Saturday, July 20, 2019

Sumber Koping (skripsi dan tesis)

Sumber koping, pilihan, atau strategi membantu untuk menetapkan apa yang dapat dilakukan sebagaimana yang telah ditetapkan. Lazarus, mengidentifikasikan lima sumber koping yang dapat membantu individu beradaptasi dengan stressor yaitu, ekonomi, keterampilan dan kemampuan, tehnik pertahanan, dukungan sosial dan motivasi.[1]
Kemampuan menyelesaikan masalah termasuk kemampuan untuk mencari informasi, identifikasi masalah, mempertimbangkan alternatif dan melaksanakan rencana. Social skill memudahkan penyelesaian masalah termasuk orang lain, meningkatkan kemungkinan memperoleh kerjasama dan dukungan dari orang lain. Aset materi mengacu kepada keuangan, pada kenyataannya sumber keuangan meningkatkan pilihan koping seseorang dalam banyak situasi stress. Pengetahuan dan intelegensia adalah sumber koping yang lainnya yang memberikan individu untuk melihat cara lain untuk mengatasi stress. Sumber koping juga termasuk kekuatan identitas ego, komitmen untuk jaringan sosial, stabilitas kultural, suatu sistem yang stabil dari nilai dan keyakinan, orientasi pencegahan kesehatan dan genetik atau kekuatan konstitusional [2]
Sumber koping yang menolong manusia untuk beradaptasi terhadap stres, yaitu [3]:



  1. Aset ekonomi
  2. Kemampuan dan ketrampilan individu
  3. Teknik-teknik pertahanan
  4. Dukungan sosial

Respon Koping (skripsi dan tesis)

Respon koping sangat berbeda antar individu dan sering berhubungan dengan persepsi individual dari kejadian yang penuh stress. Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek yaitu fisiologis dan psikososial. Reaksi fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stress.
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu Mekanisme koping adaptif dan mekanisme koping maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Katagorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.
Koping dapat diidentifikasi melalui respon, manifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek : fisiologis dan psikososial: [1]
  1. Reaksi fisiologis merupakan manifestasi tubuh terhadap stress.
  2. Reaksi psikososial terkait beberapa aspek antara lain :
  • Reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental, seperti denial (menyangkal), projeksi, regresi, displacement, isolasi dan supresi.
  • Reaksi yang berkaitan dengan respon verbal seperti, menangis, tertawa, teriak, memukul dan menyepak, menggenggam, mencerca respon.
  • Reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Jika mekanisme pertahanan mental dan respon verbal tidak menyelesaikan masalah secara tuntas karena itu perlu dikembangkan kemampuan menyelesaikan masalah. Ini merupakan koping yang perlu dikembangkan. Koping ini melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor. Koping ini meliputi : Berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari informasi orang lain. Mencari tahu lebih banyak tentang situasi yang dihadapi melalui buku, masmedia, atau orang ahli. Berhubungan dengan kekuatan supernatural. Melakukan ibadah secara teratur, percaya diri bertambah dan pandangan positif berkembang. Melakukan penanganan stress, misalnya latihan pernapasan, meditasi, visualisasi, otigenik, stop berpikir. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi. Belajar dari pengalaman yang lalu. Tidak mengulangi kegagalan yang sama.

Pelaksanaan Mekanisme Koping (skripsi dan tesis)


Sarafino ( dalam Smet 1994 ) menyatakan bahwa dalam menghadapi stressor ada dua jenis koping yang digunakan, yaitu :
  1. Emotional focus Coping, digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalaui perilaku individu, seperti: penggunaan alcohol, bagaimana meniadakan fakta - fakta yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang ‘stresfull’ individu akan cenderung untuk mengatur emosinya.
  2. Problem focus Coping, digunakan untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan-keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila yakin akan dapat menubah situasi.
Koping menurut Carver, dibagi dua bagian, yaitu memfokuskan pada pemecahan masalah dan memfokuskan pada emosi. Jenis-jenis koping yang memfokuskan pada pemecahan masalah berupa:
  1. Keaktifan diri, adalah suatu tindakan yang mencoba menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres atau untuk memperbaiki akibat yang ditimbulkan, dengan kata lain bertambahnya usaha seseorang untuk melakukan koping, antara lain dengan bertindak langsung.
  2. Perencanaan, adalah memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres, contohnya dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang langkah apa yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.
  3. Control diri, adalah individu membatasi keterlibatannya dalam aktivitas kompetisi atau persaingan dan tidak bertindak terburu-buru, menunggu sehingga layak untuk melakukan suatu tindakan dengan mencari alternatif lain.
  4. Mencari dukungan sosial, adalah mencari nasehat, pertolongan, informasi, dukungan moral, empati dan pengertian
Sedangkan koping yang memfokuskan pada emosi, yaitu berupa [1]:
  1. Mengingkari, adalah suatu tindakan atau pengingkaran terhadap suatu masalah.
  2. Penerimaan diri, adalah suatu situasi yang penuh dengan tekanan sehingga keadaan ini memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut.
  3. Religius, adalah sikap individu untuk menenangkan dan menyelesaikan masalah-masalah secara keagamaan.
Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut Kozier yaitu [2]:
  1. Mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused coping), meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat.
  2. Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping), meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik.
Mekanisme koping juga dilihat sebagai mekanisme koping jangka pendek dan jangka panjang. Mekanisme koping jangka panjang merupakan cara konstruktif dan realistik. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu berbicara dengan orang lain tentang masalah dan mencoba untuk menemukan lebih banyak informasi tentang situasi. Mekanisme koping yang selanjutnya adalah mekanisme koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stress untuk sementara tetapi merupakan cara yang tidak efektif untuk menghadapi realitas.
Sedangkan metode koping menurut Folkman adalah[3] :
  1. Planful problem solving (problem-focused)
Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah.
  1. Confrontative coping (problem-focused)
Individu mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan kemarahan atau mengambil resiko untuk merubah situasi.
  1. Seeking social support (problem or emotion- focused)
Usaha individu untuk memperoleh dukungan emosional atau dukungan informasional.
  1. Distancing (emotion-focused)
Usaha kognitif untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi atau menciptakan pandangan yang positif terhadap masalah yang dihadapi.
  1. Escape-Avoidanceting (emotion-focused)
Menghindari masalah dengan cara berkhayal atau berpikir dengan penuh harapan tentang situasi yang dihadapi atau mengambil tindakan untuk menjauhi masalah yang dihadapi.
  1. Self Control (emotion-focused)
Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan ataupun tindakan dalam hubungannya dengan masalah.
  1. Accepting responcibility (emotion-focused)
Mengakui peran diri sendiri dalam masalah dan berusaha untuk memperbaikinya.
  1. Positive Reappraisal (emotion-focused)
Usaha individu untuk menciptakan arti yang positif dari situasi yang dihadapi. menekan.
Smet  menyebutkan  bahwa  kemampuan  koping  terhadap  stres merupakan  kemampuan individu  untuk  mengelola  jarak  yang  ada  antara  tuntutan-tuntutan  (baik  itu tuntutan  yang  berasal  dari  individu  maupun  tuntutan  yang  berasal  dari lingkungan)  dengan  sumber-sumber  daya  yang  mereka  gunakan  dalam menghadapi  situasi  yang  menekan.[4]  Sarafino, selanjutnya menyatakan bahwa koping terhadap stres terdiri dari dua bagian, yaitu koping berfokus masalah dan koping berfokus emosi. [5]
Carver  menyatakan aspek-aspek  kemampuan  koping  terhadap  stres  yang  diambil  dari  dua  bagian koping  tersebut,  yaitu  koping  yang  berfokus  masalah  terdiri  dari  koping  aktif, perencanaan,  pembatasan  aktivitas,  koping  penundaan,  dan  pencarian  dukungan sosial untuk mendapatkan bantuan, sedangkan koping berfokus emosi terdiri dari pencarian  dukungan  sosial  untuk  alasan-alasan  yang  emosional, penginterpretasian  kembali  secara  positif,  penerimaan,  pengingkaran,  dan pengalihan ke agama.[6]
Ada dua mekanisme koping yang dikembangkan oleh Mc Bell, yaitu[7]:
  1. Koping jangka panjang, sifatnya konstruktif serta realistik.
  2. Koping jangka pendek, sifatnya bisa destruktif dan sementara.
Mekanisme koping adalah perilaku yang diperlukan atau usaha untuk mengurangi stres dan kecemasan. Tipe perilaku atau koping untuk kecemasan ringan antara lain meliputi : menangis, tertawa, tidur dan memaki, aktivitas fisik dan latihan, merokok dan minum-minum, kontak mata kurang, membatasi persahabatan dan menarik diri. Sedangkan mekanisme koping yang digunakan untuk tingkat kecemasan yang tinggi dikategorikan sebagai tugas reaksi orientasi atau mekanisme pertahanan.8
Stuart dan Sudden mengidentifikasi mekanisme koping menjadi 3, yaitu:
  1. Melawan perilaku : terjadi ketika seseorang berusaha mengatasi hambatan untuk melawan masalah, mungkin konstruktif, dengan penyelesaian masalah asertif atau melawan (merusak) dengan perasaan yang agresif marah dan permusuhan.
  2. Perilaku menarik diri meliputi : menarik diri dari ancaman, reaksi emosional seperti mengaku kalah, menjadi apatis atau perasaan bersalah dan mengisolasi.
  3. Perilaku kompromi : biasanya konstruktif, mengutarakan tujuan atau negoisasi untuk sebagian atau semua yang dibutuhkan.
Mekanisme koping lain yang sering digunakan atau muncul dalam menghadapi masalah antara lain :
  1. Strategi terfokus pada masalah
Untuk mengurangi stresor individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi.
Strategi yang biasa digunakan untuk memecahkan masalah antara lain[8]: menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternaif, menimbang-nimbang alternatif berkaitan dengan biaya dan manfaat, memilih salah satunya dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih.
  1. Strategi terfokus emosi
Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu seperti : penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta tidak menyenangkan, strategi kognitif. Termasuk dalam strategi terfokus emosi, yaitu:
  • Represi
Seseorang cenderung untuk melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan di masa lalunya dan hanya mengingat hal-hal yang menyenangkan. Freud menganggap represi sebagai mekanisme pertahanan yang paling dasar dan penting. Dalam represi, impuls atau memori yang terlalu menakutkan atau menyakitkan dikeluarkan dari kesadaran.[9]
  • Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah motif yang dapat diterima secara logika atau sosial yang kita lakukan sedemikian rupa dengan mengembangkan alasan rasional yang menyimpangkan fakta sehingga kita tampaknya bertindak secara rasional
  • Pembentukan reaksi
Sebagian individu dapat mengungkapkan suatu motif bagi dirinya sendiri dengan memberikan ekspresi kuat pada motif yang berlawanan.[10]
  • Proyeksi
Semua orang memiliki sifat yang tidak diinginkan yang tidak diakui, bahkan oleh dirinya sendiri. Salah satu mekanisme bawah sadar, proyeksi melindungi kita dari mengetahui kualitas diri kita yang tidak layak dengan menampakkan sifat itu secara berlebihan pada diri orang lain.
  • Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah upaya melepaskan diri dari situasi stres dengan memutarbalikkan realita untuk mempertahankan harga diri dan biasanya menggunakan istilah-istilah yang abstrak dan intelektualisasi.
  • Penyangkalan
Terjadi ketika seseorang menolak untuk menerima kondisi yang tidak menyenangkan dalam dirinya.
  • Pengalihan
Melalui mekanisme pengalihan, suatu motif yang tidak dapat dipuaskan dalam suatu bentuk diarahkan ke saluran lain.15
Ada 2 mekanisme koping) yang dikembangkan oleh Mc. Cubbin, yaitu:[11]
  1. Mekanisme koping yang konstruktif yang meliputi : mencari dukungan sosial, mengkaji ulang stress (reframing), mencari dukungan spiritual dan menggerakkan keluarga untuk mencari atau meminta bantuan.
  2. Mekanisme koping yang destruktif berupa penampilan secara positif.
Berdasarkan uraian di atas maka disimpulkan terdapat dua mekanisme koping yang dilaksanakan seeorang ketika mengalami perubahan atau kecemasan. Hal ini didasarkan pada penerimaan sseorang itu sendiri. Oleh karenanya koping bisa saja destruktif atau konstruktif. Dikatakan sebagai koping yang konstruktif apabila kecemasan dianggap sebagai sinyal peringatan dan individu menerima kecemasan itu sebagai tantangan untuk diselesaikan. Koping yang konstruktif membentuk pengalaman masa lalu untuk memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang, sedangkan koping yang destruktif, apabila seseorang lebih memilih menghindari kecemasan, memecahkan suatu konflik dengan melakukan pengelakan terhadap solusi.
Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek, salah satunya adalah aspek psikososial (Keliat, 1999) yaitu :
  1. Reaksi Orientasi Tugas
Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntunan dan situasi stres secara realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif. Misal :
  • Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan.
  • Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber- sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis. masalah yang timbul dan berusaha untuk mengatasi agar tidak menimbulkan efek yang buruk dan stres berkepanjangan. Koping berfokus pada masalah misalnya : dengan mengatasi masalah-masalah interpersonal dengan menggunakan berbagai gaya komunikasi dan interaksi yang berbeda untuk merubah aspek ancaman dari lingkungan, mengubah persepsi (penilaian-penilaian) dari ancaman berdasarkan konsekuensi individu.
Koping dibagi menjadi dua bagian, yaitu memfokuskan pada pemecahan masalah dan memfokuskan pada emosi. Jenis – jenis koping yang memfokuskan pada masalah berupa [12]:
  • Keaktifan diri, adalah suatu tindakan yang mencoba menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres atau untuk memperbaiki akibat yang ditimbulkan, dengan kata lain bertambahnya usaha seseorang untuk melakukan koping, antara lain dengan bertindak langsung.
  • Perencanaan, adalah memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres, contohnya dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang langkah apa yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.
  • Control diri, adalah individu membatsi keterlibatannya dalam aktivitas kompetensi atau persaingan dan tidak bertindak terburu–buru, menunggu sehingga layak untuk melakukan suatu tindakan dengan mencari alternative lain.
    1. Emotional Focus Coping atau koping berfokus pada emosi
 Koping berfokus pada emosi digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan menilai perilaku individu bagaimana meniadakan fakta – fakta yang tidak menyenangkan dengan mekanisme kognitif bila individu tidak mampu mengubah kondisi stres, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya. Jenis koping ini terjadi ketika seseorang merasa bahwa hal yang menekannya (stressor) dapat dengan mudah untuk ditekan atau ditahannya. Emotion focused coping berorientasi hanya pada meredakan ketegangan dan emosi. Mekanisme koping berfokus pada emosi misalnya : mengingkari masalah terus – menerus, kegiatan yang menyenangkan dapat membuat individu merasa lebih baik dalam waktu pendek yang dapat menjadi suatu ancaman terhadap kesehatan (makan berlebihan, minum kopi atau alkohol yang berlebihan, merokok).
  1. Problem Focus Coping



Koping yang berfokus pada masalah digunakan untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau ketrampilan-ketrampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila yakin akan dapat merubah situasi. Metode ini lebih sering digunakan mereka yang sudah matang psikologisnya (dewasa). Pada saat individu menghadapi masalah akan selalu bereaksi baik yaitu dengan cara menghadapi masalah serta berusaha memecahkannya.

Pengertian Mekanisme Koping (skripsi dan tesis)

Dalam kehidupan sehari-hari, individu menghadapi pengalaman yang mengganggu ekuilibirium kognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami perubahan hubungan dengan orang lain dalam harapannya terhadap diri sendiri cara negatif. Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan perilaku pemecahan masalah (mekanisme koping) yang bertujuan meredakan ketegangan tersebut. Equilibrium merupakan proses keseimbangan yang terjadi akibat adanya proses adaptasi manusia terhadap kondisi yang akan menyebabkan sakit. Proses menjaga keseimbangan dalam tubuh manusia terjadi secara dinamis dimana manusia berusaha menghadapi segala tantangan dari luar sehingga keadaan seimbang dapat tercapai.
Dengan demikian coping dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Dikaitkan dengan mekanisme coping maka pengertian ini berubah menjadi suatu perubahan menjadi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi tantangan perubahan. Dengan demikian coping merujuk pada perubahan sementara mekanisme coping merupakan orientasi untuk menghadapi perubahan. Apabila mekanisme coping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap perubahan atau beban tersebut.
Menurut Lazarus, koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. [1] Koping juga dapat digambarkan sebagai berhubungan dengan masalah dan situasi, atau menghadapinya dengan berhasil / sukses (Kozier, 2004). Sedangkan koping menurut Rasmun adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi stressful. Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. [2]
Koping adalah menejemen stres yang dilalui oleh manusia dan emosi secara umum (kognitif dan usaha perilaku untuk mengatur tuntutan spesifik eksternal dan internal yang dinilai melebihi kemampuan manusia). Koping dapat dihubungkan dengan lingkungan atau seseorang atau sesuatu dan perasaan terhadap stres.[3]
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam[4]. Sedangkan menurut Lazarus, koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.[5]
Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam. [6] Jika individu berada pada kondisi stress ia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia. [7] Sedangkan menurut Stuart, mekanisme koping dapat didefenisikan sebagai segala usaha untuk mengatasi stress.[8]
Seorang ahli medis bernama ZJ Lipowski dalam penelitiannya memberikan definisi mekanisme coping:
 all cognitive and motor activities which a sick person employs to preserve his bodily and psychic integrity, to recover reversibly, impaired function and compensate to limit for any irreversible impairment.





Dalam pernyataan tersebut dikemukakan bahwa semua aktivitas kognitif dan motorik yang dilakukan oleh seseorang yang sakit untuk mempertahankan integritas tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak, dan membatasi adanya kerusakan yang tidak bisa dipulihkan.

Alat Ukur Kecemasan (skripsi dan tesis)

Menurut Nursalam, Alat ukur yang dipakai untuk mengetahui tingkat kecemasan adalah menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scalen (HARS) yang sudah dikembangkan oleh kelompok psikiatri Biologi Jakarta (KPBJ) dalam bentuk Anxiety Analog Scale (AAS). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing dirinci lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor). Skor dari ke 14 kelompok gejala tersebut, kemudian dijumlahkan, kemudian skor diinterpretasikan sesuai derajat kecemasan [1]
Menurut Hawari, untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau panik, maka digunakan alat ukur yang dikenal dengan Hamilton Ansiety Rating Scale (HARS). Adapun cara penilaian tingkat kecemasan menggunakan skala HARS yang terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi bobot skor 0 – 4, yaitu:[2]
Nilai    0 = tidak ada gejala (keluhan)
            1 = gejala ringan
            2 = gejala sedang
            3 = gejala berat
            4 = gejala berat sekali
     Selanjutnya masing-masing nilai angka kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang dengan menggunakan pengukuran tingkat kecemasan HARS, yaitu:
Total nilai (score) :
Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
14 – 20      = kecemasan ringan
21 – 27      = kecemasan sedang
28 – 41     = kecemasan berat
42 – 56      = kecemasan berat sekali
     Perlu diketahui bahwa alat ukur HRS-A ini bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis gangguan cemas. Diagnose gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh dokter (psikiater), sedangkan untuk mengukur derajat berat ringannya gangguan kecemasan itu digunkaan alat ukur HRS-A. Adapun hal-hal yang dinilai dengan alat ukur skala HARS ini adalah gejala yang meliputi:[3]
  1. Perasaan cemas
Cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri.
  1. Ketegangan
Merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.
  1. Ketakutan
Pada gelap, pada orang asing, ditinggal sendiri, pada binatang besar, kerumunan orang banyak, pada keramaian lalu lintas.
  1. Gangguan tidur
Sukar tertidur, terbangun dimalam hari, tidur tidak nyeyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk, mimpi menakutkan.
  1. Gangguan kecerdasan
Sukar konsentrasi, daya ingat buruk, daya ingat menurun.
  1. Perasaan depresi atau murung
Hilangnya minat, berkurang kesenangan pada hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-rubah sepanjang hari.
  1. Gejala somatik atau otot sakit dan nyeri otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.
  2. Gejala sensorik
Tinitus atau telinga berdengung, penglihatan kabur, merasa lemas
  1. Gejala kardivaskuler
Jantung berdebar-debar, nyeri dada, , rasa lesu dan lemas seperti mau                    pingsan, detak jantung menghilang atau berhenti sekejab.
  1. Gejala pernafasan
Rasa sesak, rasa tercekik, sering menarik nafas, nafas pendek.
  1. Gejala gastrointestinal
Sulit menelan, perut melilit, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan  terbakar diperut, kembung, mual, muntah, sukar buang air besar.
  1. Gejala urogenital dan kelamin
          Sering buang air kecil, tidak dapat menahan buang air kecil, tidak    datang bulan atau haid, darah haid berlebihan, masa haid berkepanjangan, ejakulasi dini, ereksi melemah, impotensi.
  1. Gejala autonom
Mulut kering, muka merah, muka berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri.
  1. Tingkah laku pada saat wawancara
Gelisah, tidak tenang, jari gemetar, muka tegang, kerut pada kening, nafas pendek, muka pucat, otot tegang atau mengeras.
Salah satu alat ukur lain yang digunakan adalah



Tingkat Kecemasan (skripsi dan tesis)

Kecemasan dalam pengertian yang lebih mendalam seringkali digolongkan ke dalam beberapa pengertian. Shaw ( Sinambela, 1994) membagi kecemasan menjadi :
  1. Manifest Anxiety, yaitu suatu tingkat kecemasan yang merupakan suatu pengungkapan seseorang pada saat-saat tertentu.
  2. Test anxiety, yaitu kecemasan yang dihubungkan dengan pengambilan keputusan dengan melalui proses evaluasi.
  3. State anxiety, yaitu suatu predisposisi untuk kecemasan.
Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh Townsend, ada empat tingkat yaitu[1] :
  1. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai dengan situasi.
  1. Kecemasan Sedang
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada rangsang yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.
  1. Kecemasan Berat
Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung dan disorientasi.
  1. Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan, teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik dapat menagakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu berfikir rasional.
Menurut poplou ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu-individu yang ringan, sedang, berat dan panik[2] :
  1. Kecemasan ringan
Dihubungkan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari, individu masih waspada serta lapang persepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas, contohnya:
  1. Seseorang yang menghadapi ujian akhir
  2. Pasangan dewasa yang akan memasuki jenjang pernikahan
  3. Individu yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
  4. Individu yang tiba-tiba dikejar anjing menggonggong
  5. Kecemasan sedang
Individu terfokus hanya pada pikiran yang menjadi perhatiannya. Terjadi penyempitan lapangan persepsi, masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain. Contohnya:
  1. Pasangan suami istri yang menghadapi kelahiran bayi pertama dengan resiko tinggi
  2. Keluarga yang menghadapi perpecahan (berantakan)
  3. Individu yang mengalami konflik dalam pekerjaan
  4. Kecemasan berat
Lapangan persepsi individu sangat sempit. Pusat perhatiannya pada detil yang kecil (spesifik) dan tidak dapat berfikir tentang ha-hal lain. Seluruh perilaku dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dan perlu perintah atau arahan untuk terfokus pada area lain. Contohnya:
  1. Individu yang mengalami kehilangan harta benda dan orang yang dicintai dengan bencana alam.
  2. Individu dalam penyanderaan
  3. Panik
Individu kehilangan kendali diri dan detil perhatiannya hilang karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melaksanakan apapun meskipun dengan perintah. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, penyimpangan persepsi dan hilangnya pikiran rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif biasanya disertai dengan disorganisasi kepribadian. Contohnya: Individu dengan kepribadian pecah/depersonalisasi.
Tingkat kecemasan menurut Stuart dan Sundeen, dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu [3]:
  1. Cemas ringan (mild anxiety)
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kemampuan melihat dan mendengar menjadi meningkat. Cemas ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreativitas (Stuart & Sundeen, 2000).
  1. Cemas sedang (moderate anxiety)
Cemas sedang memungkinkan seseorang berfokus pada masalah yang sedang dihadapi dan mengesampingkan yang lain sehingga menyebabkan lapang persepsi menyempit dan kemampuan melihat dan mendengarnya menurun. Beberapa kemampuan menjadi tertutup tetapi masih bisa dilakukan dengan petunjuk.
  1. Cemas berat
Cemas berat sangat mempengaruhi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung berfokus pada hal-hal yang kecil dan tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi rasa cemas dan perlu arahan untuk befokus pada area lain.
  1. Panik
Pada tingkat ini lahan persepsi sudah tetrtutup dan orang bersangkutan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, gangguan persepsi, kehilangan kemampuan berfikir secara rasional. Panik merupakan pengalaman yang menakutkan dan bisa melumpuhkan seseorang
Nevid  membagi tipe-tipe kecemasan tersebut atas lima tipe, yaitu[4]:
  1. Gangguan Panik
Terjadinya serangan panik yang berulang, yang merupakan episode teror yang luar biasa disertai dengan simtom fisiologis yang kuat, pikiran-pikiran tentang bahaya yang segera datang atau malapetaka yang akan tiba, dan dorongan untuk melarikan diri.
  1. Gangguan Kecemasan Menyeluruh
Kecemsan yang persisten yang tidak terbatas pada suatu situasi tertentu.
  1. Gangguan Fobia
Ketakutan yang berlebihan terhadap objek atau situasi tertentu.
  1. Gangguan Obsesif Kompulsif
Obsesi berulang-ulang (pikiran intrusif yang berulang) dan/atau kompulsi (tingkah laku repetitf yang dirasakan sebagai sesuatu yang harus dilakukan).
  1. Gangguan Stress Traumatik



Reaksi maladaptif akut yang segera timbul setelah peristiwa traumatis (gangguan stress akut) atau reaksi maladaptif berkelanjutan terhadap suatu peristiwa yang traumatis (gangguan stress pasca trauma).

Gejala Kecemasan (skripsi dan tesis)

Gejala kecemasan didasarkan pada respon fisiologis serta psikologis yang dihadapi seseorang ketika mengalami kecemasan. Oleh karenanya gejala kecemasan memiliki beberapa variasi tergantung tingkat kecemasan yang dialami seseorang. Menurut Capernito, sindrom kecemasan sendiri dapat diuraikan menjadi seperti di bawah ini[1]:
  1. Gejala fisiologis
Peningkatan frekuensi nadi, TD, nafas, diaforosis, gemetar, mual dan muntah, sering berkemih, diare, insomnia, kelelahan, kemerahan atau pusat pada wajah, mulut kering, nyeri (khususnya dada, leher), gelisah, ringan/pusing, rasa panas.
  1. Gejala emosional
Individu mengatakan merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan percaya diri, tegang, tidak mau rileks. Individu juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan, tidak sabar, mudah marah, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain.
  1. Gejala kognitif
Tidak mampu berkontraksi, kurang orientasi lingkungan, pelupa, memblok pikiran (ketidakmampuan untuk menggigil) dan perhatian yang berlebihan.
Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis dan psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme koping sebagai pertahanan melawan kecemasan[2] :
  1. Respons fisiologis: secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respons tubuh. Reaksi tubuh terhadap stress (kecemasan) adalah “fliht” atau “flight”.
  2. Respons psikologis: kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain.
  3. Respons kognitif: kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berfikir baik proses pikir maupun isi pikir diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapangan persepsi, bingung.
  4. Respons efektif: secara efektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.
Dampak kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, serotonin, dan gama aminobuyric acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis), antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan mental; antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat-loncat, kehilangan kemampuan persepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi.[3]
Gejala klinis kecemasan baik yang bersifat akut maupun kronik (menahun) merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan atau psychiatric disorder. Orang dengan tipe kepribadian pencemas tak selamanya mengeluh hal-hal yang sifatnya psikis tapi sering juga disertai dengan keluhan-keluhan fisik (somatik) dan juga tumpang tindih dengan ciri-ciri kepribadian depresif, dengan kata lain batasnya sering kali tidak jelas.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain : cemas, khawatir, firasat buruk, takut, banyak pikiran, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, dan sakit kepala[4].
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nadia berjudul Kecemasan Pada Penderita Gagal Ginjal Kronis di Laboratorium Dialisis Rumah Sakit Pusat TNI AU dr. Esnawan Antariksa diketahui beberapa gejala kecemasan yang ditemui berupa respon-respon kognitif lebih banyak dialami penderita dibandingkan respon-respon fisiologis dan psikis. Dengan demikian pasien lebih banyak merasakan Secara spesifik maka dalam penelitian tersebut menguraikan bahwa gejala kecemasan dalam menghadapi kematian pada individu yang mengalami penyakit gagal ginjal diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari kondisi fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan menimbulkan kecemasan. Kecemasan tersebut akan berupa gangguan pencernaan, detak jantung bertambah cepat berdebar-debar akibat dari penyakit yang dideritanya kambuh, sering merasa pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang. Kemudian secara psikologis kecemasan dalam menghadapi kematian pada individu yang mengalami penyakit kronis adalah seperti adanya perasaan khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu sendiri, tidak berdaya, lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah[5].
Dalam penelitian Devi Dwiawan yang berjudul Dampak Dukungan Sosial Dalam Mengurangi Kecemasan Pada Pasien Wanita Penderita Gagal Ginjal Kronis Di Rumah Sakit Khusus Ginjal RA. Habibie Bandung menunjukkan bahwa salah satu gelaja yang timbul dari seseorang yang menderita penyakit gagal ginjal akan merasa khawatir, merasa tidak berdaya, tegang, takut, bingung, merasa tidak pasti[6].



Oleh karenanya gejala yang timbul dari kecemasan menghadapi kematian seringkali ditemukan dalam bentuk-bentuk gejala kognitif . Gejala ini tidak mengesampingkan munculnya gejala lainnya yaitu gejala fisiologis dan emosional. Oleh karenanya gejala-gejala ini seringkali ditemukan bersamaan dalam satu karakter individu pasien.