Koentjaraningrat (1980) dalam
Sihombing dan Pongtuluran (2011) mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan, dan hasil buah budi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat. Lebih lanjut, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa gagasan ataupun
naluri manusia adalah merupakan bahan dasar suatu tindakan. Tindakan dan hasil
karya manusia merupakan tolak ukur budaya manusia. Sependapat dengan
Koentjaraningrat, Sastrosupono (1982) dalam Sihombing dan Pongtuluran (2011)
mendefinisikan budaya sebagai tindakan atau perilaku manusia, misalnya duduk,
tidur, berbicara dan sebagainya. Hofstede juga mendefinisikan budaya sebagai
pikiran, perasaan, dan tindakan manusia. Menurutnya, budaya adalah piranti
lunak jiwa manusia (software of the mind). Hofstede memakai
perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia.
Peran piranti lunak adalah penentu dari bekerjanya sebuah komputer, tanpanya
komputer menjadi tidak berguna, dengan kata lain piranti lunak-lah yang
menentukan kerja sebuah komputer. Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya
budaya dengan menganalogikan budaya sebagai “software of the mind”. Budaya
adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna. Hofstede (1980) dalam Armia (2002)
menurunkan konsep budaya dari program menatal yang dibedakan dalam tiga
tingkatan, yaitu ;
a. Tingkat
universal, yaitu program mental yang dimiliki oleh seluruh manusia. Pada
tingkat ini program mental seluruhnya melekat pada diri manusia.
b. Tingkat
collective, yaitu program mental yang
dimiliki oleh beberapa, tidak seluruh manusia. Pada tingkatan ini program
mental khusus pada kelompok atau kategori dapat dipelajari.
c. Tingkat
individual, yaitu program mental yang unik yang dimiliki oleh hanya seseorang,
dua orang tidak akan memiliki program mental yang persis sama. Pada tingkatan
ini program mental sebagian kecil melekat pada diri manusia, dan lainnya dapat
dipelajari dari masyarakat, organisasi atau kelompok lain.
Armia (2002) menjelaskan pada
umumnya, tidak dapat dilakukan pengukuran langsung suatu konstruk secara
langsung, sehingga paling tidak harus digunakan dua pengukuran yang berbeda.
Program mental ini oleh Hofstede dijelaskan dengan dua konstruk, yaitu value (nilai) dan culture (budaya). Nilai didefinisikan sebagai suatu tendensi yang
luas untuk menunjukkan state of affairs
tertentu atas lainnya, yang pengukurannya menggunakan belief, attitudes, dan personality.
Sedangkan culture didefinisikan oleh
Hofstede sebagai program mental yang berpola pikir (thinking), perasaaan (feeling),
dan tindakan (action) atau disebut
dengan “software of the mind”.
Pemrograman ini dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian dilanjutkan dengan
lingkungan tetangga, sekolah, kelompok remaja, lingkungan kerja, dan lingkungan
masyarakat. Dengan demikian kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang dianut
oleh suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan
kerja, sampai pada lingkungan masyarakat luas.
Lebih lanjut Armia (2002)
menjabarkan bahwa ada beberapa teori yang mendasari penemuan dimensi budaya
Hofstede, antara lain Kluckhon’s (1952) yang menjelaskan tentang dimensi bidaya
dalam 10 “Primary Message System”
yaitu interaction, association (with
others), subsistence, isexuality, teritorality, temporality, learning, play,
defense, dan exploitation.
Sedangkan Parsons dan Shils (1951) mengklasifikasikan multimensional dalam ”General Theory of Action”. Parsons dan
Shils menyatakan bahwa seluruh tindakan manusia ditentukan oleh lima variabel,
yaitu affectivity versus effectivity
neutrality, self-orientation versus collectivity-orientation, universalism
versus particularism, ascription versus achievement, specificity versus
diffuseness.
Kluckhorn dan Strodbeck
(1961) dalam Armia (2002) berdasarkan hasil penelitiannya menemukan bahwa
masyarakat dibedakan dalam orientasi nilai sebagai berikut :
a. Suatu
evaluasi sifat manusia
b. Hubungan
manusia dengan lingkungannya
c. Orientasi
pada aktivitas
d. Hubungan
antar manusia
Pada awalnya, Hofstede
secara empiris menemukan empat dimensi program mental, yaitu power distance, uncertainty avoidance,
individualism vs collectivism, dan masculinity
vs feminity. Kemudian Hofstede menambahkan dimensi long-term orientation yang dikembangkan dari dinamika Konghucu.
a. Power Distance
Hofstede mendefinisikan power distance atau jarak kekuasaan sebagai sejauh mana
anggota dari suatu organisasi atau lembaga yang berada dalam posisi yang kurang
kuat menerima dan berharap kekuasaan didistribusikan secara tidak merata.
Dimensi budaya yang mendukung jarak kekuasaan rendah (small
power distance) mengharapkan dan menerima
hubungan kekuasaan secara lebih konsultatif atau demokratis. Orang berhubungan
satu sama lain terlepas dari posisi formalitas mereka. Bawahan merasa lebih
nyaman serta menuntut hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Di
negara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi (large power distance) cenderung menggunakan hubungan kekuasaan yang
lebih otokratis dan paternalistik. Bawahan mengakui kekuatan orang lain hanya
berdasarkan dimana mereka berada dalam struktur formal atau posisi hirarki
tertentu. Dengan demikian indeks jarak kekuasaan didefinisikan oleh Hofstede
bukan mencerminkan perbedaan obyektif dalam distribusi daya, melainkan cara
orang memandang perbedaan-perbedaan kekuasaan.
b. Uncertainty Avoidance
Menurut Hofstede, uncertainty avoidance adalah bentuk
toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan ambiguitas. Hal ini menggambarkan
sejauh mana anggota organisasi atau lembaga berusaha untuk mengatasi perasaan
cemas dan mengurangi ketidakpastian yang mereka hadapi. Pemahaman ini
menjelaskan bahwa uncertainty avoidance
bukan berarti penghindaran resiko. Orang-orang yang memiliki dimensi budaya
penghindaran tinggi (high uncertainty
avoidance) cenderung
lebih emosional. Mereka mencoba untuk meminimalkan terjadinya keadaan yang
tidak diketahui atau tidak biasa. Saat terjadi perubahan mereka menjalaninya
dengan hati-hati, langkah demi langkah dengan perencanaan dan menerapkan hukum
serta peraturan yang berlaku. Sebaliknya, dimensi budaya penghindaran kepastian
yang rendah (low uncertainty avoidance)
menerima dan merasa nyaman dalam situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan
yang kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa
aturan dalan aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini cenderung
lebih pragmatis, mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.
c. Individualism vs colletivism
Hofstede menjelaskan dimensi individualism sebagai sisi yang berlawanan
dengan dimensi collectivism. Ciri
organisasi atau lembaga individualsm dengan
collectivism adalah sejauh mana
individu diintegrasikan ke dalam organisasi atau lembaga tersebut. Dalam
masyarakat yang individualistik, tekanan atau stress diletakkan dalam
permasalahan pribadi, serta menuntut hak-hak individu. Orang-orang diharapkan
untuk membela diri sendiri dan keluarga mereka. Selain itu juga mereka diharapkan untuk memilih
afiliasi sendiri. Sebaliknya, dalam masyarakat kolektifis, individu bertindak
terutama sebagai anggota kelompok seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi
tercipta di dalam kelompok mereka (kelompok disini tidak mengacu kepada politik
atau negara). Orang-orang yang memiliki keluarga besar, yang dijadikan sebagai
perlindungan bagi dirinya sehingga loyalitasnya tidak diragukan.
d. Masculinity vs feminity
Hofstede menjelaskan masculinity berkaitan dengan nilai
berbedaan gender dalam masyarakat,
atau distribusi peran emosional antara gender
yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity)
terkandung nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan.
Sedangkan dimensi feminity digambarkan
oleh Hofstede sebagai sebuah dimensi dimana penempatan nilai yang lebih
terhadap hubungan dan kualitas hidup. Dalam dimensi maskulin, perbedaan antara
peran gender nampak lebih dramatis
dan kurang fleksibel dibandingkan dengan dimensi feminin yang melihat pria dan
wanita memiliki nilai yang sama, menekankan kesederhanaan serta kepedulian.
e. Long Term vs Short Term
Orientation
Dimensi ini sangat dipengaruhi oleh
ajaran Confusian. Dimensi ini akan membingungkan orang yang hidup di wilayah
Barat, karena merasa hal ini tidak diperlukan. Empat elemen ajaran yang
mempengaruhi terbentuknya dimensi ini adalah :
·
Stabilitas sosial
berdasarkan atas ketidaksetaraan hubungan antara orang. Sebagai contoh junior
memberikan penghormatan dan kepatuhan kepada senior, dan senior memberikan
perlindungan kepada junior.
·
Keluarga adalah bentuk
dasar dari seluruh organisasi sosial. Budaya Cina memiliki keyakinan bahwa
kehilangan martabat keluarga sama saja kehilangan satu mata, hidung, dan mulut.
Menunjukkan penghormatan kepada orang disebut “memberi wajah” dalam budaya
mereka.
·
Perilaku berbudi luhur
kepada orang lain mengandung makna tidak memperlakukan orang lain seperti
dirimu tidak ingin diperlakukan seperti itu oleh orang lain.
·
Berbuat baik adalah
salah satu tugas hidup dengan cara menambah pengetahuan, keterampilan, bekerja
keras, tidak boros, sabar, dan memelihara.
Dimensi ini diistilahkan
kemudian sebagai “Konghucu Dinamisme”. Masyarakat yang berorientasi jangka
panjang (long term orientation) lebih
mementingkan masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis berorientasi
pada penghargaan, termasuk ketekunan, tabungan, dan kapasitas adaptasi. Masyarakat
yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka pendek (short term oprientation), nilai dipromosikan terkait dengan masa
lalu dan sekarang, termasuk kestabilan, memghormati tradisi, menjaga selalu
penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial.
Budaya
akan terus berkembang karena kemampuan manusia untuk belajar sehingga merupakan
pola hidup menyeluruh dan bersifat kompleks yang terbentuk dari berbagai unsur
yang rumit di antaranya sistem agama, kemasyarakatan, adat istiadat, bahasa,
teknologi, kesenian serta pengetahuan. Dengan demikian kebudayaan lebih dari
sekedar kesenian atau adat istiadat, tetapi merupakan bidang yang tiada
berbatas (Widiastuti, 2013). Lebih lanjut Widiastuti menuliskan bahwa Bangsa
Indonesia merupakan bangsa majemuk karena masyarakatnya terdiri atas kumpulan
orang-orang atau kelompok-kelompok dengan ciri khas kesukuan yang memiliki
beragam budaya dengan latar belakang suku bangsa yang berbeda. Menurut Suparlan
(2003) suku bangsa adalah golongan sosial yang askriptif berdasarkan atas
keturunan dan tempat asalnya. Dengan demikian, jati diri suatu suku bangsa atau
kesukubangsaan adalah jati diri yang askriptif yang didapat bersamaan dengan
kelahiran seseorang. Kesukubangsaan berbeda dengan berbagai jati diri lainnya
yang dipunya oleh seseorang, karena kesukubangsaan bersifat primordial (yang
pertama didapat dan menempel pada diri seseorang sejak masa kanak-kanaknya dan
utama dalam kehidupan karena merupakan acuan jati diri dan kehormatannya).
Berbagai jati diri lain yang dipunyai oleh seseorang berdasarkan pada perolehan
status dalam kehidupan sosialnya. Berbagai jati diri lainnya dapat hilang
karena tidak berfungsinya status-status yang dipunyai seseorang, sedangkan jati
diri suku bangsa atau kesukubangsaan tidak dapat hilang. Bila jati diri suku
bangsa tidak digunakan dalam interaksi, jati diri suku bangsa atau
kesukubangsaan tersebut disimpan, dan bukannya dibuang atau hilang.
No comments:
Post a Comment