Terdapat beberapa faktor
penyebab terjadinya kekurangan dalam pelaksanaan diskresi dalam kepolisian,
yaitu[1]:
a.
Manajemen yang
berorientasi task oriented.
Gaya manajemen yang
terlalu berorientasi kepada tugas (task-oriented) menyebabkan
pegawai menjadi tidak termotivasi untuk menciptakan hasil yang nyata dan
kualitas pelayanan yang prima. Formalitas dalam rincian tugas organisasi
menuntut keseragaman yang tinggi. Akibatnya para aparat kepolisian menjadi
takut berbuat salah dan cenderung menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya sesuai
dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), walaupun
keadaan yang ditemui dalam kenyataan sangat jauh berbeda dengan peraturan-peraturan
teknis tersebut.[2]
Adanya ketakutan aparat kepolisian untuk mengambil tindakan yang berbeda dari
yang telah digariskan oleh aturan yang ada menjadi alasan yang kuat kenapa
diskresi tidak dilakukan. Tidak seperti di negara lain yang lebih maju sistem
administrasi kepolisiannya.
b.
Adanya budaya
patron klien
Budaya patron-klien yang
masih melingkupi pelaksanaan tugas dari kepolisian. Budaya kepolisian
di Indonesia banyak mengadopsi budaya jawa yang hierarkis, tertutup,
sentralistis, dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan sebagai pihak yang
harus dihormati. Dalam konteks demokrasi pelayanan kepolisian diIndonesia,
hubungan tersebut diterjemahkan oleh bawahan sebagai mendahulukan kepentingan
pimpinan diatas segalanya.[3]
Sesuai dengan akar budaya lama, raja adalah segalanya dan masyarakat adalah
abdi. Dalam konteks budaya paternalistik adalah berupa atasan yang memiliki
kekuasaan yang besar dan sanggup memberikan apapun bagi bawahannya, sehingga
bawahan akan memberikan apapun loyalitas dan pengabdian yang penuh bagi
atasannya. Sehingga loyalitas yang seharusnya diberikan kepada masyarkat
menjadi milik atasan.
Hal ini akan sangat
berpengaruh baik terhadap atasan maupun bawahan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Atasan akhirnya tidak memahami apa realitas sebenarnya yang
terjadi pada masyarakat, pelayanan seperti apa yang mereka inginkan. Karena
informasi yang masuk kepadanya hanya berupa informasi yang baik-baik saja
dari bawahan agar atasan menjadi senang. Sedangkan bagi bawahan, menjadikan
atasan sebagai patron akan membuatnya tidak berani mengambil tindakan,
rasa pakewuh, takut melangkahi dan akhirnya tidak melakukan
tindakan apapun. Dalam pelayanan kepolisian sikap menganggap atasan sebagai
segalanya menjadikan pelayanan menjadi tidak efisien. Tidak hanya menghabiskan
energi waktu saja, dari segi biaya semakin besar rupiah yang harus dikeluarkan
masyarakat.
c.
Minimnya reward
Reward yang tidak jelas dari aparat kepolisian ketika ia
mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Reward disini
dapat berupa penghargaan ataupun bentuk penghormatan, namun dapat juga
diartikan sebagai mendapatkan insentif. Tidak adanya sistem insentif yang
secara efektif mampu mendorong para pejabat kepolisian untuk bekerja secara
efisien dan profesional ikut memberikan kontribusi terhadap kegagalan
kepolisian dalam membangun kinerja yang baik. Dalam diskresi beban berat yang
pasti muncul terlebih dahulu adalah tidak sesuai dengan aturan. Apapun
bentuknya yang dilakukan oleh aparat kepolisian ketika kebijakan yang dia buat
itu menghasilkan kebijakan yang akuntabel dan efisien terhadap pengguna
jasanya, namun hal tersebut tidak sesuai dengan aturan yang telah ada, yang dia
lakukan adalah salah. Inilah pemahaman yang selalu muncul dalam benak para
aparat kepolisian ketika ia ingin melakukan diskresi, jangankan mendapatkan
penghargaan atas hasil kerjanya. Yang paling minimal ia akan mendapat sikap
yang tidak enak dari teman sejawat ataupun dimarahi oleh atasan. Lebih parah
lagi ketika diskresi yang dilakukan oleh seorang aparat kepolisian itu
membawanya ke pintu penjara.
Namun disisi lain seharusnya diciptakan suatu
sistem dimana pelaksanaan diskresi masuk dalam perhitungan kinerja sehingga
mendapatkan pengargaan/reward yang sepantasnya. Hal yang sangat naif, ketika
seorang memang berbuat untuk kepolisian yang sebenarnya bukan malahan
mendapat reward.
d.
Sumber Daya
Aparatur (kompetensi)
Rendahnya kualitas
pendidikan dari para aparat kepolisian sangat berpengaruh terhadap pelayanan
yang ia berikan. Diskresi itu penting untuk dilakukan jika aparat memahami apa
yang ia lakukan. Untuk itu wacana keilmuan dari aparat baik melalui pendidikan
formal ataupun informal juga merupakan suatu keharusan. Kebijakan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat kepolisian melalui
dukungan pada studi lanjut aparat ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
seperti S1 dan S2, perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari komitmen
pengembangan pegawai. Selain itu, dengan mengikutsertakan pegawai pada
program-program pelatihan mengenai dasar-dasar manajemen organisasi terbuka,
kepemimpinan dan penerapan model organisasi adaptif diharapkan dapat
meningkatkan penguasaan mereka akan konsep-konsep pelayanan kepolisian yang
baik.
No comments:
Post a Comment