Daerah
rawa dapat didefinisikan sebagai daerah yang selalu tergenang atau pada waktu
tertentu tergenan karena jeleknya ataupun tidak adanya sistem drainase alami.
Rawa adalah lahan dengan kemiringan relatif datar disertai dengan adanya
genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus menerus atau
semusim akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunayi ciri fisik:
bentuk permukaan lahan cekung, kadang – kadang bergambut, ciri kimawi: derajat
keasaman airnya terendah dan ciri biologis: terdapat ikan – ikan rawa, tumbuhan
rawa, dan hutan rawa. Rawa dibedakan kedalam 2 jenis, yaitu pasang surut yang
terletak di pantai atau dekat pantai, dimuara atau dekat muara sungai sehingga
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut dan rawa non pasang surut atau rawa
pedalaman atau rawa lebak yang terletak lebih jauh dari pantai sehingga tidak
dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut.
Lebih
jauh rawa juga mempunyai fungsi lingkungan antara lain sebagai pengendali
banjir, pengendali kekeringan, pengendali pencemaran lingkungan, dan penghasil
bahan bakar (kayu arang, gambut). Nilai dan peranan lahan rawa sekarang semakin
diyakini potensi dan perannya dalam mendukung pembangunan. Keseluruhan lahan
rawa yang telah dibuka ditaksir sekitar 6 juta hektar, diantaranya dibuka oleh
masyarakat secara swadaya sekitar 4 juta hektar dan pemerintah sekitar 2 juta,
termasuk kawasan PLG Kalimantan Tengah. Dari keseluruhan lahan rawa yang
dibuka, tidak termasuk lahan sejuta hektar, baru sekitar 1,53 juta hektar yang
ditanami, sebagian besar untuk tanaman pangan diantaranya 0,80 juta hektar
berupa sawah pasang surut dan 0,73 hektar berupa sawah lebak.
Dari
keseluruhan lahan yang telah dibuka oleh pemerintah tercatat baru dimanfaatkan
sekitar 1 ,5 juta hektar, di antaranya 0,80 juta hektar berupa lahan pasang
surut dan 0,73 hektar berupa lahan lebak dan secara fungsional yang digunakan
untuk pertanian sekitar 1 ,2 juta hektar, masing-masing 0,689 juta sebagai
sawah, 0,231 juta hektar sebagai tegalan, dan 0,261 juta hektar untuk
pemanfaatan lainnya.
Sejarah
pemanfaatan rawa dilatarbelakangi oleh kondisi kekurangan pangan yang dialami
Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.lmpor beras Indonesia pada masa itu mencapai hampir 20% dari pangsa yang
diperdagangkan di pasar dunia sehingga secara murad (significant) mengurangi
peruntukan dana pembangunan.
Komitmen
pemerintah terhadap pengembangan rawa dimulai sejak tahun 1968 yang
merencanakan membuka sekitar 5 juta hektar lahan rawa di Kalimantan dan
Sumatera selama 15 tahun. Rencana pengembangan terhadap lahan yang dibuka ini
kebanyakan tidak dilanjuti secara optimal dan semakin terancam menjadi lahan
telantar atau bongkor (sleeping land). Luas lahan rawa yang menjadi
lahan bongkor ini diperkirakan mencapai antara 60-70% atau 600 ribu hektar
(Maas, 2003). Tingkat kesejahteraan kehidupan petani di lahan rawa juga
terlihat masih memprihatinkan karena produktivitas kerja dan hasil produksi
pertanian yang dapat dicapai masih rendah.
Produktivitas
tanaman yang dapat dicapai di lahan rawa tergantung pada tingkat kendala dan
ketepatan pengelolaan. Namun seperti pada umumnya petani, penanganan pasca
panen, termasuk pengelolaan hasil masih lemah, terkait juga dengan pemasaran
hasil yang terbatas sehingga diperlukan dukungan kelembagaan yang baik dan
profesional serta komitmen pemerintah propinsi/kabupaten dalam rangka
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani rawa.
Pengembangan
lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan gatra lingkungan yang sangat
rumit karena hakekat rawa selain mempunyai fungsi produksi juga fungsi
lingkungan. Apabila fungsi lingkungan ini menurun maka fungsi produksi akan
terganggu. Oleh karena itu perencanaan pengembangan rawa harus dirancang
sedemikian rupa untuk memadukan antara fungsi lahan sebagai produksi dan
penyangga lingkungan agar saling menguntungkan atau konpensatif. Rancangan
semacam inilah yang memungkinkan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan di
lahan rawa.
No comments:
Post a Comment