Manusia
dalam hidupnya selalu mempunyai kepentingan, baik untuk kepentingan dirinya
sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain, dan sudah menjadi manusiawi bahwa,
manusia menginginkan kepentingannya tidak terganggu oleh pihak manapun.
Sebagaimana dikatakan mertokusumo, “sejak manusia itu menyadari bahwa
kepentingan-kepentingannya selalu terancam atau terganggu oleh bahaya atau
serangan, baik dari alam maupun dari sesamanya dan memerlukan perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingannya”. [1]
Berdasarkan
pemaparan Sudikno di atas maka dapat kita simpulkan bahwa, dinamika di dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari sering diwarnai konflik antar individu
dengan lainnya, bahkan konflik yang terjadi itu seringkali tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak yang terkait. Konflik itu dapat merugikan
kepentingan-kepentingan baik kepentingannya sendiri maupun kepentingan pihak
lain. manusia yang telah dirugikan karena kepentingannya terganggu tersebut
menginginkan adanya suatu bentuk perlindungan tertentu untuk dapat menuntut
pemenuhan kepentingannya yang telah terganggu atau dirugikan tersebut melalui
aparatur penegak hukum untuk memberikan bantuan penyelesaian imparsial (secara
tidak memihak).
Pengertian
Perlindungan menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tantang
Perlindungan Saksi dan Korban adalah:
“Perlindungan
adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa
aman kepada saksi dan / atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini”.
Adapun
pengertian mengenai korban dicantumkan dalam pasal 1 angka 2 yakni, “seseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana”
Berdasarkan
kedua pengertian yang diamanatkan oleh Undang-undang tersebut di atas maka
dapat penulis simpulkan bahwa, seseorang korban dari tindak pidana pelecehan
sexsual seyogyanya dapat dilindungi hak-haknya dalam proses peradilan pidana.[2]
Bahkan bukan hanya perlindungan fisik dan psikis, tetapi diberikan hak
kompensasi dan restitusi. Sebagaimana dikatakan Lili: “korban pelecehan sexsual
seharusnya mendapatkan perlindungan dan restitusi, selain pemberian
perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga
berhak mengajukan upaya restitusi, agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti
kerugian terhadap korban dan keluarga korban".[3]
Berdasarkan
hal di atas, maka dalam pembaharuan KUHAP seharusnya mengakomudir hal-hal yang
berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana pelecehan sexsual, baik
berupa perlindungan fisik, psikis, kompensasi dan restitusi. Hal ini
dimaksudkan agar dapat menanggulangi tindak pidana pelecehan sexsual yang
akhir-akhir ini semakin marak diberitakan.
No comments:
Post a Comment