Self esteem didefinisikan sebagai evaluasi mengenai diri individu dan keyakinan pribadi individu tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan hasil masa depan (Heatherton & Polivy dalam Lopez & Snyder, 2003). Aspek-aspek self esteem terbagi menjadi 3 yaitu : (a) Physical self esteem, (b) Social self esteem, (c) Performance self esteem (Heatherton & Polivy dalam Lopez & Snyder, 2003). 29 Aspek physical self esteem berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh individu, termasuk daya tarik fisik, citra tubuh, perasaan mengenai ras dan etnis. Aspek ini juga merupakan keadaan dimana individu mampu untuk menerima keadaan fisiknya. Kepuasan wanita akan diri mereka banyak dipengaruhi oleh seberapa sering kecantikan ideal yang terpapar dimedia massa terekspos. Hal ini dapat berimbas pada kecenderungan wanita untuk merasa tidak puas dengan penampilan mereka (Clay dkk., 2005). Hal ini terbukti oleh hasil wawancara yang dilakukan Dittmar dan Drury (2000) kepada beberapa wanita dewasa awal yang salah satu dari mereka berprofesi sebagai mahasiswi, menyatakan bahwa kebanyakan dari mereka mengaku berbelanja karena merasa barang-barang yang ia beli akan mempercantik dirinya. Ketika muncul penilaian negatif mengenai dirinya akan penampilan dan daya tarik fisik individu, maka mereka akan mencari cara untuk mengubah penilaian tersebut dengan mencari dukungan eksternal yang dinilai memiliki kekuatan yang lebih besar dari diri mereka, serta dapat memberikan rasa aman, kenyamanan, kesenangan, yang dalam penelitian ini adalah berbelanja. Aktivitas berbelanja diasosiasikan dengan perasaan berharga, kebahagiaan, serta kekuatan yang secara langsung dapat memuaskan individu (Scherhorn dalam Kurnia, 2012).
Berbelanja memang memiliki manfaat psikologis yang mampu melepas emosi negatif menjadi emosi yang positif (Dittmar, 2005). Namun perilaku tersebut hanya membawa efek positif yang sifatnya hanya sementara saja. Apabila kegiatan membeli dalam rangka menjadikan penampilan mereka lebih menarik dan diterima oleh orang-orang 30 disekitarnya melalui pembelian produk sukses, maka kebiasaan dalam pembelian tersebut akan semakin kuat dan akan menjadi perilaku yang akan terus berulang. Kegiatan pembelian berulang yang tidak terkontrol biasa disebut dengan compulsive buying (Maisyaroh dalam Islami & Satwika, 2018). Aspek social self esteem berhubungan dengan kemampuan individu dalam bersosialisasi dengan lingkungannya diantaranya adalah tentang pergaulan individu. Selain itu, aspek ini juga merupakan persepsi individu tentang penerimaan orang lain terhadap dirinya. Individu yang memiliki self esteem sosial yang tinggi memiliki keyakinan bahwa mereka adalah orang yang berharga, dihargai dan diterima oleh orang lain. Sementara individu yang harga diri sosialnya rendah sering mengalami kecemasan sosial, yaitu kecemasan akan penilaian orang lain terhadap diri mereka. Wanita cenderung lebih memperhatikan identitas diri mereka daripada pria, akibatnya identitas diri mereka pun lebih rentan terancam (Dittmar, 2005). Berbelanja dapat dengan mudah menjadi pelarian bagi individu dengan self esteem rendah karena dapat merepresentasikan status sosial dan citra diri (Dittmar, 2005). Ketika berbelanja, rasa cemas, sedih, perasaan inferior yang dimiliki akan sedikit demi sedikit hilang dan digantikan dengan perasaan senang serta mampu untuk melupakan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-harinya. Perilaku belanja ini memberikan efek positif meskipun hanya bersifat sementara, yaitu yang membuat individu dapat memberikan perasaan bahagia ketika sedang berbelanja hal yang disukai (Kothari & Mallik, 2015).
Lingkungan kampus juga merupakan faktor utama seseorang diwajibkan untuk mampu beradaptasi agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan bersosialiasi (Islami & Satwika, 2018). Ditambah lagi mahasiswi memiliki potensi yang besar untuk terus berbelanja kompulsif, karena mahasiswi mulai mengikuti pergaulan masyarakat kota yang mengarah pada kebutuhan hidup tingkat modern, seperti dalam hal penampilan, pembelian produk tertentu yang sedang trend, maupun aktivitas lainnya yang berdasarkan trend masa kini dan sesuai dengan gaya hidup mahasiswi perkotaan. Individu akan merasa seolah dirinya berkuasa dan memiliki kedudukan penting yang kemudian menimbulkan perasaan positif akan dirinya terhadap sekitarnya (Kothari & Mallik, 2015). Perilaku belanja ini akan kembali dilakukan ketika individu merasa nyaman dengan aktivitas belanja tersebut. Individu yang berhasil dapat merubah perasaan negatif menjadi positif dengan aktivitas belanja, maka akan cenderung kembali melakukan aktivitas belanja berulang yang disebut dengan perilaku pembelian kompulsif (Islami & Satwika, 2018).
Aspek performance self esteem berhubungan dengan penilaian seseorang terhadap kompetensi secara umum yang dimilikinya, meliputi kemampuan intelektual, kinerja sekolah, kapasitas pengaturan diri, kepercayaan diri. Individu yang memiliki self esteem tinggi percaya bahwa dirinya merupakan orang yang cerdas. Mahasiswi yang memiliki penilaian negatif akan dirinya baik itu tidak memiliki kepercayaan diri dan tidak meyakini bahwa mereka merupakan orang yang cerdas, mereka individu akan mencari cara untuk mengubah penilaian dan pemikiran tersebut dengan mencari dukungan eksternal yang dapat memberinya emosi positif, dalam hal ini cara tercepat adalah melalui berbelanja (Christensen dkk., dalam Workman & Paper, 2010). Ketika individu melakukan pembelian, individu akan merasa diri mereka kompeten, terlebih jika ia dapat membeli barang-barang dari merk ternama atau tergolong mahal (Dittmar, 2005). Dittmar & Beattie (dalam Lee & Workman, 2015) turut berpendapat jika pakaian, tas, dan sepatu memiliki nilai simbolis dalam peningkatan self esteem individu. Salah satu contoh nyata diperoleh dalam penelitian Dittmar & Drury (2000) yaitu dimana sebagian besar compulsive buyer berbelanja consumer goods karena merasa barang-barang tersebut akan menunjukkan kesan jika dirinya mampu secara ekonomi, memiliki kedudukan sosial tinggi dan terlihat lebih baik. Keadaan sebelum mereka berbelanja dan setelah berbelanja akan terlihat bedanya. Setelah melakukan pembelanjaan individu akan merasa bahwa dirinya berharga, dihargai, dan diterima oleh orang lain. Namun jika kegiatan pembelian tersebut semakin kuat dan berulang maka pada akhirnya akan menjadi kebiasaan membeli yang kompulsif atau compulsive buying. Semua aspek yang telah disebutkan diatas memiliki keterkaitan satu sama lain yang dapat mempengaruhi compulsive buying pada mahasiswi dewasa awal. Mahasiswi dewasa awal yang memiliki self esteem tinggi akan merasa bahwa dirinya berharga, dihargai, diterima oleh orang lain, memiliki citra diri yang baik, dan memiliki kepercayaan diri sehingga tidak melakukan kegiatan belanja berulang yang disebut dengan compulsive buying. Sedangkan mahasiswi dewasa awal yang memiliki self esteem rendah akan merasa bahwa dirinya tidak berharga, tidak dihargai, tidak diterima oleh orang lain, tidak memiliki kepercayaan diri, dan 33 menilai bahwa citra diri yang dimilikinya buruk sehingga cenderung kembali melakukan aktivitas belanja berulang yang disebut dengan compulsive buying
No comments:
Post a Comment