Wednesday, July 10, 2019

Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap penerapan Manajemen Strategik (skripsi dan tesis)

Menurut Mifta Thoha (2010: 49) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, ketrampilan, dan sikap pemimpin dalam politik.  Pendapat senada dikeluarkan oleh Harsey dan Blanchard (2007) bahwa gaya kepemimpinan sebagai “pola perilaku yang dilakukan seseorang pada waktu berusaha mempengaruhi aktivitas orang lain, seperti yang dipersepsikan orang lain yang dipengaruhinya”.
Pemimpin memiliki peran sebagai perencana strategis yang efektif dalam memimpin organisasi untuk menggunakan dapat memanfaatkan peluang pertumbuhan. Bahkan mereka berkontribusi penting dalam menumbuhkan kemampuan serta memotivasi karyawan untuk mengembangkan keterampilan mereka (Karami, dalam Mumenya et al., 2012 ). Quigley (dalam Mumenya et al., 2012), menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif dalam organisasi dipandu oleh pemahaman holistik entitas mereka, mampu selalu menjaga pandangannya pada masa depan, meninjau dan memantau arah serta tujuan komitmen, dan memastikan tujuan ini dipahami oleh seluruh stakeholder perusahaan melalui komunikasi yang efektif. Dengan demikian, gagasan bahwa keberhasilan pemimpin dalam sebuah organisasi merupakan hasil dari seberapa baik mereka dapat menyelaraskan tujuan dalam berbagai fungsi organisasi dengan orientasi keseluruhan dari perusahaan
Hasil penelitian Mumenya et al. (2012) menunjukkan bahwa kepemimpinan organisasi merupakan faktor paling utama yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan manajemen strategis suatu perusahaan. Penelitian Zhao (2005), juga menunjukkan bahwa implemetasi manajemen stategis yang efektif dapat dicapai dalam suasana kepemimpinan yang mampu mendorong pengembangan ide dan penghargaan terhadap bawahan.

Dimensi Dalam Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)

Menurut Gibson (2009:315) komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap: (1) identifikasi dengan tujuan organisasi, (2) perasaaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi, dan (3) Perasaaan loyalitas terhadap organisasi. Allen dan Meyer (dalam Robbins, 2008) menyatakan bahwa organisasi merefleksikan tiga komponen utama yaitu:
  1. Kelekatan afektif inidividu (affective commitment)
Komitmen Afektif (affective commitment), terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional (emotional attachment) atau psokologis terhadap organisasi
  1. Kerugian yang diterima individu ketika meninggalkan organisasi (continuance commitmen)
Komitmen Kontinu (continuance commitment), muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena dia membutuhkan organisasi tersebut
  1. Kesetiaan individu (normative commitment).
Kesetiaan individu (normative commitment) timbul dari nilai-nilai diri karyawan.  Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan.Jadi, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena dia merasa berkewajiban untuk itu.
Tiga tipe komitmen organisasi yang dijelaskan meng-karakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi memiliki bahwa karyawan akan tetap berada dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi dipercaya akan memunculkan kontribusi positif dalam diri karyawan. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan tetap tinggal dalam organisasi, bekerja secara rutin dan fullday, melindungi asset-aset organisasi dan mempercayai tujuan organisasi yang akan diraih.

Pengertian Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)

Komitmen orgnaisaional (organizational commitment), didefinisikan sebagaisuatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak  organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu,sementara komitmen norganisasional yang tinggi berarti memilhak organisasi yang merekrut individu tersebut. (Robbins, 2008).  Menurut Iverson (2007) komitmen organisasi dalah prediktor terbaik dalam perubahan dibandingkan dengan kepuasan kerja, dimana karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan mengerahkan usaha lebih dalam proyek perubahan (Julita dan Rafaei, 2010).
Becker menyatakan komitmen organisasi adalah variable criterion dalam mengukur dampak perubahan organisasi dikarenakan adanya hubungan yang kuat antara karyawan dengan organisasi (Julita dan Rafaei, 2010). Komitmen organisasi merupakan tingkat sampai sejauh mana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Seringkali, komitmen organisasional diartikan secara individu dan berhubungan dengan keterlibatan orang tersebut pada organisasi tersebut (Ikhsan dan M Ishak, 2005). Komtimen organisasional menurut Ivancevich (2007:234) adalah perasaan idenifikasi, keterlibatan, dan kesetiaan yang diekspresikan oleh pegawai terhadap organisasi. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diidentifikasi bahwa komitmen terhadap organisasi melibatkan tiga sikap yaitu, rasa identifikasi dengan tujuan organisasi, perasaan terlibat dalam tugas-tugas organisasi, dan perasaan setia terhadap organisasi. Bukti penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya komitme organisasional dapat mengurangi efektivitas organisasi.

Kekuasaan (skripsi dan tesis)

Kekuasaan sering dikaitkan dengan kekuatan dan kekerasan. Power atau kekuasaan merupakan kata yang paling dibenci karena penyalahgunaannya menghasilkan sesuatu yang dikutuk orang, akan tetapi diperlukan oleh para menejer dan pemimpin karena tanpa kekuasaan mereka tidak berdaya (Wirawan, 2009). Kekuasaan berhubungan dengan maksud dan tujuan dari pemegang kekuasaan dan penerima kekuasaan. Jadi merupakan milik kolektif bukan hanya perilaku satu orang. Pandangan mengenai kekuasaan ini berhubungan dengan tiga elemen dalam proses kekuasaan yaitu motif dan sumber-sumber pemegang kekuasaan; motif dan sumber-sumber penerima kekuasaan; dan hubungan diantara elemen-elemen tersebut.
McGregor Burns dalam Wirawan (2009) berpendapat bahwa sumber-sumber kekuasaan antara lain: dana, ideologi, institusi, pertemanan, status, penghargaan politis, ketrampilan, penilaian, komunikasi dan waktu yang dapat dipergunakan untuk mempengaruhi. Sebagai saintis politik McGregor Burn menyatakan bahwa kekuasaan dapat muncul dalam banyak bentuk misalnya lencana polisi, uang, daya tarik seks, otoritas, peraturan administrasi, kharisma, mesin dan instrumen penyiksaan. Akan tetapi semua sumber ini harus relevan dengan motivasi penerima kekuasaan. Misalnya, alat kekuasaan yang paling menakutkan seperti penyiksaan, tidak diberi makan dan air tidak akan mempengaruhi para martir (Wirawan, 2009).
Yukl (2010) mengatakan bahwa kekuasaan sangat penting untuk memahami bagaimana orang mampu saling mempengaruhi dalam organisasi. Kekuasaan melibatkan kapasitas dari satu pihak (”agen”) untuk mempengaruhi pihak lain (”target”). Konsep ini lebih fleksibel untuk digunakan dengan berbagai cara. Terkadang kekuasaan didefinisikan dalam konteks relatif bukannya absolut, yang berarti batasan dimana agen tersebut mempunyai pengaruh lebih besar terhadap target dibandingkan dengan yang dimiliki target terhadap agen. Selanjutnya, kekuasaan adalah variabel yang dinamis yang berubah bersamaan dengan perubahan kondisi.Bagaimana kekuasaan digunakan dan hasil dari usaha mempengaruhi dapat meningkatkan atau menjatuhkan kekuasaan seorang agen. Istilah kekuasaan digunakan untuk menjelaskan kapasitas absolut seorang agen untuk mempengaruhi perilaku atau sikap seseorang atau lebih yang ditunjuk sebagai target pada suatu waktu tertentu.
Robbins (2008) menjelaskan bahwa kekuasaan merujuk pada kapasitas yang dimiliki oleh atasan untuk mempengaruhi perilaku bawahan, sehingga bawahan bertindak sesuai dengan keinginan atasan. Definisi ini mencerminkan potensi yang tidak harus diaktualisasikan agar menjadi efektif, dan hubungan ketergantungan kekuasaan bisa ada, tetapi tidak digunakan.Oleh karena itu, kekuasaan adalah kapasitas atau potensi. Orang dapat mempunyai kekuasaan tetapi tidak memaksakan penggunaannya. Agaknya aspek paling penting dari kekuasaan adalah bahwa kekuasaan merupakan fungsi dari ketergantungan. Makin besar ketergantungan bawahan pada atasan, semakin besar kekuasaan atasan dalam hubungan itu.Selanjutnya, ketergantungan itu didasarkan pada alternatif-alternatif yang dipersepsikan oleh bawahan dan arti penting yang ditempatkan bawahan pada alternatif yang dikendalikan oleh atasan.
Gardner dalam Swansburg (2004) mendefinisikan kekuasaan sebagai ”suatu kapasitas untuk memastikan hasil dari suatu keinginan dan untuk menghambat mereka yang tidak mempunyai keinginan”. Orang menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan dan untuk memperkuat posisinya dalam organisasi. Penggunaan kekuasaan adalah sah apabila dipakai secara adil dan dengan cara etis untuk mencapai tujuan organisasi, kelompok dan individu. Pemimpin yang baik menghendaki kekuasaan akan mempengaruhi tingkah laku dari para pegawai untuk suatu kebaikan dari organisasi, bukan untuk keuntungan pribadi.
Paul Hersey, Kenneth H. Blanchard dan Dewey E. Johnson (dalam Wirawan, 2009) mendefinisikan kekuasaan sebagai berikut: ”Power is influence potential –the resource that enable a leader to gain compliance or commitment from others. Sedangkan Richard M.Hodgetts (dalam Wirawan, 2009) mendefinisikan kekuasaan: ”Power is the ability to influence someone to do something that he or she would not otherwise do”.
Berdasarkan definisi tersebut ada sejumlah kata kunci yang perlu memperoleh penjelasan.Pertama, kekuasaan merupakan potensi untuk mempengaruhi. Potensi adalah daya atau kekuatan yang dimiliki oleh agen yang berusaha mempengaruhi target. Daya seseorang mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak. Daya yang dimiliki seseorang berasal dari sumber kekuasaan yaitu sumber interaksi sosial antara agen dan target. Istilah potensi tidak diartikan jika agen mempunyai satu jenis kekuasaan yang pasti dapat mempengaruhi target. Potensi akan mempengaruhi target, apabila agen mempunyai lebih dari satu jenis kekuasaan, misalnya: seorang birokrat mempunyai otoritas atau wewenang, akan tetapi jika ia tidak mempunyai kekuasaan, keahlian dan kharisma ia sulit mempengaruhi bawahannya yang pendidikannya lebih tinggi.
Di samping itu untuk mengoperasikan satu jenis kekuasaan tertentu agen perlu mempunyai sifat pribadi tertentu.Potensi yang dimiliki agen dapat berupa potensi personal dan potensi posisional.Potensi personal adalah potensi yang bersumber pada kualitas psikologi dan kualitas fisik agen. Kualitas psikologi misalnya mempunyai ilmu pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman tertentu, ketrampilan berkomunikasi dan sebagainya. Kualitas fisik antara lain gagah, cantik, jelek, menyeramkan dan sebagainya. Potensi posisional adalah potensi agen karena menduduki jabatan atau posisi tertentu dalam organisasi, posisi senioritas, posisi status sosial dan sebagainya.
Kedua, potensi agen diperlukan untuk mempengaruhi target. Mempengaruhi adalah upaya untuk menciptakan pengaruh yaitu perubahan sikap, perilaku, nilai-nilai, kepercayaan, motivasi, kinerja, pendapat, tujuan, kesejahteraan dan sebagainya dari target. Perubahan tersebut membuat target berperilaku atau melaksanakan apa yang dikehendaki oleh agen.
Ketiga, resistensi target terhadap upaya mempengaruhi agen. Mempengaruhi merupakan proses interaksi antara agen dengan target. Interaksi tersebut merupakan interaksi dua arah, artinya bukan saja agen yang berusaha mempengaruhi target akan tetapi target juga berusaha mempengaruhi agen. Dalam interaksi mempengaruhi target dapat menolak (resist) pengaruh agen. Bentuk resistensi dapat berupa keraguan, skeptis, tidak percaya, tak acuh, penolakan atau perlawanan target terhadap pengaruh agen. Jika pengaruh agen lebih besar dari pada resistensi target, maka target akan terpengaruh oleh agen. Akan tetapi jika resistensi target lebih besar dari pada pengaruh agen maka upaya mempengaruhi gagal dan target tidak terpengaruh bahkan mungkin target mempunyai pengaruh terhadap agen.

Pelaksanaan Gaya Kepemimpinan Situasional (skripsi dan tesis)

Secara umum maka pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional tersebut sangat dipengaruhi kondisi organisasi itu sendiri. Dalam pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional merupakan gabungan dari berbagai gaya kepemimpinan yang telah ada. Oleh karenanya dalam uraian bentuk pelaksanaan kepemimpinan situasional merupakan uraian yang memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan lainnya. Bentuk-bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan tersebut dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Ada empat respon kepemimpinan dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan. Selanjutnya menurut Harsey dan Blanchard (2007) merumuskan ada 4 perilaku dasar kepemimpinan situasional, yaitu:
  1. Mengarahkan (telling)
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan, minat dan komitmenya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.
  1. Menjual (selling)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur tugas dengan tanggungjawab karyawan.Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi, serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan.
Pada kondisi karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menghadapi permasalahan baru yang muncul. Masalah-masalah baru yang muncul tersebut, seringkali menjadikannya putus asa. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual yaitu ketika si pemimpin harus mampu mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah.
  1. Menggalang partisipasi (participation)
Gaya kepemimpinan partisipasi adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Respon tersebut berupa upaya pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh pemimpin itu sendiri. Gaya kepemimpinan partisipatif adalah seorang pemimpin yang mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan (Yukl, 2010). Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan atau pengikutnya.
  1. Mendelegasikan (delegating)
Pada unsur gaya kepemimpinan situasional delegasi ini maka pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap karyawan sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.
Berdasarkan uraian tersebut maka bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional adalah gaya pemimpin yang mampumenerapkan gayanya agar sesuai dengan situasi tertentu. Selanjutnya pimpinan perlu mempertimbangkan setiap situasi khusus dalamrangka memahami gaya mana yang lebih tepat untuk diterapkan. Dalam penelitian ini akan menggunakan empat perilaku dasar dalam gaya kepemimpinan situasional di atas yaitu uraian dimensi kepemimpinan situasional berdasarkan Harsey dan Blanchard (2007).

Gaya Kepemimpinan Situasional (skripsi dan tesis)

Seorang pemimpin dapat melakukan berbagai cara dalam kegiatan  mempengaruhi atau memberi motivasi orang lain atau bawahan agar melakukan tindakan-tindakan yang selalu terarah terhadap pencapaian tujuan organisasi. Cara ini mencerminkan sikap dan pandangan pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya, dan merupakan gambaran gaya kepemimpinannya.
Menurut Mifta Thoha (2010: 49) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Gaya kepemimpinan mewakili filsafat, ketrampilan, dan sikap pemimpin dalam politik.  Pendapat senada dikeluarkan oleh Harsey dan Blanchard (2007) bahwa gaya kepemimpinan sebagai “pola perilaku yang dilakukan seseorang pada waktu berusaha mempengaruhi aktivitas orang lain, seperti yang dipersepsikan orang lain yang dipengaruhinya”. Sedangkan pengertian gaya kepemimpinan menurut Nawawi (2003) adalah perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku para anggota organisasi atau bawahannya.
Gaya kepemimpinan situasional secara khusus dihubungkan dengan kemampuan pemimpin untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.Misalkan tuntutan iklim organisasi, harapan, kemampuan atasan dan bawahan serta tingkat kematangan dan kesiapan bawahannya. Dengan demikian melalui pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional diharapkan dapat mendorong semangat kerja karyawan dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. Menurut Hersey dan Blanchard (2007) teori situasional ini berfokus pada karakteristik kematangan bawahan sebagai kunci pokok situasi yang menentukan keefektifan perilaku seorang pemimpin. Situasi ini akhirnya menuntut pemimpin untuk mengajak peran serta bawahan agar mau berpartisipasi secara aktif sehingga secara perlahan-lahan motivasi mereka akan berkembang dengan optimal. (Suyanto, 2009).
Oleh karenanya tidak ada satu cara terbaik untuk mempengaruhi perilaku orang-orang. Semua terbaik menurut kondisi yang ada. Dengan demikian gaya kepemimpinan situasional menitikberatkan penyesuaian antara gaya kepemimpinan dengan kondisi yang berbeda (Hersey dan Blanchard, 2007). Dalam pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional tersebut maka seorang pemimpin atau manajer harus menyesuaikan responnya menurut kondisi atau tingkat perkembangan kematangan, kemampuan dan minat karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam hal ini, respon seorang manajer dalam perilaku kepemimpinannya memberikan sejumlah pengarahan dan dukungan yang bersifat sosioemosional.
Salah satu faktor utama yang menjadi bahan pertimbangan gaya kepimpinan adalah tingkat kematangan karyawan. Tingkat kematangan karyawan (maturity), diartikan sebagai tingkat kemampuan karyawan untuk bertanggung jawab dan mengarahkan perilakunya dalam bentuk kemauan.Konsep ini disebut dengan kematangan psikologis.Di samping itu terdapat pula pengaruh dari kematangan pekerjaan yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu.Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Karyawan yang memiliki kematangan pekerjaan tinggi dalam bidang tertentu memiliki pengetahuan, kemampuan dan pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu tanpa arahan dari orang lain. Melalui dua bentuk kematangan yaitu kematangan psikologi dan kematangan pekerjaan maka terdapat empat jenis karyawan, yaitu: (1) karyawaan yang tidak mampu dan tidak mau, (2) karyawaan yang tidak mampu, tetapi mau, (3) karyawaan yang mampu, tetapi tidak mau, (4) karyawan yang mampu dan mau Hersey and Blancard (2007).
Kematangan pekerjaan dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan sesuatu.Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan. Orang-orang yang memiliki kematangan pekerjaan yang tinggi dalam bidang tertentu memiliki pengetahuan, kemampuan dan pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu tanpa arahan dari orang lain. Kematangan piskologis dikaitkan dengan kemauan atau motivasi untuk melakukan sesuatu.Hal ini erat kaitannya dngan rasa yakin dan keikatan. Oaring-orang yang sangat matang karena psikolos akan memiliki tanggung jawab sehingga memiliki keyakinan maupu melakukan dan menanggung pekerjaan tersebut (Hersey and Blancard 2007).

Dimensi-Dimensi Manajemen Strategik (skripsi dan tesis)

Berdasarkan pengertian dan karakteristiknya dapat disimpulkan bahwa manajemen strategik memiliki beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi-dimensi yang dimaksud adalah (Siagian, 2008):


  1. Dimensi Keterlibatan Manajemen Puncak
Salah satu sifat keputusan strategik ialah bahwa keputusan tersebut menyangkut seluruh segi organisasi. Karena hanya pada tingkat manajemen puncaklah akan tampak segala bentuk implikasi dan remifikasi berbagai tantangan dan tuntutan lingkungan internal dan eksternal yang sangat mungkin tidak terlihat oleh para manajer tingkat yang lebih rendah. Selain itu hanya manajemen puncaklah yang memiliki wewenang untuk mengalokasikan sarana, prasarana, dan sumber lainnya yang diperlukan untuk mengimplementasikan keputusan yang telah diambil.
  1. Dimensi Alokasi Dana, Sarana dan Prasarana
Disini manajemen puncak berperan selaku integrator dari berbagai satuan kerja yang merasa berhak atas pengelolaan dana, sarana, prasarana maupun tenaga kerja dari satuan-satuan kerja lainnya dalam organisasi. Hal ini tergantung pada sifat penugasan, sasaran dan pembatasan waktu, mungkin saja satu satuan kerja diperlukan sebagai “yang terpenting” pada momen tertentu, tetapi pada momen lain satuan kerja lainlah yang bersifat strategik.
  1. Dimensi Waktu Keputusan Strategik
Salah satu ciri keputusan strategik ialah jangkauan waktunya yang relatif jauh kedepan, apakah itu lima tahun ataupun sepuluh tahun, bahkan bisa lebih. Penting untuk diperhatikan bahwa sekali manajemen puncak membuat suatu keputusan strategik, atas dasar keputusan itulah citra organisasi diciptakan dan dipelihara.
  1. Dimensi Orientasi Masa Depan
Disini sebuah organisasi membutuhkan seorang manajer handal yang memiliki sikap antisipatif dan proaktif. Karena dengan sikap yang antisipatif dan proaktif, manajemen akan lebih siap menghadapi tanggapan perubahan yang akan terjadi dan tidak akan dihadapkan kepada situasi “dadakan”.
  1. Konsekuensi Isu Strategik Yang Multifaset
Salah satu dimensi keputusan strategik ialah bersifat integratif dan koordinatif, karena keputusan strategik biasanya menjangkau semua komponen atau unsur organisasi.
  1. Dimensi Lingkungan Eksternal
Suatu organisasi biasanya mempengaruhi lingkungannya dan pasti dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang faktor-faktornya umumnya berada diluar kendali organisasi yang bersangkutan. Untuk itu agar organisasi  berhasil meraih keberhasilan yang di dambakannya dimasa depan faktor-faktor eksternal tersebut harus diperhitungkan dengan matang.