Friday, July 12, 2019
Kecerdasan Intelektual (skripsi dan tesis)
Kecerdasan dalam arti umum adalah kemampuan umum yang membedakan kualitas orang yang satu dengan yang lain (Joseph, 1978 dalam Trihandini, 2005). Salah satu ukuran kecerdasan yang sudah sangat akrab ditelinga manusia adalah KI (IQ). KI sering juga disebut inteligensi, yang berarti kemampuan kognitif yang dimiliki suatu organisme untuk menyesuaikan diri secara efektif pada lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor genetik (Galton, dalam Trihandini, 2005). KI (yang saat ini diketahui bekerja di belahan otak kiri) merupakan salah satu ukuran kemampuan yang berperan dalam pemrosesan logika, bahasa dan matematika (Nafis, 2006). Covey (2005) mengatakan bahwa KI adalah kemampuan manusia untuk menganalisis, berpikir dan menentukan hubungan sebab-akibat, berpikir secara abstrak, menggunakan bahasa, memvisualisasikan sesuatu, dan memahami sesuatu. Behling (1998) mengemukakan KI sama dengan kemampuan kognisi, yaitu kemampuan yang didalamnya mencakup belajar dan memecahkan masalah, menggunakan simbul dan bahasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KI adalah kemampuan manusia untuk berpikir secara rasional, menganalisis, menentukan hubungan sebab-akibat, berpikir secara abstrak, menggunakan bahasa, memvisualisasikan sesuatu, dan memahami sesuatu
Bacaan Dalam Metode Dzikir (skripsi dan tesis)
Adapun bacaan-bacaan yang dianjurkan dalam dzikir lisan menurut Hawari (2002) adalah sebagai berikut :
- Membaca tasbih (subhanallah) yang mempunyai arti Maha Suci Allah.
- Membaca tahmid (alhamdulillah) yang bermakna segala puji bagi Allah.
- Membaca tahlil (la illaha illallah) yang bermakna tiada Tuhan selain Allah.
- Membaca takbir (Allahu akbar) yang berarti Allah Maha Besar.
- Membaca Hauqalah (la haula wala quwwata illa billah) yang bermakna tiada daya upaya dan kekuatan kecuali Allah.
- Hasballah: Hasbiallahu wani’mal wakil yang berarti cukuplah Allah dan sebaik-baiknya pelindung.
- Istighfar : Astaghfirullahal adzim yang bermakna saya memohon ampun kepada Allah yang maha agung.
- Membaca lafadz baqiyatussalihah: subhanllah wal hamdulillah wala illaha illallah Allahu akbar yang bermakna maha suci Allah dan segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar
Pelaksanaan Metode Dzikir (skripsi dan tesis)
Dzikir merupakan pengalaman ruhani yang dapat dinikmati oleh pelakunya, hal ini yang dimaksud oleh Allah sebagai penentram hati. Pada hakekatnya dzikir dibagi menjadi empat macam
Sedangkan pembagian dzikir secara garis besar pada umumnya ialah meliputi :
Amin Syukur disisi yang lain juga menyebutkan bentuk dzikir atau tata cara berdzikir dalam beberapa jenis, pertama, dzikir qauli atau jahr, yakni membaca lafal tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya dengan suara keras. Ucapan lisan untuk membimbing hati agar selalu ingat kepada-Nya. Lisan yang biasa berdzikir maka dengan sendirinya hati yang bersangkutan menjadi ingat. Kedua, ingat Tuhan dalam hati tanpa menyebut nama-Nya disebut dengan dzikir qalby atau sirr. Pada prinsipnya kedua dzikir tersebut dilaksanakan dalam cara dan kesopanan sesuai dengan prinsip yang ditentukan yakni dilakukan dengan merendahkan diri, penuh takut dan tidak mengeraskan suara, namun apabila dilakukan ditempat yang khusus boleh berdzikir dengan suara yang keras. Ketiga adalah dzikru al-ruh yaitu dzikir dalam arti seluruh jiwa raga tertuju untuk selalu ingat kepada-Nya, dengan berprinsip minallah, lillah, billah, dan ilallah artinya manusia berasal dari Allah, manusia adalah milik Allah, atas bantuan Allah dan kembali kepada Allah. Bentuk dzikir yang keempat adalah dzikir fi’li (aktifitas sosial) yakni berdzikir dengan melakukan kegiatan praktis, amal shalih, dan menginfakan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal yang berguna bagi pembangunan bangsa serta agama. Dzikir sosial merupakan refleksi dari dzikir qauli, dzikir qalby dan dzikir ruh.
- Dzikir Qalbiyah
- Dzikir Aqliyah
- Dzikir Amaliah
Sedangkan pembagian dzikir secara garis besar pada umumnya ialah meliputi :
- Dzikir lisan dan hati, yakni dengan mengucapkan kalimat-kalimat dzikir, dan merenungkan serta mengingat Allah dengan hati.
- Dzikir perbuatan, yakni dengan berbuat kebaikan dan beramal sholeh dengan mengingat kebesaran Allah (Al-Islam,2007).
Amin Syukur disisi yang lain juga menyebutkan bentuk dzikir atau tata cara berdzikir dalam beberapa jenis, pertama, dzikir qauli atau jahr, yakni membaca lafal tasbih, tahmid, tahlil, dan sebagainya dengan suara keras. Ucapan lisan untuk membimbing hati agar selalu ingat kepada-Nya. Lisan yang biasa berdzikir maka dengan sendirinya hati yang bersangkutan menjadi ingat. Kedua, ingat Tuhan dalam hati tanpa menyebut nama-Nya disebut dengan dzikir qalby atau sirr. Pada prinsipnya kedua dzikir tersebut dilaksanakan dalam cara dan kesopanan sesuai dengan prinsip yang ditentukan yakni dilakukan dengan merendahkan diri, penuh takut dan tidak mengeraskan suara, namun apabila dilakukan ditempat yang khusus boleh berdzikir dengan suara yang keras. Ketiga adalah dzikru al-ruh yaitu dzikir dalam arti seluruh jiwa raga tertuju untuk selalu ingat kepada-Nya, dengan berprinsip minallah, lillah, billah, dan ilallah artinya manusia berasal dari Allah, manusia adalah milik Allah, atas bantuan Allah dan kembali kepada Allah. Bentuk dzikir yang keempat adalah dzikir fi’li (aktifitas sosial) yakni berdzikir dengan melakukan kegiatan praktis, amal shalih, dan menginfakan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal yang berguna bagi pembangunan bangsa serta agama. Dzikir sosial merupakan refleksi dari dzikir qauli, dzikir qalby dan dzikir ruh.
Pengertian Metode Dzikir (skripsi dan tesis)
Menurut Al Munawir (2002) Kata dzikir dari segi bahasa berasal dari kata “dzakara-yadzkurudzikran” yang berarti menyebut, mengingat dan memberi nasihat. Dalam artian umum, dzikrullah adalah perbuatan mengingat Allah dan keagungan-Nya yang meliputi hampir semua bentuk ibadah dan perbuatan baik seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca Al-Qur’an, berdoa, melakukan perbuatan baik dan menghindarkan diri dari kejahatan. Dalam arti khusus, dzikrullah adalah menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dengan memenuhi tata tertib, metode, rukun dan syarat-syaratnya (Ahmad Syafi’i, 2005). Dalam pernyataan Hawari (2002) maka Dzikir adalah mengingat Allah dengan segala sifat-sifatNya, pengertian dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir itu sendiri (dalam arti sempit), melainkan meliputi segala bacaan, shalat, ataupun perilaku kebaikan lainnya sebagaimana yang diperintahkan dalam agama.
Menurut Askat (2002) Dzikir adalah segala sesuatu atau tindakan dalam rangka mengingat Allah SWT, mengagungkan asmaNya dengan lafal-lafal tertentu, baik yang dilafalkan dengan lisan atau hanya diucapkan dalam hati saja yang dapat dilakukan di mana saja tidak terbatas pada ruang dan waktu. Said Ibnu Djubair dan para ulama lainnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzikir itu adalah semua ketaatan yang diniatkan karena Allah SWT, hal ini berarti tidak terbatas masalah tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, tapi semua aktifitas manusia yang diniatkan kepada Allah SWT. Sedangkan Imam Nawawi (2005) dalam kitab al-Adzkar berpendapat bahwa sesungguhnya keutamaan dzikir tidak terhingga, baik tasbih, tahmid, tahlil, takbir maupun kalimat yang lain, bahkan semua amal dalam rangka taat kepada Allah termasuk aktivitas dzikrullah. Menurut Atha’ majelis dzikir adalah majelis yang membahas halal haram, yaitu menerangkan tentang cara jual beli, shalat, puasa, talak dan haji serta masalah-masalah lain yang serupa.
Haryanto (dalam Abu Sangkan, 2010) dzikir sebenarnya merupakan salah satu bentuk meditasi transcendental. Ketika seseorang khusyuk, objek piker atau stimulasi tertuju pada Allah. Sedangkan menurut Zohar (Abu Sangkan, 2010) transenden merupakan sesuatu yang membawa kita mengatasi (beyond) masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi rasa diri kita saat ini. Dzikir ialah mengingat nikmat-nikmat Tuhan. Lebih jauh, berdzikir meliputi pengertian menyebut lafal-lafal dzikir dan mengingat Allah dalam setiap waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, merasa yakin bahwa diri manusia selalu berada di bawah kehendak Allah dalam segala hal dan urusannya (AshShiddieqy, 2001).
Menurut Askat (2002) Dzikir adalah segala sesuatu atau tindakan dalam rangka mengingat Allah SWT, mengagungkan asmaNya dengan lafal-lafal tertentu, baik yang dilafalkan dengan lisan atau hanya diucapkan dalam hati saja yang dapat dilakukan di mana saja tidak terbatas pada ruang dan waktu. Said Ibnu Djubair dan para ulama lainnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzikir itu adalah semua ketaatan yang diniatkan karena Allah SWT, hal ini berarti tidak terbatas masalah tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, tapi semua aktifitas manusia yang diniatkan kepada Allah SWT. Sedangkan Imam Nawawi (2005) dalam kitab al-Adzkar berpendapat bahwa sesungguhnya keutamaan dzikir tidak terhingga, baik tasbih, tahmid, tahlil, takbir maupun kalimat yang lain, bahkan semua amal dalam rangka taat kepada Allah termasuk aktivitas dzikrullah. Menurut Atha’ majelis dzikir adalah majelis yang membahas halal haram, yaitu menerangkan tentang cara jual beli, shalat, puasa, talak dan haji serta masalah-masalah lain yang serupa.
Haryanto (dalam Abu Sangkan, 2010) dzikir sebenarnya merupakan salah satu bentuk meditasi transcendental. Ketika seseorang khusyuk, objek piker atau stimulasi tertuju pada Allah. Sedangkan menurut Zohar (Abu Sangkan, 2010) transenden merupakan sesuatu yang membawa kita mengatasi (beyond) masa kini, mengatasi rasa suka atau duka, bahkan mengatasi rasa diri kita saat ini. Dzikir ialah mengingat nikmat-nikmat Tuhan. Lebih jauh, berdzikir meliputi pengertian menyebut lafal-lafal dzikir dan mengingat Allah dalam setiap waktu, takut dan berharap hanya kepada-Nya, merasa yakin bahwa diri manusia selalu berada di bawah kehendak Allah dalam segala hal dan urusannya (AshShiddieqy, 2001).
Pengukuran Dalam Stres Pasca Kematian (skripsi dan tesis)
Berbagai pengukuran telah dkembangkan untuk melihat stres dalam grief pasca kematian. Berbagai pengukuran tersebut memuat mengenai kondisi yang berbeda sesuai dengan tujuan dari alat ukur itu sendiri. Lebih khusus lagi dalam pengukuran stres pada grief pasca kematian perinatal maka diantaranya terdapat Perinatal Bereavement Scale (PBS) yang memuat mengenai Pikiran dan perasaan, termasuk kesedihan, rasa bersalah, kemarahan, dan keasyikan dengan kerugian (Theut, 1989).
Dalam pengukuran pasca kematian perinatal lainnya adalah menurut Toedter, Lasker, dan Alhadeff (1988) yang mengembangkan alat ukur grief bagi orang tua yang mengalami kematian anak yang disebut sebagai Perinatal Grief Scale (PGS) dimana dalam pengukuran tersebut mengemukakan tiga subskala dari perinatal grief yaitu active grief, difficulty coping, dan despair. Active grief menggambarkan perasaan sedih, merindukan bayi yang telah tiada, menangis untuk bayi yang telah tiada, dan secara umum menggambarkan ekspresi-ekspresi grief yang terlihat. Difficulty Coping mengukur perilaku adaptif, bilamana individu mengalami kesulitan dalam menghadapi rutinitas sehari-hari maupun orang lain. Despair menggambarkan perasaan tidak berharga, rasa bersalah, kerentanan, dan menunjukkan potensi terjadinya efek yang serius dan berkepanjangan dari kehilangan bayi yang dialami (Toedter, Lasker, dan Alhadeff, 1988).
Pengukuran lain yang digunakan dalam grief bagi orang tua yang mengalami kematian anak adalah Texas Revised Inventory of Grief-Present Scale (Paulhan & Bourgeois, 1995 dan Wilson, 2006). Prinsip dari pengukuran Texas Revised Inventory of Grief-Present Scale adalah mengukur kecenderungan kesedihan patologis yang dimiliki seorang individu. Dalam pengukuran ini memuat mengenai pertanyaan mengenai fenomena yang berhubungan dengan kesedihan, sehingga dapat digunakan untuk mengukur (1) kerugian non-penerimaan, (2) kerinduan / kehilangan almarhum, (3) perasaan menjadi marah / marah, dan (4) menangis / kesedihan. Dimana individu akan menganggapi dalam bentuk pernyataan memilih yaitu Sepenuhnya Salah/completely false, sebagian salah/Mostly False, salah dan benar/True dan False, sebagian benar/Mostly Benar, dan sepenuhnya salah/Completely Benar.
Fase-Fase Dalam Grief (skripsi dan tesis)
Berdasarkan pernyataan Averill (dalam Santrock, 2004: 272) bahwa fase duka cita melewati beberapa tahapan. Ditambahkan oleh J. T. Brown & Stoudemire (dalam Papalia, dkk 2004) proses penyelesaian duka (grief work), penyelesaian masalah psikologis yang dihubungkan dengan duka, biasanya mengikuti jalur berikut-walaupun, sebagaimana tahap Kubler-Ross (dalam Santrock, 2004), tahapan tersebut dapat bervariasi. Papalia (2004) mengemukakan bahwa tiga tahap yang dapat dilalui seseorang sehubungan dengan grief yang dialaminya, yaitu:
Turner & Helms (dalam Cahyasari, 2015), menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan dari grief yang dijelaskan secara lebih rinci, yaitu:
- Shock dan tidak percaya.
- Asik dengan kenangan mereka yang meninggal
- Resolusi
Turner & Helms (dalam Cahyasari, 2015), menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan dari grief yang dijelaskan secara lebih rinci, yaitu:
- Denial Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan tidak percaya dan menyangkal kenyataan bahwa orang yang dicintai telah tiada. Reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah “Tidak mungkin dia sudah meninggal.”
- Realization Of Loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan secara emosional mulai menyadari bahwa orang yang dicintainya memang sudah meninggal. Umumnya reaksi yang muncul adalah “Ya Tuhan, hal ini memang terjadi, dia sudah pergi untuk selamanya.”
- Feeling of abandonment, alarm, and anxiety, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa khawatir dan gelisah. Karena telah ditinggalkan oleh orang yang dicintainya, reaksi yang biasanya muncul pada fase ini adalah “Tuhan, bagaimana saya menjalani semua ini sendirian?”
- Despair, crying, physical numbness, mental confusion, indecisiveness pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa putus asa, menangis, mati rasa, bingung dan bimbang akibat kematian orang yang dicintai.
- Restlessness (a product of anxiety), insomnia, loss of appetite, irritability, loss of self control, wondering mind. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan mengalami keresahan (hasil dari kecemasan), insomnia, nafsu makan hilang, cepat marah, kontrol diri menurun, serta pikiran kacau.
- Pining (the physical pain and agony of grieving) and search for some token remembrance of the lost love abject. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa merana, timbulnya sakit fisik dan enderitaan atas grief. Selain itu orang yang ditinggalkan akan mencari benda-benda sebagai kenang-kenangan yang mengingatkan pada orang yang telah meninggal.
- Anger, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa marah atas kematian yang menimpa orang yang dicintainya. Kemarahan yang biasanya muncul biasanya diungkapkan dengan kata-kata seperti “mengapa dia harus mati?”
- Guilt, pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa bersalah atas kematian orang yang dicintainya. Umumnya reaksi yang muncul adalah “Seharusnya saya menjaga dia lebih baik, salah saya sehingga dia sakit!”
- Feeling of loss of self or total emptiness, pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa kehilangan atas dirinya sendiri atau merasa kekosongan secara menyeluruh. Reaksi yang muncul umumnya adalah “Sebagian diri saya telah pergi untuk selamanya.”
- Longing (the dull ache that won`t go away event with other). Pada fase ini orang yang ditinggalkan merasakan kerinduan yang sangat mendalam dan merasa sakit atas kesepian atau kehampaan, dan perasaan rindu tersebut tidak hilang, bahkan saat bersama dengan orang lain
- Identification with one`s lost partner by assuming some of her traits, attitudes, or mannerism. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan melakukan identifikasi terhadap orang yang telah meninggal tersebut, dengan meniru beberapa sifat, perilaku atau gaya dari orang yang telah meninggal.
- Profound depression, pada fase ini seseorang merasa sangat depresi akibat kehilangan orang yang dicintai memalui kematian. Umumnya orang yang ditinggalkan berfikir untuk menyusul orang yang dicintainya, yaitu keinginan untuk mati.
- Pathological aspects, such as minor acehs and ailments and marked tendency toward hypochondria. Pada fase ini muncul aspek patologis pada orang yang ditinggalkan, seperti penyakit minor dan penyakit ringan dan ditandai kecenderungan terhadap hypochondria. Reaksi yang umunya muncul adalah “siapa yang akan menjaga dan memperhatikan saya sekarang.”
- Voluntary return to society, pada fase ini orang yang ditinggalkan mulai kembali ke masyarakat atas keinginannya sendiri, setelah sebelumnya sempat menarik diri dari lingkungan.
- The diminishment of grief symptoms and the beginning of full recovery. Pada fase ini simptom-simptom grief yang dialami oleh orang yang ditinggalkan mulai berkurang, mulai mengarah pada kepulihan yang menyeluruh.
Pengertian Stres Pasca Kematian (skripsi dan tesis)
Menurut Rasmun (2004), stres adalah respon tubuh yang tidak spesifik terhadap kebutuhan tubuh yang terganggu. Stres merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari serta akan dialami oleh setiap orang. Stres memberi dampak secara total pada individu yaitu dampak terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual. Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa stres merupakan stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada. seseorang. Ditambahkan bahwa stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu (Isaacs, 2004).
Khususnya stres pasca kematian maka kematian merupakan salah satu sumber stres utama dalam hidup. Penelitan yang dilakukan Holmes dan Rahe, (dalam Rahmania dan Tehuteru, 2011) tentang urutan peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres menunjukkan bahwa kematian anggota keluarga menempati urutan kelima dalam hal yang menyebabkan stres. Apalagi jika orang tersebut dekat dengan kita, orang yang dikasihi, maka akan ada masa dimana kita akan meratapi kepergian mereka dan merasa kesedihan yang mendalam. Kita juga merasa sangat kehilangan, tidak bahagia, dan kurang dapat menjalani kehidupan dengan baik (Stroebe, Stroebe & Hansson, 1993). Dalam hal ini salah satu kematian yang sangat menekan dan membuat stres adalah pasangan atau anak.
Stres yang dialami oleh orang tua pasca kematian anak merupakan bagian dari bereveament dan grief (rasa kehilangan ini seringkali disebut sebagai bereveament sedangkan ekspresi dari rasa kehilangan tersebut disebut sebagai grief). Secara mendetail dijelaskan oleh Turner. J,S & Helms, D.B dalam Bifina (2004) mendefinisikan bereavement sebagai kehilangan seseorang yang di cintai karena kematian yang kita cintai. Reaksi berduka (bereavement) akibat kematian mendadak lebih banyak melibatkan respon emosional seseorang (Valentine, 2006), yang berupa perasaan kesepian, tidak berdaya, putus asa,dan shock (Green, 2016). Respon emosional tersebut sangat heterogen tergantung dari intensitas, durasi, dan adaptasi terhadap kehilangan. Dengan demikian stres dari reaksi berduka (bereavement) kemungkinan memiliki konsekuensi negative pada aspek emosional, fisik, sosial, dan fungsi kognitif(Lister, 2008).
Sedangkan pengertian grief merupakan istilah yang mengindikasikan reaksi alamiah yang terjadi pada individu akibat kehilangan (baik berupa primary losses/actual losses maupun secondary losses/symbolic losses) yang meliputi reaksi fisik, psikologis (emosi dan kognisi), perilaku, sosial dan sipiritual. Kondisi objektif individu yang mengalami kehilangan seseorang yang berharga bagi individu tersebut dikneal dengan bereavement sedangkan mourning/grief work adalah respon kehilangan dan duka cita sehingga usaha mengtasinya dan respon untuk belajar hidup dengan apa yang telah terjadi (Corr, Nabe dan Corr, 2009).
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa grief atau rasa berdukacita merupakan reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau memiliki harapan yang besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Konsep grief telah seringkali dibahas pada berbagai literatur yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehilangan dalam hidup seseorang, seperti kematian dan pemutusan ikatan emosional yang penting. Menurut Santrock (2004) dukacita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai disaat kita kehilangan orang yang kita cintai. Duka menurut Papalia, dkk (2008) ialah kehilangan, karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri kepada kehilangan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran.
Khususnya stres pasca kematian maka kematian merupakan salah satu sumber stres utama dalam hidup. Penelitan yang dilakukan Holmes dan Rahe, (dalam Rahmania dan Tehuteru, 2011) tentang urutan peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres menunjukkan bahwa kematian anggota keluarga menempati urutan kelima dalam hal yang menyebabkan stres. Apalagi jika orang tersebut dekat dengan kita, orang yang dikasihi, maka akan ada masa dimana kita akan meratapi kepergian mereka dan merasa kesedihan yang mendalam. Kita juga merasa sangat kehilangan, tidak bahagia, dan kurang dapat menjalani kehidupan dengan baik (Stroebe, Stroebe & Hansson, 1993). Dalam hal ini salah satu kematian yang sangat menekan dan membuat stres adalah pasangan atau anak.
Stres yang dialami oleh orang tua pasca kematian anak merupakan bagian dari bereveament dan grief (rasa kehilangan ini seringkali disebut sebagai bereveament sedangkan ekspresi dari rasa kehilangan tersebut disebut sebagai grief). Secara mendetail dijelaskan oleh Turner. J,S & Helms, D.B dalam Bifina (2004) mendefinisikan bereavement sebagai kehilangan seseorang yang di cintai karena kematian yang kita cintai. Reaksi berduka (bereavement) akibat kematian mendadak lebih banyak melibatkan respon emosional seseorang (Valentine, 2006), yang berupa perasaan kesepian, tidak berdaya, putus asa,dan shock (Green, 2016). Respon emosional tersebut sangat heterogen tergantung dari intensitas, durasi, dan adaptasi terhadap kehilangan. Dengan demikian stres dari reaksi berduka (bereavement) kemungkinan memiliki konsekuensi negative pada aspek emosional, fisik, sosial, dan fungsi kognitif(Lister, 2008).
Sedangkan pengertian grief merupakan istilah yang mengindikasikan reaksi alamiah yang terjadi pada individu akibat kehilangan (baik berupa primary losses/actual losses maupun secondary losses/symbolic losses) yang meliputi reaksi fisik, psikologis (emosi dan kognisi), perilaku, sosial dan sipiritual. Kondisi objektif individu yang mengalami kehilangan seseorang yang berharga bagi individu tersebut dikneal dengan bereavement sedangkan mourning/grief work adalah respon kehilangan dan duka cita sehingga usaha mengtasinya dan respon untuk belajar hidup dengan apa yang telah terjadi (Corr, Nabe dan Corr, 2009).
Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa grief atau rasa berdukacita merupakan reaksi terhadap kehilangan dimana seseorang mengalami penderitaan emosional ketika sesuatu atau seseorang yang ia cintai atau memiliki harapan yang besar telah menghilang (Smith dalam Lim, 2013). Konsep grief telah seringkali dibahas pada berbagai literatur yang berhubungan dengan berbagai peristiwa kehilangan dalam hidup seseorang, seperti kematian dan pemutusan ikatan emosional yang penting. Menurut Santrock (2004) dukacita (grief) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih, dan kesepian yang menyertai disaat kita kehilangan orang yang kita cintai. Duka menurut Papalia, dkk (2008) ialah kehilangan, karena kematian seseorang yang dirasakan dekat dengan yang sedang berduka dan proses penyesuaian diri kepada kehilangan. Kehilangan sering kali membawa perubahan dalam status dan peran.
Subscribe to:
Comments (Atom)