Dalam praktik sehari-hari kita mengobati pasien dengan penyakit A dengan memberikan obat B, dan memintanya kembali kontrol 1 minggu kemudian. Bila semua gejala dan tanda yang semula ada menjadi hilang, maka pasien dinyatakan sembuh. Pertanyaan apakah kesembuhan tersebut semata-mata disebabkan oleh penggunaan obat B? Jawabnya adalah tidak. Karena selain obat B, ada 3 hal lain yang dapat menyebabkan pasien sembuh atau dinyatakan sembuh, yakni:
Pertama adalah memang perjalanan penyakitnya seperti itu, dengan atau tanpa obat ia memang akan sembuh dalam waktu 1 minggu (natural history of the disease atau prognostic factors);
Kedua, pasien minum obat lain, minum jamu, atau melakukan diet, atau istirahat cukup dan seterusnya (faktor-faktor ekstra atau extraneous factors);
Ketiga adalah kriteria sembuh atau luaran yang dipergunakan (pengukuran outcome, measurement). Dalam membandingkan hasil intervensi di antara dua kelompok yakni kelompok eksperimental (E) dan kelompok kontrol (C), maka ketiga hal yang disebut di atas harus setara atau sebanding.
Setara dalam faktor prognostik. Kedua kelompok harus benarbenar sebanding dalam hal faktor prognostik; tidak boleh salah satu kelompok memiliki derajat penyakit yang lebih berat, atau kadar kolesterol yang lebih tinggi, usia lebih tua, atau status gizi lebih buruk, dan seterusnya dibanding kelompok lainnya.
Untuk dapat memperoleh 2 kelompok yang sebanding, proses yang diperlukan adalah randomisasi. Randomisasi apabila dilakukan dengan benar dan melibatkan cukup banyak subyek cenderung untuk membagi sama rata faktor prognostik dan sekaligus juga pelbagai faktor perancu (confounding variables) kedua kelompok.
Setara dalam perlakuan. Semua subyek pada kedua kelompok harus diperlakukan sama, kecuali untuk pemberian obat atau prosedur yang diteliti. Tidak boleh misalnya subyek kelompok E memperoleh perhatian yang lebih baik, diberi tempat perawatan lebih nyaman, atau ditambah dengan diet atau obat tambahan, sedang kelompok kontrol tidak. Perlakuan yang sama ini dapat dijamin dengan penyamaran (masking, blinding). Pada cara ini satu atau lebih pihak yang terkait dalam uji klinis (peneliti, subyek, evaluator, petugas laboratorium, dll) dibuat tidak tahu jenis terapi yang diberikan. Bila dapat dilakukan penyamaran ganda (peneliti dan subyek tidak tahu obat / prosedur yang diberikan kepada subyek) maka kesahihan uji klinis amat baik.
Setara dalam pengukuran luaran / outcome. Bila luaran uji klinis adalah “data keras” seperti meninggal atau hidup, atau hasil laboratorium yang dilakukan dengan mesin automatis yang terstandar, maka proses penyamaran tidak (terlalu) diperlukan. Namun apabila luarannya bersifat subyektif (nyeri, cemas, dan sebagainya) atau pemeriksaan yang memerlukan interpretasi (USG, foto Rontgen), maka sangat dianjurkan untuk dilakukan blinding atau penyamaran. Bila pada uji klinis kesetaraan dalam ketiga hal tersebut dapat dilakukan (yakni dengan randomisasi dan penyamaran), maka apabila terdapat perbedaan luaran antara kelompok eksperimental dan kelompok kontrol, satusatunya penyebab adalah perbedaan intervensi. Dengan demikian maka desain terbaik untuk uji klinis adalah uji klinis dengan randomisasi dan penyamaran ganda (randomized double blind clinical trial). Bila jumlah subyek cukup banyak, maka randomisasi dapat dilakukan pada semua uji klinis, namun penyamaran tidak selalu dapat dilakukan, misalnya uji klinis yang membandingkan efektivitas obat dibandingkan dengan operasi untuk penyakit atau kondisi kesehatan tertentu. Validitas suatu uji klinis ditentukan juga oleh kelengkapan subyek yang mengikuti sampai akhir penelitian (completeness of follow-up); umumnya bila jumlah subyek yang mengikuti sampai akhir penelitian kurang dari 80%, maka uji klinis dianggap tidak valid. Luaran uji klinis terbanyak adalah variabel berskala numerik (misal kadar kolesterol, berat badan, tekanan darah) atau variabel nominal dikotom misalnya meninggal atau hidup, sembuh atau tidak sembuh, kenaikan / penurunan berat badan.
No comments:
Post a Comment