Wednesday, July 17, 2019

Tempat Kedudukan dan Wilayah Jabatan Notaris (skripsi dan tesis)

Notaris hanya berkedudukan disatu tempat dikota/kabupaten, dan memiliki kewenangan wilayah jabatan seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukanya. Dalam larangan Jabatan notaris Pasal 17 huruf a UUJN menyebutkan bahwa ”Notaris dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah jabatanya”. Batas yuridiksi yang diperlakukan adalah provinsi sehingga apabila melewati batas itu maka terdapat pembatasan. Misalkan seorang notaris yang memiliki wilayah kerja di Surabaya tidak dapat membuka praktik atau membuat akta autententik di wilayah Jogjakarta. Dengan demikian, notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta dibuat maksudnya setiap notaris ditentukan wilayah jabatanya sesuai dengan tempat kedudukanya. Untuk itu Notaris hanya berwenang membuat akta yang berada di dalam wilayah jabatanya. Akta yang dibuat diluar wilayah jabatanya hanya berkedudukan seperti akta di bawah tangan.[1] Pembatasan atau larangan notaris ditetapkan untuk menjaga notaris dalam menjalankan praktiknya dan tentunya akan lebih bertanggung jawab terhadap segala tugas serta kewajibanya.



Dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUJN menyebutkan bahwa notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota; dan notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukanya. Selanjutnya, dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa notaris wajib mempunyai satu kantor yitu di tempat kedudukanya; dan notaris tidak berwenang secara teraturmenjalankan jabatan di luar tempat kedudukanya. Menurut Pasal 18 ayat (1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota. Kedudukan notaris di daerah kota atau kabupaten sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas propinsi, dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Bahwa pada tempat kedudukan notaris berarti notaris berkantor di derah kota kabupaten dan hanya mempunyai 1 (satu) kantor pada derah kota kabupaten (Pasal 19 ayat [1] UUJN). Kebutuhan Notaris pada satu daerah kota atau kabupaten akan disesuaikan dengan formasi yang ditentukan pada daerah kota atau kabupaten berdasarkan Keputusan Menteri (Pasal 22 UUJN). [2]

Larangan Bagi Notaris (skripsi dan tesis)

Dimaksud dengan larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam pasal UUJNP. Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai substansi pasal 17 huruf b, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa notaris mempunyai wilayah jabatan satu provinsi (pasal 18 ayat (2) UUJN) dan mempunyai tempat kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (pasal 18 ayat (1) UUJN). Sebenarnya yang dilarang adalah meninggalkan wilayah jabatannya (propinsi) lebih dari tujuh hari kerja. 20 Dengan demikian, maka dapat ditafsirkan bahwa notaris tidak dilarang untuk meninggalkan wilayah kedudukan notaris (kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja. [1]
Larangan bagi Notaris juga diatur dalam Kode Etik Profesi Notaris, yaitu seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 Kode Etik I.N.I yang pada prinsipnya menegaskan bahwa, seorang Notaris dilarang untuk melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik.
Seorang Notaris juga dilarang bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien, dan berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain. Notaris dilarang melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya serta melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaria

Kewajiban Bagi Notaris (skripsi dan tesis)

Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, mengatur kewajiban notaris. Pasal 16 ayat (1) huruf (m) membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan Pasal 16 ayat (7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Kewenangan Notaris (skripsi dan tesis)

Wewenang atau kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu badan jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian setiap wewenang ada batasanya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.[1]
Terkait dengan kewenangan notaris, yaitu sebagaimana disebutkan dalam UUJN Nomor 30 Tahun 2004 jo UU Nomor 2 Tahun 2014, Pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa : (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharus an oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-undang di atas maka arti penting dari wewenang notaris disebabkan karena notaris oleh undang-undang diberi wewenang untuk menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian bahwa apa yang disebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk sesuatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha. Untuk kepentingan pribadi misalnya adalah untuk membuat testament, mengakui anak yang dilahirkan di luar pernikahan, menerima dan menerima hibah, mengadakan pembagian warisan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kepentingan suatu usaha misalnya adalah akta-akta dalam mendirikan suatu PT (Perseroan Terbatas), Firma, CV (Comanditer Vennootschap) dan lain-lain serta akta-akta yang mengenai transaksi dalam bidang usaha dan perdagangan, pemborongan pekerjaan, perjanjian kredit dan lain sebagainya.[2]



Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainya dengan demikian jika seorang pejabat (notris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.

Pengertian Notaris (skripsi dan tesis)



Notaris sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki keilmuan dan keahlian dalam bidang ilmu hukum dan kenotariatan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelayanan, maka dari pada itu secara pribadi Notaris bertanggung jawab atas mutu jasa yang diberikannya. Sebagai pegemban misi pelayanan, profesi Notaris terikat dengan etik Notaris yang merupakan penghormatan martabat manusia pada umumnya dan martabat Notaris khususnya, maka dari itu pengemban profesi Notaris mempunyai ciri-ciri mandiri dan tidak memihak, tidak terpacu dengan pamrih, selalu rasionalitas dalam arti mengacu pada kebenaran yang objektif, spesialitas fungsional serta solidaritas antar sesama rekan seprofesi. [1]
Pengertian Notaris dari berbagai pendapat memiliki beberapa perbedaan. Demikian pula dalam setiap perubahan dan pembaruan peraturan yang mengatur tentang Jabatan Notaris. Menurut Peraturan Jabatan Notaris (Ord. Stbl. 1860: 3) menjelaskan yang dimaksud dengan jabatan Notaris adalah[2]:
“Notaris adalah pejabat umum yang satu - satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”

Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. [3]
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan bahwa yang dimaksud Notaris adalah “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainya sebagaimana dimaksud dalam undang – undang ini.” Pada perubahan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan  Notaris ke dalam Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2014 Jabatan Notaris menerangkan bahwa Notaris adalah “Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainya sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini atau berdasarkan Undang – Undang lainnya.”
Terminologi berwenang (bevoegd) dalam Undang-Undang Jabatan Notaris berhubungan dengan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata bahwa suatu akta otentik adalah yang sedemikian, yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat akta itu dibuat. Untuk pelaksanaan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut pembuat undang-undang harus membuat peraturan perundang-undangan untuk menunjuk para pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan oleh karena itulah para notaris ditunjuk sebagai pejabat yang sedemikian berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris.[4]




Sejarah Notaris (skripsi dan tesis)

Sejarah notarias diawali di Italia  pada abad ke XI atau XII. Pada masa itu , dikenal dengan nama “Latinjse Notariat”.  Istilah ini berasal dari kata “notarius” (bahasa latin), yaitu nama yang diberikan pada orang-orang Romawi di mana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu. Notaris merupakan suatu pengabdian yang dilakukan kepada masyarakat umum yang kebutuhan dan kegunannya senantiasa mendapat pengakuan dari masyarakat dan dari Negara. Perkembangan notariat di   kemudian meluas ke daerah Perancis. Kemudian lembaga notariat ini meluas ke negara lain di dunia termasuk pada nantinya tumbuh dan berkembang di Indonesia. [1]
Perkembangan notaris di Indonesia pada awalnya dimulai dengan pengangkatan  Melchior Kerchem, Sekretaris dari College van Schepenen di Jacatra  sebagai Notaris pertama di Indonesia. Pengangkatan dilakukan pada tanggal 27 Agustus 1620 yaitu setelah dijadikannya Jacatra sebagai ibukota. Di dalam akta pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota Jacatra untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekerjaan itu sesuai dengan sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel Batavia, dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya sesuai dengan instruksi tersebut. Lima tahun kemudian, yaitu pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan ‘Notaris public’ dipisahkan dari jabatan ‘secretarius van den gerechte’ dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 Nopember 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para Notaris di Indonesia, yang hanya berisikan 10 pasal, diantaranya ketentuan bahwa para Notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. Hampir selama seabad lebih, eksistensi notaris dalam memangku jabatannya didasarkan pada ketentuan Reglement Of Het Notaris Ambt In Nederlandsch No. 1860 : 3 yang mulai berlaku 1 Juli 1860. [2]




Pada masa reformasi, notaris telah memiliki undang-undang tersendiri dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal, yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Dalam Undang-undang ini diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Demi untuk kepentingan notaris dan untuk melayani kepentingan masyarakat Indonesia, maka pemerintah kemudian melalukan perubahan dengan mensahkan Peraturan Jabatan Notaris yang kita sebut dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Jo Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).[3] Dalam hal lain juga terdapat Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I)  yang menjadi pedoman notaris dalam menjalankan tugas dan jabatan notaris tentang bagaimana harus bertindak dan bersikap kepada klien maupun terhadap rekan profesi atau notaris lainnya, serta pada masyarakat pada umumnya. [4]

Tuesday, July 16, 2019

Komplikasi Psikiatrik Penderita Kanker (skripsi dan tesis)

           Suatu penyelidikan psikologik telah dilakukan terhadap para penderita kanker yang telah menjalani tindakan operatif. Berbagai reaksi kejiwaan, yaitu masing-masing penderita menunjukkan satu atau lebih gejala-gejala tersebut. Ada enam gejala klinis gangguan jiwa sebagai komplikasi psikiatrik (kejiwaan) dan salah satunya adalah kecemasan (anxiety). Reaksi kecemasan ini sering muncul tidak saja sewaktu penderita diberitahu mengenai penyaktnya, tetapi juga setelah menjalani operasi, kecemasan tersebut lazimnya mengenai masalah finansial, kekhawatiran tidak dterima di lingkungan keluarga atau masyarakat (Hawari, 2009).
            Kecemasan yang dialami pasien yang akan dioperasi disebabkan oleh bermacam- macam alasan di antaranya adalah : cemas menghadapi ruangan operasi dan peralatan operasi, cemas menghadapi body image yang berupa cacat anggota tubuh, cemas dan takut mati saat dibius, cemas bila operasi gagal, cemas masalah biaya yang membengkak. Beberapa pasien yang mengalami kecemasan berat terpaksa menunda jadwal operasi karena pasien merasa belum siap mental menghadapi operasi (Sawitri, 2008).
Perbedaan tingkat kecemasan dapat mempengaruhi persiapan operasi. Tingkat kecemasan sedang merupakan waktu yang optimal untuk mengembangkan mekanisme strategi koping pada pasien yang bersifat membangun. Perawat dalam melakukan tindakan proses keperawatan komunikasi terapeutik tetap harus berpegang pada konsep bahwa pasien adalah manusia yang bersifat unik dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor biopsikososial dan spiritual (Sawitri, 2008).