Saturday, July 20, 2019

Gaya Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)

Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan.  Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.  Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan yaitu:
  1. Competitive (kompetitif)
Kompetitif merupakan perilaku asertif dan tidak kooperatif yang terwujud dari adanya unsur persaingan antar individu. Dalam model kompetitif, individu cenderung agresif, memaksakan kehendak dan berusaha untuk menang tanpa ada keinginan untuk menyesuaikan tujuan dan keinginannya terhadap orang lain. Individu saling melawan dengan memerlihatkan keunggulan masing-masing.
  1. Collaboration (kerjasama)
Kerjasama merupakan sikap bekerjasama dengan tujuan mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi, sehingga memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya pengelolaan konflik dengan menggunakan kerjasama memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.


  1. Compromising (kompromi)
Kompromi merupakan gaya mengelola konflik tingkat menengah, dimana gaya ini berada di antara gaya kompetisi dan gaya kolaborasi. Kompromi dapat berarti saling mengurangi tuntutan masing-masing pihak, serta saling berkoordinasi untuk menyelesaikan konflik dengan cara membuka pikiran untuk berbicara, berunding, memberikan informasi tentang situasi kepada pihak bersangkutan dan mencari model penyelesaian konflik yang baik di antara kedua belah pihak.
  1. Avoiding (menghindar)
Menghindar memiliki tingkat keasertifan dan kerja sama yang rendah. Kedua belah pihak terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Bentuk penghindaran tersebut berupa menjauhkan diri dari pokok permasalahan, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat, atau menarik diri dari konflik yang mengancam dam merugikan.
  1. Accommodation (akomodasi).
Akomodasi merupakan sikap cenderung mengesampingkan keinginan pribadi dan berusaha untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang lain. Gaya ini juga disebut dengan obliging style, dimana seseorang yang menggunakan gaya manajemen konflik ini akan berusaha untuk mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat dikelompokkan menjadi gaya manajemen konflik konstruktif yang meliputi collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance.
DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam pernikahan menjadi tiga macam, yakni:
  1. Avoidance
Metode pertama ini merupakan metode ketika pasangan menghadapi konflik dengan cara menghindar. Pasangan mencoba mencegah konflik dengan menghindari orang bersangkutan, situasinya dan atau hal-hal yang berhubungan dengan pemicu terjadinya konflik. Dengan menghindari penyebab masalah untuk sementara keadaan memang cukup tenang tetapi permasalahannya tidak akan selesai, masalah akan berlarut-larut dan dapat merusak hubungan.
Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan, secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya.
  1. Ventilation and catharsis
Metode menghadapi konflik yang kedua ini merupakan kebalikan dari avoidance, yaitu individu tidak menghindari konflik melainkan mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation berarti mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan catharsis dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan emosi dan perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya, dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan, seluruh emosi dan perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan yang lebih positif.
  1. Constructive and destructive
Metode konstruktif yaitu pasangan menghadapi masalah pernikahannya dengan lebih memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisasi emosi negatif, menaruh hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi lebih dekat.
Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.
Menurut Rubin (Lestari, 2014), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
  1. Bersifat konstruktif,
  • Negotiation atau tawar-menawar, ketika pihak-pihak berkonflik saling bertukar gagasan dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak,
  • Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik.
  1. Bersifat destruktif
  • Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis,
  • Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak menyerahkan kemenangan kepada pihak lain,
  • Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik,
  • Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik.
Dari berbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan terapis mengenali adanya gaya resolusi konflik yang digunakan individu dalam mengelola konflik.  Lerner (Olson & Olson, 2000) membedakan cara individu menyelesaikan konflik menjadi lima macam, yaitu:
  1. Pemburu/pursuer, adalah individu yang berusaha membangun ikatan lebih dekat. Individu dengan ciri ini akan berusaha untuk meningkatkan kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya.  Ketika terjadi konflik dalam interaksi, mereka akan dengan sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok masalah, berdiskusi untuk memahami perspektif masing-masing kemudian bernegosiasi untuk mencapai kompromi yang saling menguntungkan.  Dalam hal ini konflik dimaknai secara positif dan dikelola secara konstruktif.
  2. Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.  Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam yang beresiko menimbulkan gejala depresi.
  3. Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran, individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain.  Dalam taraf tertentu, cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan.
  4. Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya.  Tipe penakluk akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang beresiko memunculkan perilaku agresi.
  5. Pengutuk/blamer, adala individu yang selalu menyalahkan orang lain atau keadaan. Individu dengan ciri pengutuk akan menjadikan konflik sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang menjadi sebab perselisihan.  Individu demikian cenderung tidak mau mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan pada pihak lain atau keadaan.  Perilaku demikian beresiko memunculkan agresi.
Senada dengan Lerner, Kurdek (Lestari, 2014) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu penyelesaian masalah secara positif (positive problem solving; misalnya melakukan negosiasi dan perundingan), pertikaian (conflict engagement;  misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol), penarikan diri (withdrawal; misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari konflik), dan tunduk (compliance; misalnya selalu mengalah).

No comments:

Post a Comment