Saturday, July 13, 2019
Faktor-faktor yang mempengaruhi Rasa ketidakamanan dalam bekerja (job insecurity) (skripsi dan tesis)
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi munculnya rasa ketidakamanan
dalam bekerja pada diri karyawan. Faktor yang pertama adalah karakteristik
demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, masa kerja, status pernikahan dan tingkat pendidikan (Kinnunen, et al, 2000). Pria memiliki tingkat rasa
ketidakamanan dalam bekerja yang lebih tinggi dibandingkan wanita karena
berkaitan dengan peran pria sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga,
sehingga pria akan lebih khawatir ketika menghadapi kehilangan pekerjaan. Usia memiliki hubungan positif dengan rasa ketidakamanan dalam bekerja. Semakin tinggi usia seseorang, semakin tinggi tingkat rasa ketidakamanan dalam bekerjanya. Sebaliknya, pendidikan dan masa kerja berhubungan negatif dengan rasa ketidakamanan dalam bekerja, yaitu semakin rendah pendidikan dan semakin pendek masa kerja maka semakin tinggi rasa ketidakamanan dalam bekerja seseorang.
Faktor yang kedua adalah karakteristik pekerjaan. Menurut Jacobson dan
Hartley (Hassenlink & Vuuren, 1999) karakteristik pekerjaan itu dapat
mempengaruhi rasa ketidakamanan dalam bekerja pada karyawan. Rasa
ketidakamanan dalam bekerja biasanya rentan terjadi pada karyawan yang masa depan pekerjaannya tidak pasti, yang bisa dialami oleh: Karyawan tetap yang terancam kehilangan pekerjaan, Freelancer (pekerja jasa yang tidak terikat pada suatu organisasi) dan karyawan kontrak, karyawan baru yang berada dalam masa percobaan, karyawan dari secondary labour market, seperti kelompok suku bangsa minoritas, pekerja yang cacat, pekerja musiman dan karyawan yang berasal dari agen penyedia karyawan kontrak.
Faktor ketiga adalah kondisi lingkungan. Lingkungan merupakan sumber
ancaman yang berada di luar individu. Ancaman yang berasal dari lingkungan ini meliputi merger, akuisisi, pengurangan jumlah karyawan, reorganisasi dan
penggunaan teknologi baru (Ashford, et al, 1989).
Faktor keempat, ketidak jelasan peran yang berkaitan dengan seberapa
banyak informasi yang dimiliki oleh tenaga kerja mengenai tuntutan pekerjaan
dan prosedur kerja. Karyawan yang tidak mengetahui dengan jelas apa yang
menjadi tanggung jawabnya, prosedur kerja dan kurang adanya umpan balik
menyebabkan karyawan tidak dapat melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya
karyawan tidak mampu memenuhi kontrak psikologisnya sebagai karyawan dan dapat memperbesar rasa ketidakamanan dalam bekerja dalam dirinya (Ashford, et al, 1989).
Faktor kelima adalah karakteristik personal karyawan (internal-external
locus of control, pesimis-optimis). Karyawan dengan locus of control internal
mempunyai persepsi bahwa lingkungan cenderung dapat dikontrol sehingga
mampu melakukan perubahan sesuai dengan keinginannya mengatasi kondisi
dari rasa ketidakamanan dalam bekerja. Sebaliknya, karyawan dengan locus of
control eksternal berhubungan dengan sikap pasif dan keadaan
ketidakberdayaan individu dalam menghadapi lingkungan (Rotter, 1992)
mengganggap lingkungan memberikan peran yang lebih besar terhadap nasibnya
dibandingkan dengan kemampuannya sendiri.
Faktor yang keenam adalah nilai pekerjaan. Nilai dari suatu pekerjaan
tentunya dimaknai secara berbeda oleh setiap orang. Sebagian orang
beranggapan bahwa pekerjaan merupakan faktor utama dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial (Sverke & Hellgren, 2002), namun di
sisi lain pekerjaan tidak hanya dianggap sebagai sumber pendapatan, tetapi juga
memungkinkan individu untuk melakukan hubungan sosial, mempengaruhi
struktur waktu dan berkontribusi dalam perkembangan pribadi individu tersebut.
Oleh karena itu ancaman kehilangan pekerjaan dapat menimbulkan rasa
ketidakamanan dalam bekerja dalam diri karyawan.
Aspek-aspek Rasa ketidakamanan dalam bekerja (Job Insecurity) (skripsi dan tesis)
Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) mengemukakan bahwa ketidakamanan
dalam bekerja memiliki konstruk yang bersifat multidimensional dan terdiri dari lima komponen, yaitu:
a) Persepsi terhadap pentingnya faktor pekerjaan. Apabila seorang karyawan
mempersepsikan adanya ancaman terhadap faktor pekerjaan yang
dimilikinya, maka pada diri karyawan tersebut muncul ketidakamanan dalam
bekerja. Seorang karyawan yang bekerja dengan perasaan ketidakamanan
secara terus menerus akan berdampak pada kinerjanya.
b) Kemungkinan perubahan faktor pekerjaan. Apabila perusahaan melakukan
restrukturisasi, kemungkinan besar terjadi perubahan secara menyeluruh
pada faktor pekerjaan. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian dan
kebimbangan pada karyawan dalam menjalankan pekerjaannya.
Ketidakpastian dan kebimbangan yang dialami oleh karyawan akan
mempengaruhi munculnya rasa ketidakamanan dalam bekerja.
c) Pentingnya kejadian negatif dalam pekerjaan. Pekerjaan merupakan hal
penting yang mempengaruhi kesejahteraan karyawan baik secara psikologis
maupun secara fisiologis. Seorang karyawan yang mengalami kejadian
negatif seperti diberhentikan untuk sementara waktu atau dipecat oleh
perusahaan, maka akan mengurangi kesejahteraan karyawan baik secara
psikologis maupun fisiologis yang disebabkan karena rasa khawatir dan rasa
ketidakamanannya dalam bekerja.
d) Kemungkinan terjadinya kejadian negatif. Seorang karyawan yang
merasakan dan mempersepsikan kemungkinan adanya kejadian negatif
seperti timbulnya konflik dengan karyawan lain, diberhentikan untuk
sementara waktu dapat menyebabkan timbulnya rasa ketidakamanan dalam
bekerja.
e) Perasaan tidak berdaya karena kehilangan kontrol terhadap pekerjaan.
Seorang karyawan yang merasa dirinya tidak berdaya untuk melakukan
kontrol terhadap pekerjaan yang dimilikinya, maka akan memicu timbul rasa
ketidakamanan dalam bekerja.
Teori Rasa ketidakamanan dalam bekerja (Job Insecurity) (skripsi dan tesis)
Ashford, et al, (1989) mencoba mencari bukti empiris tentang aspek rasa
ketidakamanan dalam bekerja dalam lingkungan kerja organisasi. Aspek ini
dianggap penting karena memiliki konsekuensi-konsekuensi terhadap organisasi.
Ashford, et al, (1989) mereaktualisasikan rasa ketidakamanan dalam bekerja dari
sudut pengukuran dengan mengimplementasikan pengukuran yang bersifat
multidimensional seperti yang dikembangkan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt
(1984). Pengukuran secara multidimensional adalah mengukur konstruk rasa
ketidakamanan dalam bekerja yang terdiri atas lima komponen, yaitu (1)
persepsi terhadap pentingnya faktor pekerjaan, (2) kemungkinan perubahan
pada faktor pekerjaan, (3) pentingnya kejadian negatif dalam pekerjaan, (4)
kemungkinan terjadinya kejadian negatif (5) perasaan tidak berdaya karena
kehilangan kontrol terhadap pekerjaan.
Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) serta Ashford, et al (1989)
mengungkapkan rasa ketidakamanan dalam bekerja sebagai ketidakberdayaan
untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja
yang terancam. Rasa ketidakamanan dalam bekerja dapat menimbulkan rasa
takut, kehilangan kemampuan dan kecemasan. Pada akhirnya jika dibiarkan
berlangsung lama maka karyawan dapat menjadi stres, akibatnya adanya rasa
tidak aman dan pasti dalam pekerjaan. Rasa ketidakamanan dalam bekerja
terdiri dari lima dimensi yaitu tingkat kepentingan aspek kerja, kemungkinan
hilangnya aspek kerja, tingkat kepentingan peristiwa yang mempengaruhi
keseluruhan pekerjaan, kemungkinan terjadinya peristiwa negatif dan tingkat
ketidakberdayaan dalam menghadapi ancaman.
Ashford, et al, (1989) mengatakan bahwa rasa ketidakamanan dalam
bekerja memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja. Karyawan yang merasa
dirinya tidak aman (insecure) tentang kelangsungan pekerjaannya, cenderung
merasa tidak puas dibandingkan mereka yang merasakan kepastian masa depan
pekerjaan mereka.
Rosenblatt dan Ruvio (1996) melakukan penelitian dengan mengkaji
pengaruh rasa ketidakamanan dalam bekerja terhadap sikap dalam bekerja
(work attitude) melalui pendekatan regresional. Penelitian ini menemukan bahwa
rasa ketidakamanan dalam bekerja mempunyai dampak yang merugikan
terhadap komitmen organisasi dukungan pada organisasi dan keinginan
berpindah. Keadaan karyawan yang merasa terancam akan mengakibatkan
komitmennya serta dukungan terhadap organisasi akan menurun. Kondisi inilah
yang akan menjadi potensi untuk mempengaruhi niat karyawan untuk pindah
kerja.
Hasil riset Barling dan Kelloway (Greenglass, et al, 2002) menyatakan bahwa
rasa ketidakamanan dalam bekerja berhubungan dengan turnover intentions,
selain itu juga mengindikasikan bahwa rasa ketidakamanan dalam bekerja
mengakibatkan psychological well-being berkurang.
Hasil penelitian mengenai Job insecurity and Work Intensification yang
dilakukan oleh Universitas Cambrige dan ESRC Centre for Bussiness Research
yang dilakukan terhadap 340 karyawan menunjukkan hubungan yang negatif
antara rasa ketidakamanan dalam bekerja dan tingkat motivasi (Burchell,1999).
Individu dengan rasa ketidakamanan dalam bekerja tinggi memiliki motivasi yang
lebih rendah dibandingkan individu yang rasa ketidakamanan dalam bekerjanya
rendah.
Pengertian Rasa ketidakamanan dalam bekerja (Job Insecurity) (skripsi dan tesis)
Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai rasa
ketidakamanan dalam bekerja. Namun perlu diketahui bahwa job loss dan job
insecurity adalah dua hal yang berbeda. Job loss adalah suatu peristiwa dimana seseorang kehilangan pekerjaan sedangkan pada job insecurity, individu belum mengalami kehilangan pekerjaan, melainkan masih berada pada situasi yang dapat menyebabkan munculnya perasaan tidak aman akan kelanjutan pekerjaannya saat ini (Sverke & Hellgren, 2002).
Greenhalg dan Rossenblatt (1984) mendefinisikan rasa ketidakamanan
dalam bekerja sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan
pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Adanya berbagai
perubahan yang terjadi dalam organisasi memungkinkan karyawan merasa
terancam, gelisah dan tidak aman disebabkan karena potensi perubahan tersebut mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.
Smithson dan Lewis (2000) mendefinisikan rasa ketidakamanan dalam
bekerja sebagai kondisi psikologis seorang karyawan yang menunjukkan rasa
bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan kerja yang
berubah-ubah (perceived impermanence). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sifatnya sementara atau tidak permanen maka menyebabkan semakin banyaknya peluang karyawan yang akan mengalami perasaan ketidakamanan dalam bekerja.
Sverke dan Hellgren (2002) mengartikan rasa ketidakamanan dalam bekerja
sebagai pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa di
tempatnya bekerja. Green (2003) menyatakan rasa ketidakamanan dalam
bekerja sebagai kegelisahan pekerjaan, yaitu sebagai suatu keadaan dari
pekerjaan yang terus menerus dan tidak menyenangkan. Karyawan yang
mengalami rasa ketidakamanan dalam bekerja dapat mengganggu semangat
kerja sehingga efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas tidak dapat
diharapkan dan akan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli maka
dapat disimpulkan bahwa rasa ketidakamanan dalam bekerja adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya bekerja yang menimbulkan ketidakamanan akan kelanjutan pekerjaannya dan menyebabkan individu merasa tidak berdaya.
ketidakamanan dalam bekerja. Namun perlu diketahui bahwa job loss dan job
insecurity adalah dua hal yang berbeda. Job loss adalah suatu peristiwa dimana seseorang kehilangan pekerjaan sedangkan pada job insecurity, individu belum mengalami kehilangan pekerjaan, melainkan masih berada pada situasi yang dapat menyebabkan munculnya perasaan tidak aman akan kelanjutan pekerjaannya saat ini (Sverke & Hellgren, 2002).
Greenhalg dan Rossenblatt (1984) mendefinisikan rasa ketidakamanan
dalam bekerja sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan
pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Adanya berbagai
perubahan yang terjadi dalam organisasi memungkinkan karyawan merasa
terancam, gelisah dan tidak aman disebabkan karena potensi perubahan tersebut mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.
Smithson dan Lewis (2000) mendefinisikan rasa ketidakamanan dalam
bekerja sebagai kondisi psikologis seorang karyawan yang menunjukkan rasa
bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan kerja yang
berubah-ubah (perceived impermanence). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sifatnya sementara atau tidak permanen maka menyebabkan semakin banyaknya peluang karyawan yang akan mengalami perasaan ketidakamanan dalam bekerja.
Sverke dan Hellgren (2002) mengartikan rasa ketidakamanan dalam bekerja
sebagai pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa di
tempatnya bekerja. Green (2003) menyatakan rasa ketidakamanan dalam
bekerja sebagai kegelisahan pekerjaan, yaitu sebagai suatu keadaan dari
pekerjaan yang terus menerus dan tidak menyenangkan. Karyawan yang
mengalami rasa ketidakamanan dalam bekerja dapat mengganggu semangat
kerja sehingga efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas tidak dapat
diharapkan dan akan mengakibatkan turunnya produktivitas kerja.
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli maka
dapat disimpulkan bahwa rasa ketidakamanan dalam bekerja adalah pandangan individu terhadap situasi yang ada dalam organisasi tempatnya bekerja yang menimbulkan ketidakamanan akan kelanjutan pekerjaannya dan menyebabkan individu merasa tidak berdaya.
Tahap-Tahap Konseling Kelompok (skripsi dan tesis)
Winkel dan Hastuti (2007:607-613) mengatakan konseling kelompok terdiri dari beberapa tahap, yaitu: (a) pembukaan, (b) penjelasan masalah, (c) penggalian latar belakang masalah (d) penyelesaian masalah (e) penutup.
Tahapan-tahapan yang telah disebutkan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahapan-tahapan yang telah disebutkan dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pada tahap ini diletakkan dasar bagi pengembangan hubungan antarpribadi (working relationship) yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah pada penyelesaian masalah.
- Penjelasan masalah. Masing-masing konseli mengutarakan masalah yang dihadapi berkaitan dengan materi diskusi, sambil memngungkapkan pikiran dan perasaannya secara bebas. Selama seseorang konseli mengungkapkan apa yang dipandangnya perlu dikemukakan, konseli lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan berusaha ikut menghayati ungkapan pikiran dan persaan temannya. Mereka dapat menanggapi ungkapan teman dengan memberikan komentar singkat, yang menunjukkan ungkapan itu telah ditangkap dengan tepat
- Penggalian latar belakang masalah. Pada tahap ini konselor membawa kelompok masuk ke fase analisis kasus, dengan tujuan supaya para konseli lebih memahami latar belakang masalahnya sendiri-sendiri dan masalah teman, serta sekaligus mulai sedikit mengerti tentang asal-usul permasalahan yang dibahas bersama.
- Penyelesaian masalah. Berdasarkan apa yang telah digali dalam fase analisis kasus, konselor dan para konseli membahas bagaimana persoalan dapat diatasi. Kelompok konseli selama fase ini harus ikit berpikir, memandang, dan mempertimbangkan.
- Bilamana kelompok sudah siap untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan bersama, proses konseling dapat diakhiri dan kelompok dibubarkan pada pertemuan terakhir. Bilamana proses konseling belum selesai, pertemuan yang sedang berlangsung ditutup untuk dilanjtkan pada lain hari. Dalam fase ini konselor harus membantu kelompok merefleksi atas manfaat yang diperoleh dari pengalaman dalam kelompok ini. Untuk itu konselor meringkas jalannya proses konseling, mempersilahkan masing-masing konseli mengungkapkan pengalamannya dan menyatakan hal-hal apa yang terasa belum tuntas untuk kemudian diperdalam sendiri (evaluasi terhadap kelompok dan diri sendiri). Kemudian, konselor menegaskan kembali apa yang telah disepakati bersama dan mengusulkan beberapa cara menilai kemajuan pada diri sendiri.
Unsur-Unsur Layanan Konseling Kelompok (skripsi dan tesis)
Prayitno (1995:60) mengatakan sebagai kegiatan kelompok, konseling kelompok secara penuh mengandung empat unsur, yaitu (a) tujuan kelompok, (b) anggota kelompok, (c) pemimpin kelompok, (d) aturan kelompok.
Berdasarkan unsur-unsur layanan konseling kelompok yang telah disebutkan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
Berdasarkan unsur-unsur layanan konseling kelompok yang telah disebutkan, maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Tujuan kelompok, yaitu tujuan bersama yang ingin dicapai oleh kedua kelompok ialah pengembangan pribadi semua peserta dan peralihan-peralihan lainnya melalui perubahan dan pendalaman masalah pribadi peserta
- Anggota kelompok, yaitu seluruh peserta kelompok masing-masing melibatkan diri dalam kegiatan itu
- Pemimpin kelompok, ialah orang yang bertanggung jawab atas berlangsungnya kegiatan masing-masing kelompok itu
- Aturan kelompok, ialah berbagai ketentuan yang hendaknya dijalankan dan dipatuhi oleh semua anggota kelompok dan pemimpin kelompok
Pengertian Konseling Kelompok (skripsi dan tesis)
Gazda (dalam Nursalim dan Hariastuti, 2007) menyebutkan bahwa konseling kelompok diartikan sebagai suatu proses interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada kesadaran berpikir dan tingkah laku, serta melibatkan fungsi-fungsi terapi yang dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan, membersihkan jiwa, saling percaya dan mempercayai pemeliharaan, pengertian, penerimaan dan bantuan. Fungsi-fungsi dari terapi itu diciptakan dan dipelihara dalam wadah kelompok kecil melalui sumbangan (saling berbagi) dari tiap anggota kelompok dan konselor. Tujuan konseling kelompok dalam seting sekolah adalah untuk membantu individu dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dalam tujuh bidang yaitu: psikososial, vokasional, kognitif, fisik, seksual, moral dan afektif. (Nursalim dan Hariastuti, 2007)
Menurut Damayanti (2012:21) layanan konseling kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melaui dinamika kelompok, masalah yang dibahas itu adalah masalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok. Lain halnya dengan yang dikatakan oleh Shertzer dan Stones, yaitu dalam konseling kelompok seorang konselor terlibat dalam suatu hubungan dengan sejumlah konseli dalam waktu yang sama. Konseling kelompok merupakan jenis aktivitas kelompok, berciri proses antarpribadi yang dinamis, berfokus pada kesadaran pikiran dan tingkah laku yang melibatkan fungsi-fungsi terapi dalam menyediakan bantuan konseling secara serentak pada empat sampai dua belas orang konseli normal mengelola masalah-masalah penyesuaian dan keprihatinan perkembangan, pemecahan bersama berbagai bidang masalah sosiopsikologis individu dalam kelompok.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu konseling kelompok dapat dimaknai sebagai suatu upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal. Dengan kata lain, konseling kelompok juga bisa dimaknai sebagai suatu upaya pemberian bantuan kepada individu (siswa) yang mengalami masalah-masalah pribadi melaui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal.
Menurut Damayanti (2012:21) layanan konseling kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melaui dinamika kelompok, masalah yang dibahas itu adalah masalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok. Lain halnya dengan yang dikatakan oleh Shertzer dan Stones, yaitu dalam konseling kelompok seorang konselor terlibat dalam suatu hubungan dengan sejumlah konseli dalam waktu yang sama. Konseling kelompok merupakan jenis aktivitas kelompok, berciri proses antarpribadi yang dinamis, berfokus pada kesadaran pikiran dan tingkah laku yang melibatkan fungsi-fungsi terapi dalam menyediakan bantuan konseling secara serentak pada empat sampai dua belas orang konseli normal mengelola masalah-masalah penyesuaian dan keprihatinan perkembangan, pemecahan bersama berbagai bidang masalah sosiopsikologis individu dalam kelompok.
Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, yaitu konseling kelompok dapat dimaknai sebagai suatu upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal. Dengan kata lain, konseling kelompok juga bisa dimaknai sebagai suatu upaya pemberian bantuan kepada individu (siswa) yang mengalami masalah-masalah pribadi melaui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal.
Subscribe to:
Comments (Atom)