Saturday, July 20, 2019

Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)

Stinnet & DeFrain (Hawari, 1996) mengemukakan enam kriteria keluarga harmonis, yaitu:
  1. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali cenderung terjadi konflik dan percekcokan dalam keluarga.

  1. Memiliki waktu bersama keluarga
Keluarga harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama, menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya dibutuhkan dan diperhatikan oleh orangtuanya, sehingga anak akan betah tinggal di rumah.
  1. Ada komunikasi yang baik antar anggota keluarga.
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam keluarga. Anak akan merasa aman apabila orangtuanya tampak rukun, karena kerukunan tersebut akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga juga akan dapat membantu anak untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya.
  1. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.
Keluarga harmonis adalah keluarga yang memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan lebih luas.
  1. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim.
Jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan.
  1. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.
Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan erat, maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai.
Kovikondala dkk. (2015) juga mengemukakan lima dimensi keharmonisan keluarga yaitu:
  1. Komunikasi efektif, komunikasi yang tercipta dengan baik di antara anggota keluarga ketika peran dalam keluarga berfungsi secara optimal, sehingga setiap anggota keluarga dapat saling berbicara dengan bebas, saling mendengarkan, peduli, dan mampu mengekspresikan kasih sayang.
  2. Resolusi konflik, yakni sebuah kondisi dimana keluarga dapat menyelesaikan masalah dengan konstruktif, saling menghargai dan mau menerima perbedaan pendapat serta tetap menjalankan perannya dengan baik. Penyelesaian masalah dalam keluarga juga dilakukan dengan tenang.
  3. Kesabaran atau menahan diri, setiap anggota keluarga saling memahami dan memiliki kesabaran satu dengan yang lain serta mau menyesuaikan diri untuk berusaha meredakan ketegangan yang mungkin terjadi.
  4. Waktu berkualitas bersama keluarga. Anggota keluarga merasakan kepuasan dan nyaman berada di tengah keluarga, setiap anggota keluarga merasa dekat satu dengan yang lain dan saling merawat.
  5. Identitas sebagai keluarga yang berarti bangga dan mengakui sebagai anggota keluarga serta mau menjadi bagian dari cita-cita keluarga.

Pengertian Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)

Keharmonisan, secara terminologi berasal dari kata harmonis yang berarti serasi dan selaras (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012).  Menurut Walgito (1991) keharmonisan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, dilandasi oleh berbagai unsur persamaan; seperti saling dapat memberi dan menerima cinta kasih tulus dan memiliki nilai-nilai serupa dalam perbedaan. 
Hawari (1996) menyatakan bahwa keharmonisan keluarga sesungguhnya terletak pada erat-tidaknya hubungan antar anggota keluarga, misalnya hubungan antara ayah dengan ibu, hubungan antara orangtua dengan anak, dan hubungan antar anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki peran dalam menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain.  Gunarsa (2004) berpendapat bahwa keharmonisan keluarga ialah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia, ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri), meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial.
Menurut Sahli (Rachmawati, 2010), keharmonisan keluarga adalah hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih suami istri, didasari oleh kerelaan dan keselarasan hidup bersama. Suami istri hidup dalam ketenangan lahir dan batin karena suami istri tersebut merasa cukup dan puas atas segala sesuatu yang ada dan telah dicapai ke dalam ataupun ke luar keluarga, menyangkut nafkah, seksual, dan pergaulan dengan masyarakat.
Surya (2001), menyatakan bahwa keharmonisan merupakan kondisi hubungan interpersonal yang melandasi keluarga bahagia.  Keharmonisan keluarga dibuktikan dengan adanya tanggung jawab dalam membina suatu keluarga didasari oleh saling menghormati, saling menerima, menghargai, saling memercayai, dan saling mencintai (Purba, 2012).

Jenis-jenis pola asuh orang tua (skripsi dan tesis)

Gerungan (2004) berpendapat bahwa pola asuh orang tua tidak berbeda halnya dengan cara kepemimpinan dalam kelompok yang terdiri dari tiga cara yakni otoriter, demokratis dan laissez-faire. Hal senada juga diungkapkan oleh Soesilowindradini yang mengungkapkan tiga macam cara menanamkan ketertiban yang diikuti orang tua antara lain cara otoriter yang menuntut anak hanya menurut pada orang tua dan cara demokratis dimana orang tua lebih banyak menunjukkan pengertian terhadap kebutuhan dan kemampuan anak, serta cara permisif dimana orang tua membiarkan saja anak mengerjakan apa yang dikehendakinya dengan harapan akan adanya pembelajaran diri dari anak.
Menurut Gunarsa (1981), ada empat penggolongan cara mendidik orang tua sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam berhubungan dengan anak. Pertama, cara pendidikan otokratis yang mengharapkan kepatuhan mutlak dari pihak remaja oleh sebab kekuasaan terletak di pihak orang tua. Kedua, cara pendidikan otoriter yang memperbolehkan remaja memberikan pandangan dan pendapatnya tanpa turut dipertimbangkan sedangkan orang tua tetap menentukan dan mengambil keputusan. Ketiga, cara pendidikan demokratis dimana remaja boleh mengemukakan pendapatnya sendiri, mendiskusikan pandangan-pandangannya dengan orang tua, menentukan dan mengambil keputusan. Dalam pendidikan yang demokratis ini orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal mengambil keputusan terakhir dan bila diperlukan persetujuan orang tua. Keempat, cara pendidikan dengan hak yang sama dimana antara orang tua dan anak tidak terlihat adanya perbedaan peranan dalam hal penentuan arah oleh karena dalam mengambil keputusan orang tua dan anak memiliki hak yang sama.
Pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada tiga pola asuh yang diungkapkan Diana Baumrind (1966) yaitu Authoritarian Parents (otoriter), Permissive/Indulgent Parents (permisif) dan Authoritative Parents (demokratis).
  1. Authoritarian parents. Orang tua berusaha untuk membentuk, mengontrol dan mengevaluasi perilaku dan sikap anak sesuai dengan standar etika, biasanya berupa standar mutlak, motivasi teologis dan nilai normatif yang diyakini. Sedangkan anak harus menurut pada kehendak orang tua yang biasanya terdapat hukuman (hukuman badan) apabila anak tidak mau menurut pada orang tua (Soesilowindradini). Anak yang dididik secara otoriter akan membentuk anak menjadi rendah diri atau menarik diri, gelisah, tergantung, pasif dan keyakinan diri rendah serta kemampuan adaptasi sosial yang rendah. Disisi lain anak yang dididik secara otoriter justru cenderung kurang suka berperilaku anti sosial dan berprestasi.
  2. Permissive parents. Orang tua membiarkan saja anak mengerjakan apa yang dikehendakinya dengan pemikiran bahwa anak akan belajar sendiri hal-hal mana yang baik dan yang tidak benar sesuai dengan akibat perbuatannya sendiri (Soesilowindradini). Orang tua berusaha untuk bersikap tidak menghukum, menerima dengan cara menyetujui kehendak, keinginan dan tindakan anaknya. Pola asuh yang permisif ini cenderung membentuk anak menjadi kurang dapat mengatur emosi (kematangan emosional), memberontak dan menantang jika keinginannya tdak terpenuhi, kurang bertanggung jawab menghadapi tugas-tugas yang bersifat menantang serta memiliki perilaku yang cenderung antisosial.
  3. Authoritative parents. Orang tua memberi kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, menentukan dan mengambil keputusan bersama dengan orang tua, akan tetapi orang tua masih melakukan pengawasan dalam hal pengambilan keputusan akhirnya (Gunarsa, 1981). Ada tingkat kesederajatan yang sama antara orang tua dan anak dalam pola asuh ini sehingga tidak ada batasan komunikasi diantara keduanya tetapi setara seperti layaknya teman bahkan sahabat (Manuhutu, 2003). Anak yang dididik secara demokratis akan cenderung menjadi anak yang bertanggung jawab, percaya diri, memiliki penguasaan dan penyesuaian diri yang baik terutama dalam kemampuan sosialnya. Seorang anak yang diasuh secara otoriter juga cenderung kritis atas keingintahuannya secara intelektual karena jiwa eksplorasi dan kreativitas yang dimilikinya (Baumrind, 1966).

Pengertian pola asuh orang tua (skripsi dan tesis)

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya. Orang tua berperan besar dalam mengajar, mendidik serta memberi contoh atau teladan kepada anak-anaknya mengenai tingkah laku yang baik dan yang tidak baik atau perlu dihindari (Gunarsa, 2003). Peranan orang tua terhadap perkembangan kehidupan remaja tidak pernah lepas dengan adanya pola asuh orang tua. Dalam hal ini pola asuh menjadi unsur yang penting dalam perkembangan kehidupan remaja.
Menurut Lolytaerti (2004), pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan orang tua untuk berhubungan dengan anak-anaknya. Pola interaksi inilah yang menurut Muryati meliputi cara pandang pengasuhan terhadap anak, cara berkomunikasi, penerapan disiplin dan kontrol serta cara pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari (Jurnal Psikologika No. 4, 1997). Bentuk interaksi tidak hanya dalam aspek social interaction tetapi juga dalam hal moral interaction sehingga memungkinkan anak belajar mengenai moral judgement mengenai hal-hal yang bersifat abstrak dan simbol (Indati dan Ekowarni dalam Jurnal Psikodinamik Vol. 8, 2006).
Hurlock (1973) menyatakan pola asuh orang tua atau pola pemeliharaan orang tua mencakup cara pemenuhan kebutuhan, cara penerapan disiplin atau aturan dan cara komunikasi. Hal ini diperkuat juga dengan pernyataan Diana Baumrind (1966) berdasarkan hasil observasinya terhadap orang tua dan anak. Menurut Baumrind ada beberapa dasar pengasuhan orang tua yang meliputi kemauan untuk melaksanakan kontrol atau aturan, harapan akan kematangan perilaku, komunikasi dengan anak dan pemenuhan kebutuhan.
Dasar-dasar pengasuhan tersebut kemudian diintegrasikan oleh Baumrind (1966) ke dalam dua dimensi pengasuhan orang tua. Pertama, Parental Responsiveness yakni derajat respon orang tua terhadap kebutuhan anak dalam penerimaan dan pemenuhan kebutuhan. Kedua, Parental Demandingness yakni derajat harapan orang tua dan permintaan kematangan perilaku yang bertanggung jawab dari anak.

Perilaku seksual siswi SMA (skripsi dan tesis)

Secara akademis, usia 16 sampai 18 tahun pada umumnya merupakan usia dimana sebagian besar remaja akhir tersebut duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Berk (2006) late adolescene atau remaja akhir terjadi pada usia 16 sampai 18 tahun. Usia ini merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa.
Dewasa ini, sekolah-sekolah menengah lanjutan seperti SMA mempertahankan orientasinya yang komprehensif. Sekolah dirancang bagi remaja bukan hanya untuk melatih remaja secara intelektual tetapi juga secara kejuruan dan sosial (Santrock, 2002). Transisi dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) ke SMA merupakan suatu pengalaman normatif bagi remaja. Santrock (2002) menyebutkan bahwa pengalaman tersebut menarik perhatian oleh karena proses transisi berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan terjadi pada individu remaja baik di keluarga dan sekolah secara serentak.
Siswi SMA merupakan salah satu bagian dalam kehidupan seorang remaja. Pada dasarnya seorang remaja putri cenderung rentan terhadap sejumlah masalah khususnya dalam menghadapi kematangan fisik yang lebih awal. Kematangan fisik yang lebih awal pada remaja putri cenderung memberi keuntungan bagi remaja karena memiliki tubuh dan kecantikan yang lebih ideal. Ini merupakan faktor berkembangnya perilaku seksual yang lebih awal, karena perubahan tersebut mengundang respon laki-laki yang mengarah pada berkencan lebih dini dan melakukan pengalaman seksual lebih awal (Santrock, 2002).
Faktor lain yang dapat juga mendorong perilaku seksual siswi SMA tersebut adalah citra diri yang menyangkut body images dan kontrol diri (Sarwono, 1989). Menurut Sarwono (1989) penilaian diri atas keaadan tubuh yang kurang sempurna cenderung dikompensasikan dengan perilaku seksual. Keberhasilan dalam berperilaku seksual tersebut diperkirakan akan menutupi kekurangpuasan terhadap keadaan tubuh sendiri.
Dalam perkembangan sosial, remaja putri juga cenderung membangun kebersamaan dengan teman dan menilai persahabatan sebagai bentuk dukungan emosional dan pengutaraan diri (Berk, 2006). Lingkungan sosial, situasi dan kesempatan juga merupakan sebagian dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seksual (Dariyo, 2004). Itulah sebabnya siswa putri SMA lebih cenderung rentan terhadap sejumlah masalah dan konsekuensi atas perilaku seksual yang dilakukannya.
Perilaku seksual remaja cenderung meningkat karena penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa. Remaja menjadi terdorong untuk mengetahui dan mencobanya dengan meniru perilaku yang dilihat dan didengarnya dari media massa, terlebih remaja yang belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya (Mu’tadin, 2002).
Umumnya remaja putri memiliki waktu yang lebih lama untuk memulai perilaku seksual yang lebih dalam (hubungan seks) dan sangat didasarkan pada perasaan-perasaan yang menyertai perilakunya. Remaja putri seringkali tidak dapat mengendalikan diri untuk berperilaku seksual, terlebih apabila keinginan tersebut didukung oleh dorongan dari pacarnya (Sarwono, 1989).
Pengalaman seksual yang lebih awal tersebut membawa remaja pada perilaku-perilaku seksual yang lebih awal pula. Perilaku yang dilakukan tersebut umumnya terjadi dengan frekuensi dan intensitas perilaku yang bertambah, yang tentu saja semakin hari perilaku seksual justru semakin tinggi dari sebelumnya. Perilaku yang benar akan disertai dengan sikap yang mendukung perilaku, sedangkan perilaku yang salah akan diikuti dengan perilaku yang menolak perilaku.

Perilaku seksual remaja akhir (skripsi dan tesis)

Berk (2006) mengungkapkan bahwa masa adolescentia merupakan proses transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang diawali dengan tanda-tanda pubertas. Pendapat ini diperkuat oleh Santrock (2006) yang menyatakan bahwa dalam memandang dampak masa pubertas, dunia seorang remaja meliputi perubahan fisik, kognitif serta perubahan sosial.
Perkembangan fisik remaja ditandai dengan terjadinya perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer maupun sekunder yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual (Dariyo, 2004). Pada remaja putra ditandai dengan berkembangnya testes dan scrotum, diikuti dengan pertumbuhan organ-organ seks primer dan sekunder lainnya. Perubahan fisik pada remaja putri meliputi pertumbuhan payudara, pertumbuhan bulu kemaluan, pertumbuhan badan, menarche, tumbuhnya bulu ketiak Papalia, Olds, Felman, 2005.
Kemampuan kognitif remaja berkembang pada saat remaja tersebut mampu untuk mengembangkan hipotesa pemikirannya dalam memecahkan masalah dan menarik kesimpulan dalam menentukan pemecahan masalahnya (Santrock, 2002). Perkembangan sosial terjadi saat remaja berupaya mencari dan membentuk persahabatan dengan kelompok sebayanya.
Para ahli perkembangan berpendapat bahwa dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja antara lain remaja awal (early adolescene), remaja madya (middle adolescene) dan remaja akhir (late adolescene). Menurut Berk (2006), late adolescene terjadi pada pada usia 16 sampai 18 tahun. Usia ini merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa.
Blos (dalam Sarwono, 1989) menyatakan bahwa late adolescene merupakan masa konsolidasi remaja menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian 5 hal. Pertama, minat yang makin kuat terhadap fungsi-fungsi intelektual. Kedua, ego untuk mencari kesempatan dan bersatu dengan orang lain dalam mewujudkan pengalaman-pengalaman baru. Ketiga, terbentuk identitas seksual. Keempat, egosentrisme (berpusat pada diri sendiri) yang diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. Kelima, tumbuhnya batasan yang memisahkan diri sendiri dan masyarakat umum.
Perilaku seksual muncul sebagai hasil kematangan seksual pada remaja sehingga memunculkan minat seksual dan keingintahuan remaja terhadap seks. Seksualitas tidak diakui sebagai sesuatu yang alamiah dan hanya sah dibicarakan dalam lembaga perkawinan, seiring derasnya informasi dan perkembangan gaya hidup yang sangat mempengaruhi perkembangan seksualitas remaja yang sedang bergejolak (Iriany, 2005).
Remaja akhir merasa dirinya telah dewasa secara fisik dan mengharapkan adanya pengakuan atau penerimaan dari orang lain akan peranan dan tugas sebagai seorang dewasa (Berk, 2006). Remaja ingin diberi kebebasan tetapi masih bergantung pada orang tua dan ingin dianggap dewasa sementara masih bergantung pada orang tua (Sarwono, 1989). Kondisi inilah yang menimbulkan adanya ketegangan dan kebingungan peran sosial yang tiba-tiba berubah pada diri remaja sehingga remaja cenderung untuk melakukan perilaku seksual yang tidak semestinya (Mu’tadin, 2002)


Masa remaja akhir (skripsi dan tesis)

Masa remaja adalah salah satu bagian dalam rentang kehidupan manusia yang merupakan periode peralihan atau masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja dianggap sebagai masa badai dan stres (storm and stress), karena mereka telah memiliki keinginan secara bebas untuk menentukan nasibnya sendiri (Hall dalam Santrock, 1999). Mereka berusaha mengidentifikasikan diri mereka sendiri dengan orang lain untuk menemukan sebuah jati diri mereka.
  1. Pengertian dan batasan
Masa remaja menurut Stanley Hall (dalam Dariyo, 2006) dianggap sebagai masa topan badai stres (storm and stress). Dalam perkembangannya, masa remaja seringkali disebut dengan masa pubertas dan adolescentia (Gunarsa dalam Dariyo, 2004). Santrock (2002) mendefinisikan pubertas ialah suatu periode dimana kematangan seksual dan pertumbuhan tulang-tulang terjadi secara pesat pada masa remaja. Adolescentia merupakan suatu periode pergolakan manusia yang menyerupai masa dimana manusia berkembang dari liar atau tidak beradab menjadi makhluk yang sopan atau beradab (Berk, 2006). Berk (2006) lebih lanjut mengungkapkan bahwa masa adolescentia merupakan proses transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa yang diawali dengan tanda-tanda pubertas. Pendapat tersebut senada dengan definisi remaja menurut Dariyo (2004) yang menyatakan bahwa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial.
Pembagian tahapan masa remaja berdasarkan usia semakin hari semakin berkembang maju pada tahapan awal remaja dan berkurang pada tahapan akhir usianya. Berdasarkan usia kronologis, Thornburg (dalam Dariyo, 2004) membagi penggolongan remaja menjadi tiga tahap, yaitu remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Lebih lanjut Papalia, Olds dan Feldman (2005) menyatakan rentang usia masa remaja adalah 11 sampai dengan 20 tahun. Pendapat tersebut memutus perkembangan remaja menurut Thornburg tersebut menjadi dua tahun lebih cepat pada awal masa remaja dan satu tahun berkurang dari usia akhir masa remaja.
Berk (2006) membagi masa remaja menjadi tiga fase yakni early adolescene (remaja awal), middle adolescene (remaja tengah) dan late adolescene (remaja akhir). Early adolescene dimulai pada usia 11-12 sampai 14 tahun yang ditandai sebagai periode perubahan pubertas yang cepat. Middle adolescene terjadi pada usia 14 hingga 16 tahun dimana pada masa ini perubahan pubertas mendekati sempurna. Late adolescene pada usia 16 sampai 18 tahun merupakan masa dimana remaja tersebut sepenuhnya mencapai penampilan orang dewasa dan mengharapkan penerimaan akan peranannya sebagai orang dewasa. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan adalah batasan usia menurut Berk (2006) yaitu late adolescene atau remaja akhir yang berusia 16 sampai 18 tahun.
  1. Perkembangan pada masa remaja
Sejak dalam kandungan hingga lahir seorang individu berkembang menjadi anak, remaja atau dewasa. Ini berarti terjadi proses perubahan pada diri setiap individu (Dariyo, 2004). Dalam memandang dampak masa pubertas, dunia seorang remaja meliputi perubahan fisik, kognitif serta perubahan sosial (Santrock, 2002).
  • Perkembangan fisik
Perkembangan fisik remaja berlangsung sangat cepat oleh karena kematangan hormon seks. Menurut Dariyo (2004) perubahan fisik remaja merupakan terjadinya perubahan secara biologis yang ditandai dengan kematangan organ seks primer maupun sekunder yang dipengaruhi oleh kematangan hormon seksual.
Para ahli psikologi perkembangan menyatakan ada dua karakteristik perubahan fisik yang dimiliki oleh seorang remaja dalam memasuki masa dewasa yaitui seks primer dan seks sekunder. Yang dimaksud seks primer adalah perubahan-perubahan organ seksual yang berfungsi untuk melakukan proses reproduksi. Sedangkan seks sekunder adalah perubahan atau tanda-tanda identitas seks yang diketahui melalui penampakan fisik akibat kematangan seks primer (Dariyo, 2004).
Papalia, Olds dan Felman (2005) mengungkapkan karakteristik perubahan fisik seksual primer dan sekunder pada remaja putra dan putri. Tanda pubertas pada remaja putra diawali dengan berkembangnya testes dan scrotum. Pada remaja putra karakteristik perubahan fisik antara lain pertumbuhan penis dan kelenjar prostat, munculnya bulu kemaluan, pertumbuhan badan, ejakulasi pertama dengan mengeluarkan sperma, tumbuh bulu wajah dan bulu ketiak.
Karakteristik seks primer pada remaja putri antara lain ovarium, tuba fallopi, uterus dan vagina. Pertumbuhan seks primer pada remaja putri tidak dapat diamati secara jelas karena pertumbuhan organ-organ seks yang bersifat internal. Perubahan fisik pada remaja putri meliputi pertumbuhan payudara, pertumbuhan bulu kemaluan, pertumbuhan badan, menarche, tumbuhnya bulu ketiak. Disisi lain, karakteristik seks sekunder pada remaja putra dan putri ditandai dengan perubahan suara dan tekstur kulit dan  perkembangan otot tubuh.
Santrock (2002) menyatakan bahwa kematangan fisik yang lebih awal pada anak perempuan meningkatkan kerentanan remaja putri atas sejumlah masalah. Remaja putri yang lebih cepat matang pada akhir masa remaja mengalami perubahan yang cenderung menguntungkan karena remaja tersebut memiliki tubuh dan kecantikan yang lebih ideal. Perubahan tersebut mengundang respon dari remaja laki-laki yang mengarah pada berkencan lebih dini dan pengalaman-pengalaman seksual lebih awal.
  • Perkembangan kognitif
Setiap individu akan mengalami proses pertumbuhan struktur dan skema mentalnya dari yang bersifat sederhana sampai yang bersifat kompleks. Ini terjadi karena faktor perkembangan yaitu perubahan struktur mentalnya dan faktor belajar yaitu perubahan isi mental (Dariyo, 2004).
Menurut Santrock (2002) ciri pemikiran remaja masih bersifat egosentris. Keegoisan remaja nampak bahwa mereka menganggap dirinya sebagai individu yang unik dan berbeda dengan orang lain. Pemikiran mereka semakin abstrak, sistematis, logis dan idealis, lebih mampu menguji pemikiran diri sendiri, pemikiran orang lain dan apa yang orang lain pikirkan tentang diri mereka. Hal ini merupakan ciri-ciri dari pemikiran operasional formal menurut Jean Piaget yang berlangsung antara usia 11 tahun hingga 15 tahun (Santrock, 2002). Kemampuan kognitif mengembangkan hipotesa terbaik dalam memecahkan masalah dan menarik kesimpulan secara sistematis untuk menentukan pola pemecahan masalah tersebut disebut Piaget sebagai hypothetical-deductive reasoning (Santrock, 2002).
  • Perkembangan sosial
Sebagai individu yang berkembang, remaja mulai mengadakan hubungan dengan berbagai tipe individu lain. Pergaulannya mulai berkembang luas tidak hanya dengan anggota keluarga dan orang tua tetapi juga dengan teman-teman sebayanya dan masyarakat di sekitarnya (Dariyo, 2004). Mereka berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya dan tidak bergantung pada orang lain.
Seorang remaja akan berupaya untuk mencari dan membentuk persahabatan dengan teman kelompok sebayanya sebagai bentuk pembelajaran dan mengembangkan ketrampilan sosialnya. Dalam persahabatan tersebut, intimacy (kekariban) dan loyalty (kesetiaan) merupakan ciri-ciri utama dalam menjalin hubungan dengan teman-temannya (Berk, 2006). Remaja putri cenderung membangun kebersamaan dengan teman dan menilai persahabatan sebagai bentuk dukungan emosional dan pengutaraan diri. Keberhasilan remaja dalam menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya, sehingga remaja tersebut akan mampu untuk mewujudkan jati diri atau identitas dirinya.