Monday, November 13, 2023

Hubungan antara Resiliensi dengan Work Engagement

 


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah
kondisi dari seseorang yang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
pekerjaan. Menurut Macey (dalam Steven dan Prihatsanti, 2017), karyawan yang
memiliki work engagement selalu punya pemikiran yang luas apabila sewaktuwaktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Menurut Agustian (2012) work
engagement tidak hanya perlu untuk perusahaan swasta, namun juga penting untuk
perusahaan negara (BUMN) juga instansi pemerinatahan, sehingga pegawai dalam
instansi yang berkaitan dengan pemerintahan dapat juga memiliki komitmen,
antusias, dan kompetensi. Hal ini akan membuat pegawai dapat melakukan
pekerjaannya dengan penuh semangat, tepat waktu dalam menyelesaikan
pekerjaan, serta fokus terhadap pekerjaannya. Hal ini dapat diperkuat dari pendapat
Bakker dan Demerouti (2006) menyatakan bahwa pegawai yang memiliki work
engagement lebih tinggi akan cenderung kreatif, produktif, dan mau untuk bekerja
ekstra. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dari work engagement, salah
satunya ialah resiliensi. Hal ini diperkuat dan didasarkan pada hasil penelitian yang
dilakukan Steven dan Prihatsanti (2017), yang menunjukkan adanya hubungan
positif dan signifikan antara resiliensi dengan work engagement. Hasil penelitian
Santoso dan Jatmika (2017), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat dan positif antara resiliensi dengan work engagement. Berdasarkan dari
penelitian yang dilakukan Luthans (dalam Yuniar, Nurtjahjanti, dan Rusmawati,
2011) resiliensi menjadi faktor yang sangat diperlukan untuk dapat mengubah
sebuah ancaman yang menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan
meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan yang lebih baik.
Menurut Mase dan Tyokya (dalam Astika dan Saptoto, 2016) karyawan yang
mampu bertahan dan mampu mengatasi segala bentuk kejadian negatif dalam
organisasi cenderung memilik work engagement yang tinggi. Menurut Rushton,
Batcheller, Schroader dan Donuhue (dalam Astika dan Saptoto, 2016), karyawan
yang resiliensi akan terkoneksi secara psikologis terhadap pekerjaannya. Setiap
tantangan dan kesulitan yang dihadapi tidak dipandang sebagai suatu penghalang.
Hal tersebut akan berkebalikan dengan orang yang memiliki resiliensi rendah,
karyawan akan cenderung mengalami burnout pada pekerjaannya.
Menurut Mcewen (2011), resiliensi diartikan sebagai kemampuan bertahan
atau mengatasi kesulitan dari persitiwa tidak menyenangkan dan berhasil
beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian. Mcewen (2011) menyatakan
aspek aspek resiliensi, yaitu (1) mental toughness, (2) physical endurance, (3)
emotional balance, dan (4) purpose and meanings. Pada aspek mental toughness
merupakan individu yang mampu beradaptasi dengan keadaan, dapat
mengendalikan keadaan yang terjadi di sekitarnya, dan optimis untuk berhasil
dalam situasi tertentu (Mcewen, 2011). Bakker (2003), mengatakan dari salah satu
dimensi work engagement ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan
mental saat bekerja, kemauan untuk berinvestasi usaha dalam pekerjaan dan
ketekunan bahkan dalam menghadapi keadaan yang sulit. Hasil Penelitian Ayu,
Maarif, dan Sukmawati (2015), menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki
ketahanan dan keyakinan pada dirinya yang besar, dapat membuat diri karyawan
mampu mengontrol, dan memberikan dampak baik pada lingkungan tempat bekerja
sesuai dengan kemampuan, dengan hal itu mendorong karyawan untuk
meningkatkan work engagement. Sebaliknya, jika karyawan merasa pesimis, tidak
mampu bertahan dan tidak mampu mengatasi segala kejadian negatif dalam
perusahaan cenderung memiliki work engagement yang rendah (Astika dan
Saptoto, 2016). Individu yang meragukan kemampuan cenderung menganggap
pekerjaan yang sulit sebagai ancaman (Federichi dan Skaalviv dalam Bulit, 2018).
Pada umumnya, individu yang memandang rendah terhadap kemampuan dirinya
akan merasa ragu atau tidak yakin terhadap dirinya sendiri apabila dihadapkan pada
situasi yang sulit, dan individu tersebut cenderung untuk menarik diri dari kegiatan
yang dianggap mengancam atau menantang (Federichi dan Skaalviv, 2012).
Pada aspek physical endurance menekankan perlunya seseorang untuk
merawat tubuh dengan cara yang diketahui (Mcewen, 2011). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017), menunjukkan karyawan yang
memiliki physical endurance baik, akan memberikan pengaruh baik pada work
engagement. Karyawan yang melakukan dan menyelesaikan pekerjaannya dengan
semangat, berusaha sebaik mungkin, antusias dan berkontribusi baik dalam
pekerjaannya, berarti memiliki resiliensi yang baik, ditunjukkan dengan karyawan
yang melatih daya tahan tubuhnya dengan cara berolahraga, mengistirahatkan
tubuhnya sementara, hal tersebut dilakukan agar karyawan dapat bertahan dan
mengatasi masalah atau keadaan yang sulit dalam perusahaan (Steven dan
Prihatsanti, 2017). Sebaliknya, karyawan yang memiliki aspek physical endurance
yang rendah, karyawan tersebut belum mampu merawat tubuhnya dengan baik,
belum memahami kemampuan tubuh sedini mungkin dan belum mampu
mengembangkan kekuatan fisik dan daya tahan, yang ditunjukkan pada perilaku
karyawan yang jarang melatih daya tahan tubuhnya seperti berolahraga, hal itu yang
akan mempengaruhi work engagement, karyawan menjadi kurang semangat dan
antusias dalam menyelesaikan pekerjaan (Steven dan Prihatsanti, 2017).
Pada aspek emotional balance adalah kemampuan untuk mengelola
perasaan negatif yang berarti dalam tingkat tertentu dapat mengontrol emosi dan
mengetahui apa yang dibutuhkan dari diri individu tersebut pada situasi tertentu
(Mcewen, 2011). Hasil penelitian Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang
dapat mengontrol emosi dan bertahan pada keadaan yang sulit, berarti karyawan
tersebut memiliki resiliensi. Menurut Wakhyuni (2016), kemampuan individu
menciptakan emosi positif terhadap pekerjaannya merupakan salah satu cerminan
dari tingkat work engagement individu. Menurut Fredrickson (dalam Boniwell,
2012) emosi positif terdiri dari kebahagiaan, kepuasan, persahabatan yang hangat,
cinta dan kasih sayang, semua itu akan meningkatkan ketahanan dan kemampuan
untuk mengatasi setiap masalah, terutama pada pekerjaan yang sulit. Sebaliknya,
individu yang memiliki emosi yang negatif terhadap pekerjaannya maka individu
tersebut akan memiliki keyakinan yang rendah terhadap hal yang berkaitan dengan
pekerjaannya, hal tersebut dapat mempengaruhi work engagement (Wakhyuni,
2016). Menurut Fredrickson (dalam Boniwell, 2012) emosi negatif terdiri dari
adanya kecemasan atau kemarahan, yang dikaitkan dengan kecenderungan untuk
bertindak dengan cara tertentu, sehingga pada situasi emosi tersebut yang tidak
dapat dikendalikan, akan menurunkan ketahanan dan kemampuan individu dalam
mengatasi masalah, terutama pada hal pekerjaan yang sulit.
Pada aspek purpose and meanings digambarkan dengan seseorang yang
mempunyai tujuan dan makna hidup sehingga mau berkontribusi pada lingkungan
sekitarnya (Mcewen, 2011). Steven dan Prihatsanti (2017), menyatakan bahwa rasa
bermakna dan berkontribusi bagi lingkungan sekitar menandakan adanya
keterkaitan antara aspek purpose and meanings dan aspek dedication pada
karyawan. Menurut Kahn (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), karyawan yang
memiliki rasa kebermaknaan dan mau berkontribusi terhadap pekerjaanya dengan
baik dapat membangun work engagement, hal itu dilakukan dengan cara berusaha,
semangat dan mengeluarkan setiap energinya, rasa memiliki emosional yang baik
dan tenang, dengan itu karyawan akan mencapai target dan tujuan dalam
penyelesaian pekerjaan dengan baik. Sebaliknya, karyawan yang belum
berkontribusi terhadap perusahaannya, akan mempengaruhi work engagement pada
diri karyawan tersebut, hal ini ditunjukkan pada perilaku karyawan yang tidak
semangat dan tidak berusaha untuk mencapai tujuan dan terget yang ditentukan oleh
individu maupun perusahaan, sehingga karyawan tidak menyelesaikan pekerjaann
dengan baik (Steven dan Prihatsanti, 2017).
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah menurut Mcewen (dalam Steven
dan Prihatsanti, 2017) resiliensi meliputi mental thoughnes, physical endurance,
emotional balance, purpose and meaning berpengaruh positif terhadap work
engagement. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Steven dan Prihatsanti (2017),
adanya hubungan positif dan signifikan antara resiliensi dengan work engagement.
Hasil penelitian Santoso dan Jatmika (2017), juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat dan positif antara resiliensi dengan work engagement. Semakin
tinggi resiliensi karyawan maka semakin tinggi work engagement. Sebaliknya,
semakin rendah resiliensi karyawan maka semakin rendah work engagement.

No comments:

Post a Comment