Thursday, July 18, 2019
Berakhirnya Perjanjian (skripsi dan tesis)
Berakhirnya perjanjian berbeda dengan berakhirnya perikatan, suatu perikatan dapat berakhir tetapi perjanjian yang merupakan salah satu sumbernya masih tetap ada. Misalnya di dalam perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi hapus, namun perjanjiannya belum hapus karena masih ada perikatan untuk menyerahkan barang belum terlaksana. Suatu perjanjian telah hapus jika semua perikatan dari perjanjian itu telah hapus pula sebaliknya suatu perjanjian dapat mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatan yang ada di dalamnya apabila perjanjian itu hapus dengan berlaku surut, misalnya akibat pembatalan karena adanya wanprestasi. Suatu perjanjian dapat hapus karena ;
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak;
b.Ditentukan oleh undang-undang. Misalnya para akhli waris dapat mengadakan perjanjian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan selama waktu tertentu, akan tetapi perjanjian tersebut oleh undang-undang dibatasi hanya berlaku selama 5 tahun, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 1066 ayat (4) KUH Perdata.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian dapat hapus.
d. Pernyataan penghentian perjanjian (opzegging), hal ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak, dan opzegging ini hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara, misalnya perjanjian kerja maupun perjanjian sewa-menyewa.
e. Karena adanya putusan hakim.
f. Tujuan perjanjian telah tercapai.
g. Dengan perjanjian para pihak (herroepping)
Syarat Sahnya Perjanjian (skripsi dan tesis)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 syarat, keempat syarat tersebut adalah[1]:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat perjanjian.
- Mengenai hal tertentu.
- Suatu sebab yang khalal.
- Syarat subyektif.
- Syarat obyektif.
Pembedaan syarat subyektif dan syarat obyektif tersebut sangat penting artinya untuk melihat akibat hukum yang timbul apabila syarat tersebut tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif akan menimbulkan akibat hukum yang berbeda dengan tidak terpenuhinya syarat obyektif. Jika tidak terpenuhi syarat subyektif, maka perjanjian yang dibuatnya dapat dimintakan pembatalan atau dapat dibatalkan (vernietigbaarheid atau viodable). Pihak yang dapat memintakan pembatalan adalah pihak yang tidak memberikan sepakat, atau sepakat yang diberikan tidak bebas, atau pihak yang tidak cakap, dalam hal ini orang tua, wali atau pengampu. Sebelum ada permohonan pembatalan dari pihak yang bersangkutan, maka perjanjian tersebut berjalan terus sebagaimana halnya sebagai suatu perjanjian yang tidak mempunyai cacat hukum. Pasal 1454 KUH Perdata membatasi jangka waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan suatu perjanjian yang dibuatnya, yaitu dalam kurun waktu 5 tahun. Jangka waktu itu dihitung sejak hari kedewasaan dalam hal belum dewasa, sejak hari pencabutan pengampuan dalam hal orang tersebut di bawah pengampuan, atau sejak diketahuinya adanya kekilafan atau adanya penipuan dalam hal ada kekilafan atau adanya penipuan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut.
Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut adalah batal demi hukum atau nietig, namun demikian yang berhak menentukan perjanjian tersebut batal demi hukum tetap harus diajukan di muka pengadilan. Selanjutnya 4 syarat sahnya perjanjian diuraikan satu persatu yaitu:
- Sepakat untuk mengikatkan diri
Kesepakatan atau kata sepakat tersebut harus diberikan secara bebas, dan untuk menentukan ada kebebasan dalam kesepakatan atau tidak, di dalam KUH Perdata menentukan bahwa ada 3 hal yang menentukan bahwa kesepakatan tersebut benar-benar bebas yaitu tidak ada paksaan, tidak ada kekilafan dan tidak terjadi penipuan. Hal tersebut dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1321 KUH Perdata “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”
Kekilafan (dwaling) atau kesesatan terjadi apabila salah satu pihak memberikan suatu persetujuan tetapi ternyata ia telah kilaf mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau sifat-sifat penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian atau juga mengenai orang dengan siapa ia mengadakan perjanjian Kekilafan berdasarkan ketentuan Pasal 1322 KUH Perdata, dapat berupa 2 hal yaitu:
- Kekilafan tentang orang dengan siapa seseorang mengikatkan diri (error in persona)
- Kekilafan mengenai hakekat benda yang menjadi obyek perjanjian (error in substantia).
- Apabila terjadi keklafan maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan, namun untuk terkabulnya pembatalan tersebut harus memenuhi 2 syarat yaitu:
- Pihak lawan mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa orang yang mengadakan perjanjian justru menyetujui berdasarkan ciri-ciri dan keadaan yang salah tersebut
- Dengan memperhatikan semua keadaan, pihak yang melakukan kekhilafan tersebut seharusnya secara wajar dapat dan boleh mempunyai gambaran seperti itu.
Untuk penipun, ini terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau dipalsukan atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinkannya. Dari ketentuan tersebut menunjukan bahwa keterangan-keterangan palsu saja bukan merupakan penipuan, misalnya Yamaha nomor satu di dunia, suatu obat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, tetapi kalau disertai dengan tipu muslihat, baru dapat dikategorikan sebagai penipuan. Apabila terjadi hal semacam itu, maka perjanjian yang telah disepakati dapat dimintakan pembatalan.Kekhilafan, paksaan dan penipuan ketiga hal tersebut bukan menimbulkan perjanjian menjadi tidak sah, namun hanya menimbulkan bahwa perjanjian tersebut sewaktu-waktu dapat dimintakan pembatalan, karena sepakat yang diberikan mengandung cacat.
Selain cacat dalam memberikan sepakat seperti yang dikemukakan, merupakan cacat yang di atur di dalam KUH Perdata, namun di luar itu masih ada penyebab sepakat menjadi cacat yaitu dikenal sebagai penyalahgunaan keadaan (undue influence) yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Amerika. Penyalah gunaan keadaan ini terjadi apabila salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih unggul secara ekonomis atau status sosial sehingga pihak tersebut melakukan penekanan sedemikian rupa kepada pihak lain dan menyalahgunakan kedudukannya itu dalam perjanjian. Hal ini sering terjadi dalam perjanjian standar yang isinya telah disiapkan oleh salah satu pihak dalam bentuk formulir yang mempunyai kedudukan lebih unggul, sehingga pihak lawan tinggal meyetujui isi perjanjian yang dimaksud
- Kecakapan untuk membuat perjanjian.
- Mereka yang belum dewasa;
- Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
- orang perempuan dalam hal –hal yang ditetapkan undang-undang.
- Suatu hal tertentu
Hal tertentu di dalam suatu perjanjian merupakan pokok perjanjian yang berupa prestasi yang harus dipenuhi. Pentingnya prestasi ini harus ditentukan atau dapat ditentukan adalah berguna untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, terutama jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Apabila suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan karena prestasinya tidak jelas, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian, akibat tidak dipenuhinya syarat ini maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum.
4 Suatu sebab yang khalal.
Sebab atau causa di dalam suatu perjanjian adalah suatu hal yang dimaksudkan oleh para pihak dengan pembuatan suatu perjanjian, atau tujuan dari perjanjian tersebut. Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”, kemudian di dalam Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.” Dalam hal ada perjanjian dengan sebab yang tidak khalal, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, sehingga penuntutan pemenuhan perjanjian di pengadilan menjadi tidak ada, karena perjanjian yang batal demi hukum (meskipun harus dilakukan oleh hakim), dianggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.
Asas-Asas Perjanjian (skripsi dan tesis)
Perjanjian dibuat mengikuti beberapa asas yang dapat diuraikan sebagai berikut[1]:
Perluasan terhadap asas kepribadian tersebut terdapat dalam Pasal 1318 KUH Perdata mengenai pihak-pihak yang menadakan perjanjian yaitu meliputi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, namun hal tersebut tergantung pada sifat perjanjian yang diadakan oleh para pihak baik yang secara tegas ditetapkan maupun yang hanya disimpulkan bahwa tidak demikian yang dimaksud.
Pengecualian asas konsensualisme adalah apabila undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dianggap tidak ada. Contoh adalah perjanjian perdamaian, perjanjian jual-beli tanah, kedua perjanjian tersebut memerlukan formalitas tertentu, yaitu perjanjian perdamaian harus dalam bentuk tertulis, dan perjanjian jual-beli tanah harus dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengecualian yang lain terhadap asas konsensualisme adalah terhadap perjanjian riil, perjanjian ini baru lahir jika yang menjadi obyek perjanjian tersebut telah diserahkan, sebagai contoh perjanjian penitipan barang, perjanjian ini baru lahir jika barang yang dititipkan diserahkan.
Asas pacta sunt servanda ini menjamin adanya kepastian hukum, para pihak tidak dapat semaunya melepaskan diri secara sepihak terhadap perjanjian yang dibuatnya tanpa ksepakatan dari pihak yang lain. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa “perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Adanya ketentuan tersebut, maka para pihak harus mentaati dan melaksanakan apa yang telah mereka sepakati bersama. Pihak ketiga termasuk hakim wajib menghormati perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, dalam arti:
Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan itikad baik ini, hakim diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian ada tidaknya pelanggaran terhadap norma kepatutan dan norma kesusilaan. Di dalam melaksanakan suatu perjanjian dengan itikad baik, para pihak mempunyai keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan kepatutan, sehingga diharapkan tercapai keadilan bagi kedua belah pihak.
- Asas Kebebasan Berkontrak
- Asas konsensualisme
- Asas keseimbangan
- Asas kepercayaan
- Asas kebiasaan
- Asas Kepribadian
Perluasan terhadap asas kepribadian tersebut terdapat dalam Pasal 1318 KUH Perdata mengenai pihak-pihak yang menadakan perjanjian yaitu meliputi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, namun hal tersebut tergantung pada sifat perjanjian yang diadakan oleh para pihak baik yang secara tegas ditetapkan maupun yang hanya disimpulkan bahwa tidak demikian yang dimaksud.
- Asas Konsensualisme
Pengecualian asas konsensualisme adalah apabila undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu yang apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dianggap tidak ada. Contoh adalah perjanjian perdamaian, perjanjian jual-beli tanah, kedua perjanjian tersebut memerlukan formalitas tertentu, yaitu perjanjian perdamaian harus dalam bentuk tertulis, dan perjanjian jual-beli tanah harus dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pengecualian yang lain terhadap asas konsensualisme adalah terhadap perjanjian riil, perjanjian ini baru lahir jika yang menjadi obyek perjanjian tersebut telah diserahkan, sebagai contoh perjanjian penitipan barang, perjanjian ini baru lahir jika barang yang dititipkan diserahkan.
- Asas Kebebasan Berkontrak
- bebas mengadakan perjanjian atau tidak.
- bebas mengadakan perjanjian kepada siapapun yang dikehendaki.
- bebas menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuat.
- bebas menentukan bentuk perjanjian yang akan dibuat.
- bebas menentukan hukum mana yang akan diberlakukan.
- Adanya standarisasi dalam perjanjian atau adanya perjanjian standar. Hal ini disebabkan perkembangan ekonomi yang menghendaki segala serba cepat, yang pada umumnya salah satu pihak ada yang mempunyai kedudukan secara ekonomi lebih kuat di dalam membuat perjanjian tersebut. Perjanjian standar tersebut merupakan perjanjian yang isinya dibakukan dalam bentuk formulir, sehingga yang dibakukan adalah bentuk , isi dan syarat-syarat perjanjian.
- Woeker Ordonantie 1938, atau dikenal dengan undang-undang riba. Ini merupakan bentuk campur tangan pemerintah guna melindungi pihak-pihak yang secara ekonomi lemah kedudukannya. Jika dalam suatu perjanjian kewaajiban para pihak yang bersifat timbal balik ternyata terdapat ketimpangan yang sedemikian rupa, sehingga melampaui batas yang layak maka perjanjian itu dapat dibatalkan baik atas permintaan para pihak maupun oleh hakim karena jabatannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa:
- Pihak yang dirugikan telah menginsyafi akibat yang timbul dari perjanjian yang dibuatnya;
- Pihak yang dirugikan tidak bertindak secara bodoh atau kurang pengalaman.
- Asas kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda ini menjamin adanya kepastian hukum, para pihak tidak dapat semaunya melepaskan diri secara sepihak terhadap perjanjian yang dibuatnya tanpa ksepakatan dari pihak yang lain. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang dinyatakan bahwa “perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.” Adanya ketentuan tersebut, maka para pihak harus mentaati dan melaksanakan apa yang telah mereka sepakati bersama. Pihak ketiga termasuk hakim wajib menghormati perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut, dalam arti:
- mengakui keberadaan perjanjian yang dibuatnya;
- tidak mencampuri isi perjanjian tersebut , tidak menambah, mengurangi ataupun menghilangkan kewajiban kontraktual yang ada dalam perjanjian tersebut.
- Asas Itikad Baik
- itikad baik dalam pengertian subyektif
- Itikad baik dalam pengertian obyektif
Apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan itikad baik ini, hakim diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian ada tidaknya pelanggaran terhadap norma kepatutan dan norma kesusilaan. Di dalam melaksanakan suatu perjanjian dengan itikad baik, para pihak mempunyai keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kesusilaan dan kepatutan, sehingga diharapkan tercapai keadilan bagi kedua belah pihak.
Unsur Dalam Perjanjian (skripsi dan tesis)
Di dalam perjanjian sendiri termuat mengenai tiga unsur yaitu [1]:
Berdasarkan berbagai pengertian di atas maka perjanjian adalah perbuatan hukum persegi dua atau jamak, untuk itu diperlukan kata sepakat para pihak. Dimana di dalamnya terdapat empat syarat yang harus dipenuhi yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.
- Essentialia
- Naturalia
- Accidentalia
Berdasarkan berbagai pengertian di atas maka perjanjian adalah perbuatan hukum persegi dua atau jamak, untuk itu diperlukan kata sepakat para pihak. Dimana di dalamnya terdapat empat syarat yang harus dipenuhi yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.
Pengertian Perjanjian (skripsi dan tesis)
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari suatu istilah dalam bahasa Belanda yaitu overeenkomst. Di kalangan ahli hukum masih terjadi perbedaan pendapat tenntang istilah dan pengertian overeenkomst. Sebagian ahli hukum menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian, sementara sebagian ahli hukum yang lain menterjemahkan dengan istilah persetujuan. Istilah overeenkomst diterjemahkan menjadi persetujuan oleh Wirjono Prodjodikoro. Setiawan sependapat dengan Wirjono Prodjodikoro berkaitan dengan penggunaan istilah persetujuan untuk menterjemahkan overeenkomst. [1]
Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut merupakan pengertian yang tidak sempurna dan kurang memuaskan, karena terdapat beberapa kelemahan. [2]
Syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi : untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Pengertian berdasarkan beberapa ahli menunjukkan bahwa terdapat perbedaan berdasarkan sudut pandang yang digunakan. Menurut Setiawan overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Oleh karena itu istilah terjemahannyapun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan istilah itu beliau lebih menyetujui penggunaan istilah persetujuan. Subekti cenderung menggunakan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst, meskipun beliau berpendapat bahwa antara perjanjian dan persetujuan adalah sama karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu
. Sementara itu Sudikno Mertokusumo menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian. Penerjemahan demikian karena salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya toesteming yang dapat diterjemahkan sebagai persetujuan, kata sepakat, persetujuan kehendak atau konsensus. Kata sepakat, persesuaian kehendak atau konsesnsus. Apabila overeenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan, maka akan menimbulkan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst. Dari uraian tersebut menunjukan sampai saat ini masih belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah tersebut, namun di dalam kenyataannya lebih banyak menerjemahkan dengan perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain sebagainya. Oleh sebab itu dalam penulisan ini digunakan istilah perjanjian yang merupakan terjemahan dari overeenkomst. [3]
Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian”, kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. [4] Sedangkan dalam pernyataan lain menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.[5]
Menurut Handri bahwa pengertian perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.[6]
Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut merupakan pengertian yang tidak sempurna dan kurang memuaskan, karena terdapat beberapa kelemahan. [2]
Syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi : untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Pengertian berdasarkan beberapa ahli menunjukkan bahwa terdapat perbedaan berdasarkan sudut pandang yang digunakan. Menurut Setiawan overeenkomst berasal dari kata kerja overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Oleh karena itu istilah terjemahannyapun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan istilah itu beliau lebih menyetujui penggunaan istilah persetujuan. Subekti cenderung menggunakan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst, meskipun beliau berpendapat bahwa antara perjanjian dan persetujuan adalah sama karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu
. Sementara itu Sudikno Mertokusumo menerjemahkan overeenkomst dengan istilah perjanjian. Penerjemahan demikian karena salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya toesteming yang dapat diterjemahkan sebagai persetujuan, kata sepakat, persetujuan kehendak atau konsensus. Kata sepakat, persesuaian kehendak atau konsesnsus. Apabila overeenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan, maka akan menimbulkan istilah perjanjian sebagai terjemahan dari overeenkomst. Dari uraian tersebut menunjukan sampai saat ini masih belum ada kesamaan pendapat mengenai istilah tersebut, namun di dalam kenyataannya lebih banyak menerjemahkan dengan perjanjian, misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa dan lain sebagainya. Oleh sebab itu dalam penulisan ini digunakan istilah perjanjian yang merupakan terjemahan dari overeenkomst. [3]
Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian”, kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. [4] Sedangkan dalam pernyataan lain menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.[5]
Menurut Handri bahwa pengertian perjanjian adalah suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.[6]
Komitmen Organisasi (skripsi dan tesis)
Komitmen organisasi diartikan sebagai bentuk keterikatan, identivikasi dan keterlibatan dari individu untuk organisasi (Sutisno, 2007: 293).
Komitmen tidak terjadi hanya sepihak saja, tetapi antara organisasi dan karyawan secara bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif untuk mencapai komitmen yang dimaksud. Dalam hal ini organisasi dapat menciptakan kepuasan kepada karyawannya antara lain dengan fasilitas yang memadai, hubungan kerja yang harmonis, jaminan sosial, keamanan dan sebagainya.
Dengan komitmen maka karyawan memiliki kesadaran yang tinggi untuk tetap bekerja dalam organisasi. Adanya keyakinan, kekuatan dan kesungguhan karyawan ini akan menimbulkan kinerja yang baik. Komitmen organisasional sebagai derajat seberapa jauh karyawan mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu. Seberapa tingkat kualitas hubungan antara karyawan dengan organisasi, adanya penerimaan/kebanggaan karyawan terhadap nilai-nilai organisasi dan seberapa keras usaha karyawan untuk melaksanakan pekerjaan untuk mencapai prestasi kerja guna mencapai tujuan organisasi serta kesediaan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Komitmen organisasional merupakan respon afektif pada organisasi secara menyeluruh, yang kemudian menunjukkan suatu respon afektif individu didalam organisasi terhadap evaluasi masa lalu dan masa sekarang, serta penilaian yang bersifat individual bukan kelompok atau organisasi. Komitmen organisasi cenderung didefinisikan sebagai suatu perpaduan antara sikap dan perilaku (Gibson et.al., 2006:147). Komitmen organisasi menyangkut tiga sikap yaitu, rasa mengidentifikasi dengan tujuan organisasi, rasa keterlibatan dengan tugas organisasi, dan rasa kesetiaan kepada organisasi (Gibson et.al., 2006:148).
Komitmen merupakan sebuah sikap dan perilaku yang saling mendorong (reinforce) antara satu dengan yang lain. Karyawan yang komit terhadap organisasi akan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif terhadap lembaganya, karyawan akan memiliki jiwa untuk tetap membela organisasinya, berusaha meningkatkan prestasi, dan memiliki keyakinan yang pasti untuk membantu mewujudkan tujuan organisasi. Komitmen karyawan terhadap organisasinya adalah kesetiaan karyawan terhadap organisasinya, disamping juga akan menumbuhkan loyalitas serta mendorong keterlibatan diri karyawan dalam mengambil berbagai keputusan. Oleh karenanya komitmen akan menimbulkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) bagi karyawan terhadap organisasi.
Untuk organisasi mencakup tiga sikap, yaitu:
- Keinginan yang kuat untuk menjadi anggota organisasi.
- Kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi.
- Suatu keyakinan tertentu dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi (Sutrisno, 2007: 292).
Etos Kerja (skripsi dan tesis)
Etos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak hanya dimiliki oleh individu tetapi juga oleh kelompok. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakini. (Toto Tasmara, 15:2004).
Adapun kerja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya kegiatan melakukan sesuatu. Etos kerja, menurut Mochtar Buchori dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja; ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa (Assifudin, 2004:27). Sedangkan kerja yang dimaksud dalam konteks etos kerja itu adalah kerja bermotif dan terikat dengan penghasilan atau upaya memperoleh hasil, baik bersifat materiil atau nonmateriil.
Etos kerja dapat diartikan sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai hal yang baik dan benar yang mewujud nyata secara khas dalam perilaku kerja mereka. Apabila etos kerja diambil secara kontinu dalam rentang waktu yang panjang, maka secara psikis terbentuklah kebiasaan kerja yang mapan, yang pada gilirannya menjadi ciri khas kelompok tersebut. Proses ini yang akhirnya membentuk karakter warga organisasi.
Dari sejumlah definisi dan penjelasan di atas, meski beragam, namun dapat ditangkap maksud yang berujung pada pemahaman bahwa etos kerja merupakan karakter dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya. Lalu selanjutnya dimengerti bahwa timbulnya kerja dalam konteks ini adalah karena termotivasi oleh sikap hidup mendasar itu.
Gunnar Myrdal mengemukakan tiga belas sikap yang menandai etos kerja tinggi pada seseorang :
- Efisien
- Rajin
- Teratur
- Disiplin/tepat waktu;
- Hemat
- Jujur dan teliti
- Rasional dalam mengambil keputusan dan tindakan
- Bersedia menerima perubahan
- Keputusan dan tindakan
- Energik
- Gesit dalam memanfaatkan kesempatan
- Mampu bekerjasama
- Mempunyai visi yang jauh ke depan. (Assifudin, 2004:35).
- Aktif dan suka bekerja keras;
- Bersemangat dan hemat;
- Tekun dan profesional;
- Efisien dan kreatif;
- Jujur, disiplin, dan bertanggung jawab;
- Mandiri;
- Rasional serta mempunyai visi yang jauh ke depan;
- Percaya diri namun mampu bekerjasama dengan orang lain;
- Sederhana, tabah dan ulet;
- Sehat jasmani dan rohani. (Assifudin, 2004:36)
Subscribe to:
Comments (Atom)