Friday, July 12, 2019
Beban kerja mental (skripsi dan tesis)
Selain beban kerja fisik, beban kerja yang bersifat mental harus pula dinilai.
Namun demikian penilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban kerja fisik. Pekerjaan yang yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan dengan aktivitas fisik karena lebih melibatkan kerja otak (white-collar) dari pada kerja otot (blue-collar). Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar, pekerja di bidang tehnik informasi, pekerja
dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dibidang tehnik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dengan kesiapsiagaan tinggi, pekerja yang bersifat monotomi dll. Menurut Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau. Yang menjadi masalah pada manusia adalah kemampuan untuk memanggil kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses mengingat kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang
tua. Setiap kita tahu bahwa orang tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat. Dengan demikian menurut Eberts (1985) penilaian beban kerja mental lebih tepat menggunakan penilaian terhadap tingkat ketelitian, kecepatan maupun konstansi kerja seperti seperti tes “Bourdon Wiersma”. Sedangkan jenis pekerjaan yang lebih memerlukan kesiapsiagaan tinggi (Vigilance) seperti petugas ‘air traffic controllers’ di Bandar udara adalah sangat berhubungan dengan pekerjaan mental yang memerlukan konsentrasi tinggi. Semakin lama orang berkonsentrasi maka akan semakin berkurang tingkat kesiapsiagaannya. Maka uji yang lebih tepat untuk menilai
Vigilance adalah tes ”waktu reaksi”. Dimana waktu reaksi sering digunakan sebagai cara untuk menilai kemampuan dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan mental.
Penilaian beban kerja berdasarkan denyut nadi (skripsi dan tesis)
Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk
menilai cardiovasculair strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk menghitung denyut nadi adalah telemetri dengan menggunakan rangsangan Electro Cardio Graph (ECG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia, maka dapat dicatat manual memakai stopwatch dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992). Selain metode 10 denyut tersebut, dapat juga dilakukan penghitungan denyut nadi dengan metode 15 detik atau 30 detik. Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai beberapa keuntungan. Selain mudah, cepat, sangkil, dan murah juga tidak diperlukan peralatan yang mahal serta hasilnya cukup riliabel. Disamping itu tidak terlalu mengganggu proses kerja dan tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan pembebanan yang
diterima tubuh cukup tinggi. Denyut nadi akan segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan mekanik, fisika maupun kimiawi (Kurniawan, 1995).
Grandjean (1993) juga menjelaskan bahwa konsumsi energi sendiri tidak
cukup untuk mengestimasi beban kerja fisik. Beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah kJ (kilo Joulle) yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan kerjanya yang dapat meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah dan dapat digunakan untuk menghitung indek beban kerja. Astrand dan Rodahl (1977); Rodahl (1989) menyatakan bahwa denyut nadi mempunyai hubungan linier yang tinggi dengan asupan oksigen pada waktu kerja. Dan salah satu cara yang sederhana untuk menghitung denyut nadi adalah dengan merasakan pada arteri radialis di pergelangan tangan. Denyut nadi untuk mengestimasi indek beban kerja fisik terdiri dari beberapa jenis yang didefinisikan oleh Grandjean (1993) :
a. Denyut nadi istirahat: adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan
dimulai.
b. Denyut nadi kerja: adalah rerata denyut nadi selama bekerja.
c. Nadi kerja: adalah selisih antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi
kerja.
Peningkatan denyut nadi mempunyai peran yang sangat penting didalam
peningkatan cardiac output dari istirahat sampai kerja maksimum. Peningkatan yang potensial dalam denyut nadi dari istirahat sampai kerja maksimum tersebut oleh Rodahl (1989) didefinisikan sebagai heart rate reserve (HR reserve).
Lebih lanjut, Manuaba dan Vanwonterghem (1996) menentukan klasifikasi
beban kerja berdasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan denyut nadi maksimum karena beban kardiovaskuler (cardiovasculair load)
Denyut nadi maksimum untuk laki-laki dinyatakan dengan 220 dikurangi
umur dan untuk wanita dinyatakan dengan 200 dikurangi umur. Dari hasil
perhitungan %CVL tersebut kemudian dibandingkan dengan klasifikasi yang telah
ditetapkan sebagai berikut :
<30% = Tidak terjadi kelelahan
30 s.d. <60% = Diperlukan perbaikan
60 s.d. <80% = Kerja dalam waktu singkat
80 s.d. <100% = Diperlukan tindakan segera
>100% = Tidak diperbolehkan beraktivitas
Selain cara-cara tersebut diatas, Kilbon (1992) mengusulkan bahwa
cardiovasculair strain dapat diestimasi dengan menggunakan denyut nadi pemulihan (heart rate recovery) atau dikenal dengan metode ’Brouha’. Keuntungan dari metode ini adalah sama sekali tidak mengganggu atau menghentikan pekerjaan, karena pengukuran dilakukan tepat setelah subjek berhenti bekerja. Denyut nadi pemulihan (P) dihitung pada akhir 30 detik pada menit pertama, kedua dan ketiga. P1, P2, P3 adalah rerata dari ketiga nilai tersebut dan dihubungkan dengan total cardiac cost dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jika P1 – P2 ≥ 10, atau P1, P2 dan P3 seluruhnya < 90, nadi pemulihan
normal.
b. Jika rerata P1 yang tercatat ≤ 110, dan P1 – P3 ≥ 10, maka beban kerja
tidak berlebihan (not excessive).
c. Jika P1 – P2 < 10 dan jika P3 > 90, perlu redesain pekerjaan.
Laju pemulihan denyut nadi dipengaruhi oleh nilai absolut denyut nadi pada
ketergantungan pekerjaan (the interruption of work), tingkat kebugaran (individual fitness) dan pemaparan panas lingkungan. Jika nadi pemulihan tidak segera tercapai, maka diperlukan redesain pekerjaan untuk mengurangi tekanan fisik. Redesain tersebut dapat berupa variabel tunggal maupun variabel keseluruhan dari variabel bebas (tasks, organisasi dan lingkungan kerja) yang menyebabkan beban kerja tambahan.
Penilaian beban kerja fisik (skripsi dan tesis)
Menurut Astrand dan Rodahl (1977) dan Rodahl (1989) bahwa penilaian
beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif, yaitu metode penilaian langsung dan metode tidak langsung. Metode pengukuran langsung yaitu dengan pengukuran energi yang dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang diperlukan atau dikonsumsi. Meskipun metode dengan menggunakan asupan oksigen lebih akurat, namun hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama kerja. Lebih lanjut Christensen (1991) dan Grandjean (1993) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian Konz (1996) mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan vasodilatasi.
Wednesday, July 10, 2019
Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi, Dan Kinerja (skripsi dan tesis)
Organizational performance (Cash and Fischer, 1986) tersebut merupakan
strategi (program) dari setiap departemen sumberdaya manusia dan dari organisasi (Galpin and Murray, 1997 ). Ini berarti result (kinerja) dipengaruhi oleh strategi organisasi. Sehubungan dengan strategy ditentukan oleh pemimpin organisasi (7-S McKinsey pada Pearce and Robinson, 2003) dan strategy dipengaruhi oleh budaya organisasi maka kinerja organisasi dipengaruhi pula oleh pemimpin dan juga dipengaruhi oleh budaya organisasi. Laporan hasil penelitian Latifah A.D. dalam Kumpulan Hasil Penelitian Kepemimpinan dan Motivasi di Era Otonomi Daerah Propinsi Kalimantan Timur oleh Armanu Thoyib (Eds. 2003), menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh secara tidak langsung terhadap tingkat prestasi kerja karyawan melalui variabel Tingkat Iklim Organisasi, artinya pemimpin memiliki peran membentuk iklim organisasi yang lebih kondusif, dari iklim yang lebih kondusif itu terbentuk-lah tingkat prestasi kerja karyawan yang lebih baik. Dalam studi yang lain, Emang Mering dalam Armanu Thoyib (Eds. 2003) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan para pimpinan daerah di era otonomi daerah adalah memberdayakan bawahan mereka agar bawahan mampu meningkatkan produktivitas mereka dalam mencapai tujuan pembangunan.
Kotter & Heskett (1992) dalam penelitian mereka menemukan bahwa terdapat
4 (empat) faktor yang menentukan perilaku kerja manajemen suatu perusahaan, yaitu (1) budaya perusahaan; (2) struktur, sistem, rencana dan kebijakan formal; (3) kepemimpinan (leadership); dan (4) lingkungan yang teratur dan bersaing. Ditegaskan pula oleh Hickman and Silva (1986) bahwa Stategy ditambah dengan Budaya Organisasi (Culture) akan menghasilkan suatu keistimewaan (Excellence) Keberhasilan suatu korporat dalam mencapai tujuannya ternyata tidak lagi hanya ditentukan oleh keberhasilan implementasi prinsip-prinsip manajemen, -seperti planning, organizing, leading dan controlling saja,- melainkan ada faktor lain yang “tidak tampak” yang lebih menentukan berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuannya; menentukan apakah manajemen dapat diimplementasikan atau tidak. Faktor tersebut adalah budaya organisasi. Keunggulan organisasi menurut Moeljono adalah ditentukan oleh unggul tidaknya budaya organisasi yang dimiliki (Moelyono, 2003)
Penelitian yang menguji pengaruh variabel-variabel budaya organisasi terhadap kinerja karyawan telah dilakukan oleh Nurfarhati (1999) pada PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk Kandatel Malang, menunjukkan bahwa tiga variabel budaya yang berpengaruh nyata terhadap kinerja karyawan adalah Innovasi, Kemantapan, dan Kepedulian. Temuan penelitian Nurfarhati telah didukung dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Yaqin (2003) tentang pengaruh variabel-variabel budaya terhadap kinerja karyawan PT. Petrokimia Gresik
Kinerja (skripsi dan tesis)
Kinerja yang sering disebut dengan performance juga disebut result (Cash and
Fischer, 1987) yang berarti apa yang telah dihasilkan oleh individu karyawan. Istlah yang lain adalah human output yang dapat diukur dari productivity, absence, turnover, citizenship, dan satisfaction (Robbins, 2003: 27). Kinerja pada individu juga disebut dengan job performance, work outcome, task performance (Baron and Greenberg, 1990).
Result dipengaruhi oleh kinerja organisasi (organizational performance) yang
komponennya terdiri Organizational Development, Compensation Plan, Communication System, Managerial Style, Organization Structure, Policies and Procedures (Cash and Fischer, 1987).
Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi (skripsi dan tesis)
Fenomena yang nampak dalam organisasi, ketenangan, kesejukan, keindahan,
kepercayaan, keharmonisan, yang kesemuanya menggambarkan kepemimpinan yang ada dalam organisasi tersebut dan juga menggambarkan budaya yang ada dalam organisasi. Sehingga dikatakan bahwa melihat kepemimpinan suatu organisasi itu sama dengan melihat budaya yang ada dalam organisasi tersebut, perumpamaannya bagaikan dua sisi mata uang yang memiliki nilai yang sama (Schein, 1991). Anggota
organisasi (karyawan suatu perusahaan), mereka bekerja berdasar pada diskripsi pekerjaan yang telah ditugaskan pada diri mereka. Diskripsi pekerjaan yang ada pada karyawan mengarah pada pencapaian tujuan organisasi dan akhirnya penciptaan misi organisasi. Misi organisasi telah ditetapkan oleh pimpinan puncak ataupun pemilik berdasar pada asumsi dasar yang telah mereka miliki dalam membangun organisasi/perusahaan, disinilah budaya diciptakan oleh pemimpin (culture is created by leader) (Schein, 1991).
McKinsey 7-S Framework (Pearce and Robinson, 2000: 399-400)
mengemukakan suatu model yang dikenal dengan model 7s dari McKinsey, model ini menggambarkan danya hubungan antara pemimpin, budaya organisasi, dan strategi. McKinsey menjelaskan bahwa strategi (Strategy) yang telah disepakati oleh para pemimpin harus didukung oleh struktur organisasi (Structure) dan sistem (System) yang diterapkan dalam organisasi tersebut. Structure dan system tersebut ditentukan oleh pemimpin (Style). Pemimpin menentukan siapa orang yang membantunya (Staff), dan Skill yang dimiliki oleh staff. Structure, system, style, staff, dan skill memiliki kontribusi terhadap keberhasilan strategy. Kontribusi dari dari 5s tersebut (structure, system, style, staff, dan skill) menyatu dalam satu variabel yang disebut Shared value atau yang dikenal dengan Culture (budaya organisasi).
Kepemimpinan Menentukan Strategi (skripsi dan tesis)
Pemimpin dengan gaya kepemimpinannya menentukan Strategi Perusahaan baik jangka panjang maupun jangka pendek. Corporate Strategy atau Business Startegy merupakan strategi perusahaan untuk mencapai tujuan jangka panjang,untuk itu yang menentukan strategi ini adalah pimpinan puncak, dan pemilik perusahaan. Sedangkan strategi fungsi yaitu strategi yang setiap tahunnya dirubah oleh Departemen dikatakan strategi jangka pendek yang ditentukan oleh pimpinan menengah (Pearce and Robinson, 2000; David, 2003: 156-170).
Formulasi strategi (Strategic Formulation) merupakan suatu proses untuk
menetapkan tujuan jangka panjang dan strategi korporasi/strategi total/strategi bisnis dan menetapkan tujuan tahunan dengan strategi fungsi. Kegiatan formulasi strategi bisa dilakukan oleh orang di luar perusahaan (seperti tenaga konsultan) dan juga bisa dilakukan oleh orang dalam perusahaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Yone May A.H. dalam Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Pembangunan Daerah di Kalimantan Timur oleh Armanu Thoyib (Eds. 2003) bahwa pada organisasi publik (organisasi pemerintah) di era otonomi daerah, Badan Perencanaan Daerah memiliki peran penting dalam membuat
perencanaan pembangunan daerah termasuk perencanaan di bidang sumberdaya manusia. Pada penerapan strategi (Strategic Implementation), hanya orang dalam (manajemen dan karyawan) perusahaan yang memiliki wewenang untuk melaksanakannya. Adul Majid Satui dalam Armanu Thoyib (Eds. 2003), menjelaskan bahwa implementasi kebijakan tanah, dalam rangka tertib administrasi pertanahan di Dinas Pertanahan Malinau Kalimantan Timur, telah dilaksanakan oleh Dinas Pertananahan bersama dengan Sub-dinasnya sesuai dengan perencanaan dan segala aturannya. Pada penerapan strategi inilah peran pemimpin sangat besar, dan disinilah McKinsey 7-S Framework juga mengingatkan bahwa Style (gaya kepemimpinan) menentukan strategi. (Pearce and Robinson, 2000: 399-400)
Subscribe to:
Comments (Atom)