Saturday, May 30, 2020

Proses Resiliensi (skripsi dan tesis)


Menurut O’Leary dan Ickovics dalam Carver (1998) terdapat empat pola proses yang dapat terjadi ketika individu mengalami kondisi yang menekan. Pertama adalah Succumbing, yaitu sebuah sikap mengalah atau menyerah terhadap tekanan hidup yang terjadi pada diri individu. Tahapan ini dapat terjadi ketika individu mengalami tantangan hidup yang terlalu besar dan sulit. Houlmes dan Rahe dalam Gunawan (2012) menyebutkan bahwa pada orangtua tunggal pasca kematian pasangan hidup memiliki tingkatan stres paling tinggi pada skala stres. Semakin tinggi tingkat skala stres menunjukkan bahwa sejauh mana permasalahan hidup yang dihadapi seorang individu. Houlmes dan Rahe dalam teknik rating scale tentang tingkatan stres menyatakan bahwa semakin mendekati angka 500 maka stres yang dialami individu sangatlah berat. Tidak jarang karena saking cepatnya permasalahan yang terjadi menyebabkan ketidakseimbangan dan ketidaksiapan untuk beradaptasi dengan keadaan dan menyebabkan sakit psikologis (Houlmes dan Rahe, dalam Gunawan, 2012).
Tahap kedua adalah Survival, yaitu individu mampu bertahan dari kondisi yang
menekan. Akan tetapi, beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, seperti mengalami perasaan-perasaan negatif, dan perilaku-perilaku negatif. Pada kehidupan awal memasuki orangtua tunggal fase ini adalah fase dimana individu mulai menyalahkan keadaan. Tidak jarang menyalahkan oranglain di luar diri Individu. Individu dituntut memiliki kemampuan analisis penyebab masalah yang baik untuk tetap mampu penyelesaian masalah yang sedang dihadapi tanpa menyalahkan pihak lain diluar kontrol individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Tahap ketiga adalah tahap recovery, yaitu tahap dimana individu berada pada
kondisi semula, kondisi sebelum mengalami tekanan hidup. Pada tahapan ini, individu mampu bangkit dan beradaptasi setelah terjadinya kondisi menekan. Pada fase ini individu mulai belajar mengenai cara mengatur emosi dan dorongan-dorongan dari luar agar tidak menganggu individu. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa sikap optimis adalah salah satu sikap yang mendorong individu lebih cepat untuk mencapai tahap recovery kembali seperti semula.
Tahap terakhir adalah Thriving, yaitu individu tidak hanya dapat kembali bangkit ke kondisi semula, namun dapat melampaui fungsi psikologis yang lebih baik. Pada tahapan ini, individu dapat berfungsi lebih baik daripada sebelum terjadinya kondisi traumatik. Nasution (2011) menyebutkan hal ini dengan istilah gaya pegas, setiap individu yang menghadapi trauma kehidupan yang dihadapinya akan memiliki daya pegas yang tinggi untuk menjalani tantangan hidup serupa di depannya.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Furqon (2013) dijelaskan bahwa pada kedua janda mengalami empat proses resiliensi yang sama dengan proses resiliensi yang diungkapkan oleh O’Leary dan Ickovics (dalam Carver, 1998) yaitu: 1. Succumbing yaitu kedua responden mengalami rasa tepuruk pasca meninggal suami, bahkan salah satu responden mengalami kesedihan dan depresi yang lama, 2. Survival yaitu kedua responden mampu bertahan dan mulai menerima kondisi ditinggal suami walaupun masih sulit mengembalikan diri ke kondisi emosi positif, 3. Recovery yaitu kedua responden seiring waktu mulai kembali pada fungsi psikologis dan emosi yang positif, 4. Thriving yaitu kedua responden dapat kembali beraktifitas untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan belajar dari pengalaman sebelumnya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan, dapat dirangkum bahwa terdapat empat proses yang dilalui oleh individu untuk dapat beresiliensi, yaitu menyerah terhadap tekanan hidup, kondisi bertahan meskipun beberapa fungsi psikologis mengalami kemunduran, kembali ke kondisi semula, dan berkembang pesat terkait dengan beberapa fungsi psikologis jauh lebih baik.

Aspek-Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek resiliensi pada individu, yaitu :
1. Pengendalian Emosi (Emotion Regulation)
Pengendalian emosi adalah kemampuan seseorang untuk tetap berada pada
keadaan tenang dan terkendali meskipun pada kondisi yang menekan. Kondisi yang menekan memiliki hubungan yang erat dengan emosi negatif. Individu yang kurang mampu mengendalikan emosi negatif dengan baik, maka akan cenderung tidak mampu dalam membina persahabatan dan mengalami kesulitan dalam bekerja (Reivich dan Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan ada dua buah keterampilan
untuk memudahkan individu mampu mengatur emosi yaitu tenang dan fokus. Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran individu dan mengurangi stres yang dialami oleh individu. Hal ini bukan berarti emosi harus selalu dikontrol dan tidak dapat diekspresikan, Reivich dan Shatte mengungkapkan mengekspresikan emosi baik negatif maupun positif adalah hal yang harus dilakukan. Mengekspresikan emosi secara tepat dan terkontrol merupakan ciri dari kemampuan resiliensi (Reivich dan Shatte,2002).
Gunawan (2012) mengungkapkan bahwa kemampuan mengendalikan emosi
negatif merupakan suatu hal yang penting untuk dimiliki individu. Hal ini
disebabkan jika emosi negatif dan destruktif semakin meningkat dan tidak
tersalurkan dengan bijak maka akan berdampak pada munculnya stres dan
penyakit-penyakit psikosomatis pada individu. Pada individu yang hidup sebagai orangtua tunggal, fase awal memasuki hidup sebagai orangtua tunggal adalah fase yang paling sulit untuk dihadapi (Heyman, 2010). Marah adalah emosi destruktif yang sering kali muncul ketika individu tidak dapat menerima keadaan hidup yang terjadi. Kemarahan dapat hadir akibat ketiadaaan pasangan hidup dan ketiadaan dukungan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi masalah (Heyman, 2010).
Ketika individu tidak mampu untuk mengontrol dan menyalurkan emosi negatif dalam diri dengan baik, maka dapat berdampak pada emosi yang meledak-ledak dan sulit untuk di kontrol (Gunawan, 2012). Emosi yang tidak terkontrol sering kali membuat hubungan individu dengan lingkungan menjadi kurang harmonis (Heyman, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan emosi yang baik adalah salah satu aspek penting untuk individu mencapai kemampuan resiliensi.
2. Pengendalian Dorongan (Impuls Control)
Pengaturan emosi dan pengendalian dorongan memiliki hubungan yang
erat, ketika individu memiliki faktor pengendalian dorongan yang tinggi maka
individu akan lebih mudah dalam pengaturan emosi. Kemampuan individu dalam mengatur dorongan penting untuk menjaga agar setiap prilaku yang dilakukan oleh individu masih dalam kontrol individu sendiri dan tidak lepas kendali (Reivich dan Shatte, 2002). Pengendalian dorongan meliputi kemampuan untuk mengendalikan keinginan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki pengendalian dorongan yang rendah maka akan lebih cepat untuk mengalami perubahan-perubahan emosi yang kemudian mengendalikan pikiran dan perilaku individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Gunawan (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
individu stres dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor stres dan faktor nonstres. Faktor stres adalah faktor yang muncul dari luar individu dan memberikan tekanan, seperti masalah hidup saat ini yang belum terselesaikan dan masalah dari masa lalu yang belum terselesaikan. Faktor nonstres adalah dorongan stres yang muncul dari konflik di dalam diri individu sendiri seperti motivasi, memori sakit, konflik di dalam diri, imprint, alter, kebiasaan menghukum diri sendiri dan ego stage (Gunawan, 2012).
Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa pengendalian dorongan
bermanfaat untuk memberikan kesempatan individu untuk berpikir mengenai
respon yang tepat tentang masalah yang dihadapi. Kemampuan untuk menunda dan berespon yang tepat yang tepat adalah salah satu ciri-ciri individu yang mampu mengendalikan dorongan. Ketidakmampuan individu untuk menyalurkan dorongan-dorongan penyebab stres dengan bijak dapat berdampak pada timbulnya emosi-emosi destruktif yang terpendam, emosi yang tidak terkontrol atau bahkan sakit-sakit psikosomatis (Gunawan, 2012).
Gunawan (2012) mengungkapkan juga bahwa sumber stres yang paling
sering dijumpai adalah pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan dan
masalah saat ini yang belum terselesaikan. Bagi individu yang menjadi orangtua tunggal dengan masalah perceraian dan kematian, dua sumber stres tersebut adalah sumber stres yang paling tinggi memiliki dampak bagi individu. Kemampuan untuk mengatur dorongan stres yang masuk serta penyaluran tekanan mental merupakan hal yang wajib untuk individu atur dengan baik agar sistem tubuh menjadi lebih seimbang (Gunawan, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengendalikan dorongan adalah salah satu aspek penting untuk individu yang menjadi orangtua tunggal mencapai kemampuan resiliensi.
3. Optimis (Optimist)
Individu yang mempunyai kemampuan resiliensi adalah individu yang
optimis. Optimis adalah kepercayaan pada diri bahwa segala sesuatu akan dapat berubah menjadi lebih baik, mempunyai harapan akan masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol kehidupan seperti apa yang individu inginkan (Reivich dan Shatte, 2002). Dalam resiliensi sikap optimis yang dimiliki adalah sikap optimis yang realistis, sehingga setiap sikap optimis dalam menghadapi keadaan selaras dengan usaha untuk merealisasikan (Reivich dan Shatte, 2002). Optimis sangat berhubungan sekali dengan self efficacy, semakin tinggi self efficacy seseorang maka sikap optimis akan semakin tinggi (Reivich dan Shatte, 2002).
Seligman (1991) mendefinisikan sifat optimis sebagai suatu sikap yang
mengharapkan hasil yang positif dalam menghadapi masalah, dan berharap untuk mengatasi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif. Seligman (1991) menjelaskan bahwa sikap optimis yang tinggi berasal dari dalam diri individu dan dukungan dari lingkungan yang membuat individu merasa dihargai. Chalkoun (2010) menyatakan hidup sebagai orangtua tunggal memiliki banyak gambaran negatif baik dari dalam ataupun dari lingkungan. Individu yang mampu untuk mengadopsi sikap positif dan optimis dalam kehidupan sehari-hari akan memiliki dampak hidup yang lebih bertenaga dan memiliki resiliensi yang tinggi (Chalkoun, 2010). Fakta ini menunjukkan bahwa sikap optimis adalah aspek penting bagi orangtua tunggal dalam beresiliensi.
4. Analisis Penyebab Masalah (Causal Analysis)
Analisis penyebab masalah adalah kemampuan untuk mengidentifikasi
penyebab dari sebuah peristiwa yang dialami oleh individu. Individu dapat menilai penyebab dari suatu permasalahan dan tidak secara langsung menyalahkan orang lain sebagai sumber masalah. Hal ini penting untuk menjaga diri individu tidak mengambil tindakan yang salah dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).
Seligman (1991) menyatakan bahwa pola pendekatan dalam analisis
penyebab masalah yang baik adalah ketika individu tidak berpikir bahwa setiap masalah selalu tidak dapat berubah dan hal tersebut mempengaruhi semua aspek hidup individu dengan buruk. Fleksibilitas dalam berpikir adalah ciri utama dari individu yang mampu mengembangkan kemampuan analisis masalah dengan baik (Reivich dan Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan analisis penyebab masalah yang baik maka akan mampu untuk fokus terhadap penyelesaian masalah yang sedang dihadapi tanpa menyalahkan pihak lain diluar kontrol individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Morisette (2014) mengungkapkan bahwa kemampuan untuk berpikir
fleksibel adalah salah satu kemampuan yang diperlukan oleh orangtua tunggal. Konflik-konflik yang hadir baik antara orangtua dan antara orangtua dengan anak menyebabkan kemampuan berpikir fleksibel penting agar individu dapat
beradaptasi dengan kreatif dan percaya diri untuk mengatasi masalah yang dihadapi (Morisette, 2014).
5. Empati (Empathy)
Empati merupakan sebuah kemampuan individu untuk turut merasa atau
mengidentifikasi diri dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan
orang lain atau kelompok lain. Ketika individu mampu mengembangkan
kemampuan empati, maka individu akan menjadi lebih mudah untuk keluar dari perasaan dan mengkondisikan diri dengan keadaan terutama yang berhubungan dengan orang lain. Kemampuan seseorang individu untuk menjadi empati terhadap orang lain menimbulkan hubungan sosial yang lebih positif. Individu yang kurang mampu mengembangkan kemampuan empati maka cenderung tidak peka terhadap perasaan orang lain dan rentan menimbulkan konflik (Reivich dan Shatte, 2002).
Kemampuan untuk empati juga diperlukan pada individu yang hidup
sebagai orangtua tunggal. Pickhardt (2006) mengungkapkan sikap empati pada orangtua tunggal bermanfaat agar individu mampu merasakan bahwa ada orang lain yang juga memiliki masalah sebagai orangtua tunggal. Perasaan kesamaan untuk orangtua tunggal adalah hal penting untuk tidak terjebak pada masalah yang sama berulang-ulang (Pickhardt, 2006). Individu yang mampu mengembangkan kemampuan untuk empati dengan baik maka tidak akan merasa sendiri dan mampu untuk lebih peka terhadap perasaan orang lain yang memiliki emosi yang berbedabeda (Reivich dan Shatte, 2002).
6. Efikasi Diri (Self-Efficacy)
Efikasi diri menggambarkan sebuah keyakinan bahwa individu dapat
memecahkan masalah dan dapat meraih kesuksesan. Individu yang memiliki
keyakinan untuk dapat memecahkan masalah akan muncul seperti seorang
pemimpin yang akan mampu mengarahkan diri dan tidak tergantung dengan
pendapat orang lain. Individu dengan efikasi diri tinggi cenderung mencoba-coba cara yang baru untuk mengatasi suatu permasalahan dan selalu percaya bahwa masalah yang dihadapi mampu untuk dilewati (Reivich dan Shatte,2002).
Priastuti (2011) mengungkapkan bahwa efikasi diri pada orangtua tunggal
dapat dilihat pada kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut dalam
menjalankan peran sebagai orangtua tunggal. Individu yang memiliki efikasi diri rendah maka akan cenderung mudah menyerah ketika mengalami kesulitan sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan tetap teguh menghadapi masalah apabila dihadapkan pada tugas sebagai orangtua tunggal yang sulit. Hal tersebut menunjukkan bahwa Individu yang menjadi orangtua tunggal dengan efikasi diri tinggi maka akan menunjukkan sikap akan terus berusaha keras mewujudkan harapan dan resilien dengan keadaan yang dialami (Priastuti, 2011).
7. Kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan (Reaching out)
Kemampuan meraih yang diinginkan merupakan kemampuan seseorang
untuk mencapai sesuatu kondisi yang diinginkan. Individu yang mampu untuk
memperbaiki dan mencapai keinginan yang dituju, maka akan memiliki aspek yang lebih positif. Individu yang gagal untuk mencapai keinginan adalah individu yang merasa takut gagal untuk mencoba sebuah keinginan sehingga resolusi keinginan tidak terealisasikan. Individu yang berhasil dengan keinginan adalah individu yang tidak takut gagal dan selalu bisa mengambil aspek positif dan pembelajaran dari setiap kegagalan dan keinginan yang tercapai (Reivich dan Shatte, 2002).
Indivara (2009) mengungkapkan bahwa ketika individu hidup sebagai
orangtua tunggal maka segala fokus diprioritaskan untuk anak. Keinginan pada orangtua tunggal yang utama adalah untuk menjaga agar kondisi anak dan diri untuk tetap tegar dan mampu bersyukur dalam menghadapi tekanan. Yuliawan (2014) mengungkapkan bahwa ketika seseorang mampu untuk mencapai keinginan maka hal tersebut akan menimbulkan emosi positif yang tinggi dan dapat digunakan untuk memancing emosi-emosi positif selanjutnya untuk timbul. Ketika individu sudah memiliki pilar sikap berpikir yang baik maka kegagalan tidak lagi dianggap sebagai kegagalan namun adalah sebuah pertanda ada kesalahan yang harus diperbaiki dari sebuah tindakan yang dilakukan (Yuliawan, 2014). Maka dari hal tersebut dapat dirangkum bahwa kemampuan untuk mencapai keinginan adalah hal penting bagi orangtua tunggal untuk beradaptasi dan bangkit terhadap keadaan.
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan mengenai aspek-aspek resiliensi dapat dilihat bahwa aspek-aspek dari resiliensi dibedakan kedalam tujuh aspek, yaitu pengendalian emosi, pengendalian dorongan, optimis, menganalisis penyebab masalah terkait dengan kemampuan mengidentifikasi masalah, empati, efikasi diri terkait dengan keyakinan bahwa individu dapat memecahkan masalah, dan kemampuan meraih sesuatu yang diinginkan.

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)


Resiliensi berasal dari bahasa latin “re-silere” yang memiliki makna bangkit kembali (Daveson, 2003). Grotberg (1999), menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan ataupun mengubah diri dari keadaan yang membuat individu mengalami kesengsaraan dalam hidup. Barnet (2001) menyebutkan bahwa resiliensi adalah sebuah kemampuan individu untuk mengatasi peristiwa yang tidak terduga hingga kemudian kembali pada kondisi semula. Lebih spesifik Barnet (2001) mengungkapkan bahwa kemampuan resiliensi juga memiliki makna sebagai suatu kemampuan untuk belajar dari kesalahan dan membentuk sebuah kondisi akhir yang lebih baik. Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk merespon secara yang sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan ataupun trauma. Resiliensi adalah kemampuan seorang individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan. Kemampuan ini sangat penting digunakan untuk mengelola stres dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mampu mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik maka akan lebih sukses menghadapi permasalahan hidup yang sedang dihadapi (Reivich dan Shatte, 2002).
Menurut Folke (2006) resiliensi adalah sebuah kemampuan untuk bertahan dan memunculkan inovasi-inovasi dalam melewati perubahan kehidupan. Zautra (2009) menjelaskan bahwa resiliensi juga dapat didefinisikan sebagai kesuksesan dalam 19 beradaptasi dalam menghadapi kesulitan. Menurut Kent terdapat tiga poin untuk mengidentifikasi resiliensi, yaitu adanya situasi yang negatif, kemampuan individu menghadapi, dan respon terhadap kondisi. Poin pertama mengenai adanya situasi yang negatif, berhubungan dengan kecenderungan sebuah kondisi negatif akan menimbulkan beberapa perubahan dalam fungsi psikologis individu seperti mengalami perubahan emosi, perubahan kinerja serta perubahan kesehatan mental atau fisik bagi individu. Poin kedua mengenai kemampuan individu dalam menghadapi, berhubungan dengan mampu atau tidaknya individu dalam menghadapi situasi yang menekan ketika pertama kali menghadapi kondisi yang menekan. Poin ketiga mengenai respon terhadap kondisi didefinisikan sebagai respon individu terhadap situasi yang menekan (Kent, 2011). Adanya kemampuan resiliensi pada setiap individu dalam kehidupan berkeluarga merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dikembangkan. Keluarga adalah fase penuh dengan penyesuaian akan perubahan baru dan tekanan kehidupan. Perubahan dan penyesuaian tersebut kian sulit apabila hubungan keluarga yang terbangun harus mengalami perpisahan. Walsh menyebutkan bahwa kehidupan individu yang mengalami perpisahan dalam perkawinan dan kemudian hidup sebagai orangtua tunggal mengalami dua kesulitan utama jika tidak mengembangkan kemampuan resiliensi dengan baik yaitu mengalami kekurangan dan kerusakan (Walsh, 2003). Coleman dan Ganog (2004) menyebutkan bahwa ada tiga perubahan dan penyesuaian yang perlu dilakukan pada keluarga dengan orangtua tunggal yaitu pada keadaan ekonomi yang berkurang, pembagian tugas dalam keluarga, dan dalam perawatan anak. Perempuan dalam keluarga juga membutuhkan pengembangan kemampuan resiliensi. Levine (2006) menjelaskan ketidakmampuan seseorang perempuan bereseliensi menyebabkan ganguan maladaptif pada diri seperti depresi 20 berkepanjangan. Hal yang tidak jauh berbeda juga juga dijelaskan McCallion & Toseland (1993) bahwa perempuan dalam keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus harus tetap menjaga suasana keluarga agar tetap positif karena orangtua adalah fokus keluarga dalam menguatkan perasaan yang memberdayakan Berdasarkan pemaparan tentang resiliensi dapat dirangkum bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan bangkit dari suatu kondisi yang penuh tekanan menuju kondisi semula ataupun lebih positif lagi. Individu yang mengembangkan kemampuan resiliensi yang baik maka akan lebih mudah untuk mengembalikan diri kepada kondisi semula dibandingkan individu yang tidak mengembangkan kemampuan resiliensi yang baik. Pada kehidupan orangtua tunggal kemampuan untuk mengembangkan resiliensi adalah hal yang penting agar individu dapat bangkit dari keadaan yang menekan dalam mengahadapi permasalahan sebagai orangtua tunggal.

Hubungan Internal Locus of Control dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)


Kehidupan sosial tidak pernah lepas dari kesukaran misalnya, hidup
penuh dengan kekecewaan, kegagalan, rintangan, kesengsaraan, kemunduran
hidup, frustrasi dan ketidakadilan. Keraguan diri dapat dengan cepat terbentuk
segera setelah mengalami hal-hal negatif seperti kegagalan. Hal yang terpenting adalah tidak perlu menimbulkan kesulitan dengan keraguan diri, hal tersebut adalah reaksi yang wajar atau alami, akan tetapi bagaimana kecepatan individu tersebut dapat pulih kembali, merasa yakin setelah mengalami kegagalan Bandura (dalam Ismail dan Yusuf, 2013).
Difabel fisik tentu saja dalam menjalankan kehidupan mempunyai
kendala, walaupun tidak sepenuhnya menghambat kegiatan dalam hidupnya.
Misalnya individu yang mengalami keterbatasan pendengaran ataupun
keterbatasan penglihatan tentu saja akan sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain, individu dengan keterbatasan fisik tentu saja akan sulit untuk melakukan kegiatan secara cepat seperti orang normal pada umumnya, tentu saja hal itu sangat menghambat seseorang penyandang tunadaksa dalam melakukan aktivitas. Kondisi yang sulit ini akan memaksa difabel fisik untuk bangkit dari situasi sulit itu, agar bisa keluar dari situasi sulit dan terus berjuang untuk menjalankan hidupnya kembali.
Resiliensi sangat diperlukan oleh individu untuk bisa keluar dari maslah
dan situasi sulit yang di hadapi. Munculnya resiliensi pada diri individu di
pengaruhi oleh banyak fakor misalnya faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor
budaya, faktor sosial dan ekonomi, faktor dukungan sosial, faktor religiusitas,
serta faktor kepribadian. Chugani (dalam Chairani dan dipayanti, 2006)
mengungkapkan salah satu faktor protektif internal yang berperan dalam
pembentukan resiliensi adalah locus of control.
Menurut Rooter (1966) locus of control dibedakan atas dua yakni
internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal adalah adalah individu yang percaya bahwa hasil yang ia dapat disebabkan oleh faktor dari luar dirinya serta keberuntungan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan kebahagiaan. Sedangkan individu yang memiliki locus of control internal memahami hasil yang ia peroleh tergantung pada seberapa besar usaha yang ia lakukan. Menurut Rahim (dalam Khan dkk, 2011) seseorang dengan internal
locus of control yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengatasi masalah
yang dihadapi secara fungsional dan lebih efektif. Individu dengan internal locus of control yang tinggi akan melihat bahwa ia mampu mengontrol perilakunya.
Iswati (dalam Jaya dan Rahmat, 2005) berpendapat bahwa secara konseptual
perbedaan kecenderungan locus of control internal dan eksternal akan
mempengaruhi ciri sifat dan kepribadian seseorang termasuk kemampuan
seseorang dalam bertahan dan mengatasi segala tekanan serta permasalahan
kehidupan. Perbedaan orientasi locus of control akan mempengaruhi perbedaan dalam penilaian terhadap situasi yang sedang dihadapi.
Locus of control dalam diri individu memiliki andil untuk menentukan
tinggi rendahnya kemampuan individu untuk bertahan, mengatasi segala tekanan dan permasalahan kehidupan dengan suatu hal yang positif sehingga tercapai suatu kesuksesan hidup. Individu yang mempunyai kemampuan locus of control akan lebih mudah membentuk resiliensi pada dirinya. Hal itu karena locus of control merupakan dasar dalam membangun keyakinan dan harapan untuk percaya bahwa individu bisa bangkit dari situasi sulit yang sedang di hadapi.

Penyebab Difabel Fisik (skripsi dan tesis)


Menurut France dan Koening (dalam Soemantri, 2006) kecacatan atau
difabel fisik disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
1) Faktor sebelum lahir
a. Pengaruh genetik (keturunan)
b. Trauma dan infeksi pada saat kehamilan
c. Usia ibu yang sudah lanjut saat melahirkan anak
d. Pendaharahan pada waktu kehamilan
e. Keguguran yang dialami ibu
2) Faktor saat kelahiran
a. Penggunaan alat bantu kelahiran (tang, tabung, vacum, dsb)
b. Obat bius
3) Faktor sesudah melahirkan
a. Infeksi
b. Trauma
c. Tumor
d. Kondisi-kondisi lainya
Soemantri (2006) berpendapat bahwa cacat tubuh atau difabel fisik
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1. Penyakit yang datang dari luar, misalnya kelumpuhan, akibat folio yang
biasa menyerang pada anak.
2. Kecelakaan yang dapat menyebabkan patah tulang. Kelumpuhan dan
sebagainya.
3. Cacat sejak lahir, anak yang memang sejak lahir sudah dihinggapi suatu
kecacatan. Contohnya tidak memiliki tangan, kaki, organ yang tidak
sempurna.
4. Cacat akibat obat-obatan yang dikonsumsi ibu saat masa kehamilan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa difabel fisik
dapat terjadi karena adanya faktor-faktor bawaan sejak lahir, penyakit ataupun
karena kecelakaan

Jenis Difabel Fisik (skripsi dan tesis)


Koening (dalam Praviasari dan Wardoyo, 2012) menjelaskan tentang tiga
golongan difabel fisik antara lain:
1. Difabel fisik ringan
Difabel fisik jenis ini pada umumnya hanya sedikit mengalami gangguan
mental dan kecerdasannya. Kelompok ini lebih disebabkan adanya
kelainan anggota tubuh seperti lumpuh, anggota tubuh berkurang
(buntung), dan cacat fisik.
2. Difabel fisik sedang
Difabel fisik yang termasuk dalam ketegori ini adalah tunadaksa akibat
cacat bawaan, cerebral palcy, tunamental yang disertai dengan turunnya
daya ingat.
3. Difabel fisik berat
Yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah akibat cerebral palcy berat
akibat infeksi. Pada umumnya individu yang terkena kecacatan ini,
kecerdasannya tergolong dalam tinggat debil, embesil, dan idiot.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis
difabel fisik yakni: ringan, sedang, dan berat

Pengertian Difabel Fisik (skripsi dan tesis)


Esherick (2009) berpendapat bahwa cacat fisik adalah kondisi yang
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan pengeliatan, pendengaran,
berjalan, berbicara, menaiki tangga, mengangkat, membawa, atau melakukan
aktivitas sehari-hari. Kesulitan ini membuat individu tidak bisa melakukan
aktivitas sehari-hari secara sempurna seperti yang dilakukan individu lain pada
umumnya.
Damayanti dan Rostiana (dalam Machdan dan Hartini 2012), difabel
fisik adalah kerusakan /kecacatan/ketidaknormalan pada tubuh seperti kelainan pada tulang atau gangguan pada otot dan sendi yang menyebabkan kurangnya kapasitas normal individu untuk bergerak dan melakukan aktivitas sehari-hari.
Akibat dari kecacatan yang dimiliki, individu tunadaksa menghadapi berbagai
masalah, baik dari segi emosi, sosial, dan bekerja. Karyana dan Widati (2013)
berpendapat bahwa difabel fisik adalah salah satu jenis anak berkebutuhan
khusus yang memiliki kelainan atau kecacatan pada fisiknya yaitu pada sistem
otot, tulang dan persendian akibat dari adanya penyakit, kecelakaan, bawaan
sejak lahir, dan kerusakan otak.
Astati (dalamVirlia dan Wijaya 2015), mendefenisikan difabel fisik
sebagai bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian
yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi,
mobilisasi, dan gangguan perkembangan. Difabel fisik/ketunadaksaan yaitu
individu yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan
persendian, karena kecelakaan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku, dan adaptasi sehingga mereka memerlukasn layanan informasi secara khusus menurut Aziz (2015).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian difabel
fisik adalah suatu jenis anak berkebutuhan khusus dengan kondisi dimana
individu mengalami kerusakan, kecacatan, atau ketidaknormalan pada tubuh
yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, dan
persepsi sehingga memerlukan layanan informasi khusus

Aspek- aspek Internal locus of control (skripsi dan tesis)


Levenson (dalam Chairani dan Dipayanti, 2012) membagi pusat kendali
(locus of control) kedalam tiga aspek yakni:
a. Aspek Internal (I)
Merupakan keyakinan bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidup individu
ditentukan dirinya sendiri.
20
b. Aspek powerfull others (P)
Merupakan keyakinan individu bahwa peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya ditentukan oleh orang lain.
c. Aspek chance (C)
Merupakan keyakinan seeorang bahwa peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya ditentukan oleh keberuntungan, nasib dan kesempatan.
Rotter (dalam Jaya dan Rahmat, 2005) mengklasifikasikan internal locus
of control kedalam tiga aspek, antara lain:
a. Kemampuan
Individu yang memiliki internal locus of control percaya pada kemampuan
yang ia miliki. Kesuksesan dan kegagalan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan yang ia miliki.
b. Minat
Individu yang memiliki internal locus of control memiliki minat yang
lebih besar terhadap kontrol perilaku, peristiwa dan tindakan individu
sendiri.
c. Usaha
Individu yang memiliki internal locus of control bersikap pantang
menyerah dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol
perilakunya.
Kutanis, Mesci, dan Ovdur (dalam Widjaja, 2014) menguraikan
mengenai tujuh aspek yang menentukan tingginya internal locus of control yang ada dalam diri seseorang, antara lain:
1. Kemampuan memilih kegiatan
Yang dijelaskan sebagai kesanggupan menunjukkan kemampuan dan
bukan karena adanya kesempatan untuk berperan.
2. Tanggung jawab atas keputusan
Yaitu bagaimana individu dengan internal locus of control bertanggung
jawab atas keputusannya sendiri dan merasa bahwa nasibnya ditentukan
oleh keputusannya sendiri.
3. Kemampuan mengendalikan perubahan
Ini berarti orang-orang yang memiliki internal locus of control bersikap
aktif menghadapi suatu perubahan.
4. Kemampuan mengendalikan lingkungan
Dengan mencari informasi yang berarti aktif mencari informasi baru dan
menggunakan informasi tersebut untuk memecahkan masalah yang
kompleks sehingga ia dianggap memiliki kemampuan menyesuaikan diri.
5. Kemampuan coping terhadap stres
Artinya individu dengan internal locus of control memiliki kemampuan
coping yang baik terhadap stres.
6. Kepuasan belajar dengan menunjukkan prestasi
Artinya individu memiliki kepuasan belajar yang tinggi, memiliki
kemampuan belajar yang baik, dan akan cepat berkembang.
7. Motivasi belajar berdasarkan ekspektasi
Artinya individu dengan internal locus of control memiliki rasa percaya
diri dan mempunyai keyakinan pada kemampuannya. Individu percaya
bahwa dengan menunjukkan penampilan yang baik berarti individu akan
menerima reward yang layak dan individu tidak bergantung pada hadiah.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan pendapat Levenson
yang menyatakan bahwa aspek-aspek internal locus of control yaitu: internal (I), powerfull others (P), dan chance (C).

Pengertian Interrnal Locus of Control (skripsi dan tesis)


 Greenhaus (dalam Pinasti, 2011) mendefinisikan internal locus of control mengacu pada kecenderungan menempatkan persepsi atas suatu kejadian atau hasil yang di dapat dalam hidup individu apakah sebagai hasil dari dirinya sendiri. Internal locus of control juga dapat memberikan gambaran terhadap keyakinan individu mengenai sumber penentu perilakunya. Disisi lain individu juga harus memiliki tanggung jawab terhadap kegiatan yang terjadi di dalam kontrol yang dimilikinya. Rotter (dalam Purnomo, 2010) internal locus of control adalah suatu variabel kepribadian, yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib. Individu harus mempunyai keyakinan yang   kuat terhadap dirinya, karena segala tindakan yang terjadi pada diri individu merupakan tanggung jawab pribadi individu yang bersangkutan. Macdonald (dalam Utami dan Noegroho, 2007) mendifinisikan bahwa internal locus of control yaitu sejauh mana individu merasakan hubungan kontijensi antara tindakan dan hasil yang diperoleh. Tindakan yang dilakukan indiviu akan diukur dengan hasil yang yang didapat, dan harus saling berhubungan. Menurut Nesfvi (dalam Chairani dan Dipayanti, 2012) internal locus of control adalah derajat yang menentukan atribusi individu terhadap keputusan yang dibuat sendiri atau faktor dalam. Individu mempunyai keputusan sendiri dalam menentukan sikap hidupnya. Keputusan individu akan menentukan sejauh mana, dan apa yang akan dilakukan, serta apa yang akan di terima individu dimasa sekarang dan mendatang. Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disimpulkan bahwa internal locus of control adalah suatu kecenderungan dalam menempatkan persepsi atas suatu kejadian yang didapat dalam hidupnya, yang harus didasari pada keyakinan dalam berusaha namun tetap mengontrol nasibnya.

Aspek-aspek resiliensi (skripsi dan tesis)


Menurut Connor & Davidson (dalam Rinaldi, 2010), resiliensi terdiri dari
5 aspek diantaranya:
1. Kompetensi personal, standar yang tinggi dan keuletan.
Memperlihatkan bahwa Individu merasa sebagai orang yang mampu
mencapai tujuan dalam situasi kemunduran atau kegagalan.
2. Percaya pada diri sendiri, memiliki toleransi terhadap afek negatif dan
kuat/tegar dalam menghadapi stres.
Hal tersebut berhubungan dengan ketenangan, cepat melakukan coping
terhadap stress, berpikir secara hati-hati dan tetap fokus sekalipun sedang
dalam menghadapi masalah.
3. Menerima perubahan secara positif dan dapat membuat hubungan yang
aman (secure) dengan orang lain.
Hal ini berhubungan dengan kemampuan beradaptasi atau mampu
beradaptasi jika menghadapai perubahan.
4. Kontrol diri dalam mencapai tujuan dan bagaimana meminta atau
mendapatkan bantuan dari orang lain.
5. Pengaruh spiritual, yaitu yakin pada Tuhan atau nasib.
Xiaonan & Zhang (dalam Apriawal, 2012) membagi resiliensi ke dalam
tiga aspek, yaitu:
a. Tenacity, yaitu menggambarkan ketenangan hati, ketetapan waktu, dan
control diri individu saat menghadapi situasi yang sulit serta saat
menghadapi tantangan.
b. Strength, yaitu fokus pada kapasitas individu untuk dapat pulih kembali dan
menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman
traumatis masa lalau.
c. Optimism, yaitu merefleksikan kecenderungan individu untuk melihat sisi
positif suatu hal dan percaya terhadap diri sendiri serta lingkungan sosial.
Reivich dan Shatte (dalam Widuri, 2012), memaparkan tujuh
kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut:
a. Regulasi emosi (emotion regulation)
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan. Pengaturan emosi yang baik akan memunculkan sikap
tenang yang bisa membuat individu bisa berpikir dan membuat rencana
untuk menata kehidupannya kedepan menjadi lebih baik.
b. Impulse Control
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan
kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Individu yang memiliki control
impuls yang rendah akan cenderung berpengaruh terhadap emosi yang bisa
mengendalikan pikiran dan tingkah laku mereka.
c. Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah
ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang
mempunyai sikap optimis akan merasa mampu untuk bangkit dari situasi
sulit, dan percaya bahwa dia bisa lebih baik di masa yang akan datang.
d. Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang ia
hadapi. Aspek ini sangat di butuhkan oleh seorang individu, karena
meupakan dasar untuk mengambil tindakan berikutnya. Kemampuan ini
haruslah dimiliki karena selain sebagai dasar, juga sebagai sebuah referensi
diri dalam menentukan apa yang dilakukan kedepan. Individu yang
mempunyai causal analysis yang baik, akan mampu menata ulang rencana
dan siap melangkah lagi dengan rencana yang lebih matang.
e. Empati
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca
tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Individu yang
mempunyai sikap empati akan cenderung lebih mudah bersosialisasi, karena
individu lebih peka dalam membaca kondisi orang lain. Dengan kondisi itu
individu bisa mendapatkan dukungan positif dari banyak orang bila ia
berada dalam situasi sulit. Hal itu tentu akan sangat berpengaruh terhadap
resiliensi individu yang bersangkutan.
f. Self-efficacy
Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu mampu
memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan. Hal ini
sangat berkaitan erat dengan resiliensi, karena dengan sikap itu individu
akan merasa mampu bangkit darri situasi yang sulit.
g. Reaching out
Adalah suatu kemampuan untuk bisa mengambil hikmah ataupun hal positif
yang didapat dalam suatu kegagalan. Individu yang mempunyai kemampuan
ini cenderung memandang segala sesutau secara positif, sehingga mampu
mengatasi situasi sulit yang dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menggunakan pendapat Connor
dan Davidson yang menyatakan bahwa aspek-aspek resiliensi yaitu: kompetensi
personal, percaya pada diri sendiri, menerima perubahan secara positif, kontrol diri, dan pengaruh spiritual

Faktor-faktor resiliensi (skripsi dan tesis)


Grotberg (dalam Maulidya dan Eliana, 2013), mengemukakan faktorfaktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang
berbeda adalah:
a. I Have
Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam
meningkatkan resiliensi. Sebelum indicidu menyadari akan siapa dirinya (I Am)
atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), individu membutuhkan dukungan
eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan
keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience.
Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan
resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut:
1. Trusting relationships (mempercayai hubungan)
Kasih sayang dan perhatian sangatlah dibutuhkan oleh individu dalam
menjalankan kehidupannya, hal ini tentu akan sangat membantunya
dalam memberikan respon dan hubungan timbal balik yang lebih baik
dalam melakukan hubungan solsial.
2. Struktur dan aturan di rumah
Orang tua tentu menginginkan kehidupan anaknya lebih baik dan
disiplin. Sehingga orang tua memberikan pengatran jadwal rutinitas
yang dilakukan anaknya. Rutinitas tersebut tentunya diikuti dengan
peraturan yang di buat dengan tujuan anak agar bisa mengikutinya.
Jika tidak diikuti atau dilanggar, maka orang tua akan memberikan
hukuman, tetapi setelah itu harus meminta maaf kepada anak, agar
anak tidak merasa diintimidasi dan juga agar hubungan tetap terus
berjalan baik dalam kehidupan keluarga.
3. Role models
Bermain peran atau menjadikan diri sebagai peran untuk dirinya akan
membuat individu akan merasa lebih bisa mengerti bagaimana
posisinya sebagai orang yang di perankan, dengan kata lain, hal ini
bertujuan untuk melatih individu untuk bisa memahami dan mengerti
eksistensinya dalam berperilaku dan berrhubungan sosial
4. Dorongan agar menjadi otonom
Mendorong anak untuk bisa mandiri dan bisa mengatur sendiri dirinya
dengan baik, agar bisa menjadi pribadi yang mandiri. Hal itu harus
dilakukan agar individu bisa bebas dalam berkembang dan bisa lebih
kreatif dalam menentukan kemana jalan yang benar untuk di tuju dan
mampu membawanya ke dalam hal yang lebih baik. Karena individu
yang bijak adalah individu yang mampu memberikan otonom kepada
orang lain untuk bisa mengeksplor dirinya dan memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk berkembang.
5. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan
keamanan.
Individu secara pribadi maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan
yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi
oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru,
layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan
sejenisnya.
b. I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri.
Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak. Ada
beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu:
1. Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik
Individu sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. individu
akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Individu dapat mengatur sikap dan perilakunya jika
menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan
orang lain.
2. Mencintai, empati, dan altruistik
Individu mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut
dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain
dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata.
Individu akan merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain
dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan
atau kesenangan
3. Bangga pada diri sendiri
Individu mengetahui dirinya adalah seseorang yang penting dan
merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan
untuk mengejar keinginannya. Individu tidak akan membiarkan orang
lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai
masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu
mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
4. Otonomi dan tanggung jawab
Individu dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan
menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut individu merasa
bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut.
Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan
dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab.
5. Harapan, keyakinan, dan kepercayaan
Individu percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orangorang dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan suatu
perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan ingin
berperan untuk hal ini. Individu mempunyai rasa percaya diri dan
keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal
ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih
tinggi.
c. I Can
“I Can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain,
memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan,
pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat
membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu:
1. Berkomunikasi
Individu mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang
lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta
merasakan perasaan orang lain.
2. Pemecahan masalah
Individu dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah
dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Individu dapat
mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang
diharapkan dengan teliti. Individu mempunyai ketekunan untuk bertahan
dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
3. Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan
Individu dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan
menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar
perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Individu juga dapat
mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang,
berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
4. Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.
Individu memahami temperamen dirinya sendiri (bagaimana bertingkah,
merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan
juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk
mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi,
membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan
berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi.
5. Mencari hubungan yang dapat dipercaya.
Individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman
sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna
mendapatkan rasa percaya diri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor resiliensi
untuk I Am, I Have, dan I Can.

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)


 Rutter (dalam Tommy dkk, 2006) berpendapat bahwa resiliensi merupakan proses interaksi antara faktor individual dan lingkungan yang memberikan hasil yang baik ketika menghadapi kesulitan hidup. Wolin dan Wolin (dalam Abidin, 2011) berpendapat bahwa resiliensi sebagai suatu keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat mental (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair). Menurut reivich & shatte dan Norman (dalam Widuri, 2012), resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sulit. Siebert (dalam Aprillia, 2013) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Zautra & Hall (dalam Maulidya dan Eliana, 2013) resiliensi merupakan kemampuan adaptasi positif dalam menghadapi pengalaman sulit atau trauma. Desmita (2015) berpendapat bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkan  untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kodisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Berdasarkan uraian pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa resiliensi adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkan untuk mengatasi tantangan dalam hidup, serta kemampuan beradaptasi terhadap diri dan lingkungan, ketika dihadapkan pada masalah dan kondisi sulit yang ada.

Monday, May 18, 2020

Pengertian Pajak (skripsi dan tesis)


Definisi pajak yang dikemukakan oleh  Adriani yang telah diterjemahkan oleh (Waluyo, 2013: 2). Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipakasakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali. yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah.

Wednesday, May 13, 2020

Terdapat pengaruh atribut produk terhadap keputusan pembelian (skripsi dan tesis)

 Atribut produk merupakan unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh konsumen dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan pembelian. Komponen – komponen yang ada di dalam atribut produk sering merupakan dasar pengambilan keputusan pembelian bagi seorang konsumen (Tjiptono, 2008). Atribut produk sering dapat memuaskan harapan pembeli akan terjaminnya pemenuhan kebutuhan dan keinginannya akan suatu produk (Gitosudarmo dalam Narjono, 2012: 10). Oleh karena itu, atribut produk yang baik akan mempengaruhi keputusan pembelian oleh konsumen.

pengaruh persepsi harga terhadap keputusan pembelian (skripsi dan tesis)

 Persepsi harga berkaitan dengan bagaimana informasi harga dipahami seluruhnya oleh konsumen dan memberikan makna yang dalam bagi mereka. Persepsi harga sering kali menjadi sasaran investigasi dalam suatu penelitian, dibandingkan dengan objective price. Sebab, konsumen biasanya tidak mengevaluasi harga pasti (exact price) dari suatu produk ketika hendak melakukan pembelian, namun mereka mempersepsikan harga produk tersebut sebagai suatu harga yang murah, masuk akal (reasonable), atau mahal berdasarkan internal reference price mereka (Zeithaml, 1988: 10). Apabila harga yang ditetapkan tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan, maka konsumen akan menyadari hal tersebut. Tidak selamanya harga yang murah akan mencerminkan tingkat kualitas suatu produk yang buruk. Begitu juga sebaliknya, harga yang mahal tidak selalu mencerminkan kualitas produk yang baik pula. Pandangan tersebut menyebabkan terjadinya hubungan antara permintaan dengan harga jual. Apabila harga tinggi, maka permintaan produk tersebut akan rendah, begitu juga jika harga rendah, maka permintaan produk tersebut akan tinggi (Yunda, 2014). Selanjutnya, bagaimana konsumen mempersepsikan harga tersebut tinggi, rendah atau wajar memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan pembelian

Dimensi Persepsi Risiko (skripsi dan tesis)

Schiffman dan Kanuk (2010: 202) mengoperasionalisasikan konstruk persepsi risiko dalam lima dimensi risiko yaitu. 1) Risiko psikologi (psychological risk) Yaitu perasaan yang dirasakan, emosi, atau ego yang akan dirasakan oleh konsumen karena mengkonsumsi, membeli atau menggunakan suatu produk. 2) Risiko keuangan (financial risk) Yaitu kesulitan keuangan yang dihadapi konsumen setelah dia membeli suatu produk atau jasa. 3) Risiko kinerja (functional risk) Risiko karena produk tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh konsumen. 4) Risiko fisik (physical risk) Yaitu dampak negatif yang dirasakan konsumen karena menggunakan suatu produk atau jasa. 5) Risiko sosial (social risk) Adalah persepsi konsumen mengenai pendapat terhadap dirinya dari orang-orang sekelilingnya

Pengertian persepsi risiko (skripsi dan tesis)

Persepsi risiko dapat didefinisikan sebagai risiko yang dipersepsikan oleh konsumen terhadap suatu produk yang berkaitan dengan segala ketidakpastian dan segala konsekuensinya terhadap konsumen. Semakin mampu konsumen mengantisipasi ketidakpastian dan konsekuensi produk tersebut maka akan semakin rendah persepsi risiko produk tersebut di mata konsumen. Sebaliknya, jika konsumen tidak dapat mengantisipasi ketidakpastian dan konsekuensi produk maka akan semakin tinggi persepsi risiko produk tersebut di mata konsumen (Julianto, 2012: 46). Dalam penelitian Raymond A. Bauer (Maciejewski, 2011: 282) menjelaskan bahwa setiap tindakan konsumen akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diantisipasi dengan apapun yang dapat diperkirakan kepastiannya dan beberapa konsekuensikonsekeunsi diantaranya mungkin akan mengecewakan. Peter dan Olson (2010: 73-74) mendefinisikan Persepsi risiko (perceived risk) merupakan konsekuensi negatif yang konsumen ingin hindari ketika membeli atau menggunakan produk. Sementara itu, Schiffman dan Kanuk (2010: 201-202) mendefinisikan persepsi risiko merupakan ketidakpastian yang dihadapi konsumen ketika mereka tidak dapat meramalkan konsekuensi dari keputusan pembelian mereka.

Unsur-unsur Atribut Produk (skripsi dan tesis)

 Konsumen melihat setiap produk sebagai kumpulan dari sifat dan ciri-ciri tertentu dengan kemampuan yang berbeda dalam memberikan manfaat yang dicari dan dapat memuaskan. Konsumen akan memberikan perhatian yang lebih pada produk yang dapat memberikan manfaat yang dicari. Ciri-ciri produk tersebut tercermin dari atributatribut yang melekat pada sebuah produk. Unsur- unsur atribut produk menurut Kotler (2008: 272-274) adalah sebagai berikut. 1) Kualitas Produk Kualitas produk adalah kemampuan suatu produk untuk melakukan fungsi-fungsinya. Bila suatu produk telah dapat menjalankan fungsi-fungsinya dapat dikatakan sebagai produk yang memiliki kualitas yang baik. 2) Fitur Produk Sebuah produk dapat ditawarkan dengan beraneka macam fitur. Perusahaan dapat menciptakan model dengan tingkat yang lebih tinggi dengan menambah beberapa fitur. Fitur adalah alat bersaing untuk membedakan produk perusahaan dari produk pesaing. 3) Desain Produk Cara lain untuk menambah nilai pelanggan adalah melalui desain atau rancangan produk yang berbeda dari yang lain. Desain merupakan rancangan bentuk dari suatu produk yang dilakukan atas dasar pandangan bahwa ―bentuk ditentukan oleh fungsi‖ dimana desain mempunyai kontribusi terhadap manfaat dan sekaligus menjadi daya tarik produk karena selalu mempertimbangkan faktor-faktor estetika, ergonomis, bahan dan lain-lain. Desain atau rancangan yang baik dapat menarik perhatian, meningkatkan kinerja produk, mengurangi biaya produk dan memberi keunggulan bersaing yang kuat di pasar sasaran

Pengertian Atribut Produk (skripsi dan tesis)

 Kotler (2008: 272) menyatakan bahwa atribut produk adalah pengembangan suatu produk atau jasa yang melibatkan penentuan manfaat yang akan diberikan. Sedangkan pengertian atribut produk menurut Fandy Tjiptono (2008: 103) adalah unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh pelanggan dan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Atribut produk meliputi merek, kemasan, jaminan (garansi), pelayanan, dan sebagainya

Dimensi Stratejik Harga (skripsi dan tesis)

 Menurut Tjiptono (2008: 467) terdapat sejumlah dimensi stratejik harga yakni sebagai berikut.
 1) Harga mempengaruhi citra dan strategi positioning
. Dalam pemasaran produk prestisius yang mengutamakan citra kualitas dan exklusivitas, harga menjadi unsur penting. Harga cenderung mengasosiasikan harga dengan tingkat kualitas produk. Harga yang mahal dipersepsikan mencerminkan kualitas yang tinggi dan sebaliknya.
2) Harga merupakan pernyatan nilai dari suatu produk (a statement of value). 
Nilai adalah rasio perbandingan antara persepsi terhadap manfaat (perceive benefits) dengan biaya- biaya yang dikeluarkan untuk mendapat produk. Manfaat atau nilai pelanggan total meliputi nilai produk (seperti: realibilitas, durabilitas, kinerja, dan nilai jual kembali), nilai layanan (pengiriman produk, pelatihan, pemeliharaan, reparasi, dan garansi), nilai personil (kompetensi, keramahan, kesopanan, responsivitas dan empati) dan nilai citra (reputasi produk, distributor dan produsen). Sedangkan biaya pelanggan total mencakup biaya moneter (harga yang dibayarkan), biaya waktu, biaya energy, dan psikis. Dengan demikian istilah good value‖ tidak lantas berarti produk yang harganya murah. Namun, istilah tersebut lebih mencerminkan produk tertentu yang memililki tipe dan jumlah manfaat potensial (seperti: kualitas, citra dan kenyamanan belanja) yang diharapkan konsumen pada tingkat harga tertetu.
 3) Harga bersifat fleksibel, artinya dapat disesuaikan dengan cepat. 
Dari empat unsur bauran pemasaran tradisional, harga adalah elemen yang paling mudah diubah dan diadaptasikan dengan dinamika pasar

Pengertian Persepsi Harga (skripsi dan tesis)

Dalam arti sempit, harga (price) adalah jumlah yang ditagihkan atas suatu produk baik barang maupun jasa. Lebih luas lagi, harga adalah jumlah semua nilai yang diberikan oleh pelanggan untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki atau menggunakan suatu produk baik barang maupun jasa (Kotler, 2008: 345). Engel (2004) mendefinisikan harga sebagai sejumlah uang (ditambah beberapa produk) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanannya. Menurut Stanton (1994) harga adalah sejumlah nilai yang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk atau jasa yang nilainya ditetapkan oleh pembeli atau penjual (melalui tawar menawar) atau ditetapkan oleh penjual untuk suatu harga yang sama terhadap semua pembeli. Paul Peter dan Jerry Olson (2000: 228) menyatakan: ―Persepsi harga berkaitan dengan bagaimana informasi harga dipahami seluruhnya oleh konsumen dan memberikan makna yang dalam bagi mereka‖. Pada saat konsumen melakukan evaluasi dan penelitian terhadap harga dari suatu produk sangat dipengaruhi oleh perilaku dari konsumen itu sendiri. Dengan demikian penilaian terhadap harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi individu yang dilatarbelakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu. 
Dalam pengambilan keputusan, harga memiliki dua peranan utama, yaitu (Fandy Tjiptono, 2008: 152). 
1) Peranan alokasi, yaitu membantu para pembeli untuk memutuskan cara terbaik dalam memperoleh manfaat yang diharapkan sesuai dengan kemampuan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat membantu pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang atau jasa. Pembeli membandingkan harga dari berbagai alternatif yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana yang dikehendaki.
 2) Peranan informasi, yaitu ―mendidik‖ konsumen mengenai faktor produk yang dijual, misalnya kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi dimana pembeli mengalami kesulitan untuk menilai faktor produk atau manfaatnya secara objektif. Persepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi.

Proses Pengambilan keputusan (skripsi dan tesis)

 Menurut Hawkins (1992) dan Engel (1990) yang di kutip oleh Fandy Tjiptono (2008: 20), proses pengambilan keputusan konsumen sangat bervariasi, ada yang sederhana, ada juga yang kompleks. Proses pengambilan keputusan yang luas merupakan jenis pengambilan keputusan yang paling lengkap. Bermula dari pengenalan masalah konsumen yang dapat dipecahkan melalui pembelian beberapa produk. Untuk keperluan ini, konsumen mencari informasi tentang produk atau merek tertentu dan mengevaluasi seberapa baik masing – masing alternatif tersebut dapat memecahkan masalahnya. Evaluasi produk atau merek, akan mengarah pada keputusan pembelian. Proses pengambilan keputusan terbatas terjadi bila konsumen mengenal masalahnya, kemudian mengevaluasi beberapa alternatif produk atau merek berdasarkan pengetahuan yang dimiliki tanpa berusaha (atau hanya melakukan sedikit usaha) mencari informasi baru tentang produk atau merek tersebut. Proses pengambilan keputusan yang bersifat kebiasaan merupakan proses yang paling sederhana. Konsumen mengenal masalahnya, kemudian langsung mengambil keputusan untuk membeli merek kegemarannya (tanpa evaluasi alternatif ). Dalam keputusan membeli barang konsumen seringkali ada lebih dari dua pihak yang terlibat dalam proses pertukaran atau pembeliannya. Umumnya ada lima macam peranan yang dapat dilakukan seseorang. Ada kalanya kelima peran ini dipegang oleh satu orang, namun seringkali pula peranan tersebut dilakukan beberapa orang. Pemahaman mengenai masing-masing peranan ini sangat berguna dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Kelima peran tersebut meliputi (Kotler, et al., 1996) dalam Fandy Tjiptono (2008: 20). 1) Pemrakarsa (initiator), yaitu orang yang pertama kali menyadari adanya keinginan atau kebutuhan yang belum terpenuhi dan mengusulkan ide untuk membeli suatu barang atau jasa tertentu. 2) Pemberi pengaruh (influence), yaitu orang yang pandangan, nasihat atau pendapatnya mempengaruhi keputusan pembelian. 3) Pengambil keputusan (decider), yaitu orang yang menentukan keputusan pembelian. 4) Pembeli (buyer), yakni orang yang melakukan pembelian aktual. 5) Pemakai (user), yaitu orang yang menggunakan atau mengkonsumsi barang atau jasa yang dibeli.
 Menurut Kotler (2008: 179), terdapat 5 tahapan proses pembelian, yakni
Pengenalan kebutuhan Adalah tahapan pertama proses keputusan pembeli, dimana konsumen menyadari suatu masalah atau kebutuhan. 2) Pencarian informasi Adalah tahap proses keputusan pembeli, dimana konsumen ingin mencari informasi lebih banyak, konsumen mungkin hanya memperbesar perhatian atau melakukan pencarian informasi secara aktif. 3) Evaluasi alternatif Adalah tahap proses keputusan pembeli, dimana konsumen menggunakan informasi untuk mengevaluasi merek alternatif dlam sekelompok pilihan. 4) Keputusan pembelian Keputusan pembeli tentang merek mana yang di beli. Tetapi ada dua faktor yang dapat mempengaruhi maksud pembelian dan keputusan pembelian. Faktor pertama adalah sikap orang lain dan faktor kedua adalah faktor keadaan yang tidak terduga. 5) Perilaku pasca pembelian Tahap proses keputusan pembelian dimana konsumen mengambil tindakan selanjutnya setelah pembelian, berdasarkan kepuasan mereka atau ketidakpuasan mereka.

Pengertian Keputusan Pembelian (skripsi dan tesis)

Menurut Schifman dan Kanuk (2007: 485) keputusan adalah seleksi terhadap dua pilihan alternatif atau lebih. Dengan kata lain, pilhan alternatif harus tersedia bagi seseorang ketika mengambil keputusan. Jika seseorang mempunyai pilihan antara melakukan pembelian atau tidak, orang itu berada dalam posisi mengambil keputusan. Keputusan adalah suatui reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang dilakukan secara sadar dengan menganalisa kemungkinan– kemungkinan dari alternatif tersebut bersama dengan konsekuensinya. Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir, dapat berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan

Return Policy (skripsi dan tesis)

 Dalam jurnal Arya dan Mittendorf (2004) yang menjelaskan bahwa return policy adalah aturan membangun pedagang eceran untuk mengelola suatu proses dimana pelanggan mengembalikan atau menukarkan barang yang tidak sesuai atau barang rusak yang telah dibeli sebelumnya. Return policy merupakan pengembangan penyediaan layanan pelanggan ritel.

Jenis-Jenis Perceived Risk (skripsi dan tesis)

 Konsumen Menurut Shiffman & Kanuk (2008) tipe resiko utama yang dirasakan para konsumen ketika mengambil keputusan mengenai produk meliputi : 1. Risiko keuangan adalah risiko bahwa produk tidak akan seimbang dengan harganya. 2. Product risk mengacu pada kualitas sebuah produk, kinerjanya, kepalsuan produk dan masalah lain yang berhubungan dengan produk tersebut. 3. Risiko fungsional adalah risiko bahwa produk tersebut tidak mempunyai kinerja seperti yang diharapkan. 4. Risiko fisik adalah risiko terhadap diri dan orang lain yang dapat ditimbulkan produk 5. Risiko sosial adalah risiko bahwa pilihan produk yang jelek dapat menimbulkan rasa malu dalam lingkungan sosial. 6. Risiko psikologis adalah risiko bahwa pilihan produk yang jelek dapat melukai ego konsumen. 17 7. Risiko waktu adalah risiko bahwa waktu yang digunakan untuk mencari produk akan sia-sia jika produk tersebut tidak bekerja seperti yang diharapkan. Dalam penelitian Naiyi (2004) yang berjudul “Dimensions of Consumer’s Perceived Risk in Online Shopping”, dimensi perceived risk yangdigunakan adalah ;
1. Fraud risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai kepercayaan terhadap penjual pada online shopping 
2. Delivery risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai proses pengiriman barang 
3. Financial risk mengacu pada perhatian kosumen mengenai kemungkinan kehilangan uang ketika berbelanja melaui internet
 4. Process dan time risk mengacu pada pandangan terhadap waktu, kemudahan dan kenyamanan konsumen mengenai berbelanja melalui internet
 5. Privacy risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai keamanan dari informasi pribadi ketika berbelanja secara online. 
6. Information risk mengacu pada perhatian konsumen terhadap ketidaksesuaian informasi menganai penjual ataupun produk. Dimensi-dimensi perceived risk yang lain yang dapat ditemui adalah : Menurut Benson (Arweidya, 2011) menjelaskan bahwa 
1. Financial risk Adalah risiko bahwa produk tersebut tidak akan seimbang dengan harganya (Shiffman &Kanuk, 2008). Sedangkan menurut Ko, et.al 18 (2004) financial risk adalah persepsi bahwa sejumlah uang tertentu bisa hilang atau diperlukan untuk membuat sebuah produk bekerja dengan baik, termasuk ada tidaknya biaya yang dikeluarkan ketika produk tersebut rusak. Penjelasan lainnya mengenai financial risk yaitu menurut Demirdogen (2010) yaitu kemungkinan bahwa sebuah pembelian mengakibatkan kehilangan sejumlah uang atau sumber daya lainnya, termasuk biaya tambahan yang dikeluarkan selama proses transaksi jual beli.Naiyi (2004) menjelaskan bahwa financial risk pada jual beli di internet berhubungan dengan perbandingan harga online dengan harga offline, dijelaskan bahwa harga online lebih mahal dari harga offline. Naiyi juga menjelaskan bahwa financial risk terkait dengan kesesuaian antara harga produk dengan kualitas produk yang dijual.
 2. Psychological risk Kaplan, et.al (2010) menjelaskan bahwa psychological risk merupakan kemungkinan bahwa sebuah produk yang di beli tidak sesuai dengan citra diri. Sementara itu Shiffman & Kanuk (2008) menjelaskan bahwa psychological risk berkaitan dengan terlukanya ego konsumen akibat dari pilihan produk yang jelek. Ego konsumen ini termasuk dalam rasa kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap produk yang dibeli melaui internet (Ha, 2002).Naiyi (2004) menjelaskan bahwa psychological risk juga termasuk kecemasan saat berbelanja online. 
3. Product risk Product risk mengacu pada kualitas sebuah produk, kinerjanya, kepalsuan produk, dan masalah lain yang berhubungan dengan produk  tersebut. Hal ini diantaranya yaitu performa produk, kualitas produk, keaslian produk (Naiyi, 2004) dan garansi produk tersebut (Ha, 2002). 
4. Delivery risk Delivery risk mengacu pada perhatian konsumen mengenai proses pengiriman barang (Naiyi, 2004). Risiko-risiko yang dimaksudkan dalam delivery risk ini yaitu termasuk kerusakan barang selama prosespengantaran barang, risiko hilangnya barang dalam pengantaran barang,risiko salah alamat dan ketepatan waktu pengiriman barang. Resiko Kenyamanan Menurut Ariff, et all (2007) yang menjelaskan bahwa resiko kenyamanan adalah tentang persepsi konsumen atas resiko bahwa produk yang dibeli akan memakan waktu dan usaha untuk memperbaiki dan menyesuaikan sebelum dapat digunakan. Ketika konsumen merasakan resiko kenyamanan yang tinggi, mereka merasa sangat kesulitan untuk mereka melakukan suatu perilaku belanja online. 

Perceived Risk pada Online Shopping (skripsi dan tesis)

 Persepsi konsumen dalam pembelian produk dari internet sangat berhubungan dengan pengalaman. Penelitian mengenai perceived risk yang sudah mengkombinasikan konsumen yang sudah berpengalaman dan konsumen yang belum berpengalaman belum banyak dilakukan (Pires, et al 2004). Peranan pengalaman sangat diperlukan dalam penelitian selanjutnya mengenai perceived risk dalam berbelanja secara online melaui internet (Jarvenva, 1999). Dalam penelitian sebelumnya mengenai perceived risk dengan perhatian utamanya seperti faktor keamanan, harga dan reabilitas  untuk konsumen online yang potensial menjadi bukan hal yang penting bagi konsumen yang sudah mempunyai pengalaman dalam berbelanja secara online (Pires, et al 2004). Hal ini dikarenakan karena konsumen yang sudah mempunyai pengalaman dalam berbelanja secara online di internet mempunyai persepsi yang berbeda dengan mereka yang tidak mempunyai pengalaman dalam berbelanja di internet sehingga tingkat risiko yang dirasakan antara online shoppers dan non-online shoppers berbeda.

Persepsi Resiko (skripsi dan tesis)

Para konsumen harus terus menerus mengambil keputusan mengenai produk dan jasa apa yang akan dibeli dan dimana membelinya. Karena hasil atau konsekuensi keputusan tersebut sering tidak pasti, konsumen merasa adanya tingkat risiko tertentu dalam mengambil keputusan pembelian. Risiko yang dirasakan didefinisikan sebagai ketidakpastian yang dihadapi para konsumen jikamereka tidak dapat meramalkan konsekuensi keputusan pembelian mereka (Shiffman & Kanuk, 2008). Definisi ini menyoroti dua dimensi risiko yangdirasakan yang relevan: ketidakpastian dan konsekuaensi (Naiyi, 2004). Secara teori keputusan, resiko dan ketidakpastian dibedakan berdasarkan pengetahuan tentang probabilitas terjadinya. Davis dan Olson (Shiffman & Kanuk, 2008) risiko didefinisikan sebagai suatu situasi di mana pembuat keputusan memiliki pengetahuan apriori konsekuensi yang merugikan dan kemungkinan terjadinya. Selain itu, ketidakpastian didefinisikan sebagai suatu situasi di mana keputusan-pembuat tahu bahwa hasil yang mungkin untuk setiap alternatif dapat diidentifikasi, namun tidak ada pengetahuan tentang probabilitas yang melekat pada masing-masing. Perceived risk berarti keyakinan subjektif individu tentang potensi konsekuensi negatif dari keputusan yang diambil oleh konsumen (Samadi dan Nejadi, 2009). Tingkat risiko yang dirasakan konsumen dan toleransi mereka sendiriuntuk pengambilan risiko merupakan faktor yang mempengaruhi strategi pembelian mereka. Harus ditekankan bahwa para konsumen dipengaruhi oleh berbagai risiko yang mereka rasakan, apakah semua risiko itu betul-betul ada atau tidak. Risiko yang dirasakan adalah konsep fundamental dalam perilaku konsumen yang menyiratkan pengalaman konsumen pra-pembelian ketidakpastian mengenai jenis dan tingkat kerugian yang diperkirakan akibat dari pembelian dan penggunaan produk. (Naiyi, 2004)

Minat Beli (skripsi dan tesis)

Minat beli diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang membentuk suatu persepsi. Minat beli ini menciptakan suatu motivasi yang terus terekam dalam benaknya dan menjadi suatu keinginan yang sangat kuat yang pada akhirnya ketika seorang konsumen harus memenuhi kebutuhannya akan mengaktualisasikan apa yang ada didalam benaknya itu. Konsumen dimanapun dan kapanpun akan dihadapkan dengan sebuah keputusan pembelian untuk melakukan transaksi pembelian. Dimana konsumen akan membandingkan atau mempertimbangkan satu barang dengan barang lainnya untuk mereka konsumsi. Stigler (1995) dalam Pujadi (2010) menyatakan bahwa suatu merek yang dikenal oleh pembeli akan menimbulkan minatnya untuk mengambil keputusan pembelian. Dampak dari simbol suatu produk memberikan arti didalam pengambilan keputusan konsumen sebab simbol dan image merupakan hal penting dalam periklanan dan mempunyai pengaruh dalam minat untuk membeli. Minat pembelian merupakan sesuatu yang berhubungan dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu, serta berapa banyak unit produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Keputusan pembelian merupakan pernyataan mental konsumen yang merefleksikan rencana  pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu (Setiadi, 2003). Proses pembelian dimulai ketika seseorang didalam perusahaan menyadari ada masalah atau kebutuhan yang dapat diatasi dengan cara memperoleh barang atau jasa. Proses ini dapat dipicu oleh stimulus internal atau eksternal. Dengan rangsangan internal salah satu dari kebutuhan normal seseorang akan rasa lapar dan haus seks naik ketingkat maksimum menjadi dorongan atau kebutuhan bisa timbul akibat rangsangan dari eksternal (Kotler & Keller,2009). Menurut Kotler & Keller (2009), kata minat berasal dari bahasa Inggris ―interest‖ yang memiliki makna perasaan yang muncul bersamaan atau menyebabkan suatu perhatian khusus pada suatu objek atau kelompok objek. Dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang memunculkan sebuah perhatian. Minat timbul karena pengalaman individu yang memuaskan dan bila minat telah terbentuk pada diri individu maka akan cenderung untuk menetap sepanjang obyek minat obyektif bagi individu (Mouly dalam Atkinson, 2007). Selanjutnya, Jones menyatakan bahwa minat sebagai sesuatu perasaan suka pada suatu benda atau situasi yang dapat diwujudkan dalam bentuk reaksi yang nyata atau hanya berupa organ-organ saja (Atkinson, 2007), sedangkan Marx berpendapat bahwa minat seseorang diikuti perasaan senang dan kecenderungan mencari obyek yang disenangi itu (Atkinson, 2007). Dari beberapa pengertian atau definisi di atas, minat merupakan suatu kekuatan yang bersifat intirinsik yang mampu mendorong, mempengaruhi atau menyebabkan seorang individu dapat tertarik  perhatiannya pada sesuatu di luar dirinya secara sadar. Minat juga dipandang sebagai suatu respon yang disadari dan mempunyai arah pada suatu obyek atau situasi tertentu yang menimbulkan rasa tertarik, dan individu lebih fokus perhatiannya pada obyek atau situasi tersebut daripada lainnya. Disamping itu, minat juga akan melibatkan kesediaan individu untuk berinteraksi dengan obyek atau situasi yang menimbulkan rasa senang pada dirinya. Buying intention juga dapat diartikan sebagai rasa tertarik yang menimbulkan suatu dorongan untuk membeli produk tertentu. Seseorang mempunyai keinginan untuk membeli akan menunjukkan perhatian dan rasa tertarik terhadap produk tersebut. minat membeli ini akan diikuti dengan suatu tindakan berupa perilaku membeli. Jadi, disini minat membeli belumlah diikuti suatu tindakan untuk membeli, namun hanyalah keinginan untuk membeli. Keputusan membeli sendiri dibentuk oleh individu setelah melakukan proses kognitif yang melibatkan minat, perhatiam, memori, persepsi, membuat alasan, penilaian, membayangkan dan berpikir (Fouladivanda, et al 2013). 
Istilah penyelesaian masalah (problem solving) merupakan suatu proses intelektual dasar yang telah dikembangkan dan dibuat sesistematis mungkin untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi manusia (Fouladivanda, et al 2013). Apabila konsumen mempunyai minat untuk membeli suatu barang, maka konsumen tersebut akan menunjukkan sikap positif dan perasaan senang terhadap barang tersebut, sehingga konsumen akan memanifestasikan minat tersebut dengan perilaku membeli. Hal ini sejalan dengan yang  dikatakan Engel, Blackwell, dan Miniard (2006), bahwa minat konsumen untuk membeli barang akan terealisasi dengan perilaku membeli. Minat membeli merupakan aktivitas praktis yang sesuai disertai dnegan perasaan senang, dan minat ini akan diikuti kecenderungan untuk melakukan aktivitas, dengan perilaku membeli. Minat membeli ini akan timbul tergatung pada jenis, kualitas, atau daya tarik lain yang ada pada produk

Risiko psikologis berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (skripsi dan tesis)

Risiko psikologis secara umum menggambarkan bagaimana konsumsi produk mungkin melukai harga diri konsumen atau persepsi tertentu atas diri mereka. Persepsi risiko psikologis didefinisikan sebagai kekecewaan atau ketidaknyamanan psikologis yang akan muncul karena kekhawatiran atas pembelian dan penggunaan produk (Cases, 2002; Ha, 2002; Naiyi, 2004; Ko et al., Suplet et al., 2009). Penelitian sebelumnya menunjukkan pengaruh risiko psikologis terhadap persepsi risiko keseluruhan (Suplet et al., 2009)

Risiko fungsional berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (skripsi dan tesis)

Risiko fungsional atau risiko kinerja produk didefinisikan sebagai kerugian yang tejadi ketika brand atau produk tidak berkerja sebagaimana yang diharapkan. Risiko ini terjadi ketika produk yang   dipilih mungkin tidak menunjukkan kinerja yang diinginkan dan tidak memberikan manfaat yang dijanjikan. Ini terkait dengan kualitas atau keandalan produk pada saat konsumen berada di titik pembelian (Cases, 2002; Ha, 2002; Naiyi, 2004; Ko et al, 2004, Suplet et al., 2009). Risiko fungsional berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (Naiyi, 2004; Suplet et al., 2009).

Risiko fisik berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (skripsi dan tesis)

Risiko fisik adalah risiko kesehatan dan keamanan. Ada kekhawatiran seseorang atas kondisi fisiknya akibat penggunaan produk. Potensi bahaya produk atau jasa bisa sangat mempengaruhinya dalam keputusan pembelian (Cases, 2002; Ko et al., 2004; Suplet et al., 2009; Liana and Yacob, 2010). Risiko fisik berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (Suplet et al., 2009; Liana and Yacob, 2010).

Risiko finansial berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (skripsi dan tesis)

Risiko finansial didefinisikan sebagai kerugian finansial kosumen, karena salah alokasi investasi, ketidaksesuaian antar harga dengan produk yang diperoleh, ketidakbijaksanaan dalam membelanjakan barang, termasuk juga kemungkinan produk membutuhkan perbaikan atau penggantian. Konsumen kehilangan uangnya karena salah membeli. Ketika kehilangan atas uang itu sebagai pertimbangan penting, risiko finansial dikatakan tinggi (Cases, 2002; Ha, 2002; Ko et al., 2004; Laroche et al 2004; Suplet et al, 2009). Risiko finansial berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (Naiyi, 2004; Suplet et al., 2009).

Risiko waktu berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan.(skripsi dan tesis)

Risiko waktu terjadi ketika ada keterbatasan waktu kemampuan produk memuaskan kebutuhan, konsumsi waktu atas penggunaan produk, dan potensi kerugian waktu ketika mencari informasi produk (Ha, 2002; Cases, 2002; Ko et al., 2004; Laroche et al., 2004; Suplet et al., 2009). Risiko waktu berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (Naiyi, 2004; Suplet et al., 2009). Dari hasil tersebut ditarik hipotesis kedua.

Risiko sosial berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (skripsi dan tesis)

Risiko sosial adalah risiko yang muncul karena kesalahan memilih produk sehingga menyebabkan rasa malu karena konsumen mempertimbangkan apa pandangan orang lain mengenai pilihannya itu, potensi kehilangan pengakuan orang, ataupun penghargaan dari teman (Cases, 2002; Ko et al., 2004; Laroche et al., 2004; Suplet, et al., 2009). Risiko sosial berpengaruh terhadap persepsi risiko keseluruhan (Suplet, et al., 2009).

Hubungan Citra Toko dengan Keputusan Pembelian (skripsi dan tesis)

 Citra toko merupakan pandangan atau persepsi masyarakat terhadap nama atau produk toko secara efektif baik dari segi nilai, kualitas dan harga. Penciptaan citra toko sangat penting karena berpengaruh terhadap perilaku konsumen (Sopiah & 29 Syihabudhin, 2008: 138). Citra toko dapat mempengaruhi proses pembelian suatu produk atau jasa. Oleh karena itu, citra menjadi faktor penting bagi keberhasilan pemasaran. Sebuah department store mampu memberikan daya tarik tertentu pada konsumen sehingga minat berkunjung konsumen semakin kuat, maka kemungkinan realisasi pembelian yang dilakukan konsumen adalah semakin besar. Citra toko yang baik di mata konsumen menciptakan nama toko yang baik pula. Nama toko merupakan persepsi terhadap toko. Jika persepsi konsumen positif terhadap toko maka akan menciptakan penerimaan kualitas yang berlanjut kepada penerimaan nilai dan produk akhirnya adalah keinginan untuk membeli. Salah satu cara untuk mendorong keputusan pembelian konsumen adalah dengan cara menanamkan citra toko yang baik dibenak konsumen yaitu dengan meningkatkan kinerja dari unsur-unsur citra, serta faktor lain yang mendukung, baik buruknya citra sangat ditentukan oleh kinerja perusahaan dalam memberikan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen dalam pemasaran. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh jafaar (2012) dan Suryandari (2003) menunjukkan bahwa citra toko dengan proses keputusan pembelian konsumen mempunyai hubungan yang searah, dimana citra toko mempengaruhi proses keputusan pembelian konsumen yang bersifat positif. Jadi dalam hal ini peneliti akan menguji kembali pengaruh citra toko terhadap keputusan pembelian suatu produk.

Hubungan Persepsi Harga dengan Keputusan Pembelian (skripsi dan tesis)

Dalam arti sempit harga merupakan sesuatu yang harus dibayarkan oleh konsumen untuk mendapatkan suatu barang atau jasa. Konsumen akan sangat sensitif dalam merespon tingkat penetapan harga yang diterapkan oleh produk tersebut. Jika harga yang ditetapkan tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan, maka konsumen akan dengan cepat menyadari hal tersebut. Menurut Leliana dan Suryandari (2004) dalam Alfian (2013: 46) konsumen memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memandang suatu harga. Tidak selamanya harga yang murah akan mencerminkan tingkat kualitas suatu produk yang buruk. Begitu juga sebaliknya, harga yang mahal tidak selalu mencerminkan kualitas produk yang baik pula. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2012), Sandrakh (2013), dan Mardongan (2011) menunjukkan bahwa persepsi harga berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian. Jadi dalam hal ini peneliti akan menguji kembali pengaruh persepsi harga terhadap keputusan pembelian suatu produk.

Hubungan Persepsi Kualitas dengan Keputusan Pembelian (skripsi dan tesis)

Persepsi kualitas (perceived quality) merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Menurut Kotler dan Keller (2009: 287) kualitas adalah totalitas fitur dan karakteristik produk atau jasa yang bergantung pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang diimplementasikan. Kualitas produk sangat erat kaitannya dengan kesehatan manusia dan merupakan kebutuhan pokok. Kualitas produk sangat mempengaruhi pembeli dalam mengambil keputusan pembelian. Jika konsumen merasa cocok dengan suatu produk dan produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya, maka konsumen akan mengambil keputusan untuk membeli produk tersebut secara terus menerus. Apabila kualitas produk ditingkatkan, maka perilaku konsumen untuk melakukan pembelian juga akan meningkat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Purba (2012), Sandrakh (2013), dan Mardongan (2011) menunjukkan bahwa persepsi kualitas berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian. Jadi dalam hal ini peneliti akan menguji kembali pengaruh persepsi kualitas terhadap keputusan pembelian suatu produk

Hubungan Persepsi Kualitas dan Citra Toko (skripsi dan tesis)

 Persepsi terhadap kualitas produk adalah suatu proses yang terjadi dalam diri individu dalam memilih, menafsirkan, mengorganisasikan, menginterprestasikan, dan memberikan penilaian terhadap kualitas suatu produk apakah produk tersebut memuaskan atau tidak yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan Citra dipandang sebagai suatu variabel penting yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan pemasaran. Citra sangat penting bagi organisasi apapun, karena kemampuan citra untuk mempengaruhi persepsi konsumen tentang barang dan jasa yang ditawarkan. Sebagai akibatnya, citra mempengaruhi perilaku beli konsumen sehubungan dengan produk dan jasa suatu organisasi. Jika konsumen membeli produk dengan kualitas tinggi di suatu toko dibandingkan produk yang sama di toko lain dengan kualitas rendah maka citra toko yang dipersepsikan konsumen adalah toko tersebut menjual produk-produk yang berkualias baik.

Hubungan Persepsi Harga dan Citra Toko (skripsi dan tesis)


Harga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli produk, sehingga sangat menentukan keberhasilan pemasaran suatu produk. Citra toko adalah kepribadian sebuah toko. Citra dipandang sebagai suatu variabel penting yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan pemasaran. Citra sangat penting bagi organisasi apapun, karena kemampuan citra untuk mempengaruhi persepsi konsumen tentang barang dan jasa yang  ditawarkan. Sebagai akibatnya, citra mempengaruhi perilaku beli konsumen.sehubungan dengan produk dan jasa suatu organisasi. Ketika konsumen membeli produk di suatu toko dengan harga yang lebih tinggi dibandingkn produk yang sama di toko lain maka citra toko yang dipersepsikan oleh konsumen pada toko tersebut adalah semua harga produk yg dijual mahal dan sebaliknya.

Hubungan Persepsi Kualitas dan Persepsi Harga (skripsi dan tesis)

 Persepsi terhadap kualitas produk adalah suatu proses yang terjadi dalam diri individu dalam memilih, menafsirkan, mengorganisasikan, menginterprestasikan, dan memberikan penilaian terhadap kualitas suatu produk apakah produk tersebut memuaskan atau tidak yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan harga memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli produk, sehingga sangat menentukan keberhasilan pemasaran suatu produk. Kualitas mendorong atau merangsang terbentuknya harga suatu produk. Dalam hal ini, jika persepsi kualitas tinggi, maka harga yang dipersepsikan juga akan tinggi. Sebaliknya, jika persepsi kualitas terhadap produk rendah, maka harga yang dipersepsikan konsumen untuk produk tersebut juga rendah

Private Label (skripsi dan tesis)

Private label adalah merek yang dimiliki oleh distributor atau pedagang. Suatu produk dapat dipesan dari pihak lain, kemudian merek toko “dilekatkan” ke produk-produk tersebut sebelum dijual ke konsumen (Kismono, 2012: 354). Sedangkan dalam definisi lain private label atau home brand item adalah itemitem barang yang dijual dengan menggunakan merek yang sama dengan merek retailer atau turunannya atau suatu nama merek yang secara independen dibuat oleh retailer yang bersangkutan (Sujana, 2005:197). Penamaan merek pada produk private label dapat dikategorikan menjadi: 1. Store Brands, menggunakan nama retailer pada kemasan produk private label. 2. Store Sub-brands, menggunakan merek yang berisikan nama, nama retailer dan nama produk. 3. Umbrella Brands, produk private label yang diberi merek independen, tidak ada kaitan dengan nama retailer. Umbrella Brand digunakan untuk produk dengan kategori yang berbeda. 4. Individual Brands, nama merek yang digunakan hanya untuk kategori produk. 5. Exclusive Brands, nama merek yang digunakan untuk satu kategori yang sama. 
Menurut Doyle (1994) dalam Tjandrasa (2006), agar produk-produk dengan private label dapat menguntungkan, ia harus memenuhi kombinasi dari effective product (P), distinctive identity (D) dan added values (AV). Jadi untuk membuat produk private label hal yang penting dan harus diperhatikan adalah efektifitas   produk, identitas khusus produk dan nilai tambah dari produk yang ditawarkan kepada konsumen merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kekuatan (strengths) yang dimiliki produk-produk private label adalah: 1. Kualitas barang yang terjamin disertai penetapan harga yang terjangkau. 2. Produk yang dijadikan private label adalah produk-produk generik sehingga biaya promosi dapat ditekan serta produk-produk yang dijual bukan produk yang memiliki brand image yang kuat. Sedangkan peluang (opportunities) dari produk private label adalah: 1. Banyak pemasok yang menawarkan kerjasama dalam membuat produk private label, hal ini tentunya memudahkan dalam memilih pemasok yang berkualitas. 2. Konsumen semakin sadar bahwa produk-produk private label yang ada memiliki kualitas yang baik sebanding dengan harganya. 3. Produk-produk private label dapat dikemas dengan menggunakan warna-warna dan bentuk grafis yang menarik pembeli sehingga diyakini akan meningkatkan penjualan. 

Citra Toko (skripsi dan tesis)

Citra toko adalah kepribadian sebuah toko. Kepribadian atau image toko menggambarkan apa yang dilihat dan dirasakan oleh konsumen terhadap toko tertentu. Citra toko juga memiliki pengertian sebagai pandangan atau persepsi masyarakat terhadap nama atau produk toko secara efektif baik dari segi nilai, kualitas dan harga. Penciptaan citra toko sangat penting karena berpengaruh terhadap perilaku konsumen (Sopiah & Syihabudhin, 2008: 138). Menurut Ma’ruf (2005: 182) dalam Sandrakh (2013: 20), unsur-unsur yang membentuk citra toko adalah sebagai berikut: 1. Merchandise, yang terdiri dari harga, kualitas, keragaman kategori, dan ketersediaan item (warna, ukuran, jenis). 2. Lokasi yang mudah dijangkau, aman, dan berada dalam suatu pusat perbelanjaan, atau dekat dengan gerai-gerai retail lainnya. 3. Mengutamakan pelayanan pada segmen tertentu yang sesuai dengan karakteristik demografi calon pembeli. 4. Pelayanan, yang tediri dari pilihan cara bayar, tersedianya food corner, jasa antar kerumah untuk produk tertentu, catalog yang dikirimkan kerumah. 5. Pramuniaga/staf/kasir, yang terdiri dari perilaku, dalam melayani, pengetahuan produk, jumlah tenaga yang memadai. 6. Citra kepribadian perusahaan/toko, menarik, berkompeten, canggih, lengkap/serba ada. 7. Fasilitas yang terdiri dari gift wrapping, food court, toilet, parkir, pelayanan antar kerumah.   8. Store ambience yang terdiri dari dekorasi eksterior dan interior, atmosfer toko, sirkulasi dalam toko, penataan merchandise, display yang menarik. 9. Promosi yang terdiri dari hadiah barang, penjualan diskon, event khusus, program kupon, dan program undian berhadiah.

Persepsi Harga (skripsi dan tesis)

 Schiffman dan Kanuk (1997: 217) dalam Alfian (2013: 24) menjelaskan bahwa harga merupakan faktor yang selalu menjadi pertimbangan konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. Persepsi konsumen terhadap harga yang melekat pada produk, apakah terlalu rendah, normal atau cenderung tinggi  dipengaruhi oleh intensitas pembelian dan kepuasan dalam pembelian produk tersebut. Menurut Tjiptono (2011: 195), harga memiliki peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli yaitu: 1. Peranan alokasi harga Yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. 2. Peranan informasi dari harga Yaitu fungsi harga dalam membidik konsumen mengenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi dimana pembeli mengalami kesulitan untuk menilai faktor produk atau manfaatnya secara objektif. Persepsi yang sering muncul adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi sehingga konsumen menilai harga yang ditetapkan sesuai dengan kualitas produk maupun jasa yang ditetapkan. Menurut Stanton (1998) dalam Dinawan (2010: 36) terdapat indikator harga yang dapat digunakan yaitu: 1. Perbandingan harga dengan produk lain, yaitu bagaimana perbandingan harga produk dengan produk pesaingnya. 2. Kesesuaian harga dengan kualitas produk, yaitu apakah harga yang di tawarkan sudah sesuai dengan kualitas produk yang didapatkan. 3. Keterjangkauan harga, yaitu adalah keterjangkauan harga yang ditawarkan produsen kepada konsumen

Dimensi Kualitas Produk (skripsi dan tesis)

 Menurut Tjiptono (2008: 41) dimensi kualitas produk terdiri dari delapan macam dimensi yaitu sebagai berikut:
 1. Kinerja (performance)
 Kinerja adalah karakteristik operasi produk inti (core product) yang dibeli. Berkaitan dengan aspek fungsional dari produk tersebut dan merupakan karakteristik pokok yang dipertimbangkan konsumen ketika membeli sesuatu
. 2. Fitur (features) 
Fitur adalah karakteristik pelengkap yang dapat menambah fungsi dasar produk. Fitur juga merupakan alat persaingan untuk membedakan produk perusahaan terhadap produk sejenis yang menjadi pesaingnya. Dengan berbagai fitur produk yang ditawarkan oleh produsen, konsumen pun akan semakin puas dengan produk-produk yang sesuai dengan kebutuhannya.
 3. Kehandalan (reliability)
 Kehandalan adalah kecilnya kemungkinan produk akan mengalami kerusakan atau gagal saat digunakan. Berkaitan dengan probabilitas suatu produk dalam melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam waktu tertentu dibawah kondisi tertentu. 
4. Konformasi (conformance) 
Yaitu tingkat dimana unit setiap unit produk identik dan memenuhi spesifikasi yang dijanjikan. Berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk dengan spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan. 
 5. Daya tahan (durability) 
Merupakan umur operasi harapan produk dalam kondisi biasa atau penuh tekanan sebelum produk yang bersangkutan harus diganti. Berkaitan dengan ukuran masa pakai suatu produk. 
6. Kemudahan perbaikan (serviceability) 
Merupakan ukuran kemudahan perbaikan produk ketika produk tersebut tidak berfungsi. Berkaitan dengan kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi, serta penanggulangan keluhan yang memuaskan.
7. Estetika (aesthetics)
 Dimensi ini melihat kualitas suatu produk dari penampilan, corak, rasa, daya tarik, selera, dan beberapa faktor lainnya yang mungkin menjadi aspek penting dalam kualitas. Dimensi ini menyangkut keindahan, keserasian atau kesesuaian yang membuat indah dipandang dan dirasakan sehingga memberikan suatu daya tarik tersendiri kepada konsumen. 
8. Persepsi terhadap kualitas (perceived quality)
 Yaitu kualitas yang dinilai berdasarkan reputasi penjual, bersifat subjektif. Berkaitan dengan perasaan konsumen dalam mengkonsumsi produk yang bersangkutan. 

Persepsi Kualitas (skripsi dan tesis)

Persepsi kualitas (perceived quality) merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Persepsi kualitas adalah Persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Oleh sebab itu, persepsi kualitas didasarkan pada evaluasi subjektif konsumen (bukan manajer atau pakar) terhadap kualitas produk (Tjiptono, 2008: 40).

Macam-macam Persepsi (skripsi dan tesis)

Ada dua macam persepsi, yaitu: 1. External perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang datang dari luar diri individu. 2. Self-perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri

Persepsi Konsumen (skripsi dan tesis)

Persepsi Konsumen merupakan proses di mana individu memilih, mengorganisasikan dan mengintrepretasikan stimuli tertentu menjadi sesuatu yang bermakna (Schiffman & Kanuk 2007 dalam Suryani 2008: 10). Seseorang dapat membentuk persepsi yang berbeda dari rangsangan yang sama karena tiga macam   proses penerimaan indera yakni: perhatian yang selektif yang mengakibatkan konsumen tidak menerima semua rangsangan, distorsi selektif yang merubah pesan yang didengar sesuai dengan yang diinginkan untuk didengar oleh konsumen, dan ingatan selektif dimana konsumen terkadang lupa dengan apa yang dipelajari tetapi akan cenderung untuk menyimpan informasi yang akan mendukung sikap dan kepercayaan mereka

Perilaku Konsumen (skripsi dan tesis)

 Perilaku konsumen adalah kegiatan seseorang dalam membeli dan menggunakan produk atau jasa (Kismono, 2012: 334). Schiffman dan Kanuk (2007) dalam Suryani (2008: 6) menyatakan bahwa perilaku konsumen merupakan studi yang mengkaji bagaimana individu membuat keputusan membelanjakan sumberdaya yang tersedia dan dimiliki (waktu, uang dan usaha) untuk mendapatkan barang atau jasa yang nantinya akan dikonsumsi. Dalam perilaku konsumen selain berkaitan dengan kualitas produk, juga erat kaitannya dengan harga. Jika harga suatu produk tidak terlalu tinggi, maka konsumen tidak akan membutuhkan waktu lama untuk memikirkan dan melakukan aktifitas perilaku konsumen, begitupun sebaliknya.

Hubungan Antara Familiarity dan Purchase Intention (skripsi dan tesis)

' Familiaritas adalah sekumpulan pengalaman konsumen yang berhubungan dengan suatu produk. Berdasarkan penelitian Bramasto Adi, Farida Indriani (2017)Familiaritas berpengaruh terhadap Purchase Intention. Sheau Fen et al.   (2012) melaporkan bahwa keakraban merupakan penentu paling signifikan yang berpengaruh terhadap niat beli konsumen terhadap private label secara langsung dan tidak langsung melalui Perceived Quality

Hubungan Antara Store Image dan Purchase Intention (skripsi dan tesis)

Store Image adalah kesan total yang diwakili oleh memori yang dirasakan terkait dengan outlet atau ritel yang keduanya terkait dengan memori konsumen (Hartman&Spiro, 2005). Menurut (Schiffman&Joseph:2014:141) Toko – toko ritel atau pedagang eceran mempunyai citra toko yang membantu mempengaruhi para konsumen untuk memilih dimana mereka akan berbelanja. Citra toko yang mempunyai nilai baik menanamkan implikasi pengujian produk dan jaminan pelayanan dan penyesuaian jika terjadi ketidakpuasan

Hubungan Antara Product Packaging dan Purchase Intention (skripsi dan tesis)

Packaging yang menarik dan juga dapat menyampaikan pesan atau infromasi yang diinginkan,berbagai aspek mulai dari warnahingga bentuk dapat memungkinkan interaksi dengan kompleks dalam mempengaruhi persepsi konsumen dalam membeli. Kemasan dapat memiliki fungsi dan komponen – komponen pembentuk persepsi. Packaging yang baik dengan warna cerah dan bentuk yang tidak biasa dapat digunakan untuk menarik perhatian, menyampaikan informasi dan mempengaruhi pola konsumsi (Hawkins&Mothersbough:2015:299).

Hubungan Perceived Risk dengan Purchase Intention (skripsi dan tesis)

Konsumen melakukan beberapa kegiatan untuk mengurangi ketidakpastian dan konsekuensi negatif dari risiko seperti menghindari keputusan, mengumpulkan informasi dari teman, dan meningkatkan kecenderungan terhadap merek dan jaminannya. Pemasar harus memahami faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi  konsumen terhadap risiko dengan menyediakan informasi, dan kemudian mencoba mengurangi persepsi tersebut (Kotler, dkk 2016).

Hubungan antara Perceived Quality dan Purchase Intention (skripsi dan tesis)

 Faktor yang mempengaruhi minat pembelian menurut Tsiotsou (2006: 207-217) salah satunya adalah perceived quality atau persepsi kualitas. Persepsi kualitas sudah diartikan menjadi penilaian konsumen terhadap keseluruahan produk. Dalam beberapa penelitian, persepsi kualitas telah ditemukan memiliki efek langsung yang positif terhadap minat pembelian. Selain itu, belum ada kesepakatan apakah ada interaksi pengaruh antara persepsi kualitas dan kepuasan konsumen terhadap minat pembelian. Persepsi kualitas dianggap sebagai konsep yang lebih spesifik yang didasarkan pada produk dan layanan fitur sementara kepuasan dapat menjadi hasil dari segala dimensi. Berdasarkan penelitian Bramasto dan Farida bahwa Perceived Quality berpengaruh terhadap Purchase Intention.

Purchase Intention (skripsi dan tesis)

 Purchase intention as the probability of consumer’s readiness to purchase a product in near future. It is generally linked with the consussmer’s attitude, perception and buying behavior (Wue et al 2011). Purchase Intention menggambarkan suatu kemungkinan bahwa konsumen akan berencana atau rela untuk membeli produk atau jasa tertentu di masa yang akan datang. Peningkatan minat beli menunjukkan peningkatan kemungkinan pembelian. Ketika seorang konsumen memiliki minat beli yang positif, maka akan membentuk komitmen terhadap suatu merek yang akan mendorong konsumen untuk melakukan pembelian secara aktual (Wu et al. 2011) Terdapat 4 faktor minat pembelian menurut Tsiotsou (2006: 207-217) yaitu: 
1. Involvement
 Keterlibatan telah menjadi hal umum pada dunia marketing dan telah menjadi topik yang menarik dalam perilaku konsumen dan riset iklan. Terjadinya keterlibatan terhadap suatu produk yang dirasakan oleh konsumen dikarenakan melekatnya kebutuhan, kepentingan dan nilai-nilai suatu produk tersebut di benak konsumen. Setelah diikthisarkan akibat dari adanya suatu keterlibatan terhadap produk yaitu meningkatnya motivasi, adanya gairah yang tinggi terhadap pembelian. 
2. Satisfaction 
Kepuasan konsumen telah dipelajari secara ekstensif dalam pemasaran selama beberapa waktu terakhir. Kepuasan menjadi salah satu tujuan utama dari pemasaran. Kepuasan menjadi peran penting dalam pemasaran karena kepuasan menjadi prediksi yang baik dalam menilai perilaku konsumen. Begitu juga terhadap loyalitas pelanggan. 
3. Values 
Telah dikemukakan bahwa nilai-nilai dapat menjadi prediktor yang signifikan terhadap banyaknya sikap dan perilaku seperti perilaku konsumen. Beberapa peniliti telah menyambungkan antara nilai terhadap perilaku konsumsi dan efek komunikasi.
 4. Perceived Quality 
Persepsi kualitas sudah diartikan menjadi penilaian konsumen terhadap keseluruahan produk. Dalam beberapa penelitian, persepsi kualitas telah ditemukan memiliki efek langsung yang positif terhadap minat pembelian. Selain itu, belum ada kesepakatan apakah ada interaksi pengaruh antara persepsi kualitas dan kepuasan konsumen terhadap minat pembelian. Persepsi kualitas dianggap sebagai konsep yang lebih spesifik yang didasarkan pada produk dan layanan fitur sementara kepuasan dapat menjadi hasil dari segala dimensi. Menurut Kotler dan Keller (2012) Purchase Intention adalah suatu ketertarikan konsumen pada sebuah merek produk sehingga dapat menimbulkan keinginan membeli dan menimbulkan suatu keputusan membeli produk yang telah diinformasikan. 
 Menurut (Sheila & Rahma 2007) Minat beli diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang membentuk sebuah persepsi. Indikator purchase intention adalah : 1. Kesediaan mendapatkan informasi mengenai produk. 2. Keinginan untuk membeli kembali produk. 3. Kesediaan akan merekomendasikan produk kepada kerabat atau relasi.