Tidak ada definisi yang pasti
tentang whistleblowing (Brennan dan
Kelly, 2007). Satu elemen yang konsisten, yang disetujui oleh para ahli, adalah
bahwa whistleblowing merupakan sebuah
tindakan untuk melaporkan dan membongkar kecurangan (Ahmad, 2011). Jubb (1999) dalam Brennan dan Kelly
(2007) memberikan defisini whislteblowing
sebagai sebuah tindakan pengungkapan
secara sengaja yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki akses terhadap data
atau informasi sebuah organisasi, tentang praktik ilegal atau praktik lain yang
sebenarnya terjadi, yang dicurigai, atau praktik yang diantisipasi akan
berimplikasi pada praktik illegal, kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan
untuk memperbaiki. Near dan Miceli (1985) dalam Brennan dan Kelly (2007)
menyebutkan bahwa whistleblowing
adalah suatu pengungkapan yang dilakukan anggota organisasi atas suatu praktik
ilegal, tidak bermoral, atau tanpa legitimasi hukum di bawah kendali pimpinan
kepada individu atau organisasi yang dapat menimbulkan efek tindakan perbaikan.
Secara umum, whistleblowing dapat
diartikan sebagai pengungkapan kepada pihak yang memiliki kewenangan atau
kepada masyarakat luas mengenai adanya praktik illegal yang mengancam
kepentingan umum didalam organisasi (Gocke, 2013).
Elias (2008) dalam Dalimunthe (2015) menganggap whistleblowing
sebagai proses yang kompleks dengan melibatkan faktor pribadi dan organisasi. Whistleblowing dapat terjadi dari dalam (internal) maupun
luar organisasi (eksternal). Internal
whistleblowing dapat terjadi ketika seorang karyawan mengetahui tindakan
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain dan kemudian melaporkan kecurangan
tersebut kepada bagian dalam organisasi itu sendiri. External whistleblowing terjadi ketika seorang karyawan mengetahui
kecurangan yang dilakukan perusahaan lalu melaporkannya kepada pihak luar
organisasi karena kecurangan tersebut akan merugikan masyarakat luas.
Gobert dan Punch (2000) dalam
Dalimunthe (2015) mengartikan pelapor kecurangan (whistleblower) sebagai individu dalam sebuah organisasi yang
mengungkap informasi negatif tentang organisasi, praktik-praktik organisasi,
atau personel-personel organisasi. Lewis (2005) dalam Dalimunthe (2015)
mengatakan bahwa whistleblowing dapat
dipandang sebagai bagian dari strategi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas.
Organisasi akan mengancam dan membalas dendam kepada pengungkap kecurangan
untuk mencegah pengungkapan publik atas tindakan tidak etis dari organisasi.
Pembalasan dendam organisasi dapat berupa kehilangan pekerjaan, pencemaran nama
baik, atau pengisolasian dalam bekerja.
Tindakan whistleblowing seringkali menimbulkan
dilema etika bagi para
pelakunya. Dalam beberapa kasus, tindakan whistleblowing
dianggap sebagai tindakan heroik, namun dibeberapa kasus lainnya dianggap
sebagai tindakan yang tercela karena dianggap tidak memiliki loyalitas. Dilema
etika seorang whistleblower (pelaku
tindakan whistleblowing) muncul
ketika dia harus memilih antara keadilan atau loyalitas. Dungan dkk (2015) menyatakan bahwa
ketika nilai keadilan meningkat maka tindakan whistleblowing akan lebih mungkin untuk dilakukan, sebaliknya
ketika nilai loyalias yang mengalami peningkatan, maka keinginan untuk melakukan whistleblowing menjadi kurang.
Lebih lanjut
Dungan dkk (2015) menjelaskan tradeoff yang dilakukan individu ketika
menghadapi dilema antara keadilan dan loyalitas merupakan faktor mendasar yang
mengendalikan keputusan seseorang untuk melakukan whistleblowing atau tidak.
Menurut
Dungan dkk (2015), ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang melakukan whistleblowing, yaitu faktor individu
(status manajerial, locus of control, kepribadian
individu), faktor situasional (dukungan organisasi, kebijakan mengenai whistleblowing dalam organisasi,
pengetahuan mengenai whistleblowing,
prosedur keamanan bagi whistleblower,
keseriusan pelanggaran), dan faktor budaya (kelompok budaya kolektivisme
memiliki kecenderungan yang kecil untuk melakukan whistleblowing dibandingkan kelompok budaya individualisme).
Dalam kasus engineering, Bouville (2007) menyebutkan bahwa kanon pertama dalam code of the National Society of Professional
Engineering yaitu tugas ke masyarakat, harus mengalahkan kanon keempat
yaitu tugas kepada atasan. Dengan demikian, seorang engineer memiliki kewajiban sebagai seorang profesional untuk
mengungkapkan adanya pelanggaran dalam organisasi mereka.
No comments:
Post a Comment