Wednesday, July 17, 2019

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (skripsi dan tesis)

 

Untuk mengetahui suatu perbuatan dalam suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum maka harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Adanya suatu perbuatan, yaitu suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si pelakunya. Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagai mana yang terdapat dalam kontrak.[1]
  2. Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang.[2]
  3. Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara[3] :
    • Objektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan akan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat.
    • Subyektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya
Unsur kesalahan dalam perbuatan melawan hukum tidak membeda-bedakan apakah kesalahan tersebut timbul karena kesengajaan (opzet-doluz) atau kesalahan karena kurang hati hati/kealpaan (Culpa). Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 1365 KUHPerdata, sehingga apabila demikian hakim harus dapat menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum guna memperoleh putusan ganti kerugian yang seadil-adilnya.
Perlu digaris bawahi bahwa orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya , karena seseorang yang dalam artian tidak cakap atau dalam keadaan khusus tidak mengerti tentang apa yang dilakukannya tidak wajib membayar ganti rugi. Sehingga terkait dengan adanya kesalahan tersebut terdapat dua kemungkinan sebagai berikut:
  1. Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam artian bahwa kecuali apabila orangnya yang dalam keadaan kerugian tersebut juga dalam keadaan melakukan kesalahan atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali apabila perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan dengan sengaja.
  2. Kerugian tersebut timbul karena perbuatan dari beberapa orang, sehingga perbuatan yang menyebabkan kerugian tersebut dapat dituntutkan masing-masing kepadanya.
  1. Setiap perbuatan melawan hukum harus ada kerugian yang ditimbulkan karenanya. Kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum biasanya terbagi ke dalam kerugian materiil dan idiil.[4]
  2. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Untuk menentukan hubungan ini maka terdapat dua teori yang dikenal yakni;[5]
    • Condition sine qua non, berdasarkan teori ini apabila seseorang melakukan perbuatan hukum dan nyata-nyata menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab daripada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
    • Addequate veroorzaking, berdasarkan teori ini batasan atas pertanggung jawaban dari si pembuat adalah  hanya sebatas  yang hanya dapat diharapkan sebagai akibat perbuatan melawan hukum.

Pengertian Perbuatan Melawan Hukum (skripsi dan tesis)

 

Hoge Raad di tahun 1919 masih mengartikan perbuatan melawan hukum secara sempit, yaitu setiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul dikarenakan undang-undang atau setiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Kemudian pengertian tersebut menjadi semakin meluas semenjak keluarnya putusan Hoge Raad tanggal 31 Juni 1919 dalam perkara Lindebaum melawan Cohen, yang pada saat itu juga Hoge Raad memberi pertimbangan bahwa “dengan perbuatan melawan hukum (onrecht matighedaad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup dengan orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.”[1]
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)  diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: “setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut Munir Fuady, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.[2]



Menurut R Wirjono Prodjodikoro, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan keguncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat yang secara luas meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.[3]

Tinjauan Umum tentang Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian Kredit (skripsi dan tesis)

Perjanjian yang telah disepakati dapat dibatalkan apabila mengandung cacat kehendak. Di dalam terminologi lama, cacat kehendak yang termuat dalam Pasal 1321 KUHPerdata meliputi kesesatan atau kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang atau bedreigning), dan penipuan (bedrog).[1]
  1. Satrio menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan keadaan, yaitu pada waktu menutup perjanjian salah satu pihak berada posisi yang terjepit, baik dikarenakan oleh keadaan ekonomis yang menekan; kesulitan keuangan yang mendesak atau; adanya hubungan atasan-bawahan; keunggulan ekonomis pada salah satu pihak; hubungan majikan buruh; orang tua/wali anak belum dewasa ataupun; adanya keadaan lain yang tidak menguntungkan, seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli; dan perjanjian tersebut mengandung hubungan prestasi yang tidak seimbang seperti pembebasan majikan dari menanggung risiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh; dan kerugian yang besar bagi salah satu pihak.[2]
Menurut Niewenhuis, menyatakan terdapat 4 (empat) syarat-syarat adanya penyalahgunaan keadaan. Pertama, keadaan-keadaan istimewa (bizondere omstendigheden) seperti: keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman. Kedua, suatu hal yang nyata (kenbaarhedi). Salah satu pihak mengetahui atau semistisnya mengetahui bahwa pihak lain karena istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian. Ketiga, penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya. Keempat, hubungan klausul (causaal verband), penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup, dalam artian unsur-unsur sebelumnya memiliki hubungan sebab dan akibat hingga akhirnya suatu perjanjian tersebut disepakati.[3]
Penyalahgunaan keadaan ini dapat mengakibatkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan keadaan yang mengakibatkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang bersifat independen.
Batalnya suatu perjanjian karena penyalahgunaan keadaan sama sekali tidak mutlak adanya satu taraf tertentu atau satu bentuk tertentu dari hal yang merugikan itu. Dirugikannya salah satu dari pihak-pihak hanya merupakan salah satu dari faktor-faktor yang di samping semua keterangan-keterangan lain seperti sifat dari keadaan-keadaan yang digunakan cara berlangsungnya penggunaan itu dan hubungan antara pihak-pihak menentukan apakah perjanjian itu bertolak satu sebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik.[4]
Kemudian apabila Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden) di lihat dari  sistem hukum Belanda NBW, maka konsep penyalahgunaan keadaan ini sudah termuat di dalam sistem hukum belanda tepatnya di dalam pasal 44 yang pada dasarnya menyebutkan bahwa seorang dianggap melakukan suatu misbruik van omstandigheden apabila ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa orang lain telah melakukan suatu perbuatan hukum tertentu karena orang itu berada dalam keadaan-keadaan yang khusus, seperti berada dalam keadaan yang sangat membutuhkan, berada dalam keadaan ketergantungan, berada dalam keadaan kecerobohan, memiliki kondisi mental yang abnormal, atau tidak mempunyai pengalaman, dan ia telah menganjurkan perbuatan hukum itu oleh orang lain, meskipun hal yang diketahui atau hal yang seharusnya diketahui itu seharusnya mencegah ia untuk menganjurkan orang lain itu berbuat yang demikian.[5]
Dengan demikian, akibat dari munculnya doktrin penyalahgunaan keadaan yang saat ini di Indonesia sendiri baru hanya sebatas yurisprudensi, maka salah satu unsur dari cacat kehendak adalah penyalahgunaan keadaan terlepas dari unsur-unsur cacat kehendak yang lainnya.[6]
Namun seiring berjalannya waktu, ternyata terdapat banyak perselisihan yang menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan (undue influence / misbruik van ombstandigheden) tidak dapat dipersatukan dengan unsur-unsur penyalahgunaan keadaan, sehingga secara faktual cacat kehendak tidak dapat dipergunakan sebagai dasar terhadap pembatalan perjanjian meskipun diketahui bahwa perjanjian tersebut mengandung ketidakadilan.
Lantas bagaimana posisi sesungguhnya penyalahgunaan keadaan ini, apakah mungkin bisa dikatakan sebagai unsur suatu kausa yang diperbolehkan seperti halnya yang termuat di dalam pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai permasalahan ini kemudian terdapat beberapa ahli yang berpendapat yang mengkaji permasalahan penyalahgunaan keadaan yang disandingkan dengan sebab kausa yang diperbolehkan / halal.
Menurut Prof. Mr. JM. Van Dunne dan Prof. Mr. Gr. Van Den Burght mengajukan beberapa pendapat sebagai berikut:
“Dalam ajaran hukum, pengertian tentang sebab ini diartikan sedemikian sehingga perjanjian berhubungan dengan tujuan atau maksud bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan yang baik atau ketertiban. Pengertian “sebab yang tidak dibolehkan”, itu, dulu dihubungkan dengan isi perjanjian. Pada penyalahgunaan keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat.”[7]
Begitu pula menurut Prof. Choen di dalam Hendry P. Pangabean bahwa pada dasarnya menyatakan kurang tepat jika penyalahgunaan keadaan disamaartikan atau di setarakan keberadaannya dengan kausa yang tidak halal (ongeoorloofde oorzak), karena karakter dari kausa yang tidak halal sudah cukup berbeda dengan penyalahgunaan keadaan, karena memang pada dasarnya tidak berkaitan dengan kehendak yang cacat. Meskipun di dalam suatu gugatan perdata terkait perjanjian tidak mencantumkan terkait dengan kausa yang tidak halal, hakim memiliki kewajiban secara ex officio untuk mempertimbangkannya. Hal ini pun jelas bereda dan menjadi bertolak belakang jika kita kaitkan dengan suatu kehendak yang cacat (wilsgebrek), karena pernyataan batal atau pembatalan perjanjian itu hanya akan diperiksa oleh hakim kalau didalilkan oleh yang bersangkutan.[8]
Oleh karenanya, melihat konstruksi hukum yang terbentuk antara penyalahgunaan keadaan dengan kausa yang halal dan cacat kehendak. Maka akan lebih tepat apabila penyalahgunaan keadaan merupakan satu kesatuan dengan cacat kehendak. Hal ini didasarkan pada apabila terdapat suatu kasus yang berkaitan dengan perjanjian yang mengakibatkan salah seorang dirugikan untuk menuntut pembatalan suatu perjanjian, maka gugatan yang mendasarkan pada penyalahgunaan keadaan harus terjadi pada suatu tujuan tertentu dan penggugat harus mendalilkan bahwa perjanjian tersebut sesungguhnya tidak dikehendaki dalam bentuk yang sedemikian rupa.[9]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan bagian dari suatu kehendak yang cacat dalam pembuatan perjanjian, yang memang pada hakikatnya lebih sesuai dengan penyalahgunaan itu sendiri, sehingga keberadaannya tidak berhubungan dengan syarat objektif perjanjian, melainkan mempengaruhi syarat-syarat subjektif.
Perbuatan penyalahgunaan keadaan menurut Van Dunne dibedakan menjadi dua penyebab yakni karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan. Adapun persyaratan dari masing-masing keunggulan tersebut adalah[10];
  1. Syarat penyalahgunaan keadaan keunggulan ekonomis:
    1. Adanya keunggulan ekonomis terhadap pihak lain.
    2. Perjanjian itu diadakan dalam keadaan terpaksa.
  2. Syarat penyalahgunaan keadaan keunggulan kejiwaan:
    1. Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami istri, dokter pasien, pendeta jemaat, hubungan antara sesama pedagang dan lain-lain.
    2. Adanya penyalahgunaan keadaan terhadap jiwa istimewa kepada pihak lain, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, terhadap barang yang dijadikan objek perjanjian, gegabah kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik dan sebagainya.

Perjanjian Dapat di Batalkan (Voidable atau Vernietigbaar) (skripsi dan tesis)

Secara teoretik, terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan. Hal yang disebut terakhir ini terjadi apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum.[1]
Terkait dengan batalnya suatu perjanjian yang disebabkan oleh unsur-unsur subjektif yang berkenaan dengan kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak, maka perjanjian yang dapat dibatalkan dapat dibagai ke dalam beberapa hal sebagai berikut:

a.      Terdapat Cacat Kehendak terhadap pihak yang membuatnya.

Secara eksplisit, KUHPerdata tidak menerangkan terkait dengan apa yang dimaksud dengan sepakat, melainkan terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai suatu keadaan yang dapat menghalangi kesepakatan tersebut sehingga perjanjian itu menjadi cacat hukum dan terancam dapat dibatalkan. Lebih tepatnya, keadaan tersebut termuat di dalam pasal 1321, 1322, 1323, 1324, 1325, 1328 KUHPerdata.
Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.[2] Cacat kehendak (wilsgebreken atau defect of consent) adalah kecacatan dalam pembentukan kata sepakat dalam suatu kontrak atau perjanjian. Cacat kehendak ini adalah tidak sempurnanya kata sepakat. Apabila kesepakatan mengandung cacat kehendak, memang tampak adanya kata sepakat, tetapi kata sepakat itu dibentuk tidak berdasar kehendak bebas. Cacat kehendak ini terjadi pada periode atau fase prakontrak.[3]
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Hal tersebut dipertegas dengan tulisannya Abdul Kadir Muhammad, yang menjelaskan bahwa tidak ada kekhilafan atau kekeliruan apabila salah satu pihak tidak khilaf mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting mengenai objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa perjanjian itu diadakan.[4]
Akan tetapi sebaliknya dalam pasal 1322 ayat (1) dan (2), menjelaskan bahwa kekeliruan atau kekhilafan tidak mengakibatkan suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan itu mengenai hakikat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Kemudian terkait dengan cacat kehendak yang lainnya yaitu apabila dalam kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat unsur paksaan dan penipuan. Hal tersebut termuat dalam pasal 1323 s/d 1325 KUHPerdata yang menyebutkan mengenai unsur paksaan. Tentang paksaan dalam KUH Perdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum  mengancam  orang  lain  dengan  ancaman  yang  terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Paksaan juga dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak berkepentingan dalam perjanjian tersebut.[5]
Kemudian, di dalam pasal 1328 menyebutkan mengenai perjanjian yang didasari atas unsur penipuan. Penipuan umumnya terjadi apabila terdapat perbuatan yang secara sengaja untuk memberikan keterangan yang tidak sebenarnya dan disertai dengan akal cerdik atau tipu muslihat guna untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuan atas suatu perjanjian.[6] Herlien Budiono juga menjelaskan bahwa penipuan terjadi tidak saja jika suatu fakta tertentu dengan sengaja disembunyikan atau tidak diungkap, tetapi juga bila suatu informasi yang keliru sengaja diberikan, atau bisa juga terjadi dengan tipu daya lainnya.[7]
Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat karena adanya cacat pada kehendak pihak yang membuatnya sehingga tidak ada kata sepakat, adalah dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1449 KUH Perdata yang menegaskan bahwa “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya”. Kalimat terakhir pasal itu, yaitu ‘menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya’ menunjukkan bahwa perjanjian yang cacat pada kehendak pihak-pihak yang membuatnya tidak otomatis batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, tetapi menjadi batal apabila ada penuntutan untuk   membatalkannya.[8]

b.      Perjanjian Dibuat oleh Orang yang Tidak Cakap Melakukan Tindakan Hukum

Orang yang oleh undang-undang dinyatakan  tidak  cakap,  dilarang  melakukan  tindakan hukum termasuk  membuat  perjanjian.[9] Terkait dengan tidak cakap hukum maka di dalam pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan sebagai berikut:
“Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah
  1. orang-orang yang belum dewasa;
  2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan”.

Akibat hukum bagi perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum, diatur dalam Pasal 1446 yang menyatakan bahwa
“(1) Semua perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya;
 (2) Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka”.

Terkait dengan ayat 1 dalam pasal 1446 KUHPerdata, terdapat beberapa selisih pendapat akan klausul “batal demi hukum”. Menurut pendapat  Subekti, ia menyatakan bahwa
 “Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif, tidak begitu saja  dapat  diketahui oleh Hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan bila dimajukan kepada Hakim mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subjektif, oleh undang-undang diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak.”[10]

Jadi memang seharusnya perjanjian yang seperti itu akibat hukumnya seharusnya bukan batal demi hukum melainkan dapat dibatalkan. Karena memang pendapat para ahli tersebut searah dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 1331 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa;
“Oleh karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat dalam hal kuasa itu tidak dikecualikan oleh UU. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas dasar ketidakcakapan anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”.






Pada dasarnya, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi baik itu dibuat oleh pihak yang tidak cakap hukum atau karena tidak adanya kehendak bebas  atau kesepakatan maka semuanya tergantung kepada para pihak yang bersangkutan. Apabila para pihak tetap menerima keadaan tersebut maka perjanjian tetap berlanjut dan sebaliknya jika salah satu pihak tidak menerima keadaan tersebut maka pihak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan pembatalan perjanjian, karena memang perjanjian semacam ini selalu terancam dengan suatu pembatalan.

Perjanjian Batal Demi Hukum (skripsi dan tesis)

Apabila perjanjian batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian, dan dengan demikian tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang membuat perjanjian semacam itu, yakni melahirkan perikatan hukum, telah gagal. Jadi, tidak ada dasar untuk saling menuntut di muka hakim.[1]
Perjanjian batal demi hukum, apabila disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:[2]



  1. Batal demi hukum yang dikarenakan syarat perjanjian formil tidak terpenuhi
  2. Syarat objektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi
  3. Batal demi hukum yang dikarenakan perjanjian dibuat oleh orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
  4. Terdapat syarat batal yang terpenuhi

Hal atau Kondisi yang Menyebabkan Batalnya Perjanjian (skripsi dan tesis)

Berkaitan dengan penyebab batalnya suatu perjanjian, landasan yuridis yang mendasari permasalahan tersebut masih belum terkodifikasi secara penuh. Menurut KUHPerdata, terdapat beberapa alasan yang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori sebagai berikut[1]:
  1. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum;
  2. Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat:
    • Perjanjian batal demi hukum, atau
    • Perjanjian dapat dibatalkan;
  3. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat;
  4. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio paulina;
  5. Pembatalan oleh pihak yang diberi wewenang khusus berdasarkan undang-undang.

Berakhirnya Perjanjian Kredit (skripsi dan tesis)

Ketika prestasi telah terpenuhi, maka secara otomatis perjanjian akan berakhir. Akan tetapi di dalam perjanjian kredit berakhirnya suatu perjanjian tidak sesederhana itu, pada prinsipnya perjanjian berakhir apabila telah terjadi hapusnya perikatan dan suatu perikatan akan berakhir karena beberapa hal sebagai berikut[1]:
  • Pembayaran
Yang dimaksud dengan “pembayaran” di sini bukan hanya batas pembayaran sejumlah uang, tetapi termasuk setiap tindakan, pemenuhan prestasi,. Penyerahan barang oleh penjual, merupakan bentuk dari pembayaran yang dilakukan oleh penjual. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
  • Pembaharuan hutang
Dalam Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan hutang :
  1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkannya, yang menggantikan hutang yang lama yang dihapuskan karenanya;
  2. Apabila seorang yang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;
  3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
  • Perjumpaan hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang atau kompensasi dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur merupakan suatu cara penghapusan hutang.
  • Percampuran hutang
Apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan.
  • Pembebasan hutang
Pembebasan hutang terjadi apabila berpiutang menyatakan dengan tegas tidak menginginkan lagi prestasi dari yang berhutang.
  • Musnahnya barang terutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan akan menghapuskan perikatannya selama musnahnya barang tersebut di luar kesalahan berutang.
  • Batal/pembatalan
Perjanjian yang kekurangan syarat objektifnya dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap, atau oleh pihak yang dalam paksaan atau karena khilaf atau tipu.
  • Berlakunya syarat batal
Pasal 1266 KUHPerdata mengatur bahwa “suatu syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.” Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hannyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
  • Lewatnya waktu /daluwarsa
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata yang dimaksud “daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang”.