Terjadinya
korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan
birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya
sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan
dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor lainnya menurut Fadjar adalah
tindak lanjut dari setiap penemuan pelanggaran yang masih lemah dan belum
menunjukkan “greget” oleh pimpinan instansi.[1]
Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa alasan
yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan
penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang
memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat
yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada
atasan.
Menurut Arifin faktor-faktor penyebab
terjadinya korupsi adalah[2]:
(1) aspek
prilaku individu organisasi
Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan
korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai
keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong
untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang
kurang kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup
yang wajar, (d) kebutuhan hiduop yang mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f)
tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-ajaraan agamaa kurang diterapkan secara
benar.
(2) aspek organisasi,
Organisasi
dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena
membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal, 2000). Bila mana
organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk
melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab
terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang
adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya
(2) aspek
peraturan perundangan
Tindakan korupsi mudah timbul
karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat
mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya
menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan
perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d)
sangsi yang terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan
pandang bulu, (f) lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan
perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk menanggulangi kelemahan ini
telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong para pembuat
undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang
secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.
Lembaga-lembaga ekskutif
(Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek korupsinya tidak
selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para
pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal
penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham
kekuasaannya lewat proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya
bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara bersama-sama dengan DPRD,
Bupati/Walikota membuat kebijakan yang
koruptif yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega,
keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan
dan pengusaha kepada pejabat publik yang
berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang
mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas
usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya
menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari
kasus ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika
aspek peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak
tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk yang menyatakan
bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk
melakukan tindak pidana korupsi.[3]
Sementara
menurut Lutfhi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif,
baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya
pengawasan. [4]
No comments:
Post a Comment