Wednesday, July 17, 2019

Wanprestasi dan Akibatnya (skripsi dan tesis)

 

Terminologi wanprestatie merupakan istilah yang diangkat dari bahasa Belanda yang artinya adalah prestasi buruk. Wanprestasi merupakan istilah yang sangat bertolak belakang dengan adanya kesepakatan dalam sebuah perjanjian. Ketika ada hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian maka ada kemungkinan bahwa salah satu dari para pihak tidak dapat melaksanakan perjanjian tersebut, maka peristiwa ini disebut dengan wanprestasi (ingkar janji).
Akibat hukum atas adanya wanprestasi ini, menurut Yahya Harahap maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut atas pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta sejumlah ganti rugi. Bahkan wujud ganti rugi di sini bisa melampaui biaya sesungguhnya yang telah dikeluarkan. Hal ini biasanya didasarkan pada hilangnya keuntungan yang sudah diprediksi oleh kreditur (pihak yang dirugikan) apabila prestasi itu ditepati.
Namun permohonan ganti rugi atas suatu wanprestasi tidak serta merta dapat diajukan begitu saja. Hal ini untuk menghindari adanya celah yang dilakukan oleh debitur untuk menghindari gugatan semacam ini, sehingga ada baiknya apabila kreditur membuat suatu pernyataan lalai[1] secara tertulis dan bila perlu melalui suatu peringatan resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan.[2]
Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam suatu perjanjian, yaitu:
  1. Karena kesalahan pihak debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaian.
  2. Karena keadaan memaksa, di luar kemampuan debitur (overmacht)[3]
Sedangkan menurut J. Satrio, ia membedakan ada tiga kemungkinan dalam hal terjadinya suatu wanprestasi, yaitu[4]:
  1. Debitur sama sekali tidak berprestasi;
  2. Debitur keliru berprestasi;
  3. Debitur terlambat berprestasi
Namun bagaimana dasar atas penentuan bahwa debitur itu melakukan ingkar janji. Menurut Subekti, menjelaskan bahwa seseorang dikatakan wanprestasi apabila memenuhi keadaan-keadaan sebagai berikut[5]:
  • Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya (tidak memenuhi kewajibannya)
    1. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan.
    2. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat (terlambat memenuhi kewajibannya)
    3. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh melakukannya (memenuhi tetapi tidak seperti yang diperjanjikan).”

Wanprestasi ini ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksananya prestasi sebagaimana yang diperjanjikan adalah di luar kesalahannya, jadi wanprestasi itu terjadi karena debitur mempunyai kesalahan.[6]
Akibat hukum atas terjadinya suatu wanprestasi adalah batalnya suatu perjanjian. Namun tidak serta merta perjanjian itu batal begitu saja, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan, kemungkinan pilihan itu adalah sebagai berikut[7]:
  1. Pemenuhan perjanjian;
  2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
  3. Ganti rugi saja;
  4. Pembatalan perjanjian;
  5. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.
Tuntutan seperti itu tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah dari pihak-pihak yang tidak memiliki itikad baik. Terkait siapa yang dilindungi dalam tuntutan semacam ini semuanya tergantung pada bagaimana sudut pandang peran dari subjek hukum tersebut. Karena dalam suatu perjanjian adakalanya ia berperan sebagai kreditur namun dilain sisi ia juga berperan sebagai debitur.



Jenis Perjanjian (skripsi dan tesis)


Perjanjian ataupun perikatan merupakan sebuah peristiwa yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Wujud dari suatu perjanjian adalah timbulnya rasa percaya dari diri seorang individu terhadap individu lain yang memiliki peranan dalam mewujudkan keinginannya. Untuk mencapai rasa percaya dalam perjanjian, maka hal terpenting yang harus dipahami adalah mengenai jenis perjanjian itu sendiri. Keberhasilan dari keinginan yang ingin di sampaikan atau di tuangkan dalam dokumen perjanjian harus disesuaikan dengan jenis perjanjian. Beberapa ahli hukum memiliki cara pandang yang berbeda-beda dalam mengategorikan jenis-jenis dari perjanjian itu sendiri. J. Satrio di dalam bukunya, menjelaskan bahwa terdapat lima macam jenis perjanjian diantaranya adalah :
a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak
Bilateral Contract merupakan istilah lain dari perjanjian timbal balik. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang pada umumnya sering dijumpai di kalangan umum masyarakat, dimana urgensi dari perjanjian ini adalah saling memenuhi antara hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terkait.
Kemudian berkaitan dengan perjanjian sepihak, dapat dicontohkan dalam perjanjian jual-beli. Dari sudut pandang perjanjian sepihak maka setiap pihak hanya menerima satu peranan dimana pihak yang satu memiliki kewajiban menyerahkan suatu benda sedangkan pihak lainnya berhak menerima benda yang telah diberikan.
b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Atas Hak yang Membebani
Ketika hanya ada satu pihak saja yang memperoleh keuntungan dalam suatu perjanjian yang telah disepakati maka perjanjian ini disebut dengan perjanjian percuma. Kemudian, disisi lain jika perjanjian itu membebankan suatu hak terhadapnya, dan memiliki kemungkinan risiko ingkar janji yang cukup besar maka untuk menjamin rasa kepercayaan dalam perjanjian tersebut harus diadakan pembebanan atas suatu hak.
c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang sifatnya khusus dan terbatas. Pada umumnya perjanjian ini dapat juga dikelompokkan ke ranah perjanjian khusus. Berbeda dengan perjanjian tidak bernama, perjanjian yang satu ini sifatnya lebih non limitatif dalam artian bahwa jumlah dari apa yang diperjanjikan oleh para pihak jumlahnya tidak terbatas.
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator
Perjanjian kebendaan merupakan perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Sedangkan perjanjian obligator merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan, dalam artian para pihak yang terkait dalam perjanjian obligator memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Perjanjian obligator dan perjanjian kebendaan memiliki keterkaitan antara satu sama lain, dengan adanya perjanjian kebendaan maka tujuan dari apa yang telah disepakati dalam perjanjian obligator dapat terlaksana. Hal tersebut menjadi penting untuk diperhatikan, karena adanya unsur leverring (penyerahan) berarti objek yang diperjanjikan adalah sesuatu objek yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peranan perjanjian kebendaan adalah untuk membuktikan bahwa realisasi atas perjanjian itu dapat dikatakan sah menurut hukum.
e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya kesepakatan terhadap kehendak (willingnes and witten) antara para pihak yang terkait. Sedangkan perjanjian Real merupakan perjanjian yang tidak hanya mendasarkan pada kesepakatan kehendak saja melainkan juga harus ada tindakan nyata terhadap penyerahan barang yang diperjanjikan.

  Subjek dan objek Perjanjian (skripsi dan tesis)

Perjanjian merupakan sebuah peristiwa hukum yang tidak lepas dari peran antara subjek dan objek dalam perjanjian tersebut, karena memang subjek adalah bagian dari perjanjian yang menjadikan objek sebagai suatu sebab terbitnya suatu kesepakatan dalam perjanjian. Berikut ini adalah tinjauan umum mengenai subjek dan objek perjanjian:
  1. Subjek perjanjian
Syarat minimal secara prosedural dalam pelaksanaan suatu perjanjian harus ada dua orang atau badan hukum yang terlibat. Kemudian antara kedua orang tersebut akan memangku peran dan kepentingan masing-masing yaitu kreditur dan debitur, dengan terbentuknya dua istilah tersebut maka untuk membedakan hak dan kewajiban dalam suatu perbedaan menjadi jelas, yang mana kreditur mempunyai hak atas suatu janji dan debitur memiliki kewajiban atas pelaksanaan janji.[1]
Terkait dengan kreditur, mengutip dari M. Yahya Harahap bahwa kreditur terdiri dari[2]:
  • Individu sebagai persoon bersangkutan, yaitu terdiri dari natuurlijke person atau manusia tertentu dan rechts persoon atau badan hukum. Jika badan hukum yang menjadi subjek, perjanjian yang diikat bernama “perjanjian atas nama”/verbintenis op naam, dan kreditur yang bertindak sebagai penuntut disebut “tuntutan atas nama”.
  1. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu: misalnya seorang bezitter atas kapal. Bezitter ini dapat bertindak sebagai kreditur dalam suatu perjanjian. Kedudukannya sebagai kreditur bukan atas nama pemilik kapal inpersoon. Tapi atas nama persoon tadi sebagai bezitter. Namun dalam status yang seperti ini perlu diingat kualitas perjanjian dan kualitas hak harus bersesuaian. Atas prinsip ini ada pendapat yang menyatakan bahwa pergantian suatu hubungan hukum yang serupa tidak mesti selamanya mengakibatkan peralihan atas semua hak
  2. Persoon yang dapat diganti. Mengenai persoon kreditur yang dapat diganti/vervangbaar, berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam  perjanjian,  sewaktu-waktu  dapat  diganti  kedudukannya dengan kreditur yang baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian aan order atau perjanjian atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian aan toonder, perjanjian atas nama atau kepada pemegang/pembawa pada surat-surat tagihan hutang (schuldvordering papier).”
Tentang siapa-siapa yang dapat menjadi debitur, sama keadaannya dengan orang-orang yang dapat menjadi kreditur, yaitu[3]:
  • Individu sebagai persoon bersangkutan, yaitu terdiri dari natuurlijke person atau manusia tertentu dan rechts persoon atau badan hukum.
  • Seorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang
  • Seorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun izin dan persetujuan ”





  Asas-asas Perjanjian (skripsi dan tesis)

Setiap subjek hukum yang melakukan suatu perjanjian yang telah disepakati pasti akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban baru dari masing-masing pihak. Akan tetapi dalam membuat suatu perjanjian, tidak serta merta begitu saja perjanjian dapat dilaksanakan. Untuk mencegah terjadinya cedera janji maka di dalam pembuatan suatu perjanjian dikenal asas atau prinsipal yang harus dipegang oleh setiap subjek hukum yang ada.

Dalam hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut  meliputi[1]:
  1. Asas Konsensual
Asas Konsesnsualisme memberikan batasan bahwa suatu perjanjian terjadi sejak tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Perjanjian lahir setelah tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensual.
  1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian di Indonesia antara lain dapat dilihat dari Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan sebagian salah satu syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikat dirinya”, dan pada Pasal 1338 ayat (1) menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah

Syarat-syarat Perjanjian (skripsi dan tesis)

 

Adapun syarat-syarat sahnya untuk suatu perjanjian tersebut ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yakni:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.
Subekti menggolongkan keempat syarat tersebut ke dalam dua bagian menyangkut dua hal yaitu mengenai subyeknya (yang membuat perjanjian) dan kedua mengenai obyeknya yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing. Apabila tidak dipenuhinya syarat subyektifnya maka dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada hakim, sedangkan jika syarat obyektifnya juga dapat batal demi hukum (tanpa dimintakan pembatalan kepada hakim).[1]
Syarat mengenai subyek perjanjian harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut;[2]
  1. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum.
  2. Adanya kesepakatan menjadi dasar pembuatan perjanjian atas prinsip kebebasan menentukan kehendaknya (tanpa paksaan, kekhilafan dan penipuan)
Sedangkan untuk syarat objektif sendiri telah ditentukan bahwa:



  1. Apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak harus jelas isinya mengenai kewajiban para pihak.
  2. Para pihak membuat perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.[3]

   Pengertian Perjanjian (skripsi dan tesis)

 

Istilah “perjanjian” apabila ditelaah dari sudut pandang civil law system maka disebut dengan “overenkomst”, atau istilah yang sering disebut dengan agreement yang merupakan istilah populer dari sistem hukum common law. Kemudian sebatas pada lingkup sistem hukum yang diakui di Indonesia, konsep hukum perjanjian memiliki ruang pembahasan yang lebih luas daripada hukum perikatan yang mana hanya bertolak pada ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu perikatan karena undang-undang dan perikatan karena suatu perjanjian.[1]
Menurut pandangan Subekti, konsep perikatan terdiri dari beberapa pihak dimana terdapat pihak aktif (hak) dan pasif (kewajiban). Pihak yang berkedudukan pasif (kewajiban) terdiri dari dua hal yaitu schuld dan haftung. Schuld dalam arti yang sesungguhnya ialah berupa hutang yang mana hutang tersebut merupakan suatu keharusan untuk melakukan prestatie, terlepas dari adanya sanksi ataupun tidak. Sedangkan haftung lebih menekankan bahwa kewajiban tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.[2]
Melihat konsep perikatan dan perjanjian tersebut maka sesungguhnya sangat sulit sekali untuk membedakan karena secara terminologi keduanya tidak memiliki batasan yang begitu jelas. Terlepas dari perdebatan antara perikatan dan perjanjian, lebih lanjut menurut Ahmadi Miru dan Sakka Patti[3], perjanjian terbagi menjadi dua bentuk yaitu perjanjian tertulis ataupun perjanjian tidak tertulis.
Mengacu pada ketentuan pasal 1313 KUHPerdata maka pengertian perjanjian dimuat secara eksplisit sebagai berikut;
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Kemudian beberapa ahli juga memiliki versi pemahamannya masing-masing terkait dengan definisi perjanjian, hal ini karena banyak perdebatan dan pertentangan terkait definisi yang termuat dalam pasal tersebut. R Widjojo Prodjodikoro mengusung pengertian tentang perjanjian yang pada dasarnya perjanjian itu merupakan suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.[4] Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut:
“Bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”[5]

Jika pasal 1313 KUHPerdata di interpretasikan dan dikaji lebih mendalam lagi, maka dalam suatu perjanjian pasti akan ditemukan tiga unsur penting, yaitu adanya suatu perbuatan, sekurang-kurangnya dilaksanakan oleh dua orang, dan akibat dari perjanjian tersebut akan menimbulkan sebuah perikatan yang berlaku bagi para pihak yang bersangkutan (berjanji).
Bercermin dari tulisan Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, bahwa perbuatan yang dimaksud tersebut adalah perbuatan yang nyata baik itu hanya dalam sebuah ucapan ataupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam berupa bentuk pikiran semata. Berlatar belakang dari hal tersebutlah sampai saat ini kita kenal sebagai perjanjian konsensual, perjanjian formil dan perjanjian riil.[6]
Sehubungan dengan itu R. Setiawan memberikan penjelasan mengenai definisi perjanjian, bahwasanya perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.[7]

Akta Notaris (skripsi dan tesis)

Pengertian Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.  Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.[1]
Dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang di buat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, ditempat di mana akta dibuat. Pegawai umum yang dimaksud adalah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik, misalnya notaris, panitera juru sita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang. Sehingga, ada dua macam/golongan akta notaris, yaitu[2]:
  1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas atau akta pejabat)
Yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris, misalnya akta berita acara/risalah rapat RUPS suatu perseroan terbatas, akta pencatatan budel, dan lain-lain.
  1. Akta yang dibuat di hadapan notaris (akta partij).
Yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris memuat uraian dari apa yang diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada notaris, misalnya perjanjian kredit, dan sebagainya. Akta yang dibuat tidak memenuhi pasal 1868 Kitab UndangUndang Hukum Perdata bukanlah akta otentik, melainkan akta dibawah tangan.
Perbedaan mendasar antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah :
  • Akta Otentik
Akta itu disebut otentik apabila memenuhi 3 unsur, yaitu :
pertama, dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undang-undang, kedua, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, ketiga, pejabat umum itu harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Akta Otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ia memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan dalam akta ini. Ini berarti mempunyai kekuatan bukti sedemikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dan bagi hakim itu merupakan “Bukti Wajib/Keharusan”. Dengan demikian akta otentik mempunyai kekuatan pembukttian yang kuat sepanjang tidak dibantah kebenarannya oleh siapa pun, kecuali bantahan terhadap terhadap akta tersebut dapat dibuktikan sebaliknya.
 Akta otentik berfungsi sebagai suatu alat bukti tertulis yang digunakan bahan pertimbangan hakim dalam mengambil putusan apabila terjadi perselisihan antara para pihak atau apabila ada gugatan dari pihak yang berkepentingan.
 Suatu akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu[3] :
  1. sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu;
  2. sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak.
  3. sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa tanggal tertentu kecuali jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
  • Akta Bawah Tangan
Akta bawah tangan bagi hakim merupakan “Bukti Bebas” karena akta di bawah tangan ini baru mempunyai kekuatan bukti materiil setelah dibuktikan kekuatan formilnya. Sedang kekuatan pembuktian formilnya baru terjadi, bila pihak-pihak yang bersangkutan mengakui akan kebenaran isi dan cara pembuatan akta itu. Akta yang termasuk akta di bawah tangan yaitu [4]:
  1. Legalisasi, adalah akta di bawah tangan yang belum ditandatangani, diberikan kepada notaris dan dihadapan notaris ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan, setelah isi akta dijelaskan oleh notaris kepada mereka. Pada legalisasi, tanda tangannya dilakukan dihadapan yang melegalisasi.
  2. Waarmeken, adalah akta di bawah tangan yang didaftarkan untuk memberikan tanggal yang pasti. Akta yang sudah ditandatangani diberikan kepada notaris untuk didaftarkan dan diberi tanggal yang pasti. Pada waarmeken tidak menjelaskan mengenai siapa yang menandatangani dan apakah penandatangan memahami isi akta, hanya mengenai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tandatangan
Pada umumnya akta notaris itu terdiri dari tiga bagian antara lain[5]:
  1. Komparisi adalah bagian yang menyebutkan hari dan tanggal, akta nama nitaris dan tempat kedudukanya nama dari para penghadap, jabatanya dan tempat tinggalnya, beserta keterangan apakah ia bertindak untuk diri sendiri atau sebagai kuasa dari orang lain, yang harus disebutkan juga jabatan dan tempat tinggalnya beserta atas kekuatan apa ia bertindak sebagai wakil atau kuasa.
  2. Badan dari akta adalah bagian yang memuat isi dari apa yang ditetapkan sebagai ketentuan-ketentuanyang bersifat otentik, misalnya perjanjian, ketentuan- ketenuan mengenai kehendak terakhir (wasiat), dan atau kehendak para penghadap yang dituangkan dalam isi akta.
  3. Penutup merupakan uraian tentang pembacaan akta, nama saksi dan uraian tentang ada tidaknya perubahan dalam kata tersebut serta penerjemahan bila ada.