Menurut Luthan dalam (Nurandini & Lataruva, 2014), Komitmen
organisasional adalah keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi
tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai dengan keinginan organisasi,
serta keyakinan tertentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan
kata lain merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada
organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi
mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta
kemajuan yang berkelanjutan. Komitmen organisasional didefinisikan sebagai
loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Komitmen organisasional dipandang
sebagai keadaan dimana seorang karyawan sejalan pada tujuan organisasi
(Novita et al., 2016).
Menurut Allen dan Mayer dalam (Riadi, 2017), terdapat tiga bentuk
dimensi komitmen organisasional, yaitu:
1. Komitmen afektif (Affective commitment)
Komitmen ini berfokus pada ikatan emosional yang dirasakan anggota
dengan organisasi. Orang ingin tetap bekerja untuk organisasi itu karena
mereka memiliki nilai dan tujuan yang sama. Orang-orang dengan tingkat
komitmen emosional yang tinggi ingin tetap bersama organisasi karena
mereka percaya pada misinya dan bersedia untuk terjun ke mana pun
mereka bisa untuk melihatnya berhasil.
2. Komitmen berkelanjutan (Continuance commitment)
Komitmen ini memperhitungkan keinginan pekerja untuk tetap berada di
organisasi mereka saat ini karena tersedianya analisis biaya-manfaat yang
membandingkan nilai ekonomi dari bertahan dengan meninggalkan.
Sebanding dengan berapa lama mereka tetap dipekerjakan oleh perusahaan,
para pekerja khawatir akan kehilangan waktu dan usaha yang telah mereka
keluarkan untuk membangun perusahaan hingga saat ini.
3. Komitmen normatif (Normative commitment)
Komitmen ini mempertimbangkan perasaan kewajiban karyawan untuk
tetap bersama organisasi meskipun ada tekanan dari sumber luar. Pekerja
dengan tingkat komitmen normatif yang tinggi akan sangat memperhatikan
apa yang dikatakan tentang mereka setelah mereka keluar dari organisasi.
Mereka tidak ingin membuat rekan kerja mereka kecewa kepada mereka,
dan mereka khawatir akan membentuk kesan negatif terhadap mereka
sebagai akibat dari keputusan mereka untuk mengubah diri mereka.
Dampak komitmen organisasional menurut Sopiah dalam Priansa
(2016) dapat ditinjau dari dua sudut yaitu:
1. Ditinjau dari Sudut Organisasi
Karyawan dengan komitmen rendah akan berdampak pada turnover,
absensi, kualitas pekerjaan yang dihasilkan rendah, dan loyalitas terhadap
organisasi menurun. Ketika komitmen karyawan rendah, dapat
menyebabkan kinerja yang buruk, seperti tindakan yang mencederai
reputasi perusahaan, kehilangan kepercayaan pelanggan, dan berdampak
luas, seperti pemotongan anggaran perusahaan.
2. Ditinjau dari Sudut Pegawai
Komitmen pegawai yang tinggi akan berdampak pada peningkatan
karirnya.
Faktor-faktor yang memperngaruhi komitmen organisasional menurut
Dyne dan Graham dalam Priansa (2016):
1. Faktor Personal
Pada faktor personal meliputi ciri kepribadian tertentu dari karyawan, usia
dan masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan
keterlibatan kerja. Ciri-ciri kepribadian tertentu yang dimiliki karyawan
seperti teliti, ekstrovert, berpandangan positif, cenderung lebih komit pada
perusahaan. Karyawan yang masa kerja dan berusia lebih tua akan lebih
berkomitmen terhadap perusahaan dibandingkan karyawan yang lebih
muda dengan masa kerja yang lebih pendek. Selain itu, semakin tinggi
tingkat pendidikan seorang pegawai, maka semakin besar pula risiko tidak
terpenuhinya harapan sehingga menurunkan komitmennya. Pegawai yang
menikah lebih terikat dengan organisasinya karena pegawai tersebut
mempunyai kebutuhan yang lebih tinggi dibandingkan pegawai lajang,
sehingga status perkawinan mempengaruhi komitmen pegawai terhadap
organisasi.
2. Faktor Situasional
Pada faktor situasional meliputi nilai di tempat kerja, keadilan organisasi,
karakteristik pekerjaan, dan dukungan organisasi. Nilai-nilai yang
dibagikan oleh perusahaan kepada karyawan sangat mempengaruhi
hubungan saling keterikatan karyawan. Keadilan organisasi mencakup
keadilan yang berkaitan dengan keadilan dalam alokasi sumber daya,
keadilan dalam proses pengambilan keputusan, dan keadilan dalam
persepsi menjaga hubungan antar individu. Jerigan dan Beggs mengatakan
kepuasan terhadap otonomi, status, dan kebijakan merupakan indikator
penting partisipasi. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat
meningkatkan tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap rasa
organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif
dengan komitmen organisasional.
3. Faktor Posisional
Faktor posisi meliputi masa kerja dan tingkat pekerjaan. Selain itu, peluang
investasi pribadi dalam bentuk pikiran, tenaga, dan waktu yang meningkat,
hubungan sosial menjadi lebih bermakna, dan akses terhadap informasi
pekerjaan baru semakin berkurang. Berbagai penelitian menyebutkan
status ekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat.
No comments:
Post a Comment