Monday, July 8, 2024

Teori-teori Kepuasan Kerja

 


Banyak sekali teori-teori tentang kepuasan kerja yang dibahas para ahli,
akan tetapi teori-teori yang berkenaan dengan kepentingan pembahasan dalam bab
ini lebih menekankan kepada teori dua faktor (Two Factor Theory).
Rivai (2009) menguraikan teori dua faktor dalam kaitannya dengan kepua-
san kerja. Menurut teori dua faktor, kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu
merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu
bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan
menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies. Satisfies
ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja
yang terdiri dari: pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk
berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya
faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini
tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah
faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji atau
upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini
diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan.
Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya
faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan
kecewa meskipun belum terpuaskan

Pengertian Kepuasan Kerja

 


Kepuasan kerja merupakan halpenting yang dimiliki individudidalam
bekerja. Setiap individumemiliki karakteristik yang berbeda-beda, maka tingkat
kepuasan kerjanya pun berbeda-beda pula. Tinggi rendahnya kepuasan kerja
tersebut dapat memberikan dampak yang tidak sama. Hal itu sangat tergantung
pada sikap mental individu yang bersangkutan sebagaimana Byars dan Roe (1992)
mengatakan bahwa kepuasan kerja yang tinggi sangat memungkinkan untuk
mendorong terwujudnya tujuan suatu lembaga atau perusahaan. Sementara tingkat
kepuasan kerja yang rendah merupakan ancaman yang akan membawa
kehancuran perusahaan segera maupun secara perlahan.
Robbins (2003) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai suatu sikap
umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Kreitner dan Kinicki (Wibowo,
2007) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan respons affective atau
emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Rivai (2009) menyatakan
bahwa kepuasan kerja merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas
perasaan sikapnya senang atau tidak puas dalam bekerja.

Ciri-Ciri Keterlibatan Kerja

 


Menurut Kanungo (1982) ciri-ciri orang yang memiliki keterlibatan kerja
dapat dijelaskan dalam indikator berikut:
a. Hal terpenting yang terjadi pada dirinya adalah melibatkan pekerjaannya
yang saat ini
b. Baginya, pekerjaan adalah sebagian besar tentang dirinya
c. Sangat terlibat secara pribadi dalam pekerjaannya
d. Hidup, makan dan bernafas melalui pekerjaannya
e. Ketertarikannya yang paling utama adalah terpusat pada tugas
f. Terikat kuat dengan pekerjaannya yang sekarang dan sulit untuk dipisahkan
g. Biasanya merasa memihak pada pekerjaannya
h. Sebagian besar dari tujuan hidupnya adalah berorientasi pada pekerjaan
i. Menganggap pekerjaannya menjadi eksistensi utamanya
j. Individu suka terhanyut dalam pekerjaan sepanjang waktu

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Kerja

 


Harnoto (2002) mengemukakan bahwa faktor-faktor keterlibatan kerja
dilihat dari sejauh mana seorang karyawan ikut berpartisipasi dengan seluruh
kemampuannya dalam membuat peningkatan kesuksesan suatu organisasi atau
perusahaan. Ada beberapa faktor yang dapat dipakai untuk melihat keterlibatan
kerja seorang karyawan yaitu:
a. Aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya. Menurut Allport yang
diterjemahkan oleh Istijanto (2005), aktif berpartisipasi dalam pekerjaan
dapat menunjukkan bahwa seorang karyawan terlibat dalam pekerjaannya
(job involvement). Aktif berpartisipasi adalah perhatian yang dicurahkan
seseorang terhadap sesuatu. Dari tingkat atensi inilah dapat diketahui
seberapa perhatian dan kepedulian yang dimiliki oleh seorang pekerja.
b. Menunjukkan pekerjaannya adalah yang utama. Faktor view it as a
central life interest menurut Dubin yang diterjermahkan oleh Istijanto
(2005) pada karyawan dapat mewakili tingkat keterlibatan kerjanya.
Seorang karyawan yang merasa bahwa pekerjaanya adalah hal yang utama
akan selalu berusaha memberi serta melakukan yang terbaik untuk
pekerjaannya dan mengganggap pekerjaannya sebagai pusat yang menarik
dalam hidup dan pantas untuk diutamakan.
c. Melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang penting untuk harga diri.
Menurut Gurin (Istijanto, 2005), keterlibatan kerja dapat dilihat dari sikap
seorang karyawan dalam pikiran mengenai pekerjaannya, dimana seorang
karyawan menganggap pekerjaan itu penting bagi harga dirinya. Harga diri
merupakan perpaduan antara kepercayaan diri dan penghormatan diri,
mempunyai harga diri yang kuat artinya merasa cocok dengan kehidupan
dan penuh keyakinan, yaitu mempunyai kompetensi dan sanggup mengatasi
masalah-masalah kehidupan. Harga diri menurut Harnoto (2002) merupakan
evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif.
Apabila pekerjaan tersebut dirasa berarti dan sangat berharga baik secara
materi dan psikologis bagi karyawan tersebut maka karyawan tersebut akan
menghargai dan akan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Dengan
begitu keterlibatan kerja dapat tercapai, dan karyawan tersebut merasa
bahwa pekerjaan mereka penting bagi harga dirinya.

Pengertian Keterlibatan Kerja

 


Keterlibatan kerja merupakan identifikasi seseorang secara psikologis
terhadap pekerjaannya, berpartisipasi aktif dan pekerjaan dianggap sebagai bagian
yang penting dalam kehidupan individu, namun banyak masalah yang dihadapi
oleh perusahaan seperti adanya keterlibatan kerja yang rendah pada diri karyawan
sehingga dapat mengakibatkan tingginya keinginan berpindah (turnover intention)
pada karyawan. Banyak perusahaan yang tidak menyadari pentingnya membe-
rikan kesempatan karyawan untuk terlibat dalam organisasi, misalnya seperti
keterlibatan dalam pengambilan keputusan, hal ini dapat memicu rasa motivasi
yang rendah karena merasa tidak ada kesempatan untuk berkembang, sehingga
tidak dapat membantu memuaskan kebutuhan seorang karyawan akan tanggung
jawab, prestasi, pengakuan, dan peningkatan harga diri.
Konsep keterlibatan kerja pertama kali diperkenalkan oleh Lodahl &
Kejner. Mereka menghubungkan keterlibatan kerja pada identifikasi psikologis
individu dengan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan dalam citra diri individu
(Kanungo, dalam Aryaningtyas & Suharti, 2013). Menurut Kanungo (dalam Anik
& Arifuddin, 2003) keterlibatan kerja (job involvement) didefinisikan sebagai
identifikasi psikologis individual terhadap tugas tertentu.
Robbins dan Coulter (Faslah, 2010) menyatakan bahwa keterlibatan kerja
adalah tingkat pengidentifikasian psikologis karyawan dengan pekerjaannya,
secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya di
pekerjaannya adalah penting untuk kebaikan dirinya sendiri. Selanjutnya Allport
(Faslah, 2010) menyatakan bahwa keterlibatan kerja adalah: “Degree to which an
employee is participating in his/her job and meeting such needs as prestige and
autonomy.” Keterlibatan kerja derajat sampai dimana karyawan yang
berpartisipasi dalam pekerjaannya dan memenuhi seperti kebutuhan-kebutuhan
gengsi dan otonomi.
Lodahl dan Kejner (Millmore, et.al 2007) mendefinisikan keterlibatan kerja
sebagai internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya
pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Keterlibatan kerja sebagai tingkat sampai
sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi harga dirinya dan tingkat
sampai sejauh mana seseorang secara psikologis mengidentifikasikan diri
terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya.
Individu yang memiliki keterlibatan yang tinggi lebih mengidentifikasikan dirinya
pada pekerjaannya dan menganggap pekerjaan sebagai hal yang sangat penting
dalam kehidupannya.
Robbins dan Judge (2008) mengatakan bahwa keterlibatan kerja adalah
sikap karyawan untuk mengidentifikasikan dirinya terhadap pekerjaan. Karyawan
dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi akan mengidentifikasikan dirinya
terhadap pekerjaan dan sangat perhatian terhadap tugas yang dilakukannya. Lebih
lanjut lagi Ciliana dan Mansoer (2008) menyatakan bahwa: Keterlibatan kerja
merupakan derajat dimana seseorang mengidentifikasikan diri terhadap
pekerjannya, berpartisipasi secara aktif, dan menyadari bahwa performa yang ia
tampilkan merupakan hal yang penting bagi harga dirinya. Keterlibatan kerja
dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan
pertumbuhan yang kuat, memiliki otonomi, keberagaman, identitas tugas yang
jelas, umpan balik, dan memungkinkan bekerja untuk memiliki partisipasi yang
tinggi. Hal ini berarti individu yang terlibat dalam pekerjaannya memiliki
kebutuhan pertumbuhan yang kuat dan berpartisipasi secara aktif dalam
pekerjaannya.

Aspek-Aspek Kinerja Pegawai

 


Ukuran hasil dari kinerja memainkan peranan kunci dalam memantau
apakah tujuan jangka panjang, menengah dan pendek organisasi sesuai dengan
aspirasi yang diinginkan. Berdasarkan informasi yang dihasilkan dari indikator
kinerja, maka manajer akan dapat melihat parameter tersebut kepada atasan
maupun bawahan mereka, guna mengambil tindakan atau keputusan yang
dirasakan perlu.
Mathis dan Jackson (2006), menyebutkan ada banyak cara untuk
mengukur kinerja karyawan sehingga dapat mendukung keberhasilan suatu
organisasi, elemen utama yang merupakan faktor kunci ada tiga, yaitu:
a. Produktivitas.Adalah ukuran kuantitas dan kualitas pekerjaan yang
dilakukan dengan mempertimbangkan biaya sumber daya yang digunakan
untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
b. Kualitas produksi juga harus dipertimbangkan sebagai bagian dari
produktivitas, karena ada kemungkinan satu alternatif untuk memproduksi
lebih banyak tetapi dengan kualitas yang lebih rendah.
c. Pelayanan yang berkualitas tinggi pada pelanggan merupakan hasil penting
lainnya yang akan mempengaruhi kinerja kompetitif perusahaan. Dimensi
pelayanan terdiri dari keyakinan pengetahuan tenaga kerja, fasilitas dan
peralatan fisik, perhatian, bantuan tepat pada waktunya, kinerja yang dapat
diandalkan dan tepat, semua menuju pada hasil pelayanan terbaik.
Sejalan dengan Furtwengler (2002), yang memfokuskan pada ukuran-
ukuran kinerja, yaitu Kecepatan; Kualitas; Layanan; dan Nilai. Sedangkan
Bernaddin dan Russel (1993) mengungkapkan 6 (enam) kriteria utama kinerja
yang dapat dinilai, yaitu:
a. Kualitas. Merupakan tingkat dimana proses atau hasil dari suatu kegitan
yang sempurna, dengan kata lain melaksanakan kegiatan dengan cara ideal
atau sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
b. Kuantitas. Yaitu besaran yang dihasilkan dalam bentuk nilai uang,
sejumlah unit atau kegitan yang diselesaikan.
c. Ketepatan waktu. Merupakan tingkat atau hasil yang diselesaikan dengan
waktu yang lebih cepat dari yang ditetapkan dan menggunakan waktu yang
disediakan untuk kegiatan lain.
d. Efektivitas biaya. Yaitu tingkat dimana penggunaan sumber-sumber
organisasi atau perusahaan baik berupa sumber daya manusia, teknologi,
bahan baku, peralatan digunakan secara optimal untuk mendapatkan target
tertinggi.
e. Kebutuhan pengawasan. Suatu keadaan dimana seberapa jauh pegawai
membutuhkan pengawasan untuk dapatmemperoleh hasil yang diinginkan
tanpa melakukan kesalahan.
f. Pengaruh interpersonal. Tingkat dimana pegawai menunjukan perasaan
self esteem, goodwill, dan kerja sama diantara rekan sekerja dan bawahan.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
aspek kinerja antara lain adalah: produktivitas, kualitas suatu produksi, pelayanan
yang berkualitas, kuantitas, kecepatan, efektivitas waktu dan biaya, layanan, nilai,
kebutuhan pengawasan dan pengaruh antar pribadi.

Meningkatkan Kinerja Pegawai

 


Menurut Tyson and Jackson (2000) meningkatkan kinerja merupakan
konsep sederhana tetapi penting. Konsep tersebut didasarkan pada ide bahwa
sebuah tim akan meningkat dengan cepat dan terus-menerus dengan cara
meninjau keberhasilan dan kegagalannya. Tyson dan Jackson mengatakan ada 4
(empat) tahap dalam rencana kerja meningkatkan kinerja, yaitu :
a. Tahap 1, memulai tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh kelompok dan
membiarkan tim mengidentifikasi faktor-faktor signifikan yang telah
memberikan kontribusi terhadap keberhasilan dan tugas-tugas yang
merintangi keberhasilan.
b. Tahap 2, dari faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan pilihlah yang
praktis dan buang yang tidak mempunyai nilai.
c. Tahap 3, kelompok kemudian harus menyetujui bagaimana membuat
faktor-faktor tersebut dengan tepat dan menyingkirkan yang lain.
d. Tahap 4, analisis tersebut tidak hanya dilakukan pada tingkat kelompok,
tetapi juga pada tingkat individual.
Sedangkan Wirjana (2007) menyatakan kinerja pada umumnya terdiri dari
kinerja pada tingkat organisasi dan pada tingkat individu. Pada tingkat organisasi,
kinerja yang kurang berkualitas merupakan akibat atau hasil dari kepemimpinan
yang kurang berkualitas, manajemen yang kurang profesional, atau sistem kerja
yang tidak baik. Untuk mencapai peningkatan kinerja yang berkualitas dan
mengatasi masalah yang ditemui dalam upaya meningkatkan kinerja. Schaffer
dalam Wirjana (2007) memberikan beberapa strategi:
a. Seleksi tujuan mengatasi masalah yang paling urgen lebih dahulu,
mengoreksi biaya yang terlalu tinggi, spesifikasi kualitas yang rendah, target
kerja yang tidak tercapai, memastikan masalah-masalah tersebut diatasi
dengan tuntas.
b. Spesifikasi hasil yang diharapkan: sasaran harus SMART (Specific,
Measurable, Achievable, Realistic, Time-bound).
c. Komunikasi yang jelas.
d. Alokasi tanggungjawab, organisasi perlu membagi atau mengalokasikan
tanggung jawab untuk mencapai tujuan setiap karyawan.
e. Luas proses, sukses dalam mencapai tujuan dapat digunakan untuk
mengulangi proses dengan tujuan yang baru atau perluasan tujuan yang
terdahulu.
Pada tingkat individu strategi yang dipaparkan untuk meningkatkan kinerja
pada tingkat organisasi dapat digunakan dan diadaptasi untuk meningkatkan
kinerja pada tingkat individu, sebagai berikut:
a. Seleksi tujuan, menentukan area prioritas bagi tindakan.
b. Spesifikasi hasil, menentukan target dan standar.
c. Penetapan ukuran kerja, menentukan dasar bagi kemajuan yang mengarah
pada tercapainya tujuan dapat dipantau.
d. Pemantauan, mengkaji kemajuan dan menganalisis umpan balik untuk
memastikan target dan standar tercapai.
e. Luas proses, mengulangi proses dengan tujuan lain sesuai prioritas