Dapat
diketahui bahwa hukum waris di Indonesia dewasa ini mengkonsepkan tiga jenis
hukum waris yang berlaku, yakni:
1)
Hukum Adat
Hukum
adat waris adalah aturan hukum-hukum adat yang mengatur tentang bagaimana arta
peninggalan atau harta warisan akan dteruskan atau dibagi dari pewaris kepada
para waris. Dengan demikian hukum adat waris mengandung tiga unsur yaitu harta
peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris dan adanya ahli waris yang akan
meruskan pengurusan atau menerima bagiannya. [1]
2)
Hukum Waris
Islam
Menurut hukum
Islam, warisan memiliki beberapa unsur atau yang dikenal sebagai rukun atau
prinsip warisan (arkanul mirats). Hal
ini dapat diuraikan sebagai berikut :
a)
Muwarrits
(Orang yang mewariskan), yakni: adanya orang yang meninggal dunia atau si
pewaris. Hukum inidi dalam hukum waris BW disebut Erflater.
b)
Waris (orang
yang berhak mewaris; disebut ahli waris), yakni : adanya ahli waris yang
ditinggalkan si wali yang masih hidup dan yang berhak menerima pusaka si
pewaris. Unsur ini dalam BW disebut Erfgenam.
c)
Mauruts
miratsatan tarikah (harta warisan), yakni: adanya harta peninggalan (pusaka)
pewaris yang memang nyata-nyata miliknya. Unsur ini dalam BW disebut Erfenis.[2]
3)
Hukum Waris
Nasional yaitu KUH Perdata dan Yurisprudensi
Dalam
Yurisprudensi Mahkamah Agung R disebutkan bahwa hukum pewarisan memuat mengenai
beberapa prinsip diantarnya adalah[3]:
a)
Bahwa hukum
waris menjadi dasar untuk mempertimbangkan masalah perselisihan warisan adalah
hukum adat dari orang yang meninggalkan harta warisan itu. Jadi kalau
pewarisnya orang batak, maka hukum adat waris orang batak yang diterapkan.
b)
Bahwa apabila
menyangkut hukum antar golongan (penduduk) yang berselisih,maka hukum dari
pewarisnya yang digunakan tanpa mamperhatikan jenis barangnya.
c)
Bahwa apabila
ada perkara warisan yang tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adatnya, maka
digunakan bunyi hukum yang sama, misalnya untuk perkara orang semendo di
gunakan humum minangkabau yang sama sendi kekerabatannya yang matrilineal.
d)
Bahwa jika
ahli waris wafat sedangkan bapaknya sebagai pewaris masih hidup maka yang
berhak mewarisi adalah anak-anak dari yang wafat itu sebagai waris pengganti.
Jadi misalnya kepala waris wafat, maka yang mengantikannya adalah anak-anaknya
yang berhak untuk emnerima penerusan harta peninggalan dari kakek (bapak dari
yang wafat) itu
Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan yang ada
pun tidak dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya untuk hukum
waris. Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional. Adanya
hukum waris di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum
waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda.
Adapun berikut penjelasannya:
1)
Hukum Waris
Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam
suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu
mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan
sebutan hukum adat. Pengertian dari hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum
yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.
Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma
dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah
dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang
melanggarnya. Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh
struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal
beberapa macam sistem pewarisan
a)
Sistem
keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal
yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis
keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan
kedua orang tua.
b)
Sistem
Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki
harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini
diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral
seperti Jawa dan Batak.
c)
Sistem
Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi-bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya
mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.
Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
d)
Sistem
Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan
yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu.
Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga
menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di
masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di
Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
2)
Hukum Waris
Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama
Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi
hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut
prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan
demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan
dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris
untuk menerima warisan:
a)
Orang yang
mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum
ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada
keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris
tetapi disebut hibah.
b)
Orang yang
mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal
dunia.
c)
Orang yang
mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, baik
pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke
bawah seperti anak, cucu, dan paman.
3)
Hukum Waris
Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat
berlaku untuk masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan,
baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP). Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana
setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya
masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:
Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat
wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut
Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang: Golongan I
terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya; Golongan II
terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya; Golongan III
terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas; dan Golongan IV terdiri
dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara
ahli waris golongan III beserta keturunannya.
Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh
si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus
dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris. Syarat pembuatan surat wasiat
ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah
menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris
berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui
surat wasiat untuk menjadi ahli warisny
No comments:
Post a Comment