Monday, July 15, 2019

Definisi Efektivitas dalam Pembelajaran (skripsi dan tesis)

Efektivitas merupakan derivasi dari kata efektif yang dalam bahasa Inggris effective didefinisikan “producing a desired or intended result” (Concise Oxford Dictionary, 2001) atau “producing the result that is wanted or intended” dan definisi sederhananya “coming into use” (Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) mendefinisikan efektif dengan “ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya)” atau “dapat membawa hasil, berhasil guna (usaha, tindakan)” dan efektivitas diartikan “keadaan berpengaruh; hal berkesan” atau ” keberhasilan (usaha, tindakan)”.
The Liang Gie dalam Ensiklopedi Administrasi (1989) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut.
“Suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki, maka orang itu dikatakan efektif kalau memang menimbulkan akibat dari yang dikehendakinya itu.”

Efektivitas merujuk pada kemampuan untuk memiliki tujuan yang tepat atau mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas juga berhubungan dengan masalah bagaimana pencapaian tujuan atau hasil yang diperoleh, kegunaan atau manfaat dari hasil yang diperoleh, tingkat daya fungsi unsur atau komponen, serta masalah tingkat kepuasaan pengguna/client.

Selanjutnya, Steers (1985:176) menyatakan
“sebuah organisasi yang betul-betul efektif adalah orang yang mampu menciptakan suasana kerja di mana para pekerja tidak hanya melaksanakan pekerjaan yang telah dibebankan saja tetapi juga membuat suasana supaya para pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi dalam usaha mencapai tujuan.”

Pernyataan Steers di atas menunjukkan bahwa efektivitas tidak hanya berorientasi pada tujuan melainkan berorientasi juga pada proses dalam mencapai tujuan. Jika definisi ini diterapkan dalam pembelajaran, efektivitas berarti kemampuan sebuah lembaga dalam melaksanakan program pembelajaran yang telah direncanakan serta kemampuan untuk mencapai hasil dan tujuan yang telah ditetapkan. Proses pelaksanaan program dalam upaya mencapai tujuan tersebut didesain dalam suasana yang kondusif dan menarik bagi peserta didik.
Dalam ranah kajian perilaku organisasi, Steers (1985) mengemukakan tiga pendekatan dalam memahami efektivitas. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain pendekatan tujuan (the goal optimization approach), pendekatan sistem (sistem theory approach), dan pendekatan kepuasan partisipasi (participant satisfaction model).
  1. Pendekatan Tujuan. Suatu organisasi berlangsung dalam upaya mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini efektivitas dipandang sebagai goal attainment/goal optimization atau pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektivitas. Suatu program dikatakan efektif jika tujuan akhir program tercapai. Dengan perkataan lain, pencapaian tujuan merupakan indikator utama dalam menilai efektivitas.
  2. Pendekatan Sistem. Pendekatan ini memandang efektivitas sebagai kemampuan organisasi dalam mendayagunakan segenap potensi lingkungan serta memfungsikan semua unsur yang terlibat. Efektivitas diukur dengan meninjau sejauh mana berfungsinya unsur-unsur dalam sistem untuk mencapai tujuan.
  3. Pendekatan Kepuasan Partisipasi. Dalam pendekatan ini, individu partisipan ditempatkan sebagai acuan utama dalam menilai efektivitas. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa keberadaan organisasi ditentukan oleh kualitas partisipasi kerja individu. Selain itu, motif individu dalam suatu organisasi merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas partisipasi. Sehingga, kepuasan individu menjadi hal yang penting dalam mengukur efektivitas organisasi.
Dari tiga pendekatan dalam menilai efektivitas organisasi di atas, bisa ditarik kesimpulan berkenaan dengan efektivitas pembelajaran bahwa efektivitas suatu program pembelajaran berkenaan dengan masalah pencapaian tujuan pembelajaran, fungsi dari unsur-unsur pembelajaran, serta tingkat kepuasan dari individu-individu yang terlibat dalam pembelajaran.

Saturday, July 13, 2019

Dinamika Hubungan Antara Harga Diri Dan Narsisme (skripsi dan tesis)


Steinberg (2009) mengatakan bahwa harga diri merupakan konstruk yang penting dalam kehidupan sehari-hari juga berperan serta dalam menentukan tingkah laku seseorang. Seseorang dengan harga diri yang baik akan mampu menghargai dirinya sendiri. Menurut Dariyo dan Ling (2012) bahwa harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu itu meyakinkan diri sendiri bahwa dia mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut. Hal ini mengarahkan bahwa pengertian dari harga diri adalah adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap dirinya sendiri. Dimana dimensi dalam harga diri sendiri adalah Perasaan diterima (Felling Of Belonging), Perasaan Mampu (Felling Of Competence), Perasaan Berharga ( Felling Of Worth ).
Khera (2012) menyebutkan beberapa manfaat dari harga diri yang tinggi, yaitu membentuk pendirian yang kuat, membangkitkan kemauan untuk menerima tanggung jawab, membentuk sikap optimistik, meningkatkan hubungan dan hidup lebih berarti, membuat seseorang lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan mengembangkan sikap saling mengasihi, memotivasi diri dan berambisi, membuat seseorang bersikap terbuka terhadap peluang dan tantangan baru, memperbaiki kinerja dan meningkatkan kemampuan mengambil resiko, membantu seseorang dalam memberi dan menerima kritik dan penghargaan dengan bijaksana dan mudah. Sebaliknya harga diri yang rendah akan berpikir buruk tentang diri sendiri,tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, cenderung pesimis tentang masa depan, mengingat masa lalu mereka lebih negatif dan berkubang dalam suasana hati negatif mereka dan lebih rentan terhadap depresi ketika mereka menghadapi stress (Taylor, Peplau dan Sears 2009).
Harga diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku narsis. Dalam penelitian Bakti (2016) serta Kartika (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara harga diri dengan kecenderungan narsisme. Hal ini sesuai dengan penelitian Clarke (2014) menyebutkan bahwa banyak alasan yang melatarbelakangi narsis yakni harga diri, depresi, kecemasan dan perkembangan superego. Penelitian Drestya (2013) menemukan jawaban pengguna media sosial adalah untuk eksis atau menunjukan identitas diri. Dimana identitas diri berhubungan dengan harga diri seseorang. Dengan demikian seseorang dengan harga diri yang tinggi akan memiliki kemampuan mengendalikan penggunaan media sosial.
Menurut Maulina (2017) bahwa remaja dengan harga diri tinggi akan mampu mengontrol penggunaan akun. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan  mengembangkan tanggungjawab sosial, mempunyai kreativitas dalam melakukan aktivitas dengan menampilkan diri sesuai dengan realitas, dapat mengaktualisasi diri dengan baik dan mampu menyaring informasi yang ada di media jejaring sosial.
Pengertian dari narsisme sendiri adalah perilaku yang ditandai dengan kecenderungan untuk memandang dirinya dengan cara yang berlebihan, senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan pujian, selain itu tertanam dalam dirinya perasaan paling mampu, paling unik (beda sendiri) dan merasa khusus dibandingkan dengan orang lain. Perilaku yang ditunjukkan oleh individu narsisme yaitu suka memamerkan tentang komentar dari orang lain yang mengakui keunikannya, keberhasilannya ataupun idealisme yang dijunjung tinggi oleh dirinya. Hal tersebut dilakukan ketika individu narsisme merasa harga dirinya mulai terancam saat menerima masukan atau kritikan yang mengoreksi kebiasaan atau pola pikirnya. Serta tuntutan akan perhatian yang terus menerus bukan berasal dari keegoisannya namun dari kebutuhannya untuk menyingkirkan perasaan tidak adekuat () Dimana dimensi dalam narsisme yaitu meliputi Leadership (autority)  Superiority (arogance), Self absorption (self admiration), dan Exploitiveness (entitle ment)

Dimensi Dalam Harga Diri (skripsi dan tesis)

Harga diri terdiri empat aspek yang dikemukakan oleh Coopersmith (dalam Tyas, 2010), yaitu:
  1. Kekuatan (Power)
Kekuatan atau power menunjuk pada adanya kemampuan seseorang untuk dapat mengatur dan mengontrol tingkah laku dan mendapat pengakuan atas tingkah laku tersebut dari orang lain. Kekuatan dinyatakan dengan pengakuan dan penghormatan yang diterima seorang individu dari orang lain dan adanya kualitas atas pendapat yang diutarakan oleh seseorang individu yang nantinya diakui oleh orang lain. 
  1. Keberartian (significance)
Keberartian atau significance menunujuk pada kepedulian, perhatian, afeksi, dan ekspresi cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang menunjukkan adanya penerimaan dan popularitas individu dari lingkungan sosial. Penerimaan dari lingkungan ditandai dengan adanya kehangatan, respon yang baik dari lingkungan dan adanya ketertarikan lingkungan terhadap individu dan lingkungan menyukai individu sesuai dengan keadaan diri yang sebenarnya.
  1. Kebajikan (virtue)
Kebajikan atau virtue menunjuk pada adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika serta agama dimana individu akan menjauhi tingkah laku yang harus dihindari dan melakukan tingkah laku yang diizinkan oleh moral, etika, dan agama. Seseorang yang taat terhadap nilai moral, etika dan agama dianggap memiliki sikap yang positif dan akhirnya membuat penilaian positing terhadap diri yang artinya seseorang telah mengembangkan harga diri positif pada diri sediri.
  1. Kemampuan (competence)
Kemampuan atau competence menunjuk pada adanya  bperformansi yang tinggi untuk memenuhi keutuhan mencapai prestasi dimana level dan tugas-tugas tersebut tergantung pada variasi usia seseorang.
Felker (dalam Churaisin, 2014) mengemukakan bahwa komponen harga diri terdiri dari:
  1. Perasaan diterima (Felling Of Belonging)
Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima, misalnya perasaan seseorang pada saat menjadi anggota kelompok suatu kelompok tertentu.
  1. Perasaan Mampu (Felling Of Competence )
Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan.
  1. Perasaan Berharga ( Felling Of Worth )
Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, dimana perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu yang sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan-pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini akan menggunakan alat ukur yang disusun berdasarkan teori Felker (dalam Churaisin, 2014) yang membagi harga diri dalam dimensi yaitu: Perasaan diterima (Felling Of Belonging), Perasaan Mampu (Felling Of Competence), Perasaan Berharga ( Felling Of Worth )

Pengertian Harga Diri (skripsi dan tesis)

Baron & Byrne (2012)   berpendapat bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif sampai negatif. Ditambahkan pula bahwa harga diri juga berkaitan dengan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, mulai dari sangat negatif sampai sangat positif, individu yang ditampilkan nampak memiliki sikap negatif terhadap dirinya sendiri. Harga diri yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri, evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian berdasarkan dari pengalaman spesifik. Sikap terhadap diri sendiri dimulai dengan interaksi paling awal antara bayi dengan ibunya atau pengasuh lain, perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang penting bagi harga diri seseorang.
Sejalan dengan pendapat di atas maka menurut Branden (2011) harga diri adalah apa yang individu pikirkan dan rasakan tentang dirinya, bukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa dirinya sebenarnya. Menurut Santrock (2012) bahwa harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya.

Faktor penyebab Narsisme (skripsi dan tesis)

Sedikides, et al (2004) memberikan hasil risetnya mengenai faktor-faktor narsistik, adalah sebagai berikut:
  1. Self-esteem (Harga Diri)
Harga dirinya tidak stabil dan terlalu tergantung pada interaksi sosialnya.
  1. Depression (Depresi)
Depresi sebagai suatu pemikiran negatif tentang dirinya, dunia, dan masa depannya, adanya rasa bersalah dan kurang percaya dalam menjalani hidup
  1. Loneliness (Kesepian)
Kesepian adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yaitu hal ini disebabkan oleh kurang mempunyai hasrat untuk berhubungan dengan orang lain.
  1. Subjective (“Perasaan Subyektif”)
Individu merasa bahwa dirinya seakan-akan menjadi pribadi yang sempurna.
Faktor lain yang dianggap mempengaruhi Menurut Millon, Grossman, Millon,Meagher, dan Ramnath (dalam Miller dan Campbell 2008: 454) berpendapat bahwa narsistik berkembang sebagai hasil dari orang tua yang menilai terlalu tinggi prestasi anak mereka dan memberikan penguatan yang tidak bergantung pada perilaku aktual. Ditambahkan pula menurut Kohut (dalam Bertens, 2016) bahwa kegagalan mengembangkan citra diri yang sehat terjadi bila orang tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya. Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi berharga untuk meningkatkan citra diri orang tua.
Disebutkan pula bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi narsisme adalah faktor gen atau gen. Menurut Bertens, 2016: menunjukkan bahwa patologi narsistik disebabkan oleh faktor genetik asal-usul di awal perkembangan. Walaupun masih belum jelas penyebab pada masa kanak-kanak dan menjadi lebih terang-terangan terlihat pada individu dewasa ketika menghadap orang lain dan mengerjakan tugas dengan cara yang lebih narsistik.

Ciri-Ciri Dalam Narsisme (skripsi dan tesis)

Ada beberapa tanda-tanda atau ciri-ciri narsisme dari Diagnostics and Statistik Manual, Fourth Editions Text Revision (Handayani, 2012) antara lain:
  1. Pengidap narsisme juga yakin kalau dirinya unik dan istimewa, serta berpikiran bahwa tidak ada yang bisa menyaingi dirinya. Dia akan merasa lebih tinggi statusnya serta lebih cantik atau ganteng dibandingkan dengan yang lain.
  2. Orang narsisme selalu ingin dipuji dan diperhatikan. Mereka kurang peka terhadap kebutuhan orang lain, karena yang ada dalam pikirannya adalah dirinya sendiri.
  3. Orang narsisme sangat sensitif terhadap kritikan, kritikan yang kecil bisa berarti besar bagi mereka, dan tidak mau disalahkan.
  4. Orang narsisme membutuhkan pengakuan dari orang lain demi memompa rasa percaya dirinya.
Sedangkan menurut Barlow dan Durand (2006) ciri-ciri narsisme yaitu:
  1. Kurang memiliki empati
  2. Suka foto selfie
  3. Bersikap arogan dengan memakai aksesoris yang berlebihan, seperti gelang, kalung, anting-anting, dll.
  4. Mempunyai fantasi-fantasi tentang kesuksesan, kekuasaan, kecerdasan, kecantikan, atau cinta ideal yang tanpa batas.

Pengertian Narsisme (skripsi dan tesis)

Menurut Kartono (2010) narsisme ialah  perhatian yang sangat  berlebihan kepada diri sendiri, dan kurang atau tidak adanya perhatian kepada orang lain. Dengan demikian narsisme juga bersangkutan dengan cinta ekstrim, paham yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amal penting, ada ektreme self importancy menganggap diri sendiri sebagai yang paling pandai, paling hebat, paling berkuasa, paling bagus dan segalanya. Individu yang bersangkutan tidak perlu memikirkan orang lain dan sangat egoistis. Bagi dirinya yang paling penting adalah diri sendiri dan ia tidak peduli pada dunia luar.
Menurut Chaplin (2009) narsisme adalah cinta diri dimana memperhatikan diri sendiri secara berlebihan, paham yang mengharapkan diri sendiri sangat superior dan amat penting, menganggap diri sendiri sebagai yang paling pandai, paling hebat, paling berkuasa, paling bagus dan paling segalanya. Ditambahkan pula bahwa individu narsisme memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan hubungan sosial untuk mencapai popularitas, selalu asyik dan hanya tertarik dengan hal-hal yang menyangkut kesenangan diri sendiri (Mehdizadeh, 2010).
Menurut John & Robins (Buffardi & Campbell, 2008), narsisme juga berhubungan dengan self-views (pandangan diri) yang melambung tinggi dan positif pada sifat-sifat seperti inteligensi, kekuatan, dan keindahan fisik. Nevid, dkk (2005) menambahkan orang dengan gangguan kepribadian narsistik umumnya berharap orang lain melihat kualitas khusus mereka, bahkan saat prestasi mereka biasa saja, dan mereka menikmati bersantai di bawah sinar pemujaan