Showing posts with label Judul Psikologi. Show all posts
Showing posts with label Judul Psikologi. Show all posts

Saturday, July 20, 2019

Pengobatan Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang akan semakin berkurang.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olahraga dan diet. Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes mellitus tipe II tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolahraga secara teratur.
Pengaturan diet sangat penting. Biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat badan. Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan olahraga untuk mengontrol penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana cara menghindari terjadinya komplikasi.
Sumber lain juga menyebutkan bahwa diabetes mellitus dapat dicegah dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan menerapkan hidup sehat sedini mungkin yaitu dengan mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat, membatasi makanan yang tinggi karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan berat badan yang normal sesuai dengan umur dan tinggi badan serta olahraga teratur sesuai umur dan kemampuan.
Tujuan pengobatan penderita diabetes mellitus adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan berat badan bagi yang kegemukan dan mencegah terjadinya komplikasi.
  1. Diet
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari prenatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini :
  1. Memberikan semua unsure makanan esensial (misalnya vitamin, mineral)
  2. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
  3. Memenuhi kebutuhan energi
  4. Mencegah fluktasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis.
  5. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.
Penderita diabetes mellitus sangat dianjurkan untuk menjalankan diet sesuai yang dianjurkan, yang mendapat pengobatan anti diuretic atau insulin, harus mentaati diet terus menerus baik dalam jumlah kalori, komposisi, dan waktu makan harus diatur.
Diet diabetes merupakan langkah kedisiplinan bagi penderitanya untuk mengontrol diabetes dengan baik. Diet diabetes yang ideal mencakup karbohidrat 60%, lemak harus tidak lebih dari 30%, serta protein sekitar 15%.
  1. Obat-obatan
Pengobatan diabetes dilakukan dengan cara obat oral dan melalui. Obat oral biasanya diberikan oleh dokter sesuai dengan dosis yang telah di tentukan.
  1. Terapi insulin
Suntikan insulin untuk pengobatan diabetes dinamakan terapi insulin. Tujuan terapi ini terutama untuk mempertahankan gluukosa darah dalam kadar yang normal atau mendekati normal dan menghambat kemungkinan timbulnya komplikasi kroni diabetes. Penyuntikkan insulin ini bias dilakukan sendiri oleh pasien atau dengan bantuan orang lain. Tempat penyuntikkannya bisa dilakukan di lengan, perut atau paha. Bila penyuntikkan dilakukan oleh orang lain, penyuntikkan dilakukan di lengan. Sedangkan penyuntikkan dilakukan diri  sendiri, lakukan di perut atau dipaha. Jarak suntikan dengan suntikan berikutnya haruslah 2 cm. sedangkan pada penyuntikkan di perut harus berjarak sekitar 5 cm dari pusar.
  1. Olahraga
Dengan olahraga teratur, sensitivitas sel terhadap insulin menjadi lebih baik, sehingga insulin yang ada walaupun relatif kurang, dapat dipakai dengan lebih efektif. Lakukan olahraga 1-2 jam sesudah makan terutama pagi hari selama ½ - 1 jam perhari minimal 3 kali/minggu.
Dengan demikian dapat disimpulkan Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis, yang ditandai dengan kadar gula (glukosa) di dalam darah yang tinggi melebihi kadar gula yang normal. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian tentang Diabetes Mellitus menggunakan pendapat dari Notoatmodjo (2007).

Komplikasi Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Penyakit Diabetes Mellitus memiliki komplikasi yang dapat muncul secara akut dan secara kronik, yaitu timbul beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap Diabetes Mellitus (Askandar, 2002). Adapun komplikasi Diabetes mellitus menurut Askandar (2002) yaitu sebagai berikut :
  1. Komplikasi Akut Diabetes Mellitus
Dua komplikasi akut Diabetes Mellitus yang paling sering adalah reaksi hipoglikemia dan koma diabetik, yaitu :
  • Reaksi Hipoglikemia
Reaksi hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan tanda-tanda : rasa lapar, gemetar, keringat dingin, pusing, dan sebagainya. Dalam keadaan hipoglikemia, penderita harus segera diberi roti atau pisang. Apabila tidak tertolong, berilah minuman manis dari gula, satu atau dua gelas. Jika keadaan ini tidak segera diobati, penderita tidak akan sadarkan diri, karena koma ini disebabkan oleh kurangnya glukosa dalam darah, koma tersebut disebut “Koma Hipoglikemia” (Askandar, 2002).
  • Koma Diabetik
Berlawanan dengan koma hipoglikemik, koma diabetik ini timbul karena kadar glukosa dalam darah terlalu tinggi dan biasanya lebih dari 600 mg/dl. Gejala koma diabetik yang sering timbul adakah nafsu makan menurun (biasanya pasien Diabetes Mellitus mempunyai nafsu makan yang besar), haus, minum banyak, kencing banyak, yang kemudian disusul dengan rasa mual, muntah, nafas pasien menjadi cepat dan dalam, serta berbau aseton, sering disertai panas badan karena biasanya ada infeksi, serta pasien koma diabetik harus segera dibawa ke Rumah Sakit (Askandar, 2002).
  1. Komplikasi kronis Diabetes Mellitus
Pada pasien yang lengah komplikasi Diabetes Mellitus dapat menyerang seluruh alat tubuh, mulai dari rambut sampai ujung kaki termasuk semua alat tubuh di dalamnya. Sebaliknya, komplikasi tersebut tidak akan muncul jika perawatan Diabetes Mellitus dilaksanakan dengan baik, tertib dan teratur serta pasien koma diabetik harus segera dibawa Rumah Sakit (Askandar, 2002).
Komplikasi kronik Diabetes Mellitus disebabkan oleh perubahan dalam dinding pembuluh darah, sehingga terjadi atherosclerosis yang khas yaitu Mikroangiopati. Mikroangiopati ini mengenai pembuluh darah di seluruh tubuh yang terutama menyebabkan retinopati, glamerulosklerosis, neoropati, dan dapat pula timbul infeksi kronik yaitu tuberkolosis yang secara umum terjadi komplikasi tersebut yaitu kardiovaskuler (Infark miokaid, Insufisiensi koroner), mata (Reinopati diabetika, katarak), saraf (Neuropati diabetika), paru-paru (TBC), ginjal (Pielonefritis, glumerulosklerosis), kulit (gangrene, furunkel, karbunkel, ulkus), hati (sirosis hepatitis) (PERKENI, 2002).

Gejala Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Diabetes Mellitus memiliki gejala dan tanda penyakit itu sendiri. Gejala dan tanda-tanda penyakit Diabetes Mellitus dapat digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (Askandar, 2002). Adapun gejalan Diabetes Mellitus sebagai Berikut :
  1. Gejala akut Penyakit Diabetes Mellitus
Gejala penyakit Diabetes Mellitus antara penderita dengan yang lain tidaklah selalu sama. Gejala yang umumnya timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi dengan gejala yang lain. Bahkan ada pasien Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan gejala apapun sampai pada saat tertentu banyak makanan (polifagia), banyak kencing (Polyuria), banyak minum (Poliydipsi). Penderita akan mengalami peningkatan berat badan yang cenderung naik karena pada saat ini jumlah insulin masih mencukupi, bila keadaan tersebut diatas tidak segera diobati, maka akan timbul gejala yang disebabkan oleh kemunduran kerja insulin dan tidak lagi Polyfagia, Polydipsia, Polyuria (3P) lagi melainkan hanya 2P saja yaitu nafsu makan mulai berkurang dan kadang-kadang disusul dengan mual, banyak minum, banyak kencing, mudah dicapai atau lelah, berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) (Askandar, 2002).
  1. Gejala kronik Penyakit Diabetes Mellitus
Kadang-kadang pasien Diabetes Mellitus tidak menunjukkan gejala akut (mendadak), tetapi penderita tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit Diabetes Mellitus. Gejala ini disebut gejala kronik atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah kesemutan, kulit terasa panas, rasa tebal dikulit, kram, mudah capai, mata kabur, gatal disekitar kemaluan, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seks menurun atau impoten, para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (Askandar, 2002).
Selain itu, ada pula sumber lain menyebutkan, gejala diabetes mellitus tergantung pada tipe diabetes yang dideritanya, yaitu :
  1. Penderita Diabetes Mellitus tipe I
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat kedalam suatu keadaan yang disebut ketoasidosis diabetikum. Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan kencing yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stress akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
  1. Penderita Diabetes Mellitus tipe II
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbulah gejala yang berupa sering kencing dan sering merasa haus. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1000 mg/dl, biasanya terjadi akibat stress, misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing kejang.
(http://medicastore.com , diakses 13 Maret 2011)\

Penyebab Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Penyebab Diabetes Mellitus ini tergantung dari tipe diabetesnya. Ada dua tipe diabetes, yaitu:
  1. Diabetes Mellitus tipe I (tergantung insulin)
Penderita diabetes mellitus tipe I menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Sebagian besar diabetes melitus tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun. Faktor lingkungan (mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini, diperlukan kecenderungan genetik. Pada diabetes mellitus tipe I, 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin secara teratur (http://medicastore.com, diakses 13 Maret 2011)
  1. Diabetes Mellitus tipe II (tidak tergantung insulin)
Pada diabetes mellitus tipe II, pankreas tetap menghasilkan insulin, kadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif. Diabetes tipe II ini bisa terjadi pada anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas, sekitar 80-90% penderita mengalami obesitas (http://medicastore.com , diakses 13 Maret 2011).

Pengertian Diabetes Mellitus (skripsi dan tesis)

Pengertian Diabetes Mellitus menurut WHO (1985) adalah keadaan Hiperglikemi menahun yang akan mengenai seluruh sistem tubuh dan merupakan hasil interaksi antara lingkungan dan genetik. Keadaan ini karena kekurangan hormon insulin atau jumlah kerja insulin menurun, atau kelebihan faktor-faktor yang kerjanya berlawanan dengan cara kerja insulin. Hal yang sama juga disebutkan oleh Brunner (2001) Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah dalam darah atau hiperglikemia.
Penyakit Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit, di mana tubuh penderitanya tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (Glukosa) dalam darahnya (Sustrani dkk, 2004). Tugas pengaturan pengiriman glukosa dibebankan pada hormon insulin yang di produksi oleh kelenjar pankreas. Pada tubuh yang sehat, pankreas melepas hormon insulin yang bertugas mengangkut gula melalui darah ke otot-otot dan jaringan lain untuk memasok energi.
Diabetes Mellitus adalah penyakit seumur hidup dimana badan seseorang tidak memproduksi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik (Johnson, 2005). Insulin adalah hormon, cairan kimia yang menolong, mengatur dan mengendalikan jumlah glukosa di dalam darah. Glukosa sebenarnya yaitu sumber energi (tenaga); bahan bakar untuk tubuh, dan glukosa adalah makanan bagi berbagai sel dalam tubuh. Bila tubuh mencerna makanan yang dimakan, hidrat arang (karbohidrat), demikian juga protein dan lemak, diubah menjadi glukosa (Johnson, 2005).
Pada dasarnya Diabetes Mellitus disebabkan oleh hormon insulin penderita yang tidak mencukupi atau tidak efektif sehingga tidak dapat bekerja secara normal. Padahal, insulin mempunyai peran utama mengatur kadar glukosa di dalam darah, yaitu sekitar 60-120 mg/dl waktu puasa, dan dibawah 200 mg/dl pada 2 jam setel

Tingkatan dalam Pengetahuan (skripsi dan tesis0

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Notoatmodjo (2007),  Pengetahuan yang mencakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu :
  • Tahu (know)
Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. “tahu” diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Yang termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalh mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, contohnya menyebutkan makanan apa saja yang harus dihindari oleh penderita Diabetes Mellitus.
  • Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek yang dipelajari, contohnya dapat menjelaskan mengapa harus meninggalkan makanan yang mengandung karbohidrat.
  • Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

  • Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
  • Sintesis (Syntesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi yang ada.
  • Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan criteria-kriteria yang telah ada.

Pengertian Tingkat Pengetahuan (skripsi dan tesis)

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dairtikan sebagai sesuatu yang diketahui atau yang tidak diketahui berkenaan dengan sesuatu hal (Poerwadarminta, 1983). Menurut Van Peursen (Adiwitanti, 2006), tingkah laku manusia digerakkan oleh dorongan rasa ingin tahu yang dimiliki di dalam diri manusia itu sendiri. Jadi dengan kata lain, pengetahuan dapat memberikan informasi atau fakta yang benar mengenai perilaku seseorang. Sedangkan menurut Aristoteles (Adiwitanti, 2006), salah satu cara manusia bertindak adalah dengan mengenal dan mengetahui. Jadi, seseorang dalam bertindak sebaiknya harus memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga dapat mempertimbangkan segala sesuatunya dan mengambil keputusan yang tepat. Hal ini didukung oleh Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya aktif dan pengetahuan merupakan suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau tindakan seseorang. Sehingga dapat dikatakan bahwa mengetahui sesuatu berarti bertindak atas sesuatu itu.
Sesuai yang dikatakan Notoatmodjo (2003), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan domain diatas. Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Notoatmodjo, 2007) mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

Menurut Hurlock (1990), ada dua hal yang menjadi faktor penentu kontrol diri yaitu :
  1. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah bagian yang penting dalam proses ini, dengan anggota keluarga sebagai model perilaku, sebagai agen penguatan, dan sebagai standar untuk perbandingan. Orangtua yang perhatian, member harapan, dan konsisten dalam standar perilaku mereka cenderung mempunyai anak yang berkembang dengan internal locus of control dan memiliki rasa keyakinan yang tinggi
  1. Usia
Semakin bertambah usia seseorang, semakin baik kontrol diri orang tersebut
  1. Kematangan kognitif (pengetahuan)
Kematangan kognitif terjadi selama masa pra sekolah dan masa kanak-kanak secara bertahap akan meningkatkan kapasitas individu untuk membuat pertimbangan sosial dan mengontrol perilakunya. Di mana ketika individu beranjak dewasa akan memiliki kemampuan berpikir dan pengetahuan yang lebih kompleks (Santrock,2003).

Aspek-aspek kontrol diri (skripsi dan tesis)

Averill (1973) menyebutkan ada tiga aspek kemampuan yang tercakup dalam kontrol diri. Averill menyebutkan self control dengan sebutan control personal, yaitu mengontrol perilaku (behavioral control ), mengontrol kognisi (cognitive control), dan mengontrol keputusan (desicional control). Lebih lanjut tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Mengontrol perilaku (self control)
Aspek ini didefinisikan sebagai suatu kesiapan seseorang dalam merespon sesuatu yang dapat secara langsung mempengaruhi keadaan tidak menyenangkan dan langsung mengantisipasinya. Kontrol diri diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Mengatur pelaksanaan berarti menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau orang yang diluar dirinya. Individu yang kontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku menggunakan kemampuan dari dalam dirinya. Bila tidak mampu, maka individu akan menggunakan sumber ekternal diluar dirinya.
Kemampuan mengatur stimulus yang datang dari luar merupakan salah satu cara mengatasi bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dan sesuai dapat diarahkan dan dihadapi, dengan cara bmencegah serta mengarahkannya, denagn menempatkan sesuai dengan posisi dan kedudukan stimulus tersebut secara positif dan dapat diterima norma, etika serta peraturan yang berlaku di masyarakat.
  1. Mengontrol kognisi (congnitive control)
Kemampuan mengontrol kognisi berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menangkap, menilai atau menggabungkan suatu peristiwa dalam kerangka kognitif. Kemampuan mengontrol kognisi  dapat pula diartikan sebagai kemampuan dalam mengolah informasi yang didapat dan tidak diinginkan untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain), dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki mengenai suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi mengontrol kognisi dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
  1. Mengontrol stimulus
Kemampuan dalam mengolah informasi yang datang, didapat serta tidak diinginkan untuk mengurangi tekanan yang terjadi dari informasi yang ada, yang menurut individu tersebut kurang menyenangkan atau mengganggu.
  1. Mengantisipasi suatu peristiwa
Kemampuan individu dalam mengantisipasi suatu keadaan di mana keadaan tersebut baik atau tidak menurut individu itu. Dengan berbagai pertimbangan melalui pengetahuan yang diperoleh.
  1. Menafsirkan suatu peristiwa
Kemampuan individu dalam menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi.
  1. Mengontrol keputusan (desicional control)
Kemampuan mengontrol keputusan berkaitan dengan kemampuan  seseorang untuk memilih hasil atau tujuan yang diinginkan. Kemampuan akan berfungsi baik bila ada kesempatan, kebebasan atau kemungkinan dalam diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan atas tindakan yang diambil.
Menurut Shaffer (1985), ada dua aspek dalam kontrol diri, yaitu:
  1. Menahan Aktifitas (Motor Inhibition)
Motor inhibition atau menahan aktivitas motorik adalah kemampuan untuk mengendalikan atau menahan perilaku motorik ketika diperintahkan demikian. Terdapat juga hubungan antara motor inhibition dengan model kognitif seseorang. Orang yang reflektif, yaitu orang yang mampu bekerja dengan hati-hati dan akurat, lebih dapat mampu menahan perilaku motoriknya dibanding orang yang impulsif.
  1. Penundaan Kepuasan (Delay of Gratification)
Delay of gratification atau penundaan kepuasan adalah kemampuan untuk mengontrol impuls atau tindakan dan mengendalikan perilaku mereka dengan harapan untuk memperoleh tujuan jangka panjang yang diinginkan. Aspek ini terdiri dari dua fase, yaitu keputusan untuk menunda kepuasan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih menguntungkan dan kemampuan untuk bersabar dan menjaga keputusan yang telah diambil hingga hasil yang dituju telah didapat.
Menurut Mischel (Ghufron, 2003) ada tiga faktor yang mempengaruhi seseorang mau untuk menunda mendapatkan kepuasan, yaitu :
  1. a) Kepercayaan diri bahwa orang tersebut akan menerima apa yang seharusnya dia terima ketika memutuskan untuk menunggu mendapatkan kepuasan tersebut
  2. b) Keuntungan relatif yang didapat jika orang tersebut menunda memperoleh kepuasan dibanding dengan keuntungan yang didapat jika orang tersebut tidak menunda pemenuhan kepuasan.
  3. c) Jangka waktu yang harus ditempuh dalam penundaan kepuasan, semakin lama jangka waktu penundaan, maka orang akan lebih memilih untuk mendapatkan kepuasan dengan segera.
Menurut Sarafino (1998), ada dua aspek kontrol diri, yaitu:
  1. Pengendalian Tempat (Locus of control)
Orang yang percaya bahwa mereka mempunyai kontrol yang lebih terhadap kesuksesan dan kegagalan, dideskripsikan sebagai locus of control internal. Sedangkan orang yang percaya bahwa hidup mereka dikontrol oleh kekuatan dari luar diri mereka sendiri, misalnya seperti keberuntungan, berarti mereka mempunyai locus of control eksternal.


  1. Efikasi Diri (Self efficacy)
Keyakinan atau kepercayaan bahwa kita dapat sukses atas sesuatu yang kita ingin lakukan.
Menurut Santrock (2003), ada tiga aspek dalam kontrol diri, meliputi:
  1. Penundaan Kepuasan (Delay of Gratification)
Orang yang dapat menunda kepuasan segera untuk memperoleh hasil yang diinginkan di masa depan akan menunjukkan pentingnya faktor kognitif / orang dalam menentukan perilaku mereka sendiri.
  1. Efikasi Diri (Self Efficacy)
Kepercayaan atau keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil yang positif. Bandura (1977) telah menunjukkan bahwa self efficacy berhubungan dengan sejumlah pengembangan positif dalam hidup seseorang, meliputi pemecahan masalah yang menjadi lebih bersifat sosial.
  1. Pengendalian tempat (Locus of Control)
Locus of control mengacu pada kepercayaan individu mengenai apakah hasil dari tindakan mereka tergantung pada apa yang mereka lakukan atau pada peristiwa-peristiwa di luar kontrol diri mereka. Orang yang dikontrol secara internal, mengasumsikan bahwa perilaku dan tindakan mereka sendiri bertanggungjawab atas konsekuensi yang terjadi pada diri mereka sendiri. Orang yang dikontrol secara eksternal, mengabaikan bagaimana perilaku mereka. Mereka tunduk pada nasib, keberuntungan dan orang lain.
Individu yang kontrol dirinya rendah tidak akan mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya, sehingga jelas bahwa kontrol diri merupakan kemampuan penting bagi individu di mana kontrol diri memiliki beberapa aspek.


Menurut Smet (1994), kemampuan mengontrol diri memiliki 5 aspek yaitu :
  1. Behavioral Control (Kemampuan Mengontrol Perilaku)
Kemampuan dalam mengambil tindakan nyata untuk mengurangi dampak dari stressor, kemungkinan tindakan ini dapat mengurangi tingkat ketegangan suatu atau mempersingkat durasi masalah.
  1. Cognitive Control (Kemampuan Mengontrol Kognitif)
Kemampuan seseorang dalam menggunakan proses berpikir atau strategi keika menghadapi masalah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memfokuskan pikiran terhadap hal-hal yang menyenangkan, netral, atau suatu sensasi yang berbeda dengan situasi yang dihadapi.
  1. Decision Control (Kemampuan Mnegontrol Informasi)
Suatu kesempatan untuk memilih antar pilihan alternatif atau tindakan yang umum.
  1. Informational control (Kemampuan Mengontrol Informasi)
Meliputi hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang masalah yang dihadapinya, seperti apa yang akan terjadi, mengapa dan kosnekuensi apa yang akan diterimanya. Kontrol informasi ini sangat membantu seseorang dalam mengurangi stress karena seseorang dapat memperkirakan dan mempersiapkan diri terhadap apa yang akan terjadi. Selain itu, seseorang juga merasakan berkurangnya rasa takut terhadap hal-hal yang diketahuinya dengan pasti.
  1. Retrospective Control (Kontrol Retrospektif)
Kontrol terhadap pengalaman masa lalu adalah keyakinan terhadap apa atau siapa yang menyebabkan suatu permasalahan tersebut. Seseorang seringkali mencoba untuk mencari arti dari berbagai kejadian dalam kehidupan mereka. Meskipun demikian, al tersebut tidak membantu seseorang dalam mengontrol apa yang akan terjadi tetapi dapat membantu seseorang atau sesuatu untuk disalahkan, bahkan dirinya sendiri seringkali membantu seseorang meringankan kecemasannya.

Tipe Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

Menurut Block dan Block (dalam Zulkarnain, 2002), ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu:
  1. Over Control
Kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus.
  1. Under Control
Suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak.
  1. Appropriate Control
Kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat.
Sarafino (1998) mengemukakan jenis-jenis kontrol diri yang digunakan individu ketika menghadapi stimulus :
  1. Behavioral Control
kemampuan untuk mengambil tindakan konkrit untuk mengurangi akibat dari stresor. Tindakan ini dapat berupa pengurangan intensitas kejadian atau memperpendek durasi kejadian.
  1. Cognitive Control
Kemampuan untuk menggunakan proses berpikir atau strategi untuk memodifikasi akibat dari stresor. Strategi dapat berupa penggunaan cara yang berbeda dalam memikirkan kejadian tersebut atau memfokuskan pada pemikiran yang menyenangkan atau netral
  1. Declaration Control
Kesempatan untuk memilih antara prosedur alternatif atau tindakan yang dilakukan.
  1. Informational Control
Kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kejadian yang menekan, kapan akan terjadi, mengapa dan apa konsekuensinya.

  1. Retrospective Control
Menyinggung kepercayaan mengenai apa atau siapa yang menekan setelah kejadian tersebut terjadi.

Pengertian Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

Chaplin (2006) mengatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk mebimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Menurut Sarafino (1994), kontrol diri dapat diartikan sebagai keyakinan dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk mencapai hasil yang diinginkan dan menghindari hasil yang tidak diinginkan. Hetherington (1984) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk melarang atau mengarahkan tingkah laku sesuai dengan aturan atau norma sosial. Kontrol diri benar-benar terpengaruh oleh faktor keadaan atau situasi. Bagian dari situasi dan tipe perilaku tersebut dapat berjalan bersamaan dan lebih konsisten dari pengaturan moral yang terjadi.
Burger (1989) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan yang dirasakan dapat mengubah kejadian secara signifikan. Individu dianggap mempunyai kemampuan dalam mengelola perilakunya. Kemampuan tersebut membuat individu mampu memodifikasi kejadian yang dihadapinya, sehingga berubah sesuai dengan kemampuannya. Hurlock (1973) mengatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Kontrol emosi menunjukkan kemasakan emosi. Kriteria dari kemasakan emosi adalah kemampuan untuk menilai situasi secara kritis sebelum bereaksi dan selanjutnya memutuskan bagaimana reaksi yang tepat terhadap situasi tersebut.
Menurut Calhoum dan Acocella (1995), kontrol diri adalah pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Kontrol diri dianggap sebagai lawan dari kontrol eksternal. Kontrol diri mengandung pengertian individu menentukan standar perilaku. Kontrol diri akan memberi ganjaran bila memenuhi standar tersebut. Pada kontrol eksternal, orang lain menentukan standar dan memberi atau menahan ganjaran.
Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari stresor-stresor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan sebagai suatu intervensi yang bersifat pencegahan (Gustinawati, 2002).
Dalam penelitian ini, peneliti menyamakan istilah kontrol pribadi sama dengan istilah kontrol diri. Hal ini dikarenakan keduanya mempunyai pengertian yang sama, yaitu sama-sama menjelaskan mengenai kepercayaan atau keyakinan seseorang dalam melakukan perubahan perilaku dengan mengambil tindakan yang efektif demi memperoleh hasil yang lebih baik untuk masa depannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kontrol diri dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat membuat keputusan dalam menunda kepuasan segera dan mengambil tindakan yang efektif dalam mengendalikan perilaku, bertujuan untuk memperoleh hasil yang menguntungkan di masa yang akan datang dan menghindari hasil yang tidak menguntungkan lewat tindakannya sendiri. Untuk seterusnya, peneliti tetap menggunakan istilah kontrol diri.

Teori sistem keluarga (skripsi dan tesis)

Teori sistem keluarga dikemukakan oleh Minuchin (1974) dengan mengajukan skema konsep memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen.  Pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi.  Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan.  Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi dalam usahanya untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya (Lestari, 2012).
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi.  Sebuah keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi.  Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem (Lestari, 2012).
Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga.  Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan.  Untuk itu, dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam bereasi agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).
Keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian saling berhubungan dan saling berkaitan serta memiliki sistem hierarki yang berarti terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu atau relasi dua pihak (Lestari, 2012).  Proses saling mempengaruhi sesama anggota keluarga dapat terjadi secara langsung misalnya dalam hubungan suami-istri, ayah-anak, ibu-anak; dan terjadi secara tidak langsung berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).
Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi yang efektif sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu dan kualitas hubungan menjadi lebih baik.  Kualitas hubungan yang baik akan mempengaruhi kuatnya ikatan antar anggota keluarga.  Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis  (Lestari, 2012).
  Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara.  Relasi yang ada dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012).  Terwujudnya keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri yang perlu diusahakan secara terus-menerus.  Keharmonisan perkawinan merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).
Dalam usaha menciptakan dan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga inilah dibutuhkan kemampuan baik suami maupun istri untuk mengelola konflik yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995).  Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996) menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan, yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.  Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.

Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri (skripsi dan tesis)

Pelatihan manajemen konflik ialah serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk mengendalikan konflik agar dihasilkan resolusi konflik konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri.  Pengetahuan tersebut diharapkan akan memengaruhi perubahan perilaku sesuai situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri. Komunikasi yang terjalin di antara pasangan suami istri dalam menangani konflik dapat memupuk keeratan hubungan dalam keluarga.  Proses yang dijalani pasangan dalam mengelola konflik dan komitmen menjalani resolusi konflik juga dapat meningkatkan rasa saling menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi keharmonisan keluarga.
Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri.  Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau pelatihan.  Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan.  Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik.
Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan.  Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.  Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.
Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising, avoiding, dan accomodation.  Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif.    Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap memerhatikan keberlangsungan hubungan.  Suami istri bersikap kooperatif dengan bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan.  Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
  Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising (kompromi).  Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah.  Pada gaya manajemen konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal.  Gaya kompromi diterapkan pasangan suami istri dalam merumuskan penyelesaian ketika gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan.  Gaya kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.
Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi.  Di dalam mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik yang telah diputuskan bersama.  Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut Kovikondala dkk. (2015), sehingga pengetahuan dan keterampilan mengelola konflik yang dikuasai oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.
Keharmonisan, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas konflik yang minim (Stinnet & DeFrain dalam Hawati, 1996).  Kualitas dan kuantitas konflik yang dialami pasangan suami istri dapat diturunkan melalui pelatihan manajemen konflik.  Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru kepada pasangan suami istri untuk digunakan bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif.  Melalui pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995).  Hal itu didukung hasil penelitian Dewi & Sudhana (2013) yang menyatakan adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan keharmonisan.  Senada dengan Najoan (2015) yang menyatakan bahwa komunikasi terbuka yang didasari kejujuran dan saling percaya antara pasangan suami istri menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Nilai dalam perkawinan dan pemaafan merupakan faktor yang berkontribusi dalam mewujudkan keluarga harmonis (Nancy, dkk., 2012). Pasangan yang menunjung tinggi nilai dalam perkawinan akan memadang perkawinan sebagai sesuatu yang bernilai, berharga dan patut untuk dipertahankan.  Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif dalam resolusi konflik.  Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat mewujudkan keharmonisan keluarga dengan minimnya kuantitas konflik.

Tahapan Pelatihan Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)

Pelatihan manajemen konflik dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada langkah manajemen konflik yang dikemukakan oleh Pruitt & Rubin (2004), dipadu dengan gaya manajemen konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011).  Pelatihan ini akan dilaksanakan selama 2 hari dan terdiri dari 6 sesi yang masing-masing sesi berlangsung selama 15-50 menit.
Langkah-langkah manajemen konflik konstruktif yang digunakan dalam pelatihan dijabarkan sebagai berikut (Pruitt & Rubin, 2004):
  1. Memastikan adanya konflik dengan melihat dan menyadari bahwa konflik sedang terjadi antara pihak satu dengan pihak lain. Pasangan suami istri dilatih untuk bersedia mengakui dan menyatakan mempunyai masalah yang nyata dengan tujuan bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut.  Sebab-sebab munculnya konflik perlu dipahami pasangan termasuk berbagai hal yang terkait dengan konflik.  Terkadang sebab konflik yang nampak bukanlah sebab sebenarnya.  Masing-masing pihak perlu memahami adanya kemungkinan kesalahpahaman terhadap pendapat atau kepentingan pasangan.  Kesalahpahaman dapat menimbulkan konflik tidak nyata /ilusory.
Kesalahpahaman mungkin terjadi jika salah satu pihak mempunyai kesan yang salah mengenai niat pihak lain, salah satu pihak berpikir bahwa tindakan pihak lain akan menimbulkan pengorbanan tertentu, dan atau salah satu pihak menganggap pihak lain sewenang-wenang.  Langkah awal dalam manajemn konflik ini akan diberikan dalam pelatihan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga.
  1. Melakukan analisis konflik yang sedang terjadi dengan berusaha mengoreksi dan introspeksi diri. Kebanyakan masalah bisa diselesaikan melalui beragam cara sehingga untuk pemecahan masalah ada baiknya tidak terpaku pada satu cara saja.  Pasangan perlu saling mengingatkan bahwa tujuan mengelola konflik adalah mengatasi keluhan yang ada dan tidak meningkatkan konflik, sehingga masing-masing perlu mawas diri untuk tidak menuduh atau membuat diri menjadi defensif.  Analisis konflik dilakukan dengan membicarakan kepentingan atau tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik.  Hambatan yang mungkin muncul dalam langkah kedua ini yaitu terkadang orang tidak paham mengenai alasan yang mendasari preferensi mereka atau adanya ketidakpercayaan antara kedua belah pihak.  Langkah kedua dalam manajemen konflik ini akan dilatihkan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga setelah langkah awal diberikan.
  2. Mencari cara untuk merekonsiliasi aspirasi kedua belah pihak (kompromi). Cara ini dilakukan melalui berkoordinasi dengan pihak terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik. Pasangan suami istri perlu saling memahami dalam menjalani tahap ini.  Saran yang diajukan masing-masing pihak untuk rekonsiliasi perlu dikaitkan dengan nilai bersama, kepentingan bersama, dan hambatan bersama.  Solusi integratif dapat dicapai dengan memilih salah satu atau mengkombinasikan gaya manajemen konflik untuk diterapkan dalam langkah ketiga.  Gaya manajemen konflik yang sesuai dalam satu situasi konflik, belum tentu sesuai diterapkan dalam situasi lain.  Langkah ketiga dalam manajemen konflik ini akan disampaikan dalam pelatihan hari kedua sesi keenam.
  3. Menurunkan aspirasi dan mencari beberapa aspirasi lagi (bernegosiasi). Satu pihak menurunkan aspirasi atau pendapatnya dengan cara mengalah atau mengabaikan kepentingan yang prioritasnya rendah, begitu pula sebaliknya. Namun tidak berarti salah satu pihak kalah atau berpura-pura setuju pada pendapat pasangannya.  Pasangan yang menyepakati beberapa aspirasi penyelesaian masalah walaupun mungkin tidak seluruhnya, menciptakan dasar yang sama mengenai solusi yang hendak dicapai.  Apabila pasangan memutuskan untuk menerima solusi yang telah disepakati maka pasangan harus memiliki komitmen untuk melaksanakan alternatif solusi tersebut sehingga tercapai pemecahan masalah.  Langkah terakhir dalam manajemen konflik ini merupakan materi pelatihan hari kedua sesi keenam yang diberikan seusai langkah ketiga.
Pelatihan manajemen konflik dapat meningkatkan kerja sama diantara pasangan suami istri, menambah pemahaman mengenai pribadi pasangannya, serta meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal.  Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga (Dewi & Sudhana, 2012).  Selain itu, manajemen konflik merupakan usaha mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan yang berbeda dari pasangan suami istri.  Usaha mengakomodasi kepentingan yang berbeda merupakan konsep penyesuaian perkawinan untuk mencapai keharmonisan keluarga (Rachmawati, 2010).

Gaya Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)

Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan.  Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.  Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan yaitu:
  1. Competitive (kompetitif)
Kompetitif merupakan perilaku asertif dan tidak kooperatif yang terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu. Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya terhadap orang lain. Individu saling melawan dengan memerlihatkan keunggulan masing-masing.
  1. Collaboration (kerjasama)
Kerjasama merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya pengelolaan konflik dengan menggunakan kerjasama memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.


  1. Compromising (kompromi)
Kompromi merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan masing-masing pihak, serta saling berkoordinasi untuk menyelesaikan konflik dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik di antara kedua belah pihak.
  1. Avoiding (menghindar)
Menghindar memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Kedua belah pihak terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan.
  1. Accommodation (akomodasi).
Akomodasi merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini akan berusaha untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat dikelompokkan menjadi gaya manajemen konflik konstruktif yang meliputi collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance.
DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam pernikahan menjadi tiga macam, yakni:
  1. Avoidance
Metode pertama ini merupakan metode ketika pasangan menghadapi konflik dengan cara menghindar. Pasangan mencoba mencegah konflik dengan menghindari orang bersangkutan, situasinya dan atau hal-hal yang berhubungan dengan pemicu terjadinya konflik. Dengan menghindari penyebab masalah untuk sementara keadaan memang cukup tenang tetapi permasalahannya tidak akan selesai, masalah akan berlarut-larut dan dapat merusak hubungan.
Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan, secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya.
  1. Ventilation and catharsis
Metode menghadapi konflik yang kedua ini merupakan kebalikan dari avoidance, yaitu individu tidak menghindari konflik melainkan mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation berarti mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan, seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.
  1. Constructive and destructive
Metode konstruktif yaitu pasangan menghadapi masalah pernikahannya dengan lebih memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisasi emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.
Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.
Menurut Rubin (Lestari, 2014), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
  1. Bersifat konstruktif,
  • Negotiation atau tawar-menawar, ketika pihak-pihak berkonflik saling bertukar gagasan dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak,
  • Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik.
  1. Bersifat destruktif
  • Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis,
  • Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak menyerahkan kemenangan kepada pihak lain,
  • Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik,
  • Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik.
Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang digunakan individu dalam mengelola konflik.  Lerner (Olson & Olson, 2000) membedakan cara individu menyelesaikan konflik menjadi lima macam, yaitu:
  1. Pemburu/pursuer, adalah individu yang berusaha membangun ikatan lebih dekat. Individu dengan ciri ini akan berusaha untuk meningkatkan kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya.  Ketika terjadi konflik dalam interaksi, mereka akan dengan sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok masalah, berdiskusi untuk memahami perspektif masing-masing kemudian bernegosiasi untuk mencapai kompromi yang saling menguntungkan.  Dalam hal ini konflik dimaknai secara positif dan dikelola secara konstruktif.
  2. Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.  Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam yang beresiko menimbulkan gejala depresi.
  3. Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran, individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain.  Dalam taraf tertentu, cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan.
  4. Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya.  Tipe penakluk akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang beresiko memunculkan perilaku agresi.
  5. Pengutuk/blamer, adala individu yang selalu menyalahkan orang lain atau keadaan. Individu dengan ciri pengutuk akan menjadikan konflik sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang menjadi sebab perselisihan.  Individu demikian cenderung tidak mau mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan pada pihak lain atau keadaan.  Perilaku demikian beresiko memunculkan agresi.
Senada dengan Lerner, Kurdek (Lestari, 2014) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif (positive problem solving; misalnya melakukan negosiasi dan perundingan), pertikaian (conflict engagement;  misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol), penarikan diri (withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari konflik), dan tunduk (compliance; misalnya selalu mengalah).

Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)

Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai dengan situasi dalam hidupnya.  Pelatihan membantu pesertanya mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki.  Melalui pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan.  Pelatihan merupakan cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang.  Prinsip-prinsip belajar dalam pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan pelatihan dan pendidikan.
Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta pelatihan.  Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan.  Beberapa metode dalam pelatihan yaitu ceramah, membaca, diskusi kelompok, permainan, dan bermain peran.  Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi terbuka, dan diskusi panel.
Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan manajemen konflik.  Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan.  Pruitt & Rubin (2004) mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan.  Konflik dalam perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan.  Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas.  Ketika masalah muncul dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam juga.  Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Lestari, 2014).  Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.
Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam perkawinannya.  Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.
Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).
Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik. Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.  Oleh karena itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan lebih baik.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.

Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)

Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:
  1. Faktor kesejahteraan jiwa
Rendahnya frekuensi pertengkaran atau percekcokan di rumah, saling mengasihi dan saling membutuhkan serta saling tolong-menolong antara sesama anggota keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing, menjadi indikator-indikator jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.


  1. Faktor kesehatan fisik
Faktor ini tidak kalah penting dari faktor pertama karena jika anggota keluarga sering sakit maka akan berakibat banyaknya pengeluaran untuk dokter, obat-obatan dan rumah sakit, hal tersebut tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.
  1. Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga
Tidak semua keluarga beruntung dapat memeroleh penghasilan mencukupi.  Masalahnya tidak lain adalah kurang mampunya keluarga-keluarga bersangkutan merencanakan hidupnya, sehingga pengeluaran-pengeluaran pun menjadi tidak terencana.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga  (Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010) adalah:
  1. Komunikasi interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau kelompok kecil dengan feed back, baik secara langsung maupun tidak langsung (Dewi & Sudhana, 2012).    Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal (Mulyana, 2008).  Salah satu tipe komunikasi interpersonal yang digunakan dalam berinteraksi pada pasangan suami istri adalah yang bersifat diadik yaitu melalui komunikasi dalam situasi lebih intim, lebih dalam dan personal.  Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami istri berperan penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga.    Apabila pasangan suami istri saling menunjukkan sikap yang positif terhadap pasangannya maka komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif.   Terciptanya komunikasi efektif yang ditandai dengan adanya sikap terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif, dan kesetaraan, antara pasangan suami istri membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam pernikahan yang ditandai adanya saling mengerti, saling menerima, saling menghargai, saling percaya, dan saling mencintai (Dewi & Sudhana, 2012).
  1. Kecerdasan spiritual
          Kecerdasan spritual adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, kejiwaan dan kemampuan potensial untuk menentukan makna, nilai, moral serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dalam sesama mahluk hidup. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta dan dapat menempatkan diri dalam kehidupan yang lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan hakiki (Purba, 2012).  Dengan memiliki kecerdasan spiritual, pasangan suami istri mampu bersikap fleksibel dalam menghadapi konflik rumah tangga dan mampu menempatkan perilakunya dengan lebih bermakna.  Untuk menciptakan keluarga harmonis diperlukan eksistensi dan peran dari masing-masing anggota keluarga serta tanggung jawab terhadap fungsi dalam keluarga.  Untuk menumbuhkan kesadaran akan peran dan tanggung jawab dalam keluarga, diperlukan pemahaman dan kecerdasan spiritual (Purba, 2012).
  1. Nilai dalam pernikahan
Nilai-nilai yang dianut dalam perkawinan adalah sesuatu yang dihayati oleh pasangan mengenai apa yang baik, berharga, disukai, patut diusahakan, patut diperjuangkan dan dipertahankan dalam perkawinan.  Melvile (Nancy, dkk., 2014) menyatakan, nilai-nilai dalam perkawinan adalah bagian-bagian yang dianut dalam kehidupan perkawinan. Nilai dalam perkawinan dapat dipandang berbeda oleh setiap orang.  Redd (Nancy, dkk., 2014) menyatakan bahwa jika nilai dalam perkawinan rendah, perkawinan menjadi kurang sehat.  Hal ini dapat dijelaskan bahwa pasangan yang memandang perkawinan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang bermakna akan berusaha untuk memelihara kesatuan rumah tangga dengan memandang pasangan sebagai mitra sehingga tidak terdapat kesenjangan peran antara suami dan istri sehingga terwujud perkawinan yang egaliter, otonom, dan serasi.   Gambaran nilai dalam perkawinan yang otonomi, egaliter dan serasi akan menciptakan perkawinan yang harmonis dan akan berdampak pada kondisi keluarga yang harmonis (Nancy, dkk., 2014).
  1. Pemaafan
Pemaafan adalah suatu solusi dari risiko logis antar pribadi.  Ketidakmampuan untuk memaafkan atau dimaafkan akan menjadi sumber hancurnya suatu relasi, tak terlepas dari hubungan suami-istri yang tentunya akan mengarah kepada keretakan keluarga (Subiyanto, 2011).    Pasangan suami-istri yang memiliki sikap pemaaf kemungkinan besar akan memertahankan keutuhan keluarganya. Mereka menyadari bahwa manusia mudah melakukan kesalahan.  Apabila diketahui bahwa salah satu pasangan melakukan kesalahan, maka pihak lain dengan usaha sangat kuat akan memaafkan pihak yang berbuat salah. Pemaafan adalah suatu perjalanan sangat kompleks, termasuk kemampuan untuk mengubah sistem afektif, kognitif dan tingkah laku (Nancy, dkk., 2014).
Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan.  Pemaafan merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal.  Hubungan interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).
  1. Penyesuaian perkawinan
Penyesuaian perkawinan adalah perubahan yang terjadi selama masa pernikahan antara suami istri untuk dapat memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing pihak, serta untuk menyelesaikan masalah yang ada, sehingga kedua belah pihak merasakan kepuasan.  Munandar (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa penyesuaian perkawinan berarti adanya saling pengertian antara suami-istri dalam menyatakan perbedaan-perbedaan di antara suami-istri dengan melakukan hal-hal yang dapat menambah kepuasan supaya tercapai hubungan keluarga yang harmonis.
Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.

Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)

Stinnet & DeFrain (Hawari, 1996) mengemukakan enam kriteria keluarga harmonis, yaitu:
  1. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi konflik dan percekcokan dalam keluarga.

  1. Memiliki waktu bersama keluarga
Keluarga harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.
  1. Ada komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Anak akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu anak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.
  1. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.
Keluarga harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan lebih luas.
  1. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
  1. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan erat, maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.
Kovikondala dkk. (2015) juga mengemukakan lima dimensi keharmonisan keluarga yaitu:
  1. Komunikasi efektif, komunikasi yang tercipta dengan baik di antara anggota keluarga ketika peran dalam keluarga berfungsi secara optimal, sehingga setiap anggota keluarga dapat saling berbicara dengan bebas, saling mendengarkan, peduli, dan mampu mengekspresikan kasih sayang.
  2. Resolusi konflik, yakni sebuah kondisi dimana keluarga dapat menyelesaikan masalah dengan konstruktif, saling menghargai dan mau menerima perbedaan pendapat serta tetap menjalankan perannya dengan baik. Penyelesaian masalah dalam keluarga juga dilakukan dengan tenang.
  3. Kesabaran atau menahan diri, setiap anggota keluarga saling memahami dan memiliki kesabaran satu dengan yang lain serta mau menyesuaikan diri untuk berusaha meredakan ketegangan yang mungkin terjadi.
  4. Waktu berkualitas bersama keluarga. Anggota keluarga merasakan kepuasan dan nyaman berada di tengah keluarga, setiap anggota keluarga merasa dekat satu dengan yang lain dan saling merawat.
  5. Identitas sebagai keluarga yang berarti bangga dan mengakui sebagai anggota keluarga serta mau menjadi bagian dari cita-cita keluarga.

Pengertian Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)

Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012).  Menurut Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan. 
Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga, misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain.  Gunarsa (2004) berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
Menurut Sahli (Rachmawati, 2010), keharmonisan keluarga adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri, didasari oleh kerelaan dan keselarasan hidup bersama. Suami istri hidup dalam ketenangan lahir dan batin karena suami istri tersebut merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada dan telah dicapai ke dalam ataupun ke luar keluarga, menyangkut nafkah, seksual, dan pergaulan dengan masyarakat.
Surya (2001), menyatakan bahwa keharmonisan merupakan kondisi hubungan interpersonal yang melandasi keluarga bahagia.  Keharmonisan keluarga dibuktikan dengan adanya tanggung jawab dalam membina suatu keluarga didasari oleh saling menghormati, saling menerima, menghargai, saling memercayai, dan saling mencintai (Purba, 2012).

Jenis-jenis pola asuh orang tua (skripsi dan tesis)

Gerungan (2004) berpendapat bahwa pola asuh orang tua tidak berbeda halnya dengan cara kepemimpinan dalam kelompok yang terdiri dari tiga cara yakni otoriter, demokratis dan laissez-faire. Hal senada juga diungkapkan oleh Soesilowindradini yang mengungkapkan tiga macam cara menanamkan ketertiban yang diikuti orang tua antara lain cara otoriter yang menuntut anak hanya menurut pada orang tua dan cara demokratis dimana orang tua lebih banyak menunjukkan pengertian terhadap kebutuhan dan kemampuan anak, serta cara permisif dimana orang tua membiarkan saja anak mengerjakan apa yang dikehendakinya dengan harapan akan adanya pembelajaran diri dari anak.
Menurut Gunarsa (1981), ada empat penggolongan cara mendidik orang tua sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam berhubungan dengan anak. Pertama, cara pendidikan otokratis yang mengharapkan kepatuhan mutlak dari pihak remaja oleh sebab kekuasaan terletak di pihak orang tua. Kedua, cara pendidikan otoriter yang memperbolehkan remaja memberikan pandangan dan pendapatnya tanpa turut dipertimbangkan sedangkan orang tua tetap menentukan dan mengambil keputusan. Ketiga, cara pendidikan demokratis dimana remaja boleh mengemukakan pendapatnya sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangannya dengan orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Dalam pendidikan yang demokratis ini orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan orang tua. Keempat, cara pendidikan dengan hak yang sama dimana antara orang tua dan anak tidak terlihat adanya perbedaan peranan dalam hal penentuan arah oleh karena dalam mengambil keputusan orang tua dan anak memiliki hak yang sama.
Pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada tiga pola asuh yang diungkapkan Diana Baumrind (1966) yaitu Authoritarian Parents (otoriter), Permissive/Indulgent Parents (permisif) dan Authoritative Parents (demokratis).
  1. Authoritarian parents. Orang tua berusaha untuk membentuk, mengontrol dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar etika, biasanya berupa standar mutlak, motivasi teologis dan nilai normatif yang diyakini. Sedangkan anak harus menurut pada kehendak orang tua yang biasanya terdapat hukuman (hukuman badan) apabila anak tidak mau menurut pada orang tua (Soesilowindradini). Anak yang dididik secara otoriter akan membentuk anak menjadi rendah diri atau menarik diri, gelisah, tergantung, pasif dan keyakinan diri rendah serta kemampuan adaptasi sosial yang rendah. Disisi lain anak yang dididik secara otoriter justru cenderung kurang suka berperilaku anti sosial dan berprestasi.
  2. Permissive parents. Orang tua membiarkan saja anak mengerjakan apa yang dikehendakinya dengan pemikiran bahwa anak akan belajar sendiri hal-hal mana yang baik dan yang tidak benar sesuai dengan akibat perbuatannya sendiri (Soesilowindradini). Orang tua berusaha untuk bersikap tidak menghukum, menerima dengan cara menyetujui kehendak, keinginan dan tindakan anaknya. Pola asuh yang permisif ini cenderung membentuk anak menjadi kurang dapat mengatur emosi (kematangan emosional), memberontak dan menantang jika keinginannya tdak terpenuhi, kurang bertanggung jawab menghadapi tugas-tugas yang bersifat menantang serta memiliki perilaku yang cenderung antisosial.
  3. Authoritative parents. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, menentukan dan mengambil keputusan bersama dengan orang tua, akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal pengambilan keputusan akhirnya (Gunarsa, 1981). Ada tingkat kesederajatan yang sama antara orang tua dan anak dalam pola asuh ini sehingga tidak ada batasan komunikasi diantara keduanya tetapi setara seperti layaknya teman bahkan sahabat (Manuhutu, 2003). Anak yang dididik secara demokratis akan cenderung menjadi anak yang bertanggung jawab, percaya diri, memiliki penguasaan dan penyesuaian diri yang baik terutama dalam kemampuan sosialnya. Seorang anak yang diasuh secara otoriter juga cenderung kritis atas keingintahuannya secara intelektual karena jiwa eksplorasi dan kreativitas yang dimilikinya (Baumrind, 1966).