Wednesday, July 17, 2019

Perjanjian Dapat di Batalkan (Voidable atau Vernietigbaar) (skripsi dan tesis)

Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum.[1]
Terkait dengan batalnya suatu perjanjian yang disebabkan oleh unsur-unsur subjektif yang berkenaan dengan kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak, maka perjanjian yang dapat dibatalkan dapat dibagai ke dalam beberapa hal sebagai berikut:

a.      Terdapat Cacat Kehendak terhadap pihak yang membuatnya.

Secara eksplisit, KUHPerdata tidak menerangkan terkait dengan apa yang dimaksud dengan sepakat, melainkan terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai suatu keadaan yang dapat menghalangi kesepakatan tersebut sehingga perjanjian itu menjadi cacat hukum dan terancam dapat dibatalkan. Lebih tepatnya, keadaan tersebut termuat di dalam pasal 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328 KUHPerdata.
Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.[2] Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent) adalah kecacatan dalam pembentukan kata sepakat dalam suatu kontrak atau perjanjian. Cacat kehendak ini adalah tidak sempurnanya kata sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat kehendak, memang tampak adanya kata sepakat, tetapi kata sepakat itu dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini terjadi pada periode atau fase prakontrak.[3]
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Hal tersebut dipertegas dengan tulisannya Abdul Kadir Muhammad, yang menjelaskan bahwa tidak ada kekhilafan atau kekeliruan apabila salah satu pihak tidak khilaf mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting mengenai objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa perjanjian itu diadakan.[4]
Akan tetapi sebaliknya dalam pasal 1322 ayat (1) dan (2), menjelaskan bahwa kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan itu mengenai hakikat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Kemudian terkait dengan cacat kehendak yang lainnya yaitu apabila dalam kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat unsur paksaan dan penipuan. Hal tersebut termuat dalam pasal 1323 s/d 1325 KUHPerdata yang menyebutkan mengenai unsur paksaan. Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum  mengancam  orang  lain  dengan  ancaman  yang  terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut.[5]
Kemudian, di dalam pasal 1328 menyebutkan mengenai perjanjian yang didasari atas unsur penipuan. Penipuan umumnya terjadi apabila terdapat perbuatan yang secara sengaja untuk memberikan keterangan yang tidak sebenarnya dan disertai dengan akal cerdik atau tipu muslihat guna untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuan atas suatu perjanjian.[6] Herlien Budiono juga menjelaskan bahwa penipuan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja disembunyikan atau tidak diungkap, tetapi juga bila suatu informasi yang keliru sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya.[7]
Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya”. Kalimat terakhir pasal itu, yaitu ‘menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya’ menunjukkan bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi batal apabila ada penuntutan untuk   membatalkannya.[8]

b.      Perjanjian Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan Tindakan Hukum

Orang yang oleh undang-undang dinyatakan  tidak  cakap,  dilarang  melakukan  tindakan hukum termasuk  membuat  perjanjian.[9] Terkait dengan tidak cakap hukum maka di dalam pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut:
“Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah
  1. orang-orang yang belum dewasa;
  2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan”.

Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan bahwa
“(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya;
 (2) Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.

Terkait dengan ayat 1 dalam pasal 1446 KUHPerdata, terdapat beberapa selisih pendapat akan klausul “batal demi hukum”. Menurut pendapat  Subekti, ia menyatakan bahwa
 “Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif, tidak begitu saja  dapat  diketahui oleh Hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan bila dimajukan kepada Hakim mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh undang-undang diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak.”[10]

Jadi memang seharusnya perjanjian yang seperti itu akibat hukumnya seharusnya bukan batal demi hukum melainkan dapat dibatalkan. Karena memang pendapat para ahli tersebut searah dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 1331 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa;
“Oleh karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”.






Pada dasarnya, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi baik itu dibuat oleh pihak yang tidak cakap hukum atau karena tidak adanya kehendak bebas  atau kesepakatan maka semuanya tergantung kepada para pihak yang bersangkutan. Apabila para pihak tetap menerima keadaan tersebut maka perjanjian tetap berlanjut dan sebaliknya jika salah satu pihak tidak menerima keadaan tersebut maka pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan pembatalan perjanjian, karena memang perjanjian semacam ini selalu terancam dengan suatu pembatalan.

No comments:

Post a Comment