Pertanggungjawaban pidana disebut
dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan
atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak pandangan mengenai kemampuan
bertanggungjawab dalam hukum pidana. Menurut
Pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:
a.
Kemampuan berpikir
(psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang
memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
b.
Oleh
sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya; dan
c.
Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya
sesuai dengan pendapatnya.
Van Hamel berpendapat, bahwa
kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan
kematangan, yang mempunyai tiga macam kemampuan [1]:
d.
Untuk memahami lingkungan
kenyataan perbuatan sendiri;
e.
Untuk menyadari
perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat; dan
f.
Terhadap perbuatannya
dapat menentukan kehendaknya.
Selanjutnya G. A. Van Hamel,
menyampaikan pendapatnya bahwa orang yang dapat dipertanggungjawabkan menurut
hukum pidana, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut[2]:
a.
Jiwa orang harus
sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi nilai dari perbuatannya;
b.
Orang harus menginsyafi
bahwa perbuatannya menurut tatacara kemayarakatan adalah dilarang; dan
c.
Orang harus dapat
menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.
Dalam hal lain, pengertian liability
dalam hukum pidana merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa Latin ajaran
kesalahan ini dikenal dengan sebutan mens rea. Suatu perbuatan tidak
mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Doktrin
mens rea dilandaskan pada maxim actus nonfacit reum nisi mens sit rea, yang
berarti “suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika
pikiran orang itu jahat”. Menurut padangan tradisional, disamping syarat-syarat
objektif melakukan perbuatan pidana, harus dipenuhi pula syarat-syarat
subjektif atau syarat-syarat mental untuk dapat dipertanggungjawabakan
dijatuhkan pidana kepadanya.[3]
Syarat subjektif ini disebut “kesalahan”.
Menurut sistem hukum Kontinental, syarat-syarat subjektif ini dibagii dua,
yaitu bentuk kesalahan (Kesengajaan dan Kealpaan) dan mampu bertanggung jawab.
Dalam sistem hukum common law syarat-syarat ini disatukan dalam mens rae.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana adalah
penilaian apakah tersangka atau terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu
tindak pidana yang terjadi.[4]
Kesalahan, Pertanggungjawab, dan
Pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan
sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur ini berkaitan satu
dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama yaitu adanya
pelanggaran terhadap suatu sistem aturanaturan. Sistem aturan-aturan ini dapat
bersifat luas dan aneka macam (hukum perdata, hukum pidana, aturan moral dan
sebagainya). Kesamaan dari ketiga tiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu
rangkaian aturan tentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok
tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungjawab dan
pemidanaan itu adalah sistem normatif.[5]
Pengertian yang disampaikan para
sarjana hukum seperti di atas, dapat dipahami bahwa pertanggungjawaban pidana
bertalian erat dengan pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsurunsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang
No comments:
Post a Comment