Penerapan hukum
terhadap suatu pola tindak atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia
bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keadilan
bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan
tetapi untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat tidak dapat
terlepas dari pemikiran hukum yang diterapkan dan institusi yang diberikan
kewenangan untuk melakukan penegakan hukum.
Dalam
perkembangannya penegakan hukum di Indonesia maka paradigma positivism dalam
ilmu hukum menekankan pada metode yang lebih melihat pada rumusan teks
pasal-pasal peraturan yang dipandang netral, objektif dan imparsial, bebas
konteks dan menekankan pada realitas empiric yang berupa perilaku yang bisa
ditangkap panca indra dan dipandang bebas nilai, sebagaimana Esensi ajaran
Teori hukum John Austin yang menyebutkan bahwa hukum adalah perintah pihak yang
berdaulat. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian, yaitu yang
diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. [1]
Pada paradigma
positivistik sistem hukum tidak memberikan ruang keadilan bagi masyarakat,
melainkan adalah kepastian hukum semata. Kepastian hukum yang dimaksud adalah
merupakan implementasi dalam penegakannya sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku dalam Negara ini , sehingga Paradigma positivistik berpandangan, demi
kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Artinya masyarakat
dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib
masyarakat merupakan suatu keharusan.
Sedangkan pemahaman
hukum menurut Hukum Progresif menegaskan: “Hukum adalah suatu institusi yang
bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia.” Berangkat dari definisi tersebut, terdapat 2 (dua)
pokok penekanan Hukum Progresif yaitu: hukum merupakan institusi atau alat dan
hukum memiliki tujuan agar adil, sejahtera dan bahagia. Posisi manusia dalam
definisi tersebut lebih menjadi ‘tuan’ yang dilayani oleh hukum agar dapat menikmati
keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Seperti halnya sebuah alat apabila
tidak lagi berfungsi dengan baik (yang diukur dari hasil yang ditunjukkan) maka
alat itu pun dapat dibuang oleh sang ‘tuan’ yaitu manusia. Dalam konsep hukum progresif,
posisi manusia menjadi sentral utama dalam menilai hukum apakah benar dan baik
ataukah sebaliknya. [2]
Karakteristik
dari hukum progresif, mencakup[3]:
1) Hukum
progresif merupakan tipe hukum
responsif, sekaligus menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat
diganggu gugat;
2) Hukum
progresif peduli terhadap hal-hal yang bersifat meta-yuridical dan mengutamakan
“the search for justice”;
3) Hukum
progresif juga mengidealkan agar hukum dinilai dari tujuan sosial dan akibat
dari bekerjanya hukum;
4) Hukum
progresif menghadapkan mukanya kepada “completenss,
adequacy, fact, actions and powers”. Oleh sebab itu, hukum progresif ingin
membongkar tradisi pembuatan putusan hakim atas dasar konstruksi semata. Hal
demikian perlu dilakukan agar hukum sesuai dengan kebutuhan hidup yang nyata
dari masyarakatnya;
5) Hukum
progresif mengandung substansi kritik terhadap pendidikan hukum, pembuatan,
pelaksanaan sampai dengan penegakan hukum;
6) Hukum
progresif menempatkan faktor manusia lebih penting dan berada di atas
peraturan. Unsur pada manusia seperti compassion,
emphaty, sincerety, edification, commitment, dare dan determination,
dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada.
Hukum progresif menempatkan konsep progresivisme untuk
menampung segala aspek yang berhubungan dengan manusia dan hukum, baik pada
saat ini maupun kehidupan ideal di masa mendatang. Konsep progresivisme tersebut mencakup pandangan, sebagai berikut:
a. Manusia
sejak awal memiliki sifat-sifat baik. Atas dasar sifat demikian, maka hukum
progresif berkewajiban untuk mendorong
berkembangnya potensi kebaikan, sehingga hukum berfungsi sebagai alat untuk
menyebarkan rahmat kepada manusia dan dunia seisinya;
b. Hukum
progresif merupakan konsep hukum yang sarat moral. Moralitas itu ditujukan
untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Kandungan
moral itu menjadikan hukum progresif
peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia
maupun hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dengan kepekaan itu, ketika
berhadapan dengan perubahan yang negatif, hukum progresif tampil dengan keberanian untuk membebaskan
manusia dari situasi buruk dan terpanggil untuk melindungi serta menjaga agar
bangsa Indonesia berada pada ideal hukum. Situasi buruk yang actual dihadapi
bangsa Indonesia pada saat akhir-akhir ini tidak lain adalah dominasi tipe
hukum liberal.
c. Hukum
progresif menolak keadaan status quo, apabila keadaan tersebut menimbulkan
dekadensi, suasana korup dan merugikan kepentingan rakyat. Watak demikian
menjadikan hukum progresif semakin berani dan kreatif dalam mencari dan
menemukan format, pikiran, asas serta aksi-aksi yang tepat untuk mengubah
keadaan status quo tersebut. Apabila diperlukan, keberanian itu ditunjukan
dengan melakukan ‘rule breaking’ terhadap hukum positif yang nyata-nyata cacat
dan tidak berpihak kepada rakyat ataupun melakukan rule making dalam rangka
mengatasi kekurangan dan kekosongan hukum yang diperlukan untuk mewujudkan
keadilan substansial.
No comments:
Post a Comment