Sunday, July 21, 2019
Model Pertumbuhan Kaum Institusionalis (skripsi dan tesis)
Model-model yang dikembangkan Kaum Neoklasik tersebut di atas menghasilkan variasi kinerja pembangunan, mendorong Stiglitz (2001) mencoba mengupas faktor-faktor yang menyebabkan variasi yang sangat lebar dalam kinerja pembangunan antar negara. Mengapa beberapa negara atau wilayah sebuah negara dalam kurun waktu tertentu mengalami keterbelakangan tertentu sedangkan beberapa negara atau wilayah suatu negara mengalami perkembangan yang melejit dengan cepat dalam tataran tertentu. Pelacakan dilakukan pada budaya dan institusi yang terbelakang. Pengamatan dilakukan di mantan negara-negara sosialis menyimpulkan bahwa yang diperlukan adalah sebuah kebijakan kolektif antar pemerintah dan pasar yang dapat menciptakan institusi yang diperlukan agar “pasar” dapat berfungsi. Pemikiran Stiglits tersebut mendapat dukungan dari Vinot Thomas (peneliti Bank Dunia) yang kemudian menerbitkan The Quality of Growth yang menekankan bahwa pengamatan kinerja proses pembangunan biasanya dihubungkan dengan pertumbuhan pendapatan nasional perkapita (Budiono, 2001).
Apa yang dikemukakan oleh Mankiw, Romer dan Weil juga dikritik oleh J.Temple’s yang menyatakan bahwa masalah perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara yang satu dengan yang lain tidak hanya karena masalah input. Negara yang pendapatannya rendah bukan karena kurangnya input, tetapi juga masalah efisiensi dan teknologi. Masalah efisiensi dan teknologi ditentukan oleh tatanan institusi yang ada (Tample’s, 1999 dalam Boulhol, 2004). Dari pernyataan tersebut berarti bahwa institusi perlu diperhatikan dalam membahas pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini didukung oleh Stiglitz, yang menyatakan bahwa aspek kelembagaan (institusi) perlu mendapat penajaman pengamatan dalam pembangunan. Atas dasar itu Stiglitz memodifikasi model pertumbuhan Neoklasik dengan memasukkan Informasi, Pengetahuan dan Teknologi serta Organisasional Capital. Jika model Neoklasik fungsi produksi agregat : Q = F (K,L,H) oleh Stiglitz dimodifikasi menjadi :
Q = F(A,K,L,H). Dalam hal ini Q adalah jumlah produksi K kapital, L tenagakerja, H kapital sumberdaya manusia, sedangkan A terdiri dari Informasi, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Kapital Organisasional (termasuk institusi). Hanya saja Stiglitz belum memasukkan institusi secara eksplisit kedalam model sebagai variabel bebas, tetapi menginterprestasikannya melalui konstanta.
Y = A Kt α Ltβ Ht1-α -β (2.18)
Faktor-faktor pertumbuhan baik mikro maupun makro dapat berfungsi dengan baik jika manusia mempunyai pengetahuan untuk mengendalikannya. Manusia harus mampu mengekploitasi pengetahuan yang relevan dalam rangka pengendalian faktor pertumbuhan. Pengetahuan hanya dapat diekploitasi dan dikembangkan jika manusia dengan spesialisasi pengetahuan masing-masing dapat bekerja sama. Untuk dapat bekerja sama dengan sistem koordinasi yang baik diperlukan institusi untuk mengatur dan menjamin kepastian hak masing-masing. Atas dasar pemikiran inilah muncul model pertumbuhan menurut Institutional Economics. Faktor lain yang mendorong munculnya ekonomi kelembagaan adalah kegagalan pasar. Mekanisme pasar yang diandalkan oleh Kaum Neoklasik ternyata tidak mampu berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Model Ekonomi Kelembagaan lebih menekankan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi. Melalui efisiensi diharapkan pertumbuhan dapat terdistribusi secara merata. Jika pertumbuhan terdistribusi secara merata maka peningkatan kesenjangan sebagaimana yang terjadi pada model Horrod-Domar maupun Kaldor dapat dihindari. Efisiensi dapat terwujud apabila penataan institusi pada masing-masing negara didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan riil pada setiap negara.
Menanggapi apa yang dikemukakan Stiglitz Kaum Institusionalis menilai bahwa Stiglitz menganggap bahwa institusi antar negara bersifat konvergen. Pendapat ini sangat berbeda dengan realitas, institusi antar negara bersifat divergen. Oleh karena itu untuk melihat peranan institusi dalam pembangunan Kaum Instutusionalis menganjurkan memperlakukan institusi (I) sebagai variabel bebas dalam model pertumbuhan, mengingat bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh biaya transaksi dan biaya transformasi produksi. Jaringan institusi berhubungan secara integral dengan kedua biaya tersebut. Sehingga model 2.19 dikembangkan menjadi:
Y = a Kt α Ltβ Htλ It 1-α - β -λ (2.19)
Institusional Economics menekankan pentingnya institusi dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dengan pendekatan institusional merupakan”Institution Building Proces.” Agar pembangunan tersebut berhasil, membutuhkan sistem perencanaan dan institusi yang mapan, dalam arti dapat mengelola proses pembangunan selama periode waktu tertentu. Institusi yang bertanggung jawab dibutuhkan khusus untuk mengkoordinasi setiap tahap proses pembangunan ekonomi (Mehlum, 2002). Paham ini menyatakan bahwa tanpa adanya institusi yang berkualitas pertumbuhan ekonomi tidak optimum. Perlu dilakukan inovasi-inovasi institusi yang mampu mengkoordinir dan memfasilitasi perkembangan tenaga kerja, akumulasi kapital maupun perkembangan teknologi. Sebagaimana dikatakan oleh North bahwa: Sejarah studi pembangunan ekonomi merupakan studi inovasi institusi yang dapat menyederhanakan pertukaran yang kompleks dengan cara menurunkan biaya transaksi dan produksi (North, 1994). Perbedaan yang berkelanjutan dalam pertumbuhan ekonomi tidak dapat dijelaskan tanpa melalui institusi (Olson, 1996). Penataan institusi yang tepat dibutuhkan untuk membentuk kerangka kerja untuk kerjasama manusia di pasar dan dalam organisasi sehingga kerjasama tersebut rasional, dapat diprediksi dan dapat diterima.
Menurut paham ini pembangunan ekonomi diukur dengan perkembangan pendapatan sektor-sektor ekonomi yang ada. Jika pertumbuhan pendapatan sektor-sektor tersebut tinggi berarti pertumbuhan ekonomi tinggi pula. Pertumbuhan pendapatan masing-masing sektor sangat ditentukan oleh kapital, tenaga kerja, kapital sumberdaya manusia dan institusi (Stiglitz, 2001). Efektif tidaknya keempat faktor di atas sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi yang ada ( Mehlum, 2002).
Institusi dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jika: 1) institusi terkait dengan aktivitas-aktivitas produktif, 2) institusi dapat melakukan fungsi koordinasi secara efektif, 3) mampu menurunkan biaya transaksi, 4) institusi mampu memberikan jaminan hak (property right) sehingga investor dapat menggunakan teknologi yang baik dan efisien sehingga produknya kompetitif.
Jadi institusi berkaitan dengan masalah kualitas institusi, bukan hanya persoalan kuantitas. Jika unit-unit usaha berada dalam lingkungan institusi yang lemah (kualitas rendah) tidak dapat berkembang secara kompleks, tidak dapat membentuk kontrak-kontrak jangka panjang dan multi kontrak yang melibatkan tiga kelompok yang mencirikan pertukaran ekonomi dalam industri yang ekonomis (Aron, 1997). Dengan tidak terpenuhinya atau tidak adanya institusi mengakibatkan aktivitas ekonomi menjadi terbatas pada pertukaran interpersonal, pada produksi skala kecil dan perdagangan lokal. Akibatnya pertumbuhan ekonomi rendah (Sevinc dan Hakan, 2003). Kegagalan institusi juga dapat mengakibatkan tidak berfungsinya pasar, staknasi ekonomi dan krisis yang parah.(Caballero, 2000). Sebaliknya jika unit-unit usaha berada dalam lingkungan institusi yang berkualitas maka mereka dapat melakukan kontrak-kontrak jangka panjang, ada jaminan hak, penggunaan teknologi berkualitas yang mendorong munculnya entrepreneurship. Berkembangnya entrepreneurship dalam unit-unit usaha memacu pertumbuhan ekonomi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesenjangan pendapatan disebabkan karena perbedaan pendapatan yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok tertentu. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan produktivitas(A) faktor produksi modal (K) dan tenagakerja (L).
Model Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik (skripsi dan tesis)
Pandangan Neo Klasik tentang pertumbuhan ekonomi berbeda dengan Kaum Klasik. Para ekonom tahun 1950an tidak sependapat bahwa pertumbuhan ekonomi hanya ditentukan oleh mobilitas kapital, tetapi pertumbuhan merupakan fungsi dari input. Pada masa ini para ekonom mulai memperkenalkan fungsi produksi nasional untuk menentukan pertumbuhan ekonomi. Fungsi produksi pada hakekatnya merupakan hubungan antara input yang terdiri dari Kapital (K), Tenaga Kerja (L) dan Teknologi (T) dengan output. Studi diawali oleh Solow dan Swan pada tahun 1956 dengan mendasarkan pada teori Neoklasik, dengan menggunakan struktur dan asumsi teori produksi Neoklasik (Dewan dan Hussein, 2001). Salah satu ciri Kaum NeoKlasik adalah mengandalkan terjadinya asas Tricle Down Effect, dalam proses pembangunan. Menurut paham ini hasil pembangunan akan terdistribusi secara merata melalui mekanisme pasar, tanpa perlu campur tangan pemerintah (institusi). Menurut teori ini jika pusat-pusat pertumbuhan mengalami pertumbuhan ekonomi maka secara otomatis (melalui mekanisme pasar) berdampak pada pertumbuhan wilayah yang lain, tidak diperlukan campur tangan pemerintah ataupun institusi. Model yang dibangun didasarkan pada fungsi Cobb-Douglas, dengan asumsi constant return to scale:
Yt = TK t α Lt 1- α (2.10) Kritikan terhadap model ini bahwa model ini tidak dapat menjelaskan perbedaan kinerja ekonomi antar negara. Studi Hall dan Jones (1998) menunjukkan bahwa produktivitas antar negara berbeda. Perbedaan produktivitas antar negara tidak dapat dijelaskan melalui input yang digunakan. Aktivitas ekspor dan impor mempunyai andil yang cukup besar dalam produktivitas suatu negara, tetapi tidak dimasukkan dalam model Solow –Swan. Teori Solow-Swan ini digantikan dengan model Pertumbuhan Endogen dengan menggunakan asumsi constant and increasing return to capital.
Model pertumbuhan endogen memandang pentingnya perdagangan internasional sebagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran perlunya perdagangan internasional dimasukkan dalam model pertumbuhan karena melalui perdagangan internasional dapat meningkatkan produktivitas. Atas dasar pemikiran tersebut maka model pertumbuhan endogen dipandang cocok untuk diterapkan. Dalam model ini perdagangan internasional diukur melalui aktivitas ekspor dan impor.
Yi = F( Ai ,Ki ,Li ) (2.11)
Y adalah output, A = indeks produktivitas, K=modal dan L= tenaga kerja, subskrip i tahun. Sedangkan indeks produktivitas (A) fungsi dari impor (M) dan ekspor (X) :
Ai = F (Xi , Mi ) (2.12)
Model ini mengkritik bahwa model Neoklasik tidak dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita (Sligitz, 2001). Menurut Ray (1995) model pertumbuhan Neoklasik mempunyai kelemahan sebagai berikut: 1) Deminishing return to capital yang berimplikasi pertumbuhan pendapatan antar sektor yang konvergen tetapi kenyataannya terdapat perbedaan antara yang maju dan berkembang. 2) Tidak mampu memasukkan dampak eksternal yang dibatasi dengan asumsi constant return to scale 3) Dalam model Neoklasik indeks produktivitas sebagai exogenous, misalnya tidak terwujud dalam peralatan modal. Akibatnya kesimpulan menjadi tidak realistis.
Kelemahan tersebut mengakibatkan variasi kinerja pembangunan antar negara. Disamping itu variasi kinerja tersebut tidak lepas dari pengalaman tentang proses pembangunan di negara sedang berkembang (Boediono, 2001) sebagai berikut:
Pertama, stabilitas ekonomi makro merupakan prasyarat esensial untuk mendapatkan kinerja pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan dalam proses pembangunan secara keseluruhan. Apapun prioritas pembangunan, baik pembangunan sektor pertanian, industrialisasi, pemerataan peluang berusaha, dan pengentasan kemiskinan, proses implementasinya akan terhambat bila perekonomian makro bergejolak.
Kedua, pertumbuhan tidak mengalami penetesan kebawah. Asas tricle down ini sangat dekat dengan pendekatan Neoklasik yang mengutamakan pemberian insentif bagi masyarakat yang mampu melakukan tabungan untuk kemudian diinvestasikan, karena investasi inilah kuncinya terjadi pertumbuhan.
Ketiga, tidak ada kebijakan parsial yang secara manjur dapat mendorong terjadinya proses pembangunan yang sukses. Pembangunan mencakup berbagai variabel yang saling kait mengkait sehingga membutuhkan pendekatan yang integratif dan komprehensif.
Keempat, keberadaan institusi. Proses pembangunan membutuhkan dukungan kelembagaan yang melibatkan masyarakat seluas mungkin dan mampu merespon secara positif perubahan lingkungan yang sangat cepat. Institusi tidak hanya terbatas pada pengertian organisasi tetapi termasuk “aturan main” (behavioral rule) yang menentukan dan mengatur bentuk interaksi manusia baik secara individu maupun secara berkelompok. Melalui institusi tersebut maka pelaku interaksi mampu mengantisipasi perilaku pihak lain dalam proses interaksi tersebut.
Untuk memperoleh model yang dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita antar negara Romer dan Weil (1992) mencoba menjelaskannya dengan memasukkan Human Capital (H) kedalam model. Dengan memasukkan Human Capital kedalam model Solow, maka model tersebut menjadi lebih cocok untuk menganalisis pertumbuhan antar negara (Bulhol, 2004). Mengapa suatu negara mengalami pertumbuhan yang pesat sementara yang lain mengalami pertumbuhan yang rendah dapat dijelaskan melalui kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki.
Hal yang senada dilakukan oleh Hall dan Jones (1999); dan Klenow dan Rodriguez-Clare(1997). Mereka mengembangkan model yang dapat menjelaskan perbedaan pendapatan perkapita antar negara. Model tersebut didasarkan pada teori produksi Cobb-Doglass yang merupakan kombinasi antara modal pisik dengan kualitas sumberdaya manusia (H):
A tidak hanya mengukur teknologi atau pengetahuan tetapi juga faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap output diluar modal pisik dan layanan sumberdaya manusia. Dengan membagi model 2.15 dengan jumlah tenaga kerja (L) dan mentranformasi dalam bentuk log dapat diketahui pendapatan yang diterima setiap individu (Y/L):
Model dapat menjelaskan terjadinya perbedaan (kesenjangan) pendapatan perpekerja. Kesenjangan pendapatan perpekerja terjadi karena perbedaan kontribusi modal pisik perpekerja, peran setiap pekerja dan residual. Dalam model tersebut peningkatan pendapatan perpekerja ditentukan oleh a yang merespon perubahan A (residual) dan modal fisik perpekerja. Model tersebut akan lebih berguna jika mencirikan semua peningkatan terahadap residual, selama peningkatan A sebagai sumber utama peningkatan output perpekerja. Untuk itu Klenow dan Rodriguez-Clare dan Hall dan Jones mengeluarkan a Ln (Yi / Li ) dari model, sehingga model menjadi
(Romer, 2001):
Model diatas menunjukkan bahwa output perpekerja tergantung pada intensitas modal pisik ( Ki / Yi : Capital –output ratio), layanan tenagakerja perpekerja, dan residual. Perbedaan intensitas modal pisik, tenagakerja perpekerja menimbulkan kesenjangan pendapatan.
Teori Neoklasik yang merupakan penerus dari teori klasik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan menuju pasar sempurna. Dalam keadaan pasar sempurna perekonomian bisa tumbuh maksimal. Kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan hambatan dalam perdagangan termasuk perpindahan orang, barang, dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan perlunya penyebarluasan informasi pasar. Harus diusahakan terciptanya prasarana perhubungan yang baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kestabilan politik (Tarigan, 2007).
Model Keynesian (Harrod-Domar dalam sistem Regional) (skripsi dan tesis)
Pada tahun 1940 dan 1950an dalam mengkaji pertumbuhan ekonomi para ekonom lebih menekankan pada aspek mobilitas kapital (K) dalam jangka panjang, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tergantung pada akumulasi kapital (tabungan dan investasi). Beberapa ekonom pada periode ini menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan fenomena jangka pendek. Pendapat ini didasarkan pada asumsi mereka bahwa dalam perkembangannya investasi kapital mengarah pada terjadinya penurunan marginal produktivitas kapital. Tokoh ekonom pada periode ini diantaranya adalah Harrod-Domar yang terkenal dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar, dan Kaldor.
Apa yang dikemukakan Harrod-Domar tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Kaldor. Ia menyatakan bahwa pertumbuhan pendapatan fungsi dari peningkatan investasi neto yang dinyatakan sebagai proporsi stok modal (It / Kt ) pada periode t dikalikan modal perkapita (b) plus koefisien kemajuan teknikal (a):
Baik Harrod-Domar maupun Kaldor menekankan pada pentingnya investasi untuk mencapai pertumbuhan. Semakin tinggi investasi akan semakin tinggi pertumbuhan pendapatan. Untuk mempertinggi investasi perlu mempertinggi tabungan. Persoalan yang muncul dari konsep tersebut apabila diterapkan di negara yang sedang berkembang akan menimbulkan masalah baru. Pertumbuhan pendapatan akan menimbulkan kesenjangan pendapatan. Untuk mencapai pertumbuhan pendapatan dibutuhkan investasi, sedangkan investasi merupakan fungsi dari tabungan. Karena investasi fungsi dari tabungan maka untuk meningkatkan investasi harus mempertinggi tabungan. Peningkatan tabungan hanya dapat dilakukan oleh kelompok tertentu saja (yang berpendapatan tinggi). Akibatnya mereka yang melakukan investasi hanya kelompok tertentu saja (yang berpendapatan tinggi), sehingga hanya sekelompok tertentu saja yang menikmati peningkatan pendapatan, terjadilah kesenjangan. Jadi dalam teori ini ketimpangan merupakan konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi.
Model Pertumbuhan Ekonomi Klasik (skripsi dan tesis)
Model pertumbuhan ekonomi yang diterapkan oleh suatu negara tidak terlepas dari fokus kebijakan pembangunan yang dilakukan negara tersebut. Sebagian besar negara yang sedang berkembang, fokus kebijakan utamanya pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi dan stabilitas, pengambil kebijakan membutuhkan pemahaman tentang faktor-faktor pertumbuhan dan efeknya terhadap pertumbuhan (Dewan dan Hussein, 2001).
Model pertumbuhan ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823). Inti dari ajaran Smith adalah agar masyarakat diberi kebebasan seluas-luasnya dalam menentukan kegiatan ekonomi apa yang dirasa terbaik untuk dilakukan. Menurut Smith sistem ekonomi pasar bebas akan menciptakan efisiensi, membawa ekonomi kepada kondisi full employment, dan menjamin pertumbuhan ekonomi sampai tercapai posisi stasioner (stationary state). Posisi stasioner terjadi apabila sumber daya alam telah sepenuhnya dimanfaatkan. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan menyediakan fasilitas yang mendorong pihak swasta berperan optimal dalam perekonomian. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban menyediakan prasarana sehingga aktivitas swasta menjadi lancar. Terhadap pemikiran Smith, perlu dicatat pendapat Joseph Schumpeter yang mengatakan bahwa posisi stasioner tidak akan terjadi karena manusia akan terus melakukan inovasi.
Dua aspek utama pertumbuhan ekonomi menurut Adam Smith adalah pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara (pertumbuhan output total) menurut Smith adalah sumber daya alam yang tersedia (faktor produksi “tanah), sumber daya manusia (jumlah penduduk) dan stok modal yang ada.
Sumber daya alam yang tersedia merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu masyarakat. Jumlah sumber alam yang tersedia merupakan “batas maksimum” bagi pertumbuhan suatu perekonomian. Maksudnya, jika sumber daya ini belum digunakan sepenuhnya, maka jumlah penduduk dan stok kapital yang ada memegang peranan dalam pertumbuhan output. Tetapi pertumbuhan output tersebut akan berhenti jika semua sumber daya alam tersebut telah digunakan secara penuh.
Sumber daya manusia mempunyai peranan yang pasif dalam proses pertumbuhan output. Maksudnya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat. Pertumbuhan ekonomi akan semakin terpacu dengan adanya sistem pembagian kerja antar pelaku ekonomi. Dalam hal ini, Adam Smith memandang pekerja sebagai salah satu input bagi proses produksi. Menurut Adam Smith, perkembangan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena perkembangan penduduk akan memperluas pasar. Pada tahap ini dianggap bahwa berapapun jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi akan tersedia lewat proses pertumbuhan atau penurunan penduduk.
Stok kapital memegang peran paling penting dalam menentukan cepat lambatnya proses pertumbuhan output. Besar kecilnya stok kapital dalam perekonomian pada saat tertentu akan sangat menentukan output yang diproduksi dan dengan demikian akan menentukan kecepatan pertumbuhan ekonomi. Apa yang terjadi pada tingkat output tergantung pada apa yang terjadi pada stok kapital dan laju pertumbuhan stok kapital sampai tahap pertumbuhan dimana sumber-sumber alam mulai membatasi.
Jumlah penduduk menurut Adam Smith akan meningkat jika tingkat upah yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah subsisten yaitu tingkat upah yang pas-pasan untuk hidup. Jika tingkat upah di atas tingkat subsisten maka jumlah penduduk akan meningkat sebaliknya jika upah yang berlaku lebih rendah dari tingkat upah subsiten, maka jumlah penduduk akan menurun.
Terlepas dari kekurangan yang terdapat dalam teori Smith, pandangannya masih banyak yang relevan untuk diterapkan dalam perencanaan pertumbuhan ekonomi wilayah. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah adalah memberi kebebasan kepada setiap orang/badan untuk berusaha (pada lokasi yang diperkenankan); tidak mengeluarkan peraturan yang menghambat pergerakan orang dan barang; tidak membuat tarif pajak daerah yang lebih tinggi dari daerah lain sehingga memberi iklim yang kundusif bagi pengusaha dan investor; menjaga keamanan dan ketertiban sehingga relatif aman untuk berusaha, menyediakan fasilitas dan prasarana sehingga pengusaha dapat beroperasi secara efisien dan tidak membuat prosedur penanaman modal yang rumit.
David Ricardo (1772-1823) mengembangkan teori pertumbuhan klasik lebih lanjut. Tetapi garis besar dari proses pertumbuhan dan kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik oleh David Ricardo tidak terlalu berbeda dengan teori Adam Smith. David Ricardo menganggap jumlah faktor produksi tanah (yaitu sumber-sumber alam) tidak bisa bertambah, sehingga akan bertindak sebagai faktor pembatas dalam proses pertumbuhan suatu masyarakat (Boediono, 1985)
Model Kesenjangan Pendapatan Kuznets (skripsi dan tesis)
Ketimpangan pendapatan semakin menarik perhatian publik setelah Kuznets mencetuskan hipotesis U terbalik. Hipotesis tersebut dirumuskan dengan membangun model yang mengkaitkan kesenjangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi. Kuznets menyatakan bahwa pada awalnya pertumbuhan berdampak pada peningkatan kesenjangan pendapatan. Pertumbuhan akan menghasilkan pemerataan jika pendapatan suatu negara sudah melampaui batas tertentu. Observasi ini kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time series) dalam distribusi pendapatan seperti yang diukur misalnya dengan koefisien Gini—tampak seperti kurva berbentuk U terbalik, seiring dengan naiknya GNP sebagaimana dalam Gambar 2.2.
Hipotesis Kuznets ini didasarkan pada teori-teori pertumbuhan ekonomi umum tahun limapuluhan, dan dilengkapi dengan pengamatan-pengamatan empiris. Teori-teori tersebut menjelaskan pertumbuhan sebagai suatu proses yang mana kelompok yang bekerja bergerak dari aktivitas tradisional (seperti pertanian) menuju ke sektor industri yang lebih produktif. Untuk mengetahui bagaimana corak perubahan dalam struktur ekonomi, Kuznet mengumpulkan data mengenai sumbangan berbagai sektor kepada produksi nasional di tiga belas negara yang masuk dalam golongan negara maju antara permulaan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 (Sukirno, 2007). Berdasarkan data tersebut, Kuznet membuat simpulan mengenai corak perubahan sumbangan berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi yaitu: Pertama, Sumbangan sektor pertanian kepada produksi nasional pada umumnya telah menurun dimana pada taraf permulaan pembangunan ekonomi, peranan sektor pertanian mendekati setengah dan adakalnya mencapai sampai hampir dua pertiga dari seluruh produksi nasional; Kedua, Peranan sektor industri dalam menghasilkan produksi nasional meningkat yaitu pada akhir masa observasi, peranannya paling sedikit meningkat sebesar 20 persen poin sehingga pada akhirnya menyumbangkan antara 40 dan adakalanya lebih 50 persen produksi nasional; Ketiga, sumbangan sektor jasa dalam menciptakan pendapatan nasional tidak mengalami perubahan yang berarti dan perubahan tersebut tidak konsisten sifatnya.
Pengamatan empiris menemukan bahwa pendapatan sektor tradisional lebih rendah dan terdistribusi secara sempit dibanding pendapatan perindustrian. Dalam kondisi ini Kuznets menyatakan bahwa, pengalaman suatu negara tertentu telah terbentuk pola antara pendapatan perkapita yang lebih tinggi dengan kesenjangan pendapatan yang tinggi.
Teori Kuznets selanjutnya menyatakan bahwa kebijakan redistribusi mengabaikan dampak terhadap pembangunan. Distribusi pendapatan dipandang sebagai faktor endogenus, sebagaimana yang dijelaskan teori sebagai an outcome of the development process. Sebaliknya pertumbuhan diperlakukan sebagai faktor eksogenus, tidak dijelaskan oleh teori dan tidak dipengaruhi secara khusus oleh distribusi pendapatan. Kondisi tersebut mengisyaratkan terbentuk hubungan kausal antara pertumbuhan dengan kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kesenjangan tetapi tidak sebaliknya (kesenjangan tidak mempengaruhi pertumbuhan).
Dari pernyataan di atas model Kuznets dirumuskan sebagai berikut :
INEQ = a1 + b1 (LogYi ) + c1 (LogYi )2 + Ui (2.6)
INEQ = Inequality
Log Y = Log pendapatan perkapita
a = Konstanta
b dan c = parameter
U = faktor pengganggu.
Banyak penelitian dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis Kuznets tersebut. Hipotesis Kuznets banyak mendapat perhatian dalam literatur-literatur pembangunan, pertumbuhan dan distribusi pendapatan (Rati Ram, 1995). Ide Kuznets lebih lanjut dikembangkan oleh Robinson (1976), fokus pada pergeseran individu-individu dari sektor pertanian ke sektor industri. Dalam kasus ini sektor pertanian (desa) pada awalnya mempunyai kontribusi yang besar dalam ekonomi, yang ditandai dengan pendapatan perkapita yang rendah, tingkat kesenjangan antar individu dalam sektor rendah. Sedangkan sektor industri pada awalnya peranannya kecil, dengan pendapatan perkapita lebih tinggi, dengan tingkat kesenjangan dalam sektor relatif tinggi (Barro, 1999).
Pertumbuhan ekonomi yang diwarnai dengan perpindahan individu dari sektor pertanian ke sektor industri, diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita individu yang pindah dari sektor pertanian ke sektor industri. Kenaikan pendapatan perkapita tersebut berakibat meningkatnya kesenjangan pendapatan secara keseluruhan. Dari sini dapat dikatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap kesenjangan. Perpindahan pekerja dari sektor pertanian ke sektor industri berdampak pada penurunan jumlah tenaga kerja disektor pertanian, disisi lain pekerja-pekerja sektor pertanian yang miskin dimungkinkan bekerja di sektor industri yang relatif kaya. Banyak diantara mereka yang mengalami peningkatan pendapatan sebagai akibat kenaikan upah. Kombinasi tersebut menurunkan indeks kesenjangan, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap kesenjangan. Kondisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan yang demikian inilah yang akhirnya disebut dengan Hipotesis U terbalik Kuznets.
Ukuran Kesenjangan Pendapatan (skripsi dan tesis)
Ada beberapa ukuran yang
sering digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan yaitu Kurve
Lorenz, Indeks Gini, Theil Indeks, dan L-Indeks.
Kurva Lorenz
Kurve Lorenz mengukur
kesenjangaan pendapatan dengan menggunakan data pendapatan dan populasi. Tingginya kesenjangan ditentukan pertama-tama dengan melakukan perengkingan individual atas dasar pendapatan. Langkah selanjutnya menarik
garis dari individu yang berpendapatan terendah ke tingkat pendapatan yang
tertinggi, dan Kurva Lorenz
adalah plot proporsi total pendapatan dalam masyarakat (gambar 2.1)
Bank Dunia mengukur tinggi
rendahnya ketimpangan dengan mendasarkan pada distribusi pendapatan yang
diterima oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan terendah. Ketimpangan
pendapatan diklasifikasikan menjadi :
a) tinggi jika
40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima pendapatan kurang dari 12
persen, b) sedang ketimpangan dikatakan sedang jika 40 persen
penduduk berpendapatan terendah menguasai 12 sampai 17 persen bagian
pendapatan, c) rendah, ketimpangan
dikatakan rendah jika 40 persen penduduk berpendapatan terendah menerima lebih
dari 17 persen bagian pendapatan (BPS; 1994).
Indeks Gini
Ide dasar Indeks Gini
diturunkan dari Kurva Lorenz.
Indeks Gini diperoleh dari rasio antara luas area A, (luas area antara garis
lurus OP dengan kurva OP)
dengan luas area OQP.
Persamaan Indeks Gini G = 1
- ∑[ ( Pi -
Pi - 1 )/ ( Yi - Yi – 1 )] (2.1)
G =
Indeks Gini
Pi =
Populasi kumulatif grup i
Yi
= Pendapatan kumulatif
grup i
Indeks Gini berkisar antara nol sampai
satu. Indeks Gini nol berarti terjadi distribusi pendapatan yang merata
sempurna artinya setiap golongan penduduk menerima pendapatan yang sama.
Sebaliknya, Indeks Gini satu,
berarti terjadi ketimpangan distribusi pendapatan sempurna. Semua pendapatan
hanya dikuasai oleh satu orang (kelompok). Semakin tinggi Indeks Gini berarti
ketimpangan pendapatan semakin tinggi juga. Ketimpangan dikatakan tinggi bila
Indeks Gini berada antara 0,50 – 0,70, rendah jika Indeks Gini kurang dari 0,20
(Todaro, 2004).
Theil Index.
Theil indeks sebagai ukuran ketimpangan mempunyai kelebihan tertentu.
Pertama, Theil Indeks dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan
pendapatan dalam daerah maupun antar daerah yang satu dengan daerah yang lain sehingga cakupan
analisa menjadi lebih luas (Sjafrizal, 2008). Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat dihitung kontribusi
masing-masing daerah terhadap ketimpangan pendapatan secara keseluruhan
sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang lebih penting. Semakin tinggi nilai T semakin tinggi
kesenjangan antar daerah.
L-Indeks
Indeks ini diformulasikan oleh
Bourguignon, dengan pertimbangan Indeks Gini tidak dapat dipecah-pecah.
L-Indeks dapat dipecah menjadi dua yaitu within
group inequality dan between group inequality. Adapun
formulasi L-Indeks sebagai berikut (Sritua Arif , 2006)
n n
L = Log
( 1/n ∑ Yi ) – 1/n ∑Log Yi
(2.3)
i = 1 i = 1
Yi =
Pendapatan perkapita menurut kelompok pendapatan i
n =
Jumlah kelompok dalam golongan pendapatan i
Formulasi L tersebut mendasarkan pada Laplace Distribution Indeks, yang
mengukur suatau kemencengan observe dari
rata-ratanya. Dalam pengukuran kesenjangan pendapatan Bourguignon mengartikan
kesenjangan dalam sektor sebagai totalitas (jumlah) hasil perkalian L dengan
proporsi tenaga kerja kelompok pendapatan tertentu dalam suatu golongan.
Sedangkan kesenjangan antar sektor dihitung sebagai totalitas hasil perkalian L
dengan ratio proporsi tenaga kerja dengan proporsi pendapatan kelompok (Laplace
Distribution-Wikipedia, The Free Encyclopedia).
Pengembangan tersebut
menghasilkan rumus:
m m
L-Indeks
= ∑ Wj Lj + ∑ Wj Log Wj /Vj (2.4)
j =1 j =1
m
∑ Wj
Lj = menunjukkan
komponen Within Inequality.
j =1
m
∑ Wj
Log Wj /Vj =
menunjukkan komponen Between Inequality
j =1
Wj =
Sumbangan jumlah penduduk atau pekerja menurut kelompok pendapatan j.
Vj = Sumbangan jumlah pendapatan menurut
kelompok penerima pendapatan j
M =
Jumlah kelompok penerima pendapatan (j = 1,2,3...........m).
L-Indeks =
Kesenjangan sektoral dengan metode L indeks.
L-Indeks bergerak antara 0 – 1, L-Indeks = 0
berarti pendapatan terdistribusi merata
sempurna (tidak terjadi kesenjangan), Jika L-Indeks = 1 berarti terjadi
kesenjangan pendapatan yang sempurna. Semakin tinggi L-Indeks semakin tinggi
kesenjangan.
Konsep Kesenjangan Pendapatan (skripsi dan tesis)
Kesenjangan pendapatan merupakan ketidakseimbangan pendapatan yang diterima oleh seseorang atau kelompok yang satu dibanding dengan kelompok yang lain (Basukianto, 2009). Kesenjangan berkaitan dengan masalah distribusi pendapatan yaitu siapa yang menikmati hasil pembangunan dan seberapa besar seseorang atau sekelompok orang menguasai pendapatan. Sebagai sasaran utama distribusi adalah bagaimana supaya hasil pembangunan dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat, dalam arti sebagian besar pendapatan nasional dikuasai oleh sebagian besar masyarakat, tidak hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat. Manakala pendapatan terbagikan secara merata kepada seluruh penduduk di wilayah tersebut, maka dikatakan distribusi pendapatannya merata, sebaliknya apabila pendapatan regionalnya terbagi tidak secara merata dikatakan ada ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Ketimpangan terjadi bila pendapatan nasional hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat, oleh karena itu pemikiran-pemikiran kearah distribusi yang lebih merata diperlukan.
Kenyataan bahwa pembangunan di negara-negara berkembang lebih terarah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang optimal mendasari pemikiran mengenai konsep pemerataan. Pertumbuhan ekonomi dapat dicapai apabila jumlah produk nasional bruto meningkat lebih cepat dari pertambahan penduduk. Pertambahan produk nasional bruto dapat optimum apabila faktor produksi ikut bertambah, sehingga orientasi pembangunan terarah pada bagaimana menggerakkan modal dalam aktivitas produksi. Kebijakan pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ternyata banyak menimbulkan masalah terlebih bagi negara-negara yang sedang berkembang, sehingga perlu pemikiran tentang pemerataan pendapatan.
Pembahasan tentang kesenjangan pendapatan sebagaimana tersebut di atas tidak terhenti pada mashab tertentu saja, tetapi sampai sekarang kesenjangan pendapatan masih merupakan isu kebijakan publik yang penting khususnya di negara-negara yang melakukan industrialisasi, karena banyak negara yang mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan (Wenner and Stephen, 1998).
Subscribe to:
Comments (Atom)