Monday, July 15, 2019

Macam-macam emosi (skripsi dan tesis)

Safaria dan Saputra (2009: 13) mengungkapkan bahwa pada dasarnya emosi dibagi menjadi dua:
  1. Emosi Positif: memberikan dampak menyenangkan dan menenangkan. Macam-macam emosi positif seperti tenang, santai, rileks, gembira, lucu, haru, dan senang)
  2. Emosi Negatif: memberikan dampak yang tidak menyenangkan dan menyusahkan. Macam-macam emosi negative ini diantaranya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustrasi, marah, sedih, dendam.
Menurut Goleman (2007: 411) ada beberapa golongan emosi, yaitu:
  • Amarah: beringas, mengamuk, benci, marah besar, kesal, jengkel, kebencian, tersinggung, rasa pahit,bermusuhan, tindak kekerasan.
  • Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
  • Rasa takut: cemas, takut, khawatir, gugup, waspada, idak tenang, ngeri, phobia, dan panic.
  • Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur bangga, takjub, terpesona.
  • Cinta: penerimaan, persahabatan, kebaikan hati, kepercayaan diri, bakti, hormat, kasmaran, kasihm dan rasa dekat.
  • Terkejut: terkesiap, terkesima, takjub, terpana.
  • Jengkel: hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah.
  • Malu; rasa salah, kesal hati, sesal, hina, aib, malu hati, dan hati hancur lebur.

Pengertian Emosi dan Perasaan (skripsi dan tesis)

Safaria dan Saputra (2009: 12) berpendapat bahwa emosi berasal dari kata e yang berarti energi dan motion yang berarti getaran. Emosi kemudian bisa dikatakan sebagai sebuah energy yang terus bergerak dan bergetar. Oxford English Dictionary (Goleman, 1996: 411) mendefiniskan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 1996: 411).
Chaplin (Safaria dan Saputra (2009: 12) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang merangsang perubahan-perubahan yang disadari seperti perubahan perilaku. Emosi cenderung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkir (avoidance) terhadap sesuatu (Safaria dan Saputra, 2009: 13). Menurut Gohm & clore (Safaria dan Saputra, 2009: 13) emosi manusia terbagi menjadi dua yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif adalah emosi yang menenangkan dan menyenangkan, seperti ceria, gembira, semangat, senang, rileks, dll. Emosi positif ini akan membuat keadaan psikologis manusia menjadi positif. Sebaliknya emosi negatif adalah emosi yang menyusahkan dan tidak menyenangkan seperti marah, dendam, kecewa, depresi, putus asa, frustrasi. Emosi negatif  ini akan membuat keadaan psikologis manusia menjadi negatif. Ketika manusia gagal menyeimbangkan emosi negatif  ini maka keadaan suasana hati menjadi buruk.
 Walgito (2004: 203) mengemukakan bahwa perasaan adalah keadaan sebagai akibat dari persepsi terhadap stimulus baik eksternal maupun internal, sedangkan emosi merupakan reaksi yang kompleks yang mengandung aktivitas dengan derajat yang tinggi dan adanya perubahan dalam kejasmaniannya serta berkaitan dengan perasaan yang kuat. Oleh karena itu, emosi lebih intens daripada perasaan, dan sering terjadi perubahan perilaku, hubungan dengan lingkungan kadang-kadang terganggu. Sobur (2009: 427) berpendapat bahwa perasaan (feeling) mempunyai dua arti berdasarkan tinjauan fisologis dan psikologis; ditinjau secara fisiologis, perasaan berarti penginderaan, sehingga merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Dalam arti psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai, yaitu menilai suatu hal; misalnya “saya rasa Mike akan mampu menyelesaikan skripsi dengan hasil yang memuaskan”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa menurut penilaian saya, Mike akan berhasil.

Karakteristik Dewasa Awal (skripsi dan tesis)

Laura King (2012: 4) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik yang bisa menunjukkan seorang individu memasuki masa dewasa awal:
  1. Eksplorasi identitas, terutama dalam cinta dan pekerjaan. Menjelang dewasa awal adalah saat terjadinya perubahan signifikan dalam identifikasi untuk semua individu.
  2. Ketidakstabilan: puncak perubahan area terjadi ketika menjelang dewasa, waktu ketika terjadi juga ketidakstabilan dalam cinta, pekerjaan, dan pendidikan.
  3. Fokus pada diri sendiri: masa dewasa awal adalah masa dimana individu akan lebih focus pada diri sendiri dalam hal tanggung jawab bersosial. Mengenai cara menjalanka tugas dan komitmen terhadap orang lain, yang membentuk mereka membentuk cara untuk menjalankan kehidupan.
  4. Merasa di tengah-tengah: sebagian besar individu pada masa dewasa awal memandang dirinya bukan sebagai remaja atau individu dewasa secara sepenuhnya.
  5. Usia kemungkinan, ketika individu memiliki kesempatan untuk mengubah kehidupannya: pada tahap dewasa awal ini digambarkan dua cara pada usia kemungkinan dari individu yang menjelang dewasa:
  • Pada masa dewasa awal banyak individu optimis mengenai masa depannya.
  • Bagi mereka pada masa dewasa awal yang telah mengalami masa-masa sulit ketika berkembang, masa dewasa awal menampilkan kesempatan untuk mengarahkan kehidupan mereka kea rah yang positif.

Definisi Masa Dewasa Awal (skripsi dan tesis)

Masa dewasa awal menurut (Hurlock, 1980: 246). adalah merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Masa dewasa awal dimulai pada umur 18 sampai 40 tahun. Menurut Jahja (dalam Bramantya 2015; 5) maka masa dewasa awal adalah masa awal seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, seseorang dituntut untuk memerankan peran ganda seperti peran sebagai suami/istri dan peran dalam dunia kerja (berkarier).
Laura King (2012: 4) mengemukakan bahwa masa dewasa awal adalah periode transisi dari masa remaja menuju usia dewasa. Rentang usia dewasa awal adalah 18-25 tahun. Tahap ini ditandai dengan adanya keinginan individu untuk melakukan berbagai eksperimen dan eksplorasi. Pada tahap ini, banyak individu  yang ingin mengeksplor lebih dalam karier yang ingin digeluti, identitas yang mereka inginkan, dan jenis hubungan dekat yang akan mereka jalin.

Pengertian Terapi Relaksasi Religius (skripsi dan tesis)

Relaksasi adalah salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali dikenalkan oleh Jacobson, seorang psikolog dari Chicago, yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebut relaksasi progresif yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan otot. Jacobson berpendapat bahwa Semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan pada kontraksi otot (Sheridan dan Radmacher, 1992). Jika seseorang dapat diajarkan untuk merelaksasikan otot mereka, maka mereka benar-benar relaks. Seseorang yang tetap mengalami ketegangan mental atau emosional, sementara otot mereka relaks adalah orang yang mengalami ketegangan semu (Sheridan dan Radmacher, 1992). Latihan relaksasi dapat digunakan pada pasien nyeri untuk mengurangi rasa nyeri melalui kontraksi otot, mengurangi pengaruh dari situasi stres, dan mengurangi efek samping dari kemoterapi pada pasien kanker (Sheridan dan Radmacher, 1992). Relaksasi dapat juga digunakan untuk mengurangi denyut jantung, meningkatkan daya hantar kulit (skin conductance), mengurangi ketegangan otot, tekanan darah dan kecemasan (Taylor, 1995).
Relaksasi religius merupakan pengembangan dari respon relaksasi yang dikembangkan oleh Benson (2000), dimana relaksasi ini merupakan gabungan antara relaksasi dengan keyakinan agama yang dianut. Dalam metode meditasi terdapat juga meditasi yang melibatkan faktor keyakinan yaitu meditasi transendental (trancendental meditation). Meditasi ini dikembangkan oleh Mahes Yogi (Sothers, 1989) dengan megambil objek meditasi frase atau mantra yang diulang-ulang secara ritmis dimana frase tersebut berkaitan erat dengan keyakinan yang dianut.
Fokus dari relaksasi ini tidak pada pengendoran otot namun pada frase tertentu yang diucapkan berulang kali dengan ritme yang teratur disertai sikap pasrah kepada objek transendensi yaitu Tuhan. Frase yang digunakan dapat berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna menenangkan.
Pelatihan relaksasi bertujuan untuk melatih peserta agar dapat mengkondisikan diri untuk mencapai kondisi relaks. Pada waktu individu mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis, dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan.
Pelatihan relakasi religius cukup efektif untuk memperpendek waktu dari mulai merebahkan hingga tertidur dan mudah memasuki tidur. Hal ini membuktikan bahwa relaksasi religius yang dilakukan dapat membuat lebih relaks sehingga keadaan kesulitan ketika mengawali tidur dapat diatasi dengan treatmen ini. Penggunaan kaset relaksasi religius cukup membantu subjek dalam mengawali tidur. Pada umumnya subjek melaporkan bahwa dengan mengikuti kaset relaksasi dirinya lebih mudah untuk tertidur, ada beberapa hal yang menyebabkan mereka mudah tertidur antara lain instruksi diucapkan dengan pelan dan mudah diikuti.
Pelatihan relaksasi dapat memunculkan keadaan tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat semakin lambat akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat dan tertidur. Hal ini sesuai dengan pendapat Panteri (1993) yang menggambarkan neurofisiologi tidur sebagai berikut : Pada saat berbaring dalam keadaan masih terjaga seseorang berada pada gelombang otak beta, hal ini terjadi ketika subjek mulai merebahkan diri tidur dan mengikuti instruksi relaksasi religius yaitu pada tahap pengendoran otot dari atas yaitu kepala hingga jari jari kaki. Selanjutnya dalam keadaan yang lelah dan siap tidur mulai untuk memejamkan mata, pada saat ini gelombang otak yang muncul mulai melambat frekwensinya, meninggi tegangannya dan menjadi lebih teratur.

Kecemasan Menghadapi Kematian (skripsi dan tesis)

Rocfouhauld (Ghozali, 2000) memberikan ungkapan bahwa kematian secara utuh merupakan cerminan manusia modern terhadap persoalan yang sangat menggugah dan sekaligus menakutkan. Maut atau kematian merupakan suatu yang absurd. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa maut merupakan sesuatupengharapan. Manusia tidak bisa memilih tibanya kematian dan kematianmerupakan sumber utama kecemasan.Selama belum menemukan alasan yang logis dan rasional mengenai bayangan kematian, maka bayangan tersebut akan berubah menjadi penyakit ynag mengakar kuat di dasar perasaan manusia. Penyakit ini merupakan penyakit kejiwaan yang paling kritis dan sulit, yang sering kali menguasai emosi danperilaku manusia. Dan pada akhirnya akan menimbulkan kecemasan dan ketakutan (Syarif, 2000).
Sedangkan kecemasan terhadap kematian akan berkembang seiring dengan berbagai factor pengubah misalkan kebudayaa serta keadaan histories. Apabila dikaitkan dengan kecemasan menghadapi kematian dalam perspektif perkembangan pemikiran inividu tentang kematian maka akan bervariasi sepanjang siklus kehidupan manusia. Kita akan memiliki harapan-harapan yang berbeda tentang kematian seiring dengan perkembangan serta sepanjang masa hidup sehingga kita akan memiliki sikap yang berbeda terhadap kematian pada fase berbeda dalam perkembangan kota.
Oleh karenanya menurut Kalish (1987) orang-orang dewasa muda seperti halnya pengidap AIDS sering merasa tertipu dibandingkan mereka yang berusa lebih tua. Orang-orang dewasa muda sering merasa tidak diberi kesempatan untuk melakukan apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka merasa kehilangan apa uang seharusnya mereka capai, sedangkan sebaliknya orang dewasa lanjut mereka merasa kehilangan apa yang telah mereka miliki (Cavanaugh, 1990).
Kecemasan akan kematian dapat berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri, dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian, karena itu pemahaman dan pembahasan yang mendalam tentang kecemasan lansia penting untuk, khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis, dalam menghadapi kematian menjadi penting untuk diteliti. Sebab kecemasan bisa menyerang siapa saja. Namun, ada spesifikasi bentuk kecemasan yang didasarkan pada usia individu. Umumnya, kecemasan ini merupakan suatu pikiran yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan kekhawatiran, rasa tidak tenang, dan perasaan yang tidak baik atau tidak enak yang tidak dapat dihindari oleh seseorang (Hurlock, 1990:91).
Disamping itu juga, ada beberapa faktor lain yang dapat menimbulkan kecemasan ini, salah satunya adalah situasi. Menuruk Hurlock (1990:93) bahwa jika setiap situasi yang mengancam keberadaan organisme dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang sangat cepat.

Sikap Dalam Kematian (skripsi dan tesis)

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian, meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini, persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok orang. Bagi seseorang atau sekelompok orang, kematian merupakan sesuatu yang sangat mengerikan atau menakutkan, walaupun dalam kenyataannya dari beberapa kasus terjadi juga individu-individu yang takut pada kehidupan (melakukan bunuh diri) yang dalam pandangan agama maupun kemasyarakatan sangat dikutuk ataupun diharamkan (Lalenoh, 1993 : 1). Sebaliknya, bagi seseorang atau sekelompok orang, pertambahan usia cenderung membawa serta makin besarnya kesadaran akan datangnya kematian, dan kesadaran ini menyebabkan sebagian orang yang menghadapi kematian tidak merasa takut terhadap kematian. Kematian diterima sebagai seorang sahabat (Tony 1991 : 15).
Terdapat dua sikap yang umumnya dilakukan ketika menghadapi kematian: Pertama, kematian akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang mendalam. Kedua, manusia yang menghadapi kematian dalam menyikapi hidupnya cenderung menolak datangnya kematian, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock, 1996 : 439).
Seperti yang telah dikemukakan diatas, menghadapi kematian merupakan proses yang wajar dan terjadi pada setiap orang. Permasalahannya adalah bagaimana manusia tersebut bisa menyadari dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Di sisi lain, ada sebuah anggapan atau pencitraan yang negatif dan positif. Semakin bisa berfikir positif, orang akan semakin bisa menerima kenyataan namun “ menerima ” itu bukan berarti kita menerima apa adanya. Maksudnya adalah bagaimana cara kita menyesuaikan diri dengan usia, melakukan aktivitas secara wajar sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis usia tua.
Elizabeth Kubler Ross (1969) membagi perilaku dan proses berpikir seseorang yang sekarat menjadi 5 fase: penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar menawar, depresi dan penerimaan.
  1. Penolakan dan isolasi (denial and isolation) merupakan fase pertama yang diusulkan Kubler Ross di mana orang menolak bahwa kematian benar-benar ada. Orang tersebut mungkin berkata “tidak”, “itu tidak dapat terjadi pada saya”. Hal ini merupakan reaksi utama pada penyakit yang tidak tertolong lagi namun penolakan merupakan bagian dari pertahanan diri yang bersifat sementara dan kemudian akan digantikan dengan rasa penerimaan yang meningkat saat seseorang dihadapkan dengan beberapa hal seperti pertimbangan keuangan, urusan yang belum selesai dan kekhawatiran mengenai kehidupan anggota keluaraga lain nantinya.
  2. Kemarahan (anger) merupakan fase ke dua di mana orang yang menjelang kematian menyadari bahwa penolakan tidak dapat lagi dipertahankan. Penolakan seringkali memunculkan rasa benci, marah dan iri. Pertanyaan yang biasanya muncul pada diri orang yang sekarat adalah “mengapa saya?”. Pada titik ini seseorang makin sulit dirawat karena amarahnya seringkali salah sasaran dan diproyeksikan kepada dokter, perawat anggota keluarga juga Tuhan. Realisasi dari kehilangan ini besar dan mereka yang menjadi symbol dari kehidupan, energi dan fungsi-fungsi yang merupakan target utama dari rasa benci dan cemburu orang tersebut.
  3. Tawar menawar (bargaining) merupakan fase ketiga menjelang kematian di masa seseorang mengembangkan harapan bahwa sewaktu-waktu kematian dapat ditunda atau diundur. Beberapa orang tawar menawar atau negoisasi seringkali dengan Tuhan sambil mencoba untuk menunda kemtian. Secara psikologis seseorang berkata “Ya, saya , tapi…” dalam usaha mendapatkan perpanjangan waktu untuk beberapa hari, minggu atau bulan dari kehidupan, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya, seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya yang didedikasikan hanya untuk Tuhan atau melayani orang lain
  4. Depresi (depression) merupakan fase keempat menjelang kematian di mana orang yang sekarat akhirnya menerima kematian. Pada titik ini satu periode depresi atau persiapan berduka mungkin akan muncul. Orang yang menjelang kemtiannya mungkin akan menjadi pendiam serta menghabiskan waktunya untuk menangis dan berduka. Perilaku ini normal dalam situasi tersebut dan sebenarnya merupakan usaha untuk membahagiakan orang yang menjelang kemtianya pada fase ini justru menjadi penghalang karena orang tersebut untuk merenungkan ancaman kematian
  5. Penerimaan (acceptance) merupakan fase kelima menjelang kematian di mana seseorang mengembangkan rasa damai, menerima takdir dan dan dalam beberapa hal ingin ditinggal sendiri. Pada fase ini perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang. Kubler-Ross menggambarkan fase kelima ini sebagai akhir perjuangan menjelang kematian.
Tidak ada satu orang pun yang dapat mengkonfirmasikan bahw seseorang akan secara pasti melewati fase yang digambarkan Kubler Ross. Oleh karenanya terdapat variasi pada setiap inividual mengenai bagaimana kita menghadapi kematian namun urutan yang telah dikemukakan secara optimal akan sesuai.
Oleh karenanya kecemasan terhadap kematian justru akan memperpanjang fase seseorang dalam fase penolakan. Pemahaman terhadap kontrol dapat bekerjasama sebagai suatu strategi adaptasi pada beberapa orang dewasa yang sedang menghadapi kematian. Pada individu yang dapat mempengaruhi dan mengkontrol kejadian seperti kecemasan menghadapi kematian akan menjadi lebih waspada dan ceria. Hal ini akan membawa perubahan diantaranya peningkatan kondisi tubuh serta penerimaan diri (Rodin dan Langer, 1977)