Saturday, May 25, 2019

PROSEDUR WAWANCARA (skripsi dan tesis)


Creswell (1998) menjelaskan bahwa prosedur wawancara seperti tahapan berikut ini:
1. Identifikasi para partisipan berdasarkan prosedur  sampling yang dipilih.
2. Tentukan jenis wawancara yang akan dilakukan dan informasi apa yang relevan dalam menjawab pertanyaan penelitian.
3. Siapkan alat perekam yang sesuai, misalnya mike untuk pewawancara maupun partisipan. Mike harus cukup sensitif merekam pembicaraan terutama bila ruangan tidak memiliki struktur akustik yang baikdan ada banyak pihak yang harus direkam.
4. Cek kondisi alat perekam, misalnya batereinya. Kaset harus kosong dan tepat pada pita hitam bila mulai merekam. Jika perekaman dimulai, tombol
perekam sudah ditekan dengan benar.
5. Susun protokol wawancara, panjangnya kurang lebih empat sampai lima halaman dengan kira-kira lima pertanyaan terbuka dan sediakan ruang yang cukup di antara pertanyaan untuk mencatat respon terhadap komentar partisipan.
6. Tentukan tempat untuk melakukan wawancara. Jika mungkin ruangan cukup tenang, tidak ada distraksi dan nyaman bagi partisipan. Idealnya peneliti dan partisipan duduk berhadapan dengan perekam berada di antaranya, sehingga suara suara keduanya dapat terekam baik. Posisi ini juga membuat peneliti mudah mencatat ungkapan non verbal partisipan, seperti tertawa, menepuk kening, dsb.
7. Berikan inform consent pada calon partisipan.
8. Selama wawancara, sesuaikan dengan pertanyaan, lengkapi pada waktu tersebut (jika mungkin), hargai partisipan dan selalu bersikap sopan santun.
Pewawancara yang baik adalah yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.
Byrne (2001) menyarankan agar sebelum memilih wawancara sebagai metoda pengumpulan data, peneliti harus menentukan apakah pertanyaan penelitian dapat dijawab dengan tepat oleh partisipan. Studi hipotesis perlu digunakan untuk menggambarkan satu proses yang digunakan peneliti untuk memfasilitasi wawancara, misalnya mewawancarai pengalaman ayah selama prosedur seksio sesarea perlu dilakukan dalam 48 jam setelah persalinan
dan kemudian antara satu hingga dua bulan berikutnya. Wawancara perlu dilakukan lebih dari dua kali karena dua alasan utama. Pertama adalah pendekatan pengetahuan temporal. Istilah temporal maksudnya
adalah istilah filosofis yang mendefinisikan bagaimana situasi dan pengetahuan orang saat itu dipengaruhi oleh pengalamannya dan bagaimana situasi saat itu akan menentukan masa depannya. Alasan kedua adalah untuk
memenuhi kriteria rigor (ketepatan). Selain itu, peneliti dapat mengkonfirmasi atau mengklarifikasi informasi yang ditemukan pada wawancara pertama. Melalui pertemuan ini hubungan saling percaya semakin meningkat sehingga dapat menyingkap pengalaman atau perasaan partisipan yang lebih pribadi

PENYELIDIKAN DAN PENETAPAN DALAM WAWANCARA (skripsi dan tesis)


Selama wawancara peneliti dapat menggunakan pertanyaan prompts atau probing. Ini membantu mengurangi kecemasan peneliti dan partisipan, tujuannya adalah penyelusuran untuk menguraikan arti atau alasan.
Seidman (1991 dalam Holloway & Wheeler, 1996) memilih istilah menjelajahi dan tidak menyukai istilah menyelidiki (probe) karena menekankan posisi kekuatan pewawancara dan merupakan nama untuk instrumen yang digunakan dalam investigasi medis. Pertanyaan eksplorasi dapat digunakan, seperti: Apa pengalaman yang menyenangkan? Bagaimana perasaan anda tentang hal itu? Dapatkah diceritakan lebih banyak lagi tentang itu?
Menarik sekali, mengapa anda lakukan? Pewawancara dapat menindaklanjuti poin tertentu atau kata tertentu yang diungkapkan partisipan. Partisipan
dengan lancer akan menceritakan tentang suatu kisah, merekonstruksi pengalamannya, insiden, atau perasaan mereka tentang penyakit.
Prompt non-verbal mungkin lebih bermanfaat. Cara berdiri peneliti, kontak mata dan condong ke depan akan mendorong refleksi. Sebenarnya keterampilan yang diadopsi dalam konseling yang telah dimiliki perawat akan
mempermudah melakukan hal ini. Tujuan penggunaan prompt atau probe ini adalah agar wawancara berjalan lancar dan memberikan rasa nyaman baik pada peneliti maupun partisipan tanpa keluar dari tujuan penelitian. Ini
tidak lepas dari kemampuan pewawancara itu sendiri. Seorang pewawancara yang baik harus mempunyai ketetrampilan komunikasi yang mumpuni. Ketrampilan ini meliputi ketrampilan mendengarkan, menyusun kata
(paraphrasing), probing, dan meringkas hasil wawancara (Byrne, 2001).

JENIS PERTANYAAN DAN HAL YANG TERKAIT (skripsi dan tesis)

Ketika menanyakan suatu pertanyaan, pewawancara menggunakan berbagai tehnik komunikasi dan cara bertanya. Patton (1990 dalam Holloway & Wheeler, 1996) membuat daftar jenis pertanyaan, seperti pertanyaan pengalaman (“Dapatkah anda ceritakan tentang pengalaman anda
merawat pasien diabetes?”), perasaan (“Bagaimana perasaan anda saat pasien yang pertama anda rawat meninggal?”), dan pengetahuan (“Apa pelayanan yang tersedia untuk kelompok pasien ini?”). Spradley (1979 dalam Holloway & Wheeler, 1996) membedakan pertanyaan grand-tour dan mini-tour. Pertanyaan grand-tour lebih luas sedangkan minitour lebih spesifik. Contoh pertanyaan grand-tour: Dapatkah anda jabarkan kekhususan hari di bangsal?
Apa yang anda lakukan jika pasien bertanya tentang kondisinya? Sedangkan contoh pertanyaan mini-tour: Dapatkah anda jabarkan apa yang terjadi jika seorang kolega mempertanyakan keputusan anda? Pertanyaan dalam penelitian kualitatif sedapat mungkin tidak bersifat mengarahkan tetapi masih
berpedoman pada area yang diteliti. Peneliti mengutarakan pertanyaan sejelasnya dan menyesuaikan pada tingkat pemahaman partisipan.
Pertanyaan yang ambigu menghasilkan jawaban yang juga ambigu. Pertanyaan dobel lebih baik dihindari; seperti pertanyaan yang tidak tepat, seperti: berapa banyak kolega yang anda miliki, dan apa ide mereka
tentang hal ini? Menurut Devers & Frankel (2000) beberapa faktor mempengaruhi derajat struktur atau jenis instrumentasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Faktor pertama adalah tujuan penelitin. Bila
penelitian lebih bersifat eksplorasi atau pengujian untuk menemukan dan atau menghaluskan teori dan konsep, yang tepat untuk dipertimbangkan adalah protokol yang sangat berakhiran terbuka (open-ended). Faktor kedua adalah luasnya pengetahuan sebelumnya yang sudah ada tentang suatu subyek, misalnya suatu konsep yang telah ada dan digunakan secara luas di dunia, sejauhmana penerapannya di Indonesia. Ketiga, sumber yang tersedia, terutama waktu subyek dan jumlah serta kompleksitas kasus. Terakhir, persetujuan dengan yang berwenang dan penyandang dana. Instrumen yang membutuhkan waktu lama untuk menganalisisnya tentu perlu  dipertimbangkan oleh penyandang dana

LAMA DAN PEMILIHAN WAKTU WAWANCARA (skripsi dan tesis)


Field & Morse (1985 dalam Holloway & Wheeler, 1996) menyarankan bahwa wawancara harus selesai dalam satu jam. Sebenarnya waktu wawancara
bergantung pada partisipan. Peneliti harus melakukan kontrak waktu dengan partisipan, sehingga mereka dapat merencanakan kegiatannya pada hari itu tanpa terganggu oleh wawancara, umumnya partisipan memang menginginkan waktunya cukup satu jam. Pada pastisipan lanjut usia, menderita kelemahan fisik, atau sakit mungkin perlu istirahat setelah 20 atau 30 menit. Partisipan anak juga tidak bisa konsentrasi dalam waktu yang lama. Peneliti harus menggunakan penilaian sendiri, mengikuti keinginan partisipan, dan menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan penelitiannya. Umumnya lama wawancara tidak lebih dari tiga jam. Jika lebih, konsentrasi tidak akan diperoleh bahkan bila wawancara tersebut dilakukan oleh peneliti berpengalaman sekalipun. Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data belum semua diperoleh, wawancara dapat dilakukan lagi. Beberapa kali
wawancara singkat akan lebih efektif dibanding hanya satu kali dengan waktu yang panjang

Dimensi Dalam Pertimbangan Jenis Wawancara (skripsi dan tesis)

Wilson (1996) membandingkan metode bertanya dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu: dimensi prosedural, struktural dan konstekstual.
Faktor prosedural/struktural. Dimensi prosedural bersandar pada wawancara yang bersifat natural antara peneliti dan partisipan atau disebut juga wawancara tidak berstruktur. Tempat wawancara adalah tempat keseharian partisipan seperti rumah atau tempat bekerja, bukan di laboratorium. Jadi yang
dipertimbangkan dalam hal ini adalah prosedurnya, apakah kaku seperti di laboratorium atau natural. Hal lain yang dibandingkan adalah strukturnya seperti metode yang sangat berstruktur (highly structured) dan
kurang berstruktur (less structured).
Faktor konstekstual. Dimensi konstekstual mencakupi jumlah isyu. Pertama, terminologi yang di dalam wawancara dianggap penting. Kedua, konteks wawancara yang berdampak pada penilaian respon (response rate).
Aspek kontekstual yang penting lainnya adalah persepsi partisipan terhadap karakteristik pewawancara. Hal yang menjadi dasar partisipan mengungkapkan pendapatnya atau pengalamannya
adalah berdasarkan karakteristik pewawancara yang terlihat, misalnya aksen, pakaian, suku atau jender. Ini yang dikenal sebagai variabilitas pewawancara. Untuk meminimalkan dampak ini usahakan pewawancara cocok dengan responden.

Wawancara berstruktur atau berstandard (skripsi dan tesis)


Peneliti kualitatif jarang menggunakan jenis wawancara ini. Beberapa keterbatasan pada wawancara jenis ini membuat data yang diperoleh tidak kaya. Jadwal wawancara berisi sejumlah pertanyaan yang telah direncanakan sebelumnya. Tiap partisipan ditanyakan pertanyaan yang sama dengan urutan yang sama pula. Jenis wawancara ini menyerupai kuesioner survei tertulis. Wawancara ini menghemat waktu dan membatasi efek pewawancara bila sejumlah pewawancara yang berbeda terlibat dalam penelitian. Analisis data tampak lebih mudah sebagaimana jawaban yang dapat ditemukan dengan cepat. Umumnya, pengetahuan statistik penting dan berguna untuk menganalisis jenis wawancara ini. Namun jenis wawancara ini mengarahkan respon partisipan dan oleh karena itu tidak tepat digunakan pada pendekatan kualitatif. Wawancara berstruktur bisa berisi pertanyaan terbuka, namun peneliti harus diingatkan terhadap hal ini sebagai isu metodologis yang akan mengacaukan dan akan jadi menyulitkan analisisnya. Peneliti kualitatif menggunakan pertanyaan yang berstruktur ini hanya untuk mendapatkan data sosiodemografik, seperti usia, lamanya kondisi yang dialami, lamanya pengalaman, pekerjaan, kualifikasi, dsb. Kadang komite etik menanyakan jadwal wawancara yang ditentukan sebelumya sehingga mereka dapat
menemukan alur penelitian yang sebenarnya. Pada kasus ini, pedoman wawancara semi berstruktur lebih dianjurkan. Robinson (2000) mengatakan bahwa wawancara mendalam, formal terbuka merupakan aliran utama
penelitian kualitatif keperawatan. Wawancara kualitatif formal adalah percakapan yang tidak berstruktur dengan tujuan yang biasanya mengutamakan perekaman dan transkrip data verbatim (kata per kata), dan
penggunaan pedoman wawancara bukan susunan pertanyaan yang kaku. Pedoman wawancara terdiri atas satu set pertanyaan umum atau bagan topik, dan  digunakan pada awal pertemuan untuk memberikan struktur, terutama bagi para peneliti pemula. Aturan umum dalam wawancara kualitatif adalah tidak memaksakan agenda atau kerangka kerja pada partisipan, justeru tujuan wawancara ini untuk mengikuti kemauan partisipan. Penggunaan format ini adalah untuk menangkap perspektif partisipan sesuai dengan tujuan penelitian.

Wawancara Semi Berstruktur (skripsi dan tesis)

 Wawancara ini  dimulai dari isu yang dicakup dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara bukanlah jadwal seperti dalam penelitian kuantitatif. Sekuensi pertanyaan tidaklah sama pada tiap partisipan bergantung pada
proses wawancara dan jawaban tiap individu. Namun pedoman wawancara menjamin peneliti dapat mengumpulkan jenis data yang sama dari partisipan.
Peneliti dapat menghemat waktu melalui cara ini. Dross rate lebih rendah daripada wawancara tidak berstruktur. Peneliti dapat mengembangkan pertanyaan dan memutuskan sendiri mana isu yang dimunculkan. Pedoman wawancara dapat agak panjang dan rinci walaupun hal itu tidak perlu diikuti secara ketat. Pedoman wawancara berfokus pada subyek area tertentu yang diteliti, tetapi dapat direvisi setelah wawancara karena ide yang baru muncul belakangan. Walaupun pewawancara bertujuan mendapatkan perspektif partisipan, mereka harus ingat bahwa mereka perlu mengendalikan diri sehingga tujuan penelitian dapat dicapai dan topik penelitian tergali