konstan, kadang menunjukan ketidakteraturan. Bisa saja pada suatu periode volatilitasnya rendah namun berikutnya diikuti dengan volatilitas tinggi. Hal ini disebut dengan volatility clustering. Volatilitas tidak konstan (Non-Constant Volatility) dapat diukur menggunakan metode Generalized Autoregresive Conditional Heteroskedastic (GARCH).

Return dan Volatilitas Saham (skripsi dan tesis)

 Ang (1997) mengatakan bahwa return saham adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh investor atas suatu investasi yang dilakukan. Return saham memungkinkan seorang investor untuk membandingkan keuntungan aktual ataupun keuntungan yang diharapkan yang disediakan oleh berbagai saham pada tingkatan pengembalian yang diinginkan. Di sisi lain, return pun memiliki peran yang amat signifikan di dalam menentukan nilai dari sebuah saham. Jogiyanto (1998) menjelaskan bahwa terdapat dua unsur pokok return total saham, yaitu capital gain dan yield. Capital gain merupakan hasil yang diperoleh dari selisih antara harga pembelian (kurs beli) dengan harga penjualan (kurs jual). Artinya jika kurs beli lebih kecil dari pada kurs jual maka investor dikatakan memperoleh capital gain, dan sebaliknya disebut dengan capital loss. Yield merupakan persentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi periode tertentu dari suatu investasi. Untuk saham, yield adalah persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya.

Transaksi Asing (skripsi dan tesis)

Sebagai akibat dari liberalisasi pasar modal menyebabkan transaksi di pasar modal Indonesia semakin berkembang dan tanpa batasan negara. Jika sebelum era liberalisasi transaksi hanya dapat dilakukan antar investor domestik, namun setelah era liberalisasi transaksi dapat dilakukan antar investor domestik, antar investor asing, maupun dari investor domestik ke investor asing atau sebaliknya. Hal ini punya pengaruh positif bagi investor, baik lokal maupun asing, karena para investor dapat membentuk suatu portofolio sekuritas optimal yang merupakan kombinasi saham domestik maupun asing, sehingga akan mereduksi tingkat resiko dari suatu portofolio saham. Aliran modal antar negara tidak akan berhenti karena investasi dalam konteks global berbasis internasional akan meningkatkan return dan mengurangi tingkat resiko bagi investor. Teori mengenai pembatasan kepemilikan saham oleh investor asing dikemukakan oleh Stulz dan Wasselfallen (1995) sebagai berikut: “under certain condition, such restriction maximaze firm value”. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan fungsi permintaan saham domestik antara investor lokal investor asing, dimana permintaan investor asing kurang elastis dibandingkan permintaan investor lokal. Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menjual saham dengan premium pada investor asing, sehingga perusahaan dapat dikatakan akan menciptakan nilai (Haryanto, 1998). Ketertarikan investor asing untuk ikut berpartisipasi dalam suatu bursa, terutama bursa yang relatif baru berkembang disebabkan oleh tingkat efisiensi bursa yang masih rendah. Penyebabnya antara lain adalah pertama, adanya asymmetric information, dimana investor asing umumnya mempunyai banyak akses pada informasi sehingga mereka lebih banyak memanfaatkan peluang ini untuk memperoleh keuntungan. Kedua, adanya sikap dari emiten, terutama Chief Executive Officer (CEO)-nya yang lebih tanggap pada kebutuhan investor asing juga memberikan angin segar bagi investor asing.  Transaksi asing selama ini telah menjadi leader dalam transaksi perdagangan di bursa, sehingga mereka menjadi benchmark bagi investor lokal. Bahkan banyak di antara investor lokal yang menjadi follower dalam mengambil keputusan transaksi di bursa. Hal ini tidak lain disebabkan oleh berbagai faktor seperti pengetahuan bursa dan jaringan informasi yang dimiliki. Investor asing yang pada umumnya institusi memang memiliki karakter yang berbeda jika dibandingkan dengan investor individu maupun lokal. Secara umum, karakteristik investor asing adalah sebagai berikut: 
1. Ukuran perusahaan. Investor institusi asing dengan pertimbangan ketersediaan informasi yang lebih banyak akan lebih memilih saham dari emiten/perusahaan besar. 
2. Penguasaan informasi. Investor institusi asing rata-rata lebih well informed dibandingkan dengan investor individu dan lokal. Hal ini karena rendahnya marginal cost yang dipikul oleh investor institusi dalam memperoleh informasi.
 3. Analisis sekuritas. Sebagai perusahaan multinasional, investor asing memiliki analis sekuritas sendiri yang berpengalaman, sehingga mereka mendapatkan rekomendasi yang realible. 
4. Transaksi sekuritas. Bagi investor asing institusi, efisiensi transaksi dan lembaga kliring bukan masalah kritis karena mereka memakai jasa global custodian untuk menangani transfer sekuritas dan kegiatan transaksi yang lain. 
Terdapat dua hipotesis mengenai transaksi beli investor asing melalui pasar modal (portfolio investment). Hipotesis pertama disebut dengan feedback trading menyatakan bahwa transaksi beli investor asing disebabkan oleh adanya ekspektasi perubahan harga pasar saham (return). Return yang lebih tinggi akan mendorong lebih besar transaksi beli investor asing, sehingga terdapat hubungan positif antara transaksi beli investor asing dengan return masa lalu di pasar saham. Tetapi sebaliknya, transaksi beli investor asing berhubungan negatif dengan volatilitas return saham, karena diasumsikan para investor asing adalah risk averse. Oleh karena itu, volatilitas return saham yang tinggi – berimplikasi pada  resiko yang besar – cenderung akan menurunkan aliran modal masuk (Lin dan Swanson, 2004). 
Hipotesis kedua menyatakan bahwa transaksi beli investor asing yang menyebabkan perubahan harga saham. Hipotesis ini dikenal dengan information dissemination. Dalam hal ini, peningkatan transaksi oleh investor asing akan meningkatkan harga saham (Froot et al, 2001). Peningkatan harga saham dapat bersifat temporer maupun permanen. Jika peningkatan harga terjadi secara temporer, maka hal ini dapat disebabkan karena adanya tekanan harga (excess demand). Sedangkan jika peningkatan harga saham bersifat permanen, maka hal ini mungkin disebabkan karena cerminan penurunan biaya modal jangka panjang yang berhubungan dengan benefit dan adanya risk sharing. Masuknya investor asing ke dalam bursa saham juga dapat menurunkan volatilitas harga saham, hal ini terjadi jika diasumsikan investor asing yang berinvestasi dalam bursa saham merupakan well-informed traders, bukan noise traders atau spekulan. Meningkatnya partisipasi well-informed traders dalam pasar saham akan meningkatkan kualitas dan reliabilitas informasi sehingga pasar saham menjadi lebih efisien yang pada akhirnya dapat menurunkan volatilitas harga saham. Peningkatan investor asing yang diasumsikan well-informed traders sehingga menurunkan volatilitas harga saham ini dikenal dengan teori investorbase (Holmes dan Wong, 2001). Dibalik besarnya manfaat dari integrasi sistem keuangan dunia dan meningkatnya global financial flows, terdapat resiko-resiko yang perlu diwaspadai, khususnya oleh negara-negara emerging markets yang infrastruktur sektor keuangannya masih lemah. Kecenderungan derasnya aliran modal jangka pendek ke negara-negara emerging markets seringkali didasari oleh motif spekulasi. Dampak buruk dari aliran modal jangka pendek yang sering dihadapi oleh negara-negara tersebut adalah fenomena arus balik modal (capital reversal) secara mendadak dalam jumlah besar. Hal ini dapat mengganggu stabilitas keuangan dan membuat perekonomian terpuruk ke dalam krisis keuangan dan perbankan (Kurniati, 2000). Terdapat dua penjelasan atau teori mengenai dampak dari aktivitas penjualan saham oleh investor asing terhadap bursa saham. Pertama adalah  leverage effect, penjualan saham oleh investor asing kepada investor domestik lebih disebabkan faktor price direction (profit oriented), yang kemudian tindakan investor asing tersebut cenderung akan diikuti oleh investor domestik. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wang (2007) di Indonesia dan Thailand yang menemukan bahwa setelah era liberalisasi bursa saham, investor domestik tidak lagi menjadi price setter tetapi cenderung menjadi price follower yang dalam terminologi lain disebut dengan herding behavior. Hal tersebut mengakibatkan semakin memperbesar supply saham sehingga terjadi penurunan harga saham akibat excess supply. Selain mengakibatkan penurunan harga saham, juga berdampak pada peningkatan volatilitas, hal ini terjadi karena harga saham yang sedang tinggi pada saat investor asing melakukan penjualan berubah menjadi lebih rendah dalam waktu singkat akibat excess supply. Sementara penjualan antar investor asing cenderung lebih dimotivasi oleh faktor likuiditas dan sedikit disebabkan oleh faktor price direction sehingga tidak mengakibatkan volatilitas bursa saham. Penjelasan kedua dikemukakan oleh Merton (1987), memperbesar investor-base akan meningkatkan risk sharing dan harga saham. Meningkatkan investor-base akan meningkatkan keakuratan informasi bursa saham dan menurunkan volatilitas. Dengan demikian pembelian saham oleh investor asing cenderung menurunkan volatilitas dengan meningkatkan investor-base. Keadaan sebaliknya jika terjadi penjualan saham oleh investor asing akan menurunkan investor-base dan cenderung meningkatkan spekulan atau noise traders sehingga meningkatkan volatilitas. Sementara transaksi antar investor asing ataupun antar investor domestik tidak merubah jumlah investor-base sehingga cenderung tidak memengaruhi volatilitas. Tetapi jika diasumsikan bahwa investor asing adalah bersifat noise traders maka justru keberadaan investor asing akan menyebabkan ketidakstabilan pasar saham dan membuat harga saham semakin volatile. Untuk itu, Holmes dan Wong (2001) menyebutkan bahwa investor asing merupakan sumber dari volatilitas dan membahayakan perekonomian akibat dari pembalikan modal yang tiba-tiba. 

Indeks Harga Saham (skripsi dan tesis)

 Seperti halnya kebanyakan variabel perekonomian lainnya, perubahan harga saham mengalami fluktuasi yang tinggi dan cepat. Bean (2003) menjelaskan bahwa harga ekuitas dapat berubah-ubah karena adanya komponen gelembung eksogen dan stokastik, yang tumbuh secara eksponensial tetapi dapat runtuh. Selama munculnya gelembung yang terjadi karena suku bunga (premi) pembiayaan eksternal rendah, maka investasi, permintaan agregat dan output potensial meningkat, sedangkan bila gelembung runtuh maka proses berbalik. Detken dan Smets (2004) menemukan bahwa harga saham dan real estate meningkat kuat selama periode boom atau kenaikan harga yang cepat dan jatuh setelah periode boom. Pertumbuhan riil PDB sangat kuat selama boom, yang terutama didorong oleh investasi swasta total dan juga tercermin dalam investasi perumahan. Dan untuk melihat perubahan atau untuk memperbandingkan suatu keadaan dengan keadaan sebelumnya, suatu formula statistik yang dapat digunakan adalah angka indeks. Indeks harga saham sering dipakai sebagai barometer kondisi perekonomian di berbagai negara yang didasarkan pada kondisi pasar terkini. Hal ini karena indeks harga saham dapat menjadi konklusi dari pengaruh simultan  berbagai faktor, khususnya fenomena yang terjadi dalam perekonomian (BEI, 2012). 
 Penggunaan indeks harga saham memiliki manfaat sebagai berikut (BEI, 2012): 
1. Memudahkan pemantauan atas perubahan harga saham setiap hari.
 2. Memberikan gambaran mengenai perkembangan dari pasar modal secara keseluruhan bahkan dapat menjadi indikator perkembangan perekonomian suatu Negara. 
3. Untuk memperkirakan keuntungan/kerugian yang akan diperoleh berdasarkan ramalan atas gejala harga saham di waktu yang akan datang.
 Salah satu indeks harga saham yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG merupakan indikator pasar saham yang dihitung secara menyeluruh dari total saham yang tercatat di BEI. IHSG mulai diperkenalkan tanggal 1 April 1983 untuk seluruh saham preferen dengan tahun dasar tanggal 10 Agustus 1982, dimana saat itu IHSG dihitung dengan nilai 100 dengan total saham yang tercatat sebanyak 13 saham. IHSG dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dari nilai pasar (market value weighted average index)

Saham (skripsi dan tesis)

 Saham merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling populer. Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas (Bursa Efek Indonesia, 2012). Dengan penyertaan modal tersebut, maka pihak tersebut memiliki klaim atas pendapatan perusahaan, klaim atas aset perusahaan dan berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Saham menjadi salah satu instrumen yang menarik bagi para investor dikarenakan dengan memiliki saham para investor memiliki dua keuntungan (Bursa Efek Indonesia, 2012), yaitu:
 1. Dividen 
Dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan yang diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. 
2. Capital Gain 
Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital Gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder.
 Namun, sebagai instrumen investasi, saham juga memiliki resiko antara lain (Bursa Efek Indonesia, 2012): 
1. Capital Loss Merupakan kebalikan dari Capital Gain, yaitu suatu kondisi dimana investor menjual saham lebih rendah dari harga beli.
 2. Resiko Likuiditas Perusahaan yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh pengadilan, atau perusahaan tersebut dibubarkan. Dalam hal ini hak klaim dari pemegang saham mendapat prioritas terakhir. Setelah seluruh kewajiban perusahaan dapat dilunasi (dari hasil penjualan kekayaan perusahaan), jika masih terdapat sisa dari hasil penjualan tersebut, maka sisa tersebut dibagi  secara proposional kepada seluruh pemegang saham. Namun, jika tidak terdapat sisa kekayaan perusahaan, maka pemegang saham tidak akan memperoleh hasil dari likuiditas tersebut. Kondisi ini merupakan resiko terberat yang mungkin dialami oleh pemegang saham. 
Menurut Bursa Efek Indonesia (2012), di dalam pasar sekunder atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut. Permintaan dan penawaran atas saham tersebut terjadi karena banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik atas saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut bergerak) maupun faktor yang sifatnya makro seperti kondisi perekonomian mau pun non perekonomian suatu negara dimana perusahaan tersebut berada. 

Pengaruh Earnings Volatility terhadap Stock Price Volatility (skripsi dan tesis)

Earnings volatility merupakan simpang baku rasio pendapatan operasi perusahaan sebelum dikurangkan dengan tingkat bunga serta pajak (EBIT). Earnings volatility menggambarkan naik turunnya pendapatan perusahaan dalam suatu periode. Dalam kata lain, earnings volatility adalah gambaran tingkat kestabilan pendapatan atau laba suatu perusahaan. Menurut teori signalling yang dikemukakan Jama’an (2008), perusahaan seharusnya memberikan isyarat kepada pengguna laporan keuangan (kreditur atau investor). Isyarat ini dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut dalam konidisi baik. Laba yang stabil merupakan indikasi bahwa prospek perusahaan di masa mendatang akan tetap baik. Hal ini ditangkap investor sebagai isyarat baik bagi keamanan investasinya. Sebaliknya, jika laba perusahaan cenderung volatil, investor akan dihadapkan dengan resiko bagi kelangsungan investasinya. Perubahan tingkat laba mengindikasikan adanya sebuah volatilitas pendapatan perusahaan (Kinyua, 2013). Bathala et al. (1994) menyatakan bahwa, earnings volatility merupakan tanda yang mewakili sebuah resiko bisnis. Dan resiko bisnis menurut Gitman (2003) merupakan resiko yang dihadapi oleh perusahaan dimana perusahaan tidak mampu menutupi biaya operasional. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zakaria et al. (2012), Lashgari et al. (2014) dan Jannah (2016), perusahaan dengan tingkat earnings volatility yang tinggi cenderung menggambarkan pencapaian laba perusahaan 25 yang naik turun, sehingga berpengaruh positif signifikan terhadap stock price volatility.

Pengaruh Growth in Assets terhadap Stock Price Volatility (skripsi dan tesis)

Growth in assets merupakan indikator seberapa banyak perusahaan memaksimalkan penggunaan dana dari sumber modal. Teori free cash flow yang dikemukakan oleh Jensen (1986) dalam Mamduh (2004) menyebutkan bahwa perusahaan yang sedang dalam tahap berkembang memiliki arus kas bebas (free cash flow) yang minim, hal ini dikarenakan sebagian besar dana hasil dari keuntungan perusahaan lebih digunakan untuk membiayai proyek yang memiliki nilai bersih saat ini (net present value) yang positif (berekspansi). Teori ini didukung oleh penelitian yag dilakukan oleh Charitou (1998) yang menyatakan bahwa manajer perusahaan berkembang lebih gemar menginvestasikan pendapatan setelah pajak dan memiliki harapan kinerja yang lebih baik dalam pertumbuhan aset secara keseluruhan. Berdasarkan teori yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa secara naluriah, manajer perusahaan berkembang lebih memilih untuk mengembangkan perusahaannya, baik untuk mendiversifikasi sektor perusahaan maupun memperbaiki kinerja produksi yang dilakukan dengan berinvestasi pada penambahan aktiva tetap perusahaan. Kegiatan membagikan deviden sama halnya dengan membuang peluang untuk  mengembangkan perusahaan supaya lebih besar dan lebih profitabel. 
Menurut Hashimejoo (2012), perusahaan yang sedang dalam tahap berkembang akan cenderung menggunakan laba untuk diinvestasikan kembali daripada membagikannya pada investor. Pertumbuhan aset dapat dihubungkan dengan tingkat prospektifitas suatu perusahaan tersebut. Perusahaan dengan pertumbuhan aset yang tinggi tentu akan semakin efisien dalam melakukan kegiatan produksi. Semakin besar aset diharapkan semakin besar pula tingkat hasil operasional suatu perusahaan. Pertumbuhan aset yang diikuti oleh pertumbuhan hasil operasional akan semakin menambah kepercayaan pihak luar (kreditur, investor) terhadap prospek di masa mendatang suatu perusahan. Semakin tinggi kepercayaan investor terhadap suatu perusahaan maka akan semakin panjang pula periode investor dalam menahan saham tersebut untuk tidak dijual. Hal ini menyebabkan stock price volatility menjadi rendah karena kebanyakan investor tersebut enggan menjual saham dalam periode waktu yang pendek. Asghar (2011) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa growth in assets berpengaruh negatif signifikan terhadap stock price volatility. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat pertumbuhan aset suatu perusahaan, maka tingkat volatilitas harga suatu saham tersebut akan semakin kecil. 

Pengaruh Dividend Yield terhadap Stock Price Volatility (Skripsi dan tesis)

.
 Dividend yield adalah tingkat pengembalian berupa deviden atas investasi yang telah ditanamkan investor (Khurniaji, 2013). Perusahaan dalam kebijakan pembagian devidennya tentu mempertimbangkan berbagai aspek agar dapat dihasilkannya keputusan yang tepat mengenai besaran deviden yang dibagikan serta tingkat frekuensi pembagian deviden dalam suatu periode waktu. Pembagian deviden oleh perusahaan kepada investor merupakan cerminan dari kemapanan perusahaan dalam hal profitabilitas. Pembagian deviden dapat mempengaruhi tingkat investasi yang kemudian berdampak pada harga saham perusahaan (Zakaria, 2012). Korelativitas antara dividend yield dengan stock price volatility dapat dijelaskan dengan teori signalling. Teori signalling menurut Jama’an (2008), mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan isyarat kepada pengguna laporan keuangan, salah satunya adalah kepada para pemegang saham. Teori signalling menjelaskan bahwa pemberian isyarat dilakukan oleh manajer untuk mengurangi asimetri informasi. Manajer menerima informasi mengenai profitabilitas dan arus kas bebas (free cashflow) pada masa yang akan datang yang tidak dimiliki oleh investor, sehingga investor dituntut untuk mempersepsikan sendiri sesuai dengan analisanya untuk menangkap pesan yang terkandung dalam isyarat pada sebuah kebijakan deviden perusahaan (Satmoko, 2012). 
Pembagian deviden merupakan salah satu isyarat yang diberikan suatu perusahaan terhadap pemegang saham. Menurut Miller & Rock (1985), pengumuman deviden memberikan informasi penting untuk membentuk pendapatan perusahaan saat ini yang akhirnya menjadi dasar untuk memprediksi pendapatan-pendapatan perusahaan di masa yang akan datang. Selanjutnya, dalam kondisi tertentu, dengan mengesampingkan adanya asimetri informasi yang ada, pembagian deviden dapat diterjemahkan oleh pemegang saham sebagai tanda kesehatan finansial perusahaan atau tanda konservatisme perusahaan dalam melakukan ekspansi. Artinya, isyarat ini dapat berarti buruk atau baik tergantung pada kepentingan masing-masing para pemegang saham. Pemegang saham yang menghendaki adanya bukti bahwa perusahaan profitable tentu akan menyukai pembagian deviden, akan tetapi pemegang saham yang menghendaki perusahaan untuk mengalokasikan keuntungannya dalam ekspansi perusahaan supaya lebih besar dan semakin bernilai tentu kurang menyukai kebijakan pembagian deviden. Perbedaan kebutuhan pada tiap-tiap pemegang saham tersebut sejalan dengan teori clientele effect yang diungkapkan oleh Black & Scholes (1974). Teori lain yang menjelaskan korelativitas antara dividend yield dengan stock price volatility adalah teori bird in the hand yang diungkapkan oleh Gordon (1959) dan Lintner (1956). Menurut teori bird in the hand, investor cenderung menjatuhkan pilihan pada perusahaan yang lebih sering membagikan deviden daripada menunggu harapan deviden yang lebih tinggi di masa mendatang atau perolehan capital gain dengan jangka waktu yang 20 lebih lama. Ilustrasi yang digambarkan dalam teori ini yaitu satu burung di tangan lebih baik daripada ribuan burung di angkasa. Investor dalam analisanya tentu memperhitungkan besaran resiko yang didapat jika ia menahan sahamnya lebih lama, karena semakin kecil resiko maka semakin baik sebuah investasi tersebut (Kinder, 2002). Akibat perhitungan resiko dari investor tersebut, keputusan menahan atau melepas suatu saham merupakan kebijakan investor yang didasarkan pada seberapa aman saham tersebut terhindar dari kerugian yang ditimbulkan akibat fluktuasi saham dalam jangka waktu tertentu. Semakin kecil perusahaan membagikan deviden serta semakin rendah frekuensi perusahaan dalam membagikan deviden, maka semakin pendek jangka waktu investor dalam menahan saham tersebut dan memilih untuk menjualnya secara cepat pada titik harga tertentu di pasar modal. Hal tersebut akan berpengaruh pada tingkat stock price volatility perusahaan. Menurut Baskin (1989) dalam Allen & Rachim (1996), deviden dapat digunakan sebagai proksi sebuah resiko bagi pendapatan perusahaan di masa yang akan datang. Konsekuensinya, jika manajemen perusahaan dapat menjaga stabilitas harga saham berkat informasi positif yang terkandung dalam pembagian deviden, dapat dipastikan bahwa manajer dapat menghindari resiko pasar saham dan memperkecil tingkat volatilitas harga saham. Logika teori di atas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Baskin (1989), Khaled et al. (2011), Nishat & Irfan (2008), Suleman (2011) dan Hashemijoo et al. (2012) yang menyatakan dividend yield berpengaruh 21 negatif signifikan terhadap stock price volatility. 

Teori Agency Free Cash Flow (skripsi dan tesis)

Menurut Mamduh (2004), manajer keuangan akan berusaha memegang sumber daya perusahaan agar tetap dalam kendali manajer. Jika perusahaan memperoleh keuntungan atau kas masuk tinggi, maka manajer akan berusaha agar keuntungan atau kas masuk tersebut tetap berada di tangan manajer. Meskipun sebenarnya pemegang saham mungkin akan diuntungkan jika kas tersebut dibagikan kepada mereka (misal dalam bentuk deviden), kemudian pemegang saham dibiarkan menginvestasikan kas tersebut ke alternatif investasi lain yang lebih menguntungkan. Manajer berusaha menahan kas tersebut dengan berbagai cara, misal dengan tidak membayarkan deviden atau melakukan akuisisi perusahaan lain. Dengan akuisisi, sumber daya masih berada di tangan manajer. Menurut Jensen (1986) dalam Mamduh (2004), perusahaan dengan kesempatan pertumbuhan yang lebih tinggi (perusahaan berkembang), memiliki arus kas bebas (free cash flow) yang rendah karena sebagian besar dana yang ada digunakan untuk investasi pada proyek yang memiliki nilai bersih saat ini (Net Present Value) yang positif. Sebaliknya, perusahaan yang menumpuk arus kas bebas (free cash flow) seringkali mejadi sasaran akuisisi oleh perusahaan lain. Perusahaan tersebut 18 cenderung mempunyai harga saham yang lebih rendah dari harga yang seharusnya.

Teori Asimetri Informasi (skripsi dan tesis)

Mamduh (2004) menjelaskan tentang teori asimetri yang mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak memiliki informasi yang sama mengenai prospek dan resiko perusahaan. Pihak tertentu memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibanding pihak luar (seperti investor). Karena itu, dapat dikatakan terjadi asimetri informasi antara manajer dengan investor. Dengan kata lain, perilaku manajer, termasuk dalam keputusannya akan struktur permodalan perusahaan, dapat dianggap sebagai sinyal oleh investor. Menurut Myers & Majluf (1977), terdapat asimetri informasi antara manajer dengan pihak luar, dengan kata lain manajer memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi perusahaan dibandingkan pihak luar. Pada saat harga saham menunjukkan nilai yang terlalu tinggi (overvalue), manajer akan cenderung mengeluarkan saham (memanfaatkan harga yang terlalu tinggi). Tentunya pihak luar (pasar) tidak mau dikecoh. Oleh sebab itu, pada saat penerbitan saham baru diumumkan, harga akan jatuh karena pasar menginterpretasikan bahwa harga saham sudah lebih dari nilai sesungguhnya (overvalue). Teori tersebut dapat menjelaskan fenomena jatuhnya harga saham pada saat terjadi pengumuman penerbitan saham baru. Jika harga saham jatuh, maka pemegang saham lama akan dirugikan jika dilakukan penerbitan saham baru. Sebaliknya, pemegang saham baru  yang akan diuntungkan karena dapat membeli saham dengan harga murah. Karena jatuhnya harga tersebut berkaitan dengan asimetri informasi, maka dapat dikatakan bahwa ada biaya asimetri informasi yang berkaitan dengan penerbitan saham. Biaya tersebut akan semakin besar jika harga saham jatuh cukup signifikan.

Teori Dividend Irrelevance (skripsi dan tesis)

Menurut Miller & Modligiani (1961), nilai perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dan resiko bisnis, tidak pada bagaimana perusahaan memisahkan pendapatan ke laba yang ditahan dan deviden. Teori ini menyatakan bahwa pembayaran deviden sekarang atau waktu selanjutnya (capital gain) tidak relevan, karena nilai perusahaan akan tetap sama. Teori ini dapat diilustrasikan sebagai berikut, jika tahun ini perusahaan tidak membagi deviden, maka pada tahun depan, investor dapat memperoleh deviden tahun depan dan deviden yang seharusnya dibayar tahun ini ditambah dengan tingkat keuntungan dari deviden yang ditahan tersebut (Mamduh, 2004)

Teori Bird In the Hand (Devidend Relevance Theory) (skripsi dan tesis)

 Teori The Bird in the Hand adalah teori yang menjelaskan bahwa investor menghendaki pembayaran deviden yang tinggi atau dapat dikatakan kebijakan deviden adalah relevan dan dibutuhkan investor. Alasan yang sering dikemukakan dalam memilih teori deviden relevan ini karena ada anggapan bahwa mendapat deviden tinggi saat ini resikonya lebih kecil daripada mendapat capital gain di masa yang akan datang. Teori Bird in The Hand dikemukakan oleh Gordon (1959) dan Lintner (1956). Menurut teori ini, investor atau pemegang saham akan lebih suka kepastian pembagian deviden daripada janji akan dibagikan deviden lebih besar di waktu mendatang. Teori ini dapat diilustrasikan dengan satu burung di tangan akan lebih bernilai, daripada banyak burung di langit. Begitu pula para pemegang saham atau investor yang memiliki karakter tidak suka bertaruh, yang lebih memilih untuk mendapat keuntungan melalui pembayaran deviden di masa sekarang daripada menunggu capital gain di masa mendatang.

Teori Signalling (skripsi dan tesis)

 Menurut Jama’an (2008), teori signalling mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan isyarat kepada pengguna laporan keuangan. Isyarat ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Isyarat dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain. Teori signalling menjelaskan bahwa pemberian isyarat dilakukan oleh manajer berguna untuk mengurangi asimetri informasi. Contoh kasus dalam realita, misalnya manajer menerima informasi mengenai profitabilitas dan arus kas bebas (free cashflow) pada masa yang akan datang yang tidak dimiliki oleh investor, sehingga investor dituntut untuk mempersepsikan isyarat tersebut sesuai dengan analisanya untuk menangkap pesan yang terkandung dalam isyarat pada sebuah kebijakan deviden perusahaan (Satmoko, 2012).

Earnings Volatility (skripsi dan tesis)

 Earnings volatility merupakan gambaran bagaimana pendapatan perusahaan yang naik turun dalam suatu periode. Dalam kata lain, earnings volatility adalah gambaran tingkat kestabilan pendapatan atau laba suatu perusahaan. Menurut teori signalling yang dikemukakan Jama’an (2008), perusahaan seharusnya memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan (kreditur atau investor). Sinyal ini berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut dalam konidisi baik. Laba yang stabil merupakan indikasi bahwa prospek perusahaan di masa mendatang akan tetap baik. Kondisi ini mencerminkan bahwa perusahaan memiliki konsumen yang loyal sehingga produk hasil produksinya sudah jelas alokasi penjualannya. Hal ini ditangkap investor sebagai sinyal positif bagi keamanan investasinya. Sebaliknya, jika laba perusahaan cenderung volatil, investor akan dihadapkan dengan resiko bagi kelangsungan investasinya. Perubahan tingkat laba mengindikasikan adanya sebuah volatilitas pendapatan perusahaan (Kinyua, 2013).

Growth in Assets (skripsi dan tesis)

 Growth in assets merupakan indikator seberapa banyak perusahaan memaksimalkan penggunaan dana dari sumber modal. Dengan kata lain, growth in assets merupakan rasio pertumbuhan yang memiliki tujuan mengukur kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kedudukannya dalam pertumbuhan ekonomi dan industri (Jumingan, 2011). Menurut Hashemijoo et al. (2012), perusahaan yang sedang dalam tahap berkembang akan cenderung menggunakan laba untuk diinvestasikan kembali daripada membagikannya pada investor. Semakin  cepat tingkat pertumbuhan, semakin besar kebutuhan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan tersebut (Riyanto, 2008)

Firm Size (skripsi dan tesis)

Firm size merupakan skala dimana besar atau kecilnya suatu perusahaan, dapat diklasifikasikan berdasarkan toal aset perusahaan atau total penjualan (Sunyoto, 2006 dalam Dhira, 2014). Dengan dasar kategori di atas, perusahaan-perusahaan dapat dibedakan ke dalam 3 klasifikasi, yaitu perusahaan kecil, perusahaan menengah dan perusahaan besar (Suwito, 2005). 11 Perusahaan besar memiliki 3 keunggulan utama dibanding dengan perusahaan dengan skala lainnya. Pertama, perusahaan besar dapat mengakses dengan mudah perolehan dana melalui pasar modal. Kedua, perusahaan besar memiliki kekuatan tawar-menawar (bargaining power) yang tinggi. Ketiga, perusahaan besar memiliki probabilitas yang tinggi akan capaian laba yang besar (Agnes, 2004). Disamping itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Hashemijoo et al. (2012), saham perusahaan kecil lebih likuid dibandingkan dengan perusahaan yang besar, sehingga menyebabkan harga saham lebih volatil. Perusahaan yang besar cenderung terdiversifikasi sehingga menurunkan resiko kebangkrutan. Di samping itu mereka bisa memberikan informasi lebih banyak sehingga bisa menurunkan biaya monitoring. Ukuran besar mengurangi asimetri informasi antara pihak internal perusahaan dengan investor (Mamduh, 2004).

Dividend Yield (skripsi dan tesis)


Dividend yield adalah tingkat pengembalian berupa deviden atas investasi yang telah ditanamkan investor (Khurniaji, 2013). Dividend yield merupakan variabel terbaik untuk melihat seberapa besar hasil investasi langsung dari modal yang dikeluarkan. Dengan kata lain, dividend yield adalah ukuran secara nyata seberapa besar hasil dari modal yang dikeluarkan oleh investor (Mamduh, 2004). Dividend yield merupakan variabel terefektif untuk melihat imbal hasil dari suatu saham. Dividend Yield dapat mempengaruhi keputusan investasi seorang investor, dan perubahan keputusan investasi tersebut dapat berdampak pada besaran stock price volatility suatu saham. Semakin besar deviden yang dibayarkan, berarti semakin kuat sinyal profitabilitas suatu perusahaan di masa yang akan datang. Semakin rendah resiko investasi suatu perusahaan, maka dampakanya adalah turunnya tingkat stock price volatility suatu saham. 

Stock Price Volatility (skripsi dan tesis)

 Volatilitas merupakan pengukuran statistik untuk fluktuasi harga selama periode tertentu (Firmansyah, 2006). Ukuran tersebut menunjukkan fluktuasi harga dalam periode yang singkat dan tidak mengukur tingkat harga, melainkan derajat variasinya dari satu periode ke periode lainnya. Dalam siklus pergerakan harga saham, terdapat gerak naik dan turun atau fluktuasi pada tiap satuan waktu. Jarak antara harga terendah dan harga tertinggi dalam suatu satuan waktu sebuah harga saham dapat diterjemahkan dalam konsep volatilitas harga. Sedangkan stock price volatility adalah rentang jarak antara harga tertinggi dengan harga terendah suatu saham dalam pasar modal pada periode tertentu. Untuk mengukur rasio dari suatu saham dapat dilihat dari volatilitas saham tersebut (Hashemijoo, 2012). Stock price volatility yang lebih besar menggambarkan adanya keuntungan atau kerugian yang lebih tinggi pada kurun waktu jangka pendek. Harga saham yang mempunyai daya volatilitas tinggi, dapat berubah sewaktu-waktu dan sulit untuk diprediksi. Stock price volatility merupakan resiko sistemik yang dihadapi oleh investor (Guo, 2002). Dari hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin besar volatilitas, semakin besar pula keuntungan atau kerugian dalam jangka waktu yang singkat (Khaled, 2011).

Return Indeks Saham dan Volatilitas Indeks Saham (skripsi dan tesis)

 Kegiatan perdagangan saham yang dilakukan oleh para investor, memiliki maksud untuk memperoleh return yang lebih tinggi. Return yang lebih tinggi tersebut dapat diperoleh dari pembelian ataupun penjualan saham yang tepat. Suatu saham yang dinilai akan memberikan return yang baik, akan banyak dicari oleh para investor, dengan demikian harga dari saham tersebut akan semakin meningkat. Kenaikan atau penurunan harga dari suatu saham didasari oleh return yang akan diperoleh dari saham tersebut. Tingginya return dari suatu saham akan menyebabkan meningkatnya harga dari saham tersebut, sebaliknya akan semakin rendah harga saham itu apabila return yang diperoleh juga rendah

Volume Perdagangan Indeks Saham dan Volatilitas Indeks Saham (skripsi dan tesis)

 Terdapat tiga teori yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan adanya hubungan antara volume perdagangan saham dengan volatilitas harga saham. Pertama, mixture of distribution hypothesis, yang mengasumsikan bahwa perubahan harga per transaksi berhubungan secara monoton dengan volume transaksi yang bersangkutan. Keduanya berhubungan dengan aliran informasi yang masuk sehingga menimbulkan hubungan antara volume dan pergerakan harga (mixing variable). Kedua, difference in opinion model, yang mengemukakan apabila informasi publik berubah dari menguntungkan menjadi tidak menguntungkan atau sebaliknya, maka investor mempunyai keyakinan yang berbeda mengenai nilai saham sehingga menimbulkan transaksi perdagangan. Ketiga, asymmetric information model, yang mengemukakan bahwa investor yang berinformasi (informed investor) akan melakukan transaksi berdasarkan informasi privat yang diperolehnya. Karena itu, semakin banyak transaksi yang dilakukan investor, semakin tinggi pula volatilitas harga saham dikarenakan munculnya informasi privat. (Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia dan Perekonomian Dunia, 2011) Berbagai penelitian membuktikan bahwa volume perdagangan berpengaruh signifikan tehadap volatilitas harga saham, misalnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Chan dan Fong (2000) menemukan bahwa volume perdagangan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap harga saham. Temuan serupa juga ditunjukkan oleh Chen et al. (2001) yang menganalisis indeks saham di sembilan negara. Studi tersebut menunjukkan bahwa volatilitas indeks saham memiliki keterkaitan yang positif dan signifikan dengan volume perdagangan

Volume Perdagangan Indeks Saham dan Return Indeks Saham (skripsi dan tesis)

Kegiatan perdagangan saham dapat dilihat melalui indikator aktifitas volume perdagangan (trading volume activity) (Suad, 1998). Kegiatan volume perdagangan yang sangat tinggi di bursa akan ditafsirkan sebagai tanda pasar akan membaik. Peningkatan volume perdagangan dibarengi dengan peningkatan harga saham merupakan gejala yang makin kuat akan kondisi bullish (Suad, 1998). Teori likuiditas menyatakan bahwa pengurangan dalam likuiditas saham akan mempengaruhi pengurangan dalam harga saham juga (Amihud, et al, 2005). Likuiditas diartikan sebagai kemudahan untuk melakukakan transaksi dalam sekuritas. Semakin likuid suatu sekuritas dapat diartikan semakin besar volume perdagangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketika volume perdagangan mengalami kenaikan, maka harga saham juga akan mengalami kenaikan. Kenaikan atau penurunan harga saham akan mempengaruhi return saham, apabila harga saham naik, return saham akan mengalami kenaikan. Begitu juga sebaliknya, ketika volume perdagangan menurun, maka harga saham akan mengalami penurunan dan berdampak terhadap penurunan return saham. Penelitian yang dilakukan oleh Fuadi (2009) menunjukan bahwa volume perdagangan mempunyai pengaruh positif terhadap return saham. Hal ini diperkuat pada hasil penelitian dari Kant (2011), Le Quang Tiep dan Mustafa Mehmed (2009), Pathirawasam (2009), Mubarik dan Javid (2009), Medeiros dan Doornik (2008). yang menyimpulkan bahwa volume perdagangan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap return saham.

Return Indeks Saham dan Volume Perdagangan Indeks Saham (skripsi dan tesis)

Teori permintaan aset menyebutkan bahwa jumlah permintaan suatu asset berhubungan positif dengan perkiraan imbal hasil aset alternatif (Mishkin, 2008). Hal ini dapat diartikan bahwa ketika harga saham diperkirakan akan mengalami kenaikan yang menyebabkan kenaikan return saham, maka volume perdagangan juga akan mengalami kenaikan. 35 Penelitian yang dilakukan oleh Ravichandran dan Bose (2012) menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara return saham dan volume perdagangan. Hal ini juga diperkuat dalam penelitian yang dilakukan oleh Ravi Kant (2011), Mubarik dan Javid (2009), Medeiros dan Doornik (2008) yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara return saham dan volume perdagangan

Seasonal Volatility (Skripsi dan tesis)

 Komoditas pertanian tertentu seperti jagung, kacang, kedelai dan gandum sangat sensitif terhadap faktor-faktor volatilitas yang muncul dari kondisi cuaca musim yang jelek, Oleh karena itu berdasarkan faktor-faktor tersebut seseorang harus menetapkan volatilitas yang tinggi pada masamasa tersebut.

Forecast Volatility (skripsi dan tesis)

Seperti halnya terdapat jasa yang berusaha meramalkan pergerakan arah masa depan harga suatu kontrak demikian juga terdapat jasa yang berusaha meramalkan volatilitas masa depan suatu kontrak. Peramalan bisa jadi untuk suatu periode, tetapi biasanya mencakup periode yang identik dengan sisa masa option dari underlying contract

Historical Volatility (skripsi dan tesis)

 Masa depan dapat diprediksi dengan mempelajari masa lalu. Hal ini dilakukan dengan membuat suatu permodelan dengan teori pricing berdasarkan data masa lalu untuk meramalkan volatilitas pada masa yang akan datang. Terdapat bermacam-macam pilihan dalam menghitung historical volatility, namun sebagian besar metode bergantung pada pemilihan dua paremeter, yaitu periode historis dimana volatilitas akan dihitung, dan interval waktu antara perubahan harga. Periode historis dapat berupa jadi empat belas hari, enam bulan, lima tahun, atau lainnya. Interval waktu dapat berupa harian, mingguan, bulanan, atau lainnya. Future volatility dan historical volatility terkadang disebut sebagai realized volatility

Future Volatility (skripsi dan tesis)

 Future volatility adalah apa yang hendak diketahui oleh para pemain dalam pasar keuangan (trader). Volatilitas yang paling baik adalah yang mampu menggambarkan penyebaran harga di masa yang akan datang untuk suatu undelying contract. Secara teori angka tersebut merupakan yang kita maksud ketika kita membicarakan input volatilitas ke dalam model teori pricing. Trader jarang membicarakan future volatily karena masa depan tidak mungkin diketahui.

Volatilitas Indeks Saham (skripsi dan tesis)

 Dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Napitupulu dan Syahyunan, (2012), dikatakan bahwa volatilitas merupakan ukuran terhadap sebaran/dispersi di sekitar rata-rata hasil dari sebuah sekuritas. Satu cara untuk mengukur volatilitas adalah dengan menggunakan standar deviasi, yang akan menjelaskan seberapa ketat harga suatu saham dapat dikelompokkan di seputar rata-rata (mean) atau rata-rata bergerak (moving average/MA). Ketika harga-harga bergerak sangat ketat dalam satu gerombolan, standar deviasinya sangat kecil. Ketika pergerakan harga sangat tersebar, standar deviasi akan relatif besar. Volatilitas dari suatu saham atau indeks saham sangat penting untuk dipahami oleh para investor. Itu dimaksudkan untuk meminimalisir resiko yang akan dihadapi. Semakin tinggi tingkat volatilitas, semakin tinggi pula tingkat ketidakpastian dari imbal hasil (return) saham yang dapat diperoleh. Salah satu  dari sepuluh prinsip manajemen keuangan menyatakan bahwa investor tidak akan mau mengambil risiko yang lebih tinggi kecuali apabila dapat memperoleh kompensasi berupa return yang lebih tinggi (high risk, high return) (Keown et al., 2003). Menurut Schwert dan W. Smith, Jr (1992) dalam terdapat lima jenis volatilitas dalam pasar keuangan, yaitu future volatility, historical volatility, forecast volatility, implied volatility, dan seasonal volatility.

Return Saham dan Indeks Saham (skripsi dan tesis)

 Return merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan investasi. Return saham adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atas suatu investasi yang dilakukannya (Ang, 1997). Setiap investasi baik jangka panjang  maupun jangka pendek mempunyai tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan yang disebut return, baik langsung maupun tidak langsung (Ang, 1997). Penghitungan return saham (total return) terdiri dari capital gain (loss) dan yield (Jogiyanto, 2009). Capital gain (loss) merupakan selisih untung (rugi) dari harga investasi sekarang relatif dengan harga periode yang lalu. Pendapatan yang berasal dari capital gain disebabkan harga jual saham lebih besar dari harga belinya. Sebaliknya jika harga jual saham lebih kecil dari harga beli disebut capital loss. Sedangkan yield (dividen) merupakan presentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi periode tertentu dari suatu investasi. Besarnya dividen yang dibagikan tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh badan usaha dan kebijakan pembagian dividen.

Indeks Saham Beberapa Negara (skripsi dan tesis)

Penjelasan secara ringkas mengenai indeks saham dari masing-masing negara yang akan dijadikan obyek penelitian, yang dikutip dari situs Bloomberg:
1. Bombay Stock Exchange Sensitive Index (BSE SENSEX) BSE SENSEX merupakan indeks saham gabungan yang mewakili negara India, indeks ini terdiri dari 50 perusahaan yang mewakili 24 sektor. Pada awalnya mulai diperdagangkan dengan nilai dasar 1000 pada tanggal 3 November 1995. Namun Pada bulan Januari 2005, nilainya meningkat hampir menjadi 2.000.
 2. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indeks Harga Saham Gabungan atau biasa disingkat IHSG, disebut juga Jakarta Composite Index, JCI, atau JSX Composite merupakan salah satu indeks pasar saham yang digunakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI; dahulu Bursa Efek Jakarta (BEJ). Diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April 1983, sebagai indikator pergerakan harga saham di BEJ, Indeks ini mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di BEI. Hari Dasar untuk perhitungan IHSG adalah tanggal 10 Agustus 1982. 
 3. Kuala Lumpur Composite Index (KLSE) KLSE merupakan indeks saham gabungan yang mewakili negara Malaysia, yang terdiri dari 30 saham dari perusahaan-perusahaan terbesar di Malaysia. Indeks ini mulai dijual pada tahun 1994. 
4. Korean Composite Stock Price Index (KOSPI) KOSPI merupakan indeks saham utama Korea Selatan yang dihitung memakai metode value weighted. Indeks Kospi menggunakan sampel seluruh saham yang tercatat di bursa saham Korea Selatan. Indeks ini dihitung berdasarkan nilai dasar 100 pada tanggal 4 Januari 1980 5. Philippines Stock Exchange Index (PSEI) PSEI Index merupakan indeks dari negara Filipina. Indeks ini mulai diperdagangkan pada tanggal 28 Februari, 1990. Kemudian pada tanggal 4 Maret tahun 2006 dilakukan Free-Float Adjusted, dan pembagian berdasarkan industry mulai efektif. Sebelumnya indeks saham ini bernama PSE Composite.
 6. The Straits Times Index ( STI) The Straits Times Index adalah indeks saham gabungan yang mewakili negara Singapura yang didasarkan capitalization weighted index dari 30 perusahaan perwakilan tercatat di bursa efek Singapura. Mulai diperdagangkan pada 31 Agustus 1998 19
 7. Stock Exchange Thailand (SETI) SETI adalah indeks saham gabungan yang mewakili negara Thailand, diperkenalkan pertama kali pada tanggal 30 April tahun 1975. Indeks ini dihitung berdasarkan nilai dasar 100.
 8. Shenzhen Composite Index (SSE) Shenzhen Composite Index adalah indeks saham yang mewakili negara China, Indeks ini mulai diperdagangkan pada tanggal 3 April 1991 dengan harga dasar 100. 9. Tokyo Price Index (TOPIX) TOPIX merupakan indeks saham gabungan yang mewakili negara Jepang, indeks ini terdiri dari 33 sektor industry yang pada awalnya mulai diperdagangkan dengan nilai dasar 100 pada 4 Januari 1968. 
10. Taiwan Stock Exchange Weighted Index (TAIEX/TWII) TAIEX atau juga disebut TWII, adalah indeks harga saham gabungan dari seluruh saham biasa yang tercatat dan diperdagangkan di Bursa Efek Taiwan. Indeks ini diperdagangkan mulai pada tahun 1966. 

Indeks Harga Saham Gabungan (skripsi dan tesis)

 Indeks harga saham gabungan suatu rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga saham gabungan, sampai tanggal tertentu. Indeks harga saham gabungan mencerminkan suatu nilai yang berfungsi sebagai pengukuran kinerja suatu saham gabungan di bursa efek (Sunariyah, 2006). Ada 3 cara pembobotan yang bisa digunakan untuk penentuan metode hitungan indeks pasar (Bodie, Kane dan Marcus, 2006 : hal 63) : 1. Berdasarkan harga (tertimbang berdasarkan harga atau price-weighted) 2. Berdasarkan nilai kapitalisasi pasar ( tertimbang berdasarkan nilai atau market value-weighted). 17 3. Tidak tertimbang atau berbobot sama ( unweighted atau equal-weights)

Indeks Harga Saham Individual (skripsi dan tesis)

 Indeks Harga Saham Individual menggambarkan suatu rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga masing-masing saham, sampai pada tanggal tertentu. Indeks harga saham individu hanya menunjukan perubahan dari suatu harga saham suatu perusahaan. Harga dasar sering disebut Ho dan harga yang berlaku sering disebut dengan Ht . Harga dasar ditetapkan sebesar 100%. Secara sederhana rumus untuk menghitung indeks harga saham adalah berikut ini. 
HIS = ( Ht/Ho)x 100% 
Keterangan: IHS = Indeks harga saham Ht = Harga pada waktu yang berlaku Ho = Harga pada waktu dasar 
 Pergerakan nilai indeks akan menunjukan perubahan situasi pasar yang terjadi. Pasar yang sedang bergairah atau terjadi transaksi yang aktif, ditunjukan dengan indeks harga saham yang mengalami kenaikan. Kondisi ini yang biasanya menunjukan keadaan yang diinginkan. Keadaan stabil ditunjukan dengan indeks harga saham yang tetap, sedangkan pasar yang lesu ditunjukan dengan indeks harga saham yang mengalami penurunan. Indeks saham individual tidak akan berubah jika harga pasar saham tersebut tidak berubah. Hal ini disebabkan karena harga dasar bersifat tetap. Besarnya harga dasar ini akan tetap, sepanjang tidak ada perubahan harga pasar akibat dari harga teoritis baru suatu saham sebagai hasil perhitungan dari pengaruh aksi emiten seperti,rights issue,stock split, saham bonus, dividen saham, warrant redeption, dan sebagainya (Ang,1997)

Sunday, March 29, 2020

Likuiditas (skripsi dan tesis)

 Rasio likuiditas digambarkan mampu mengukur sejauh mana kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, sehingga bila ditagih perusahaan mampu membayar utang terutama utang jatuh tempo. Kewajiban jangka pendek perusahaan berupa gaji karyawan, gaji teknisi, gaji lembur, tagihan telepon, dsb. Apabila perusahaan mampu melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan tuntas maka potensi perusahaan mengalami financial distress akan semakin kecil menurut Fed Weston (dalam Kasmir 2008). Rasio likuiditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah current ratio. Current ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai metode untuk mengukur tingkat keamanan (margin of safety) suatu perusahaan (Kasmir, 2008). Menurut rasio likuiditas untuk perusahaan dapat dinilai aman adalah 2, artinya jika perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp 1, maka perusahaan barus juga mempunyai aset lancar minimal sejumlah Rp 2, dari rasio ini dapat diperoleh pandangan tentang solvabilitas kas pada saat ini dan kemampuan perusahaan untuk tetap mempertahankan solvabilitasnya. Rasio solvabilitas yang kurang bsik dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap solvabilitas perusahaan. Rasio likuiditas mengukur keefektifan perusahaan dalam menggunakan aset yang dimilikinya untuk mememnuhi kewajiban – kewajiban jangka pendek perusahaan.

Financial Indicators (skripsi dan tesis)

Financial Indicators dapat dikatakan sebagagai indikator kinerja keuangan perusahaan merupakan hasil atau kondisi keuangan suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan untuk suatu periode tertentu yang disajikan di dalam laporan keuangan perusahaan (Jiming dan Wei Wei, 2011). Menurut teori manajemen keuangan financial indicators dapat menggabungakan aset dan kewajiban melalui laporan laba rugi dan arus kas selain itu dapat menghilangkan efek skala perusahaan dan perbedaan industri pada penelitian Jiming dan Wei Wei, 2011 menggunakan  indikator yaitu: 1. Indikator solvabilitas meliputi solvabilitas jangka panjang dan solvabilitas jangka pendek indikator tersebut untuk mengkur keadaan perusahaan yang meliputi rasio likuiditas, current rasio, quick rasio, cash to current liability ratio, equity rario, debt asset rasio, debt equity ratio, agregat dan penutupan bunga. 2. Indikator profitabilitas merupakan sebagai pusat dari sistem keuangan. Indikator profitabilitas dapat mencerminkan profitabilitas perusahaan meliputi laba kotor bisnis utama, laba bersih dari bisnis utama, ratio of return on total assets, total accruals to total assets dan rate of return. 3. Indikator kapasitas operasi mencerminkan efisiensi operasional perusahaan meliputi perputaran piutang, perputaran persediaan, dan perputaran total aset. 4. Indikator pertumbuhan mencerminkan tingkat pertumbuhan pendapatan bisnis utama tingkat pertumbuhan laba operasi, tingkat pertumbuhan laba bersih, tingkat pertumbuhan total aset dan tingkat pertumbuhan bersih aset. 5. Indikator arus kas mencerminkan peran arus kas meliputi tingkat penjualan tunai, arus kas bersih, dari aktivitas operasi setiap saham dan arus kas masuk dan keluar dari aktivitas operasi. Indikator keuangan yang disebutkan diatas merupakan pilihan untuk melihat perusahaan pengalami financial distress sehingga dalam penelitain ini memilih variabel penelitian yaitu likuiditas, leverage, operating capacity

Financial Distres (skripsi dan tesis)

Financial distres adalah keadaan dimana keuangan perusahaan sedang mengalami kesulitan atau keadaan tidak sehat. Financial distress yaitu tahapan penurunan kondisi keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Financial distress dimulai dengan ketidak mampuan memenuhi kewajibankewajibannya, terutama kewajiban jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas, dan merupakan kewajiban dalam kategori solvabilitas menurut Plat dan Plat (dalam Fahmi 2013:158). Financial distress adalah suatu masalah keuangan yang dapat dihadapi perusahaan yang memiliki beberapa tahapan (dalam Febriani 2010:196). Tahapan kebangkrutan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Latency. pada tahap latency, Return on Assets (ROA) akan mengalami penurunan. 
2. Shortage of Cash. Dalam tahap kekurangan kas, perusahaan kekurangan sumber daya kas untuk memnuhi kewajiban saat ini, meskipun masih mungkin memiliki tingkat profitabilitas yang kuat
 3. Financial Distres. Kesulitan keuangan dapat dianggap sebagai keadaan darurat keuangan, dimana kondisi ini mendekati kebangkrutan. 
4. Bankrupcy. Jika perusahaan tidak dapat menyembuhkan gejala kesulitan keuangan (financial distress), maka perusahaan akan bangkrut. Menurut Lizal (dalam Febrina 2010:197) mengelompokkan penyebab kesulitan keuangan, yang disebut dengan model dasar kebangkrutan atau trinitas penyebab kesulitan keuangan. 
Terdapat penyebab utama perusahaan mengalami fianancial distress dan kemudian bangkrut yaitu: 
1. Neoclassical model Financial distress dan kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat. Manajemen yang kurang bisa mengalokasi sumber daya (aset) yang ada diperusahaan untuk kegiatan operasional perusahaan. 
2. Financial model Perpaduan aset benar tetapi menyusun struktur keuangan salah dengan liquidity constrains. Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat bertahap hidup jangka panjang tapi harus bangkrut juga dalam jangka pendek. 
3. Corporate Gorvernance model Menurut model ini, kebangkrutan mempunyai campuran aset dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidak efisienan ini mendorong perusahaan menjadi Ollt of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam pengelolaan perusahaan yang tak terpecahkan. Pengukuran variabel financial distress menggunakan alat ukur interest coverage ratio (ICR) dimana fungsi rasio ini sebagai ukuran kemampuan perusahaan membayar bunga yang dimilikinya dan menghindari kebangrutan. Perusahaan yang memiliki ICR kurang dari 1 maka dianggap sedang mengalami financial distress sedangkan perusahaan tidak mengalami financial ditress harus memiliki ICR di atas 

Teori Keagenan (skripsi dan tesis)

Teori keagenan (agency theory) merupakan teori yang menjelaskan tentang adanya pemisahan kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan (Bodroastuti, 2009). Menurut teori keagenan, pemisahan ini dapat menyebabkan konflik. Terjadinya agency confict disebabkan pihak - pihak yang berhubungan yaitu principal (yang menyerahkan kontrak atau pemegang saham) dan agen (yang menerima kontrak dan mengelola dana principal) mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Apabila agen dan principal berupaya mengoptimalkan kepentingannya masing - masing, serta memiliki keinginan, motivasi dan tujuan yang berbeda, maka agen (manajemen) tidak selalu bertindak sesuai keinginan principal menurut Jensen dan Mecking (dalam Hanifah, 2013). Permasalahan yang muncul karena adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara agen dan principal disebut agency problem. Salah satu penyebab agency problem adalah adanya asymmetric information. Asymmetrc information adalah informasi yang tidak seimbang karena adannya distribusi informasi yang berbeda antara principal dan agen yang mengakibatkan masalah yaitu kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen (Emirzon,2007). Jensen dan Mecking (dalam Hanifah, 2013) menyatakan permasalahan adalah: 1. Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja. 2. Adverse selection, yaitu keadaan dimana principal tidak dapat memehami apakah suatu keputusan diambil oleh agen benar didasakan atas informasi yang telah diperolehnya atau terjadinya sebagai sebuah kelalaian tugas. Dengan demikian perlu suatu mekanisme pengendalian yang dapat menyatukan perbedaan yaitu good corporate governance. Good corporate governance adalah sistem antisipasi agar tidak terjadi konflik atau antara pihak agen dan principal yang berdampak pada penurunan agency cost (Bondroastuti,2009)

Pengaruh Merger dan Akuisisi Terhadap Kinerja Keuangan

Peningkatan kinerja keuangan perusahaan setelah merger dan akuisisi yang diukur menggunakan ROE dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kadek dan Made (2013). Selain penelitian tersebut peningkatan ROE setelah peristiwa akuisisi juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Fuji dan Ardi (2012) pada perusahaan yang pengakuisisi. Jurnal Internasional yang disusun oleh Mahesh dan Daddikar (2012) yang melakukan penelitian tentang peningkatan kinerja pasca merger menunjukan bahwa kinerja keuangan yang diukur mengguanakan rasio ROE mengalami peningkatan yang signifikan setalah peristiwa merger. Pengaruh merger dan akuisisi tehadap peningkatan kinerja keuangan yang diukur menggunakan ROI dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Hamidah dan 20 Manasye (2013). Selain penelitian di atas. penelitian yang dilakukan oleh Fuji dan Ardi (2012) juga mengungkap adanya peningkatan kinerja keuangan pasca merger yang diukur menggunakan rasio keuangan ROI. Total Assets Turnover (TATO) mengalami peningkatan pasca merger dan akuisisi dilakukan tercermin pada penelitian yang dilakukan oleh Fuji dan Ardi (2012). Selain ROE. ROI. dan TATO yang dijadikan rasio untuk mengukur kinerja keuangan pada penelitian ini juga ditambahkan Debt to Total Equity (DTE) sebagai rasio hutang yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perushaan. Meurut Sawir Agnes (2009:13) Debt Ratio adalah sejauh mana hutang sebuah perushaan dapat ditutup oleh aktiva yang dimiliki. Penelitian terdahulu yang menggunakan DTE sebagai variabel penelitian adalah penelitian Fuji dan Ardi (2012) sebagai alasan peneliti saat ini menggunakan DTE sebagai variabel penelitian.

Alasan Perusahaan melakukan Merger dan Akuisisi (skripsi dan tesis)

Menurut James C. Van Horne dan John M. Wachowicz (2013:364) bahwa alasan perusahaan melakukan merger dan akuisisi adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan Penjualan dan Operasional yang Ekonomis Peningkatan dalam penjualan serta pencapaian operasional yang ekonomis merupakan salah satu alasan perusahaan melakukan merger dan akuisisi. Peningkatan penjualan didapat setelah peristiwa merger dan akuisisi ini diharapkan dapat meningkatkan penjualan serta pemasaran yang lebih besar. Sementara operasional ekonomis tersebut yang dimaksud adalah penambahan teknologi serta  tenaga kerja yang dapat menghasilkan produk yang lebih banyak dalam waktu yang singkat. 2. Perbaikan Manajemen Banyak perusahaan yang bekerja dalam sebuah menejemen yang tidak efisien. maka diharapkan merger dan akuisisi dapat menjawab permasalahan tersebut. 3. Pengaruh Informasi Setelah peristiwa merger dan akuisisi diharapkan dapat memberikan sinyal-sinyal positif bagi investor. sehingga nilai pasar perusahaan bisa membaik setelah merger dan akuisisi. 4. Transfer Kesejahteraan Transfer kesejahteraan yang dimaksud adalah transfer kesejahteraan antara pemegang saham dengan pemilik utang. 5. Penghematan pajak Perusahaan melakukan akuisisi sebagai potensi memperoleh penghematan pajak. Salah satu sumber penghematan pajak adalah untuk meningkatkan debt capacity. Apabila penggabungan perusahaan menyebabkan kombinasi perusahaan tersebut mampu meminjam lebih besar tanpa harus meningkatkan biaya kebangkrutan. maka tambahan pinjaman tersebut akan mampu memberikan manfaat dalam bentuk tax savings. 6. Keuntungan Leverage Perubahan yang terjadi pada leverage keuangan perusahaan setelah peristiwa merger dan akuisisi diharapkan dapat menambah nila perusahaan yang tercermin pada kinerja keuangan.  7. Hipotesis Hubris Hubris menyatakan bahwa premi lebih yang dibayar untuk perusahaan target menguntungkan pemegang saham perusahaan yang diakuisisi. 8. Agenda Manajemen Pribadi Alasan terkhir perusahaan melakukan merger dan akuisisi ini merupakan ambisi pribadi manajemen dalam rangka menguasai pasar dengan melakukan penggabungan serta pembelian terhadap perusahaan lain.

Pengertian Merger dan Akuisisi (skripsi dan tesis)

Merger adalah salah satu strategi perusahaan dalam mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan. Merger berasal dari kata merger (latin) yang berarti bergabung. bersama. berkombinasi yang menyebabkan hilangnya identitas akibat penggabungan ini. Merger didefinisikan penggabungan usaha dari dua atau lebih perusahaan yang pada akhirnya bergabung kedalam salah satu perusahaan yang telah ada sebelumnya. sehingga menghilangkan salah satu nama perusahaan yang  melakukan merger. Dengan kata lain bahwa merger adalah kesepakatan dua atau lebih perusahaan untuk bergabung yang kemudian hanya ada satu perusahaan yang tetap hidup sebagai badan hukum. sementara yang lainnya menghentikan aktivitas atau bubar (Moin. 2010:15). Pihak yang masih hidup dalam atau yang menerima merger dinamakan surviving firm atau pihak yang mengeluarkan saham (issuing firm). Sementara itu perusahaan yang berhenti dan bubar setelah terjadinya merger dinamakan merged firm. Surviving firm dengan sendirinya memiliki ukuran yang semakin besar karena seluruh aset dan kewajiban dari merger firm dialihkan ke surviving firm. Perusahaan yang dimerger akan menanggalkan status hukumnya sebagai entitas yang terpisah dan setelah merger statusnya berubah menjadi bagian (unit bisnis) di bawah surviving firm. Dengan demikian merged firm tidak dapat bertindak hukum atas namanya sendiri.

Wednesday, March 25, 2020

Brand Association (skripsi dan tesis)


Aaker dalam Handayani, dkk (2010: 76), mendefinisikan brand association sebagai segala sesuatu yang terhubung di memori konsumen terhadap suatu merek. Schiffman dan Kanuk (2000: 111), menambahkan bahwa asosiasi merek yang positif mampu menciptakan citra merek yang 24 sesuai dengan keinginan konsumen, sehingga dapat menciptakan rasa percaya diri konsumen atas keputusan pembelian merek tersebut. Menurut Simamora (2003: 63), asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan tentang merek dalam ingatan. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004: 61), asosiasi merek merupakan segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Keller (2003: 731), secara konseptual membedakan tiga dimensi dari asosiasi merek, yaitu:
1) Strength (kekuatan) Kekuatan dari asosiasi merek tergantung dari banyaknya jumlah atau kuantitas dan kualitas informasi yang diterima oleh konsumen. Semakin dalam konsumen menerima informasi merek, semakin kuat asosiasi merek yang dimilikinya. Dua faktor yang memengaruhi kekuatan asosiasi merek yaitu hubungan personal dari informasi tersebut dan konsistensi informasi tersebut sepanjang waktu.
2) Favorability (kesukaan) Asosiasi merek yang disukai terbentuk oleh program pemasaran yang berjalan efektif mengantarkan produk-produknya menjadi produk yang disukai oleh konsumen.
 3) Uniqueness (keunikan) Asosiasi keunikan merek tercipta dari asosiasi kekuatan dan kesukaan yang membuat suatu merek menjadi lain daripada yang lain. Dengan adanya asosiasi unik dari suatu merek, akan tercipta keuntungan kompetitif dan alasan-alasan mengapa konsumen sebaiknya membeli merek tersebut. Asosiasi unik dirancang agar konsumen “tidak ada alasan untuk tidak” memilih merek tersebut. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asosiasi merek merupakan segala hal atau kesan yang ada di benak seseorang yang berkaitan dengan ingatannya mengenai suatu merek. Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengonsumsi atau menggunakan suatu merek atau dengan seringnya penampakkan merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain. Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna.
Menurut Durianto, dkk (2004: 69), asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut:
1) Atribut produk (product attributes) Atribut produk yang paling banyak digunakan dalam strategi positioning adalah mengasosiasikan suatu obyek dengan salah satu atau beberapa atribut atau karakteristik produk yang bermakna dan saling mendukung, sehingga asosiasi bisa secara langsung diterjemahkan dalam alasan untuk pembelian suatu produk.
 2) Atribut tak berwujud (intangibles attributes) Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, inovasi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang obyektif.
3) Manfaat bagi konsumen (customers benefits) Biasanya terdapat hubungan antara atribut produk dan manfaat bagi konsumen. Terdapat dua manfaat bagi konsumen, yaitu: (a) manfaat rasional (rational benefit), adalah manfaat yang berkaitan erat dengan suatu atribut produk dari produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional; (b) manfaat psikologis (psychological benefit), seringkali merupakan konsekuensi ekstrim dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut.
4) Harga relatif (relative price) Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga.
 5) Penggunaan (application) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.
 6) Pengguna/konsumen (user/customer) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pengguna atau konsumen dari produk tersebut.
7) Orang terkenal/khalayak (celebrity/person) Mengkaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut.
 8) Gaya hidup/kepribadian (lifestyle/personality) Sebuah merek bisa diilhami oleh para konsumen merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama.
9) Kelas produk (product class) Beberapa merek perlu membuat keputusan positioning yang menentukan dan melibatkan asosiasi-asosiasi kelas produk.
 10) Para pesaing (competitors) Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing.
 11) Negara/wilayah geografis (country/geographic area) Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan.
Pada umumnya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand image-nya) menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitas pada merek tersebut. Dalam prakteknya, didapati banyak sekali kemungkinan asosiasi dan varian dari asosiasi merek yang dapat memberikan nilai bagi suatu merek, dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna.
Menurut Simamora (2003: 82) antara lain: 1) Proses penyusunan informasi Asosiasi-asosiasi dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para konsumen. 2) Pembedaan Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain. 3) Alasan untuk membeli Asosiasi merek yang berhubungan dengan atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang dapat pembeli untuk menggunakan merek tersebut. 4) Menciptakan sikap atau perasaan positif Asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merambat pada merek yang bersangkutan.  5) Landasan untuk perluasan Asosiasi dapat menjadi dasar perluasan sebuah merek dengan menciptakan kesan kesesuaian antara merek tersebut dan produk baru perusahaan

Brand Awareness (skripsi dan tesis)


 Aaker dalam Handayani, dkk (2010: 62), mendefinisikan kesadaran merek adalah kemampuan dari konsumen potensial untuk mengenali atau mengingat bahwa suatu merek termasuk ke dalam kategori produk tertentu. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004: 30), brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan elemen ekuitas yang sangat penting bagi perusahaan karena kesadaran merek dapat berpengaruh secara langsung terhadap ekuitas merek. Apabila kesadaran konsumen terhadap merek rendah, maka dapat dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga akan rendah. Kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat merek suatu produk berbeda tergantung tingkat komunikasi merek atau persepsi konsumen terhadap merek produk yang ditawarkan.
 Berikut adalah tingkatan brand awareness yang dikemukakan oleh Handayani, dkk (2010: 65): 22 1) Unware of brand Pada tahapan ini, konsumen merasa ragu atau tidak yakin apakah sudah mengenal merek yang disebutkan atau belum. Tingkatan ini yang harus dihindarkan oleh perusahaan. 2) Brand recognition Pada tahapan ini, konsumen mampu mengidentifikasi merek yang disebutkan. 3) Brand recall Pada tahapan ini, konsumen mampu mengingat merek tanpa diberikan stimulus. 4) Top of mind Pada tahapan ini konsumen mengingat merek sebagai yang pertama kali muncul di pikiran saat berbicara mengenai kategori produk tertentu. Kesadaran merek akan sangat berpengaruh terhadap ekuitas suatu merek. Kesadaran merek akan memengaruhi persepsi dan tingkah laku seorang konsumen. Oleh karena itu meningkatkan kesadaran konsumen terhadap merek merupakan prioritas perusahaan untuk membangun ekuitas merek yang kuat. Durianto, dkk (2004: 57), mengungkapkan bahwa tingkat kesadaran konsumen terhadap suatu merek dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya sebagai berikut:
1) Suatu merek harus dapat menyampaikan pesan yang mudah diingat oleh para konsumen. Pesan yang disampaikan harus  berbeda dibandingkan merek lainnya. Selain itu pesan yang disampaikan harus memiliki hubungan dengan merek dan kategori produknya.
2) Perusahaan disarankan memakai jingle lagu dan slogan yang menarik agar merek lebih mudah diingat oleh konsumen.
 3) Simbol yang digunakan perusahaan sebaiknya memiliki hubungan dengan mereknya.
4) Perusahaan dapat menggunakan merek untuk melakukan perluasan produk, sehingga merek tersebut akan semakin diingat oleh konsumen.
 5) Perusahaan dapat memperkuat kesadaran merek melalui suatu isyarat yang sesuai dengan kategori produk, merek, atau keduanya.
6) Membentuk ingatan dalam pikiran konsumen akan lebih sulit dibandingkan dengan memperkenalkan suatu produk baru, sehingga perusahaan harus selalu melakukan pengulangan untuk meningkatkan ingatan konsumen terhadap merek.

Ekuitas Merek (skripsi dan tesis)


Menurut Kotler dan Keller (2009: 263), ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Ekuitas merek dapat tercermin dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak dalam hubungannya dengan merek, dan juga harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang diberikan merek bagi perusahaan. Menurut Durianto, dkk (2004: 61), ekuitas merek dapat memberikan nilai bagi perusahaan. Berikut adalah nilai ekuitas merek bagi perusahaan:
 a. Ekuitas merek yang kuat dapat membantu perusahaan dalam upaya menarik minat calon konsumen serta upaya untuk menjalin hubungan yang baik dengan para konsumen dan dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek.
b. Seluruh elemen ekuitas merek dapat memengaruhi keputusan pembelian konsumen karena ekuitas merek yang kuat akan mengurangi keinginan konsumen untuk berpindah ke merek lain.
 c. Konsumen yang memiliki loyalitas tinggi terhadap suatu merek tidak akan mudah untuk berpindah ke merek pesaing, walaupun pesaing telah melakukan inovasi produk.
d. Asosiasi merek akan berguna bagi perusahaan untuk melakukan evaluasi atas keputusan strategi perluasan merek.
e. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menentukan harga premium serta mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap promosi.
 f. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menghemat pengeluaran biaya pada saat perusahaan memutuskan untuk melakukan perluasan merek
. g. Ekuitas merek yang kuat akan menciptakan loyalitas saluran distribusi yang akan meningkatkan jumlah penjualan perusahaan.
h. Empat elemen inti ekuitas merek (brand awareness, brand association, perceived quality, dan brand loyalty) yang kuat dapat meningkatkan kekuatan elemen ekuitas merek lainnya seperti kepercayaan konsumen, dan lain-lain.
Aaker (1997: 23) mengungkapkan bahwa ekuitas merek menciptakan nilai baik pada perusahaan maupun pada konsumen. Pernyataan ini telah didukung oleh beberapa penelitian, diantaranya yang dilakukan oleh Smith (2007: 107), yang menyatakan bahwa ekuitas merek dapat menjadi pertimbangan perusahaan dalam melakukan merger atau akuisisi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lane (1995: 70), menyebutkan bahwa ekuitas  merek memengaruhi respon pada stock market. Ekuitas merek dapat menjaga harga premium dari suatu produk (Keller, 2003: 75), selain itu menurut Rangaswamy dalam Yoo (2000: 200), ekuitas merek juga dapat memengaruhi kelangsungan hidup sebuah merek. Ekuitas merek dapat diartikan dengan kekuatan dari sebuah merek. Menurut Morgan (2000: 76), dari sisi perusahaan, melalui merek yang kuat perusahaan dapat mengelola aset-aset mereka dengan baik, meningkatkan arus kas, memperluas pangsa pasar, menetapkan harga premium, mengurangi biaya promosi, meningkatkan penjualan, menjaga stabilitas, dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Sedangkan menurut Shoker (1994: 151), apabila dikaitkan dengan perspektif konsumen, ekuitas merek merupakan suatu bentuk respon atau tanggapan dari konsumen terhadap sebuah merek. Lebih lanjut, Lassar (1995: 15) mendefinisikan ekuitas merek sebagai bentuk peningkatan perceived utility dan nilai sebuah merek dikaitkan dengan suatu produk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek merupakan persepsi konsumen terhadap keistimewaan suatu merek dibandingkan dengan merek yang lain. Beberapa peneliti mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan indikator atau dimensi yang terdapat dalam ekuitas merek. Keller (2003: 56), menyebutkan pengetahuan merek (brand knowledge) yang terdiri atas kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (brand image) sebagai indikator dari ekuitas merek.
 Shocker dan Weitz dalam Gil (2007: 191), mengklasifikasikan dimensi ekuitas merek menjadi dua, yaitu citra merek (brand image) dan loyalitas merek (brand loyalty). Agarwal dan Rao dalam Gil (2007: 191), mengemukakan dua indikator utama pada ekuitas merek yaitu kualitas keseluruhan (overall quality) dan minat memilih (choice intention). Namun yang paling umum digunakan adalah pendapat Aaker (1997: 25), yaitu bahwa terdapat lima indikator atau dimensi utama pada ekuitas merek. Kelima indikator tersebut adalah kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand associations), mutu yang dirasakan (perceived quality), loyalitas merek (brand loyalty) dan aset-aset lain yang berkaitan dengan merek (other brand-related assets). Pada prakteknya, hanya empat dari kelima indikator tersebut yang digunakan pada penelitian-penelitian mengenai consumer-based brand equity, yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Hal ini dikarenakan aset-aset lain yang berkaitan dengan merek (seperti hak paten dan saluran distribusi), tidak berhubungan secara langsung dengan konsumen. Menurut Simamora (2003: 68), ekuitas merek tidak terjadi dengan sendirinya. Ekuitas merek dibangun oleh elemen-elemen ekuitas merek yang terdiri dari:
 a. Kesadaran merek (brand awareness).
b. Asosiasi merek (brand association).
c. Persepsi kualitas (perceived quality).
d. Loyalitas merek (brand loyalty).
 e. Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets), seperti hak paten, akses terhadap pasar, akses terhadap teknologi, akses terhadap sumber daya, dan lain-lain.
Menurut Durianto, dkk (2004: 4), empat elemen brand equity di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut.

Pengertian, Peranan dan Kegunaan Merek (skripsi dan tesis)


Melihat fenomena persaingan pemasaran yang terjadi, membuat para pemasar untuk mampu mencari, mengembangkan bahkan merebut pangsa pasar dari para pesaingnya. Selain mengandalkan produk yang dihasilkan dengan segala macam perbedaan dan keunggulannya, salah satu modal untuk memenangkan persaingan adalah dengan menggunakan merek (brand). Merek adalah sesuatu yang mudah dikenali dari sebuah produk. Melihat merek suatu produk membuat produsennya mudah dikenali. Dalam era globalisasi ini, peranan merek menjadi sangat penting karena perbedaan satu produk dari produk lainnya sangat tergantung pada merek yang ditampilkan. Selain itu, merek yang telah dipatenkan dapat membuat produk tersebut menjadi lebih terlindungi dari upaya pemalsuan dan pembajakan. Menurut UU Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat 1 (Tjiptono, 2005: 2), merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
 American Marketing Association (AMA) (Kotler, 2002: 215), mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek membedakan penjual, produsen atau produk dari penjual, produsen atau produk lain. Kotler dan Susanto (2001: 575), menyatakan bahwa merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Selanjutnya Aaker (1997: 9), menyatakan bahwa merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barang-barang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor.
Menurut Durianto, dkk (2004: 61), merek sangat penting atau berguna karena beberapa alasan sebagai berikut:
 a. Mengkosistenkan dan menstabilkan emosi konsumen.
b. Mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar.
 c. Mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen.
d. Berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen.
e. Memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian, karena konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang dibelinya dengan produk lain.
f. Dapat berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Menurut Kotler (2002: 460), merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena di dalamnya tercakup enam pengertian berikut:
a. Atribut Produk Merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
b. Manfaat Atribut perlu diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional. Konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk yang dibelinya.
 c. Nilai Merek menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
d. Budaya Merek mencerminkan budaya tertentu.
e. Kepribadian Merek mencerminkan kepribadian tertentu.
f. Pemakai Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut. 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai dua unsur, yaitu brand name yang terdiri dari huruf-huruf atau kata-kata yang dapat terbaca, serta brand mark yang berbentuk simbol, desain, selain berguna untuk membedakan satu produk dari produk pesaingnya juga berguna untuk mempermudah konsumen untuk mengenali dan mengidentifikasi barang atau jasa yang hendak dibeli.

Pengaruh Country of Origin terhadap keputusan pembelian ulang (Skripsi dan tesis)


 Menurut Kotler dan Keller (2018) menyebutkan bahwa persepsi Country Of Origin adalah asosiasi mental dan kepercayaan yang dipicu oleh suatu Negara. Pembeli memiliki perilaku dan keyakinan yang berbeda terhadap merek dari negara asalnya. Dalam penelitian Nurina Nadhifi Suria Andriani (2016), Jovita S. Dinata (2015) dan Lina Pileliene (2014) mengemukakan bahwa Country Of Origin terbukti mempengaruhi keputusan pembelian secara signifikan.

Pengaruh loyalitas merek terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis)


Konsep Loyalitas Merek dalam karya (Jacoby and Kyner, dalam Odin et al. 2001) menjelaskan tentang rangkaian tindakan konsumen dan mengemukakan enam poin yaitu non-random, Perilaku respon, Menyatakan dari waktu ke waktu, Unit pengambilan keputusan, terkait dengan satu atau lebih merek alternatif dari satu merek dan Fungsi dari proses psikologis. Dalam penelitian Adiati Hardjanti dan Yollanda Dwilova (2014), Beata Seinauskiene (2015), mengemukakan bahwa loyalitas merek berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian ulang

Pengaruh Kualitas Persepsian terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis)


Menurut Aaker (dalam Kartajaya, 2010) Kualitas Persepsian merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya. Persepsi terhadap kualitas menggambarkan perasaan konsumen yang secara menyeluruh tentang suatu merek. Dalam konsep perilaku konsumen persepsi terhadap kualitas dari seorang konsumen adalah hal yang sangat penting, produsen berlomba dengan berbagai macam gaya untuk dapat membuat suatu produk atau jasa yang bagus menurut konsumen (Kotler, 2018). Pada penelitian Reski Pratiwi (2015) dan Aditia Hardjanti (2014) mengungkapkan bahwa Kualitas Persepsian berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian ulang.

Pengaruh asosiasi merek terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis)


Menurut Tjiptono (2014), asosiasi merek adalah Semua hal yang berkaitan dengan ingatan terhadap sebuah merek. Brand association berkaitan erat dengan brand image, yang diartikan sebagai serangkaian asosiasi merek dengan makna tertentu. Asosiasi merek memiliki tingkat kekuatan tertentu dan seiring dengan bertambahnya pengalaman konsumsi atau eksposur dengan merek spesifik. Pada penelitian Dwi Nanda Putri Sirajudin (2016), Mila Azhari (2014). Pada penelitian tersebut menunjukkan berjalan sesuai dengan keinginan yang bisa membuat konsumen memiliki rasa puas dan melakukan keputusan pembelian ulang dan sulit untuk mengganti merek (Switching brand)

Pengaruh kesadaran merek terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis



Menurut Rossiter dan Percy dalam Mila (2014) konsep kesadaran merek yaitu kesanggupan konsumen untuk menentukan (mengenal atau mengingat) suatu merek yang cukup terperinci untuk melakukan pembelian. Kesadaran merek merupakan langkah pertama untuk setiap konsumen terhadap setiap produk atau merek baru yang ditawarkan melalui periklanan. Aspek paling penting dari brand awareness adalah wujud informasi dalam benak di tempat yang pertama. Dalam penelitian Noor Fajar Rizky Nugrahanto (2015) dan Mila Azhari (2014) yang menyatakan adanya pengaruh kesadaran merek terhadap keputusan pembelian ulang

Keputusan Pembelian Ulang (Repurchase Decision) (skripsi dan tesis)


 Pembelian ulang adalah dimana suatu produk dibeli ternyata memiliki kepuasan yan lebih dari merek sebelumnya, maka konsumen akhirnya memiliki keinginan untuk membeli lagi produk tersbut sesudah memiliki konsumen memiliki kesan yang baik dengan produk ataupun perusahaan. (Schiffman dan Kanuk dalam Lianda, 2009). Menurut Hawkins (2007) pembelian kembali sebagai suatu aktivitas membeli kembali yang dilakukan oleh konsumen terhadap suatu produk dengan merek yang sama tanpa diikuti oleh pertimbangan yang berarti terhadap produk tersebut. Terdapat dua hal yang dapat menyebabkan seseorang melakukan pembelian ulang suatu produk. Pertama, konsumen merasa puas dengan pembelian yang mereka lakukan. Kedua, pelanggan merasa tidak puas, tetapi mereka tetap melakukan pembelian kembali. Untuk kemungkinan kedua ini lazimnya dikarenakan mereka berpendapat bahwa biaya yang harus mereka habiskan untuk mencari, mengevaluasi, dan mengadopsi produk dengan merek lain (switching cost) terlalu tinggi. Menurut Kotler dan Amstrong (2018) terdapat dua faktor yang bisa mempengaruhi niat pembelian dan keputusan pembelian ulang. a. Faktor sikap orang lain, yaitu seseorang yang mempunyai arti penting dalam memberikan pemikirannya kepada seseorang, sehingga mungkin bisa mempengaruhi keputusan pembelian seseorang. b. Faktor situasional yang tidak diharapkan, yaitu konsumen mungkin membentuk niat pembelian berdasarkan faktor–faktor seperti pendapatannya, harga dan manfaat yang diharapkannya terhadap produk yang ingin dibeli, Tetapi kejadian yang tidak terduga bisa mengubah semuanya seperti ekonomi yang menurun, pesaing yang semakin banyak, pengaruh negatif seseorang dan lain-lain.

Negara Asal ( Country of Origin) (skripsi dan tesis)

 Kotler dan Keller (2018) menyebutkan bahwa persepsi Country Of Origin adalah asosiasi mental dan keyakinan yang dipicu oleh suatu Negara. Pembeli memiliki sikap dan keyakinan yang berbeda terhadap merek dari berbagai Negara. Tjiptono (2014) menyatakan bahwa Country Of Origin efek merupakan evaluasi yang dilakukan konsumen atas produk tidak hanya didasarkan pada daya tarik dan karakteristik fisik produk saja, tetapi negara yang memproduksinya. Negara asal merek (country of origin) didefinisikan sebagai suatu negara dimana suatu merek itu diproses/diproduksi (Ermawati, 2009). Sedangkan Johnson and Boon (2004) secara jelas mendefinisikan Negara asal merek sebagai negara tempat produksi atau perakitan yang diidentifikasikan sebagai label ”dibuat di” atau ”di produksi di”. Ronkainen (2001) bahkan menyebutkan bahwa Negara asal merek dipahami sebagai efek yang muncul dalam persepsi konsumen yang dipengaruhi oleh lokasi dimana suatu produk dihasilkan. Setiap produk atau merek yang ada di dunia ini pasti memiliki suatu Negara asal merek (Rosenbloom, 2012). Negara asal merek memililki suatu pengaruh terhadap ekuitas dari suatu merek melalui penciptaan asosiasi suatu merek terhadap negara asal suatu merek itu diproduksi (Rosenbloom, 2011). Ramayah (2011) mengatakan bahwa persepsi konsumen terhadap Negara asal merek dipengaruhi faktor system politik, kebudayaan dan keekonomian negara itu sendiri yang membuat seorang konsumen menjadi sensitif. Pengetahuan konsumen mengenai negara asal merek dari suatu merek didukung oleh faktorfaktor berikut ini (Maheswaran, 2000):
 a. Tingkat pendidikan konsumen,
Menurut Al-Sulaiti dan Baker (1998), semakin tinggi tingkat pendidikan, maka makin tinggi seseorang cenderung mempunyai wawasan lebih mengenai negara dan budaya lain, dan lebih menghargai aadanya perbedaan. Orang tersebut dapat lebih menerima produk-produk yang didatangkan dari luar negeri.
b. Kelas negara dan ekonomi,
Seseorang yang mempunyai kelas negara dan ekonomi yang tinggi diduga mempunyai sarana dan prasarana lebih untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, intensitas bepergian meningkat dan lebih terbuka dengan kultur lain. Hal tersebut menjadikan mereka lebih peka dan memperhatikan merek-merek internasional dan negara asal dari merek tersebut.
c. Level mempelajari budaya negara lain,
Bepergian ke luar negeri yang memiliki budaya yang beda merupakan suatu cara untuk mengetahui dan mempelajari budaya lain. Pada dasarnya, orang yang bepergian relatif lebih sadar dan mengamati budaya, produk dan ide-ide lain yang bukan dari daerah dimana orang tersebut berasal. Orang yang bepergian ke luar negeri, mempunyai pengetahuan terhadap merek-merek internasional dan Negara asal merek dari merek tersebut. Miranda (2012) menyimpulkan bahwa konsumen peduli tenang dari mana asal produk tersebut, bagaimana produk tersebut dibuat. Kedua faktor tersebut lalu dijadikan landasan seorang konsumen untuk mengevaluasi kualitas produk yang berakhir dengan pembelian. Dengan semakin banyaknya informasi yang dimiliki konsumen, maka efek dari negara asal akan semakin berkurang. Hal ini karena adanya rasionalitas konsumen akan kualitas suatu produk. Ketika konsumen hanya memiliki informasi lokasi produk itu dihasilkan, maka hanya itulah hal yang menjadi landasan konsumen berkeinginan untuk membeli suatu produk (Schweige, 2007). Negara asal berpengaruh terhadap keputusan beli juga bisa dikarenakan merek sudah mewakili negara asal. Di benak konsumen, merek sendiri sudah mewakili negara asal sehingga negara asal begitu diperhatikan lagi oleh konsumen. Banyak orang yang mengerti mengenai. Bagi konsumen negara asal begitu penting asalkan merek yang mereka gunakan terkenal dan terpercaya memiliki kualitas yang baik. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa negara asal berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian.

Loyalitas Merek (Brand Loyalty) (skripsi dan tesis)


Loyalitas merek memiliki hubungan antara konsumen dengan merek, yang dimana ukuran tersebut digunakan untuk memberikan sebuah gambaran bagaimana seorang kosumen pindah ke merek yang berbeda. Loyalitas merek menunjukkan sebauh relasi antara konsumen dengan merek yang dipilihnya harus diperhatikan dengan adanya pembelian kedua dan seterusnya yang dilakukan oleh konsumen. Menurut Mowen dalam Sengkey (2015), loyalitas berdasarkan pada perilaku pembelian yang terjadi pada suatu produk yang dihubungkan dengan adanya peningkatan jumlah pembelian. Konsep Loyalitas Merek dalam karya (Jacoby and Kyner, dalam Odin et al. 2001) menjelaskan tentang proses bagaimana konsumen memutuskan dan mengajukan usulan enam poin yaitu non-random, Perilaku respon, Menyatakan dari waktu ke waktu, Unit pengambilan keputusan, terkait dengan satu atau lebih merek alternatif dari satu merek dan Fungsi dari proses psikologis. Menurut Aaker (1997) loyalitas merek adalah suatu ukuran hubungan seorang konsumen terhadap sebuah merek. Ada beberapa pangkat atau lapisan dalam loyalitas merek :
a. Switches, pembeli tidak memiliki loyalitas, tidak minat pada merek perusahaan, berpindah-pindah, serta tidak lalai dalam memperhatikan perubahan terhadap harga.
 b. Habitual buyer, pembeli yang kepuasan terhadap produk, atau bersifat berulang, sehingga tidak mempunyai alasan untuk berpindah. Setidaknya tidak terjadi ketidakpuasan.
c. Satiesfied buyer, pembeli yang merasa terpuaskan, namun mereka menanggung biaya peralihan (switching cost), biaya dalam waktu, uang, atau risiko kinerja berkaitan dengan tindakan perpindahan merek.
 d. Likes the brand, pembeli yang benar – benar menyukai merek, memandang merek sebagai sahabat.
e. Committed buyer, konsumen yang loyal, mempunyai perasaan bangga dalam menjadi bagian dalam suatu merek.