Chaplin (2006) mengatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk mebimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Menurut Sarafino (1994), kontrol diri dapat diartikan sebagai keyakinan dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk mencapai hasil yang diinginkan dan menghindari hasil yang tidak diinginkan. Hetherington (1984) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan untuk melarang atau mengarahkan tingkah laku sesuai dengan aturan atau norma sosial. Kontrol diri benar-benar terpengaruh oleh faktor keadaan atau situasi. Bagian dari situasi dan tipe perilaku tersebut dapat berjalan bersamaan dan lebih konsisten dari pengaturan moral yang terjadi.
Burger (1989) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan yang dirasakan dapat mengubah kejadian secara signifikan. Individu dianggap mempunyai kemampuan dalam mengelola perilakunya. Kemampuan tersebut membuat individu mampu memodifikasi kejadian yang dihadapinya, sehingga berubah sesuai dengan kemampuannya. Hurlock (1973) mengatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Kontrol emosi menunjukkan kemasakan emosi. Kriteria dari kemasakan emosi adalah kemampuan untuk menilai situasi secara kritis sebelum bereaksi dan selanjutnya memutuskan bagaimana reaksi yang tepat terhadap situasi tersebut.
Menurut Calhoum dan Acocella (1995), kontrol diri adalah pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Kontrol diri dianggap sebagai lawan dari kontrol eksternal. Kontrol diri mengandung pengertian individu menentukan standar perilaku. Kontrol diri akan memberi ganjaran bila memenuhi standar tersebut. Pada kontrol eksternal, orang lain menentukan standar dan memberi atau menahan ganjaran.
Kontrol diri merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan dan digunakan individu selama proses-proses dalam kehidupan, termasuk dalam menghadapi kondisi yang terdapat di lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli berpendapat bahwa selain dapat mereduksi efek-efek psikologis yang negatif dari stresor-stresor lingkungan, kontrol diri juga dapat digunakan sebagai suatu intervensi yang bersifat pencegahan (Gustinawati, 2002).
Dalam penelitian ini, peneliti menyamakan istilah kontrol pribadi sama dengan istilah kontrol diri. Hal ini dikarenakan keduanya mempunyai pengertian yang sama, yaitu sama-sama menjelaskan mengenai kepercayaan atau keyakinan seseorang dalam melakukan perubahan perilaku dengan mengambil tindakan yang efektif demi memperoleh hasil yang lebih baik untuk masa depannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kontrol diri dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat membuat keputusan dalam menunda kepuasan segera dan mengambil tindakan yang efektif dalam mengendalikan perilaku, bertujuan untuk memperoleh hasil yang menguntungkan di masa yang akan datang dan menghindari hasil yang tidak menguntungkan lewat tindakannya sendiri. Untuk seterusnya, peneliti tetap menggunakan istilah kontrol diri.
Saturday, July 20, 2019
Teori sistem keluarga (skripsi dan tesis)
Teori sistem keluarga dikemukakan oleh Minuchin (1974) dengan mengajukan skema konsep memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen. Pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi dalam usahanya untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya (Lestari, 2012).
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem (Lestari, 2012).
Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan. Untuk itu, dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam bereasi agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).
Keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian saling berhubungan dan saling berkaitan serta memiliki sistem hierarki yang berarti terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu atau relasi dua pihak (Lestari, 2012). Proses saling mempengaruhi sesama anggota keluarga dapat terjadi secara langsung misalnya dalam hubungan suami-istri, ayah-anak, ibu-anak; dan terjadi secara tidak langsung berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).
Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi yang efektif sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu dan kualitas hubungan menjadi lebih baik. Kualitas hubungan yang baik akan mempengaruhi kuatnya ikatan antar anggota keluarga. Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis (Lestari, 2012).
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara. Relasi yang ada dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012). Terwujudnya keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri yang perlu diusahakan secara terus-menerus. Keharmonisan perkawinan merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).
Dalam usaha menciptakan dan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga inilah dibutuhkan kemampuan baik suami maupun istri untuk mengelola konflik yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995). Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996) menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan, yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntutan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transaksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem (Lestari, 2012).
Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Dalam menghadapi tekanan tersebut, keluarga mempertahankan kontinuitasnya sambil melakukan restukturisasi yang dimungkinkan. Untuk itu, dibutuhkan perubahan konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam bereasi agar anggota keluarga dapat tetap tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya (Lestari, 2012).
Keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagian-bagian saling berhubungan dan saling berkaitan serta memiliki sistem hierarki yang berarti terdapat subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu atau relasi dua pihak (Lestari, 2012). Proses saling mempengaruhi sesama anggota keluarga dapat terjadi secara langsung misalnya dalam hubungan suami-istri, ayah-anak, ibu-anak; dan terjadi secara tidak langsung berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak lain misalnya sikap suportif ayah akan mempengarui kualitas hubungan ibu dengan bayinya (Lestari, 2012).
Berdasarkan teori sistem keluarga yang sudah dipaparkan, pelatihan manajemen konflik dirancang untuk membantu pasangan menemukenali konflik dalam hubungan interpersonal dan cara untuk menemukan solusi yang efektif sehingga diharapkan pasangan suami istri dapat meningkatkan kualitas individu dan kualitas hubungan menjadi lebih baik. Kualitas hubungan yang baik akan mempengaruhi kuatnya ikatan antar anggota keluarga. Bila ikatan yang terjalin cukup kuat maka antar anggota keluarga dapat bersikap luwes dalam berinteraksi dan didukung terpeliharanya saat-saat kebersamaan akan mewujudkan keluarga yang harmonis (Lestari, 2012).
Relasi dalam keluarga dimulai dengan relasi pasangan suami-istri kemudian diikuti relasi orangtua-anak dan relasi antar saudara. Relasi yang ada dalam keluarga bersifat dinamis dan dapat membawa pengaruh positif atau negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi (Lestari, 2012). Terwujudnya keharmonisan keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan istri yang perlu diusahakan secara terus-menerus. Keharmonisan perkawinan merupakan suatu hal yang perlu diupayakan oleh pasangan suami istri sebagaimana hasil penelitian menunjukkan bahwa keharmonisan perkawinan berpengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis (Williams, 2003).
Dalam usaha menciptakan dan meningkatkan keharmonisan dalam keluarga inilah dibutuhkan kemampuan baik suami maupun istri untuk mengelola konflik yang muncul, sehingga efek dari keberadaan konflik justru mampu mengeratkan ikatan suami istri (Supraktiknya, 1995). Dobos, dkk. (Benokraitis, 1996) menyatakan, beberapa hal yang dapat menimbulkan masalah dalam perkawinan, yaitu masalah keuangan, mengurus anak, adanya perbedaan gaya hidup, hubungan dengan teman, perbedaan kepribadian, masalah dengan mertua, masalah keagamaan, perbedaan politik, serta masalah seks.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan harmonis yang akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar bekerja sama dalam mengelola konflik perkawinan menggunakan manajemen konflik konstruktif sehingga dapat menemukan solusi permasalahan yang sehari-hari dihadapi.
Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri (skripsi dan tesis)
Pelatihan manajemen konflik ialah serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk mengendalikan konflik agar dihasilkan resolusi konflik konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri. Pengetahuan tersebut diharapkan akan memengaruhi perubahan perilaku sesuai situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri. Komunikasi yang terjalin di antara pasangan suami istri dalam menangani konflik dapat memupuk keeratan hubungan dalam keluarga. Proses yang dijalani pasangan dalam mengelola konflik dan komitmen menjalani resolusi konflik juga dapat meningkatkan rasa saling menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi keharmonisan keluarga.
Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau pelatihan. Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan. Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik.
Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.
Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising, avoiding, dan accomodation. Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif. Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap memerhatikan keberlangsungan hubungan. Suami istri bersikap kooperatif dengan bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan. Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising (kompromi). Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah. Pada gaya manajemen konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal. Gaya kompromi diterapkan pasangan suami istri dalam merumuskan penyelesaian ketika gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan. Gaya kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.
Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi. Di dalam mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik yang telah diputuskan bersama. Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut Kovikondala dkk. (2015), sehingga pengetahuan dan keterampilan mengelola konflik yang dikuasai oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.
Keharmonisan, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas konflik yang minim (Stinnet & DeFrain dalam Hawati, 1996). Kualitas dan kuantitas konflik yang dialami pasangan suami istri dapat diturunkan melalui pelatihan manajemen konflik. Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru kepada pasangan suami istri untuk digunakan bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif. Melalui pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995). Hal itu didukung hasil penelitian Dewi & Sudhana (2013) yang menyatakan adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan keharmonisan. Senada dengan Najoan (2015) yang menyatakan bahwa komunikasi terbuka yang didasari kejujuran dan saling percaya antara pasangan suami istri menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Nilai dalam perkawinan dan pemaafan merupakan faktor yang berkontribusi dalam mewujudkan keluarga harmonis (Nancy, dkk., 2012). Pasangan yang menunjung tinggi nilai dalam perkawinan akan memadang perkawinan sebagai sesuatu yang bernilai, berharga dan patut untuk dipertahankan. Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif dalam resolusi konflik. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat mewujudkan keharmonisan keluarga dengan minimnya kuantitas konflik.
Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau pelatihan. Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan. Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik.
Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.
Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising, avoiding, dan accomodation. Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif. Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap memerhatikan keberlangsungan hubungan. Suami istri bersikap kooperatif dengan bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan. Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising (kompromi). Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah. Pada gaya manajemen konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal. Gaya kompromi diterapkan pasangan suami istri dalam merumuskan penyelesaian ketika gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan. Gaya kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.
Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi. Di dalam mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik yang telah diputuskan bersama. Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut Kovikondala dkk. (2015), sehingga pengetahuan dan keterampilan mengelola konflik yang dikuasai oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.
Keharmonisan, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas konflik yang minim (Stinnet & DeFrain dalam Hawati, 1996). Kualitas dan kuantitas konflik yang dialami pasangan suami istri dapat diturunkan melalui pelatihan manajemen konflik. Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru kepada pasangan suami istri untuk digunakan bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif. Melalui pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995). Hal itu didukung hasil penelitian Dewi & Sudhana (2013) yang menyatakan adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan keharmonisan. Senada dengan Najoan (2015) yang menyatakan bahwa komunikasi terbuka yang didasari kejujuran dan saling percaya antara pasangan suami istri menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Nilai dalam perkawinan dan pemaafan merupakan faktor yang berkontribusi dalam mewujudkan keluarga harmonis (Nancy, dkk., 2012). Pasangan yang menunjung tinggi nilai dalam perkawinan akan memadang perkawinan sebagai sesuatu yang bernilai, berharga dan patut untuk dipertahankan. Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif dalam resolusi konflik. Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat mewujudkan keharmonisan keluarga dengan minimnya kuantitas konflik.
Tahapan Pelatihan Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)
Pelatihan manajemen konflik dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada langkah manajemen konflik yang dikemukakan oleh Pruitt & Rubin (2004), dipadu dengan gaya manajemen konflik yang dikemukakan oleh Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011). Pelatihan ini akan dilaksanakan selama 2 hari dan terdiri dari 6 sesi yang masing-masing sesi berlangsung selama 15-50 menit.
Langkah-langkah manajemen konflik konstruktif yang digunakan dalam pelatihan dijabarkan sebagai berikut (Pruitt & Rubin, 2004):
Langkah-langkah manajemen konflik konstruktif yang digunakan dalam pelatihan dijabarkan sebagai berikut (Pruitt & Rubin, 2004):
- Memastikan adanya konflik dengan melihat dan menyadari bahwa konflik sedang terjadi antara pihak satu dengan pihak lain. Pasangan suami istri dilatih untuk bersedia mengakui dan menyatakan mempunyai masalah yang nyata dengan tujuan bekerja sama untuk mengatasi masalah tersebut. Sebab-sebab munculnya konflik perlu dipahami pasangan termasuk berbagai hal yang terkait dengan konflik. Terkadang sebab konflik yang nampak bukanlah sebab sebenarnya. Masing-masing pihak perlu memahami adanya kemungkinan kesalahpahaman terhadap pendapat atau kepentingan pasangan. Kesalahpahaman dapat menimbulkan konflik tidak nyata /ilusory.
- Melakukan analisis konflik yang sedang terjadi dengan berusaha mengoreksi dan introspeksi diri. Kebanyakan masalah bisa diselesaikan melalui beragam cara sehingga untuk pemecahan masalah ada baiknya tidak terpaku pada satu cara saja. Pasangan perlu saling mengingatkan bahwa tujuan mengelola konflik adalah mengatasi keluhan yang ada dan tidak meningkatkan konflik, sehingga masing-masing perlu mawas diri untuk tidak menuduh atau membuat diri menjadi defensif. Analisis konflik dilakukan dengan membicarakan kepentingan atau tujuan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik. Hambatan yang mungkin muncul dalam langkah kedua ini yaitu terkadang orang tidak paham mengenai alasan yang mendasari preferensi mereka atau adanya ketidakpercayaan antara kedua belah pihak. Langkah kedua dalam manajemen konflik ini akan dilatihkan pada pertemuan hari pertama sesi ketiga setelah langkah awal diberikan.
- Mencari cara untuk merekonsiliasi aspirasi kedua belah pihak (kompromi). Cara ini dilakukan melalui berkoordinasi dengan pihak terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik. Pasangan suami istri perlu saling memahami dalam menjalani tahap ini. Saran yang diajukan masing-masing pihak untuk rekonsiliasi perlu dikaitkan dengan nilai bersama, kepentingan bersama, dan hambatan bersama. Solusi integratif dapat dicapai dengan memilih salah satu atau mengkombinasikan gaya manajemen konflik untuk diterapkan dalam langkah ketiga. Gaya manajemen konflik yang sesuai dalam satu situasi konflik, belum tentu sesuai diterapkan dalam situasi lain. Langkah ketiga dalam manajemen konflik ini akan disampaikan dalam pelatihan hari kedua sesi keenam.
- Menurunkan aspirasi dan mencari beberapa aspirasi lagi (bernegosiasi). Satu pihak menurunkan aspirasi atau pendapatnya dengan cara mengalah atau mengabaikan kepentingan yang prioritasnya rendah, begitu pula sebaliknya. Namun tidak berarti salah satu pihak kalah atau berpura-pura setuju pada pendapat pasangannya. Pasangan yang menyepakati beberapa aspirasi penyelesaian masalah walaupun mungkin tidak seluruhnya, menciptakan dasar yang sama mengenai solusi yang hendak dicapai. Apabila pasangan memutuskan untuk menerima solusi yang telah disepakati maka pasangan harus memiliki komitmen untuk melaksanakan alternatif solusi tersebut sehingga tercapai pemecahan masalah. Langkah terakhir dalam manajemen konflik ini merupakan materi pelatihan hari kedua sesi keenam yang diberikan seusai langkah ketiga.
Gaya Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)
Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik. Thomas & Kilmann (Byadgi, 2011) memaparkan lima model manajemen konflik perkawinan yaitu:
Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat dikelompokkan menjadi gaya manajemen konflik konstruktif yang meliputi collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance.
DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam pernikahan menjadi tiga macam, yakni:
Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan, secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya.
Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.
Menurut Rubin (Lestari, 2014), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
- Competitive (kompetitif)
- Collaboration (kerjasama)
- Compromising (kompromi)
- Avoiding (menghindar)
- Accommodation (akomodasi).
Kelima gaya manajemen konflik yang dipaparkan di atas dapat dikelompokkan menjadi gaya manajemen konflik konstruktif yang meliputi collaborate dan compromise, serta gaya manajemen konflik destruktif yang terdiri dari competition, accomodate, dan avoidance.
DeGenova (2008) membagi metode menghadapi konflik dalam pernikahan menjadi tiga macam, yakni:
- Avoidance
Pasangan yang melakukan usaha untuk menghindari pertentangan, secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan memberi perhatian satu sama lain. Sebagai hasilnya akan terjadi peningkatan dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya.
- Ventilation and catharsis
- Constructive and destructive
Metode destruktif berbentuk menyerang orang yang dianggap bermasalah dengan individu. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya, mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan menghina dan menjelek-jelekkan.
Menurut Rubin (Lestari, 2014), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
- Bersifat konstruktif,
- Negotiation atau tawar-menawar, ketika pihak-pihak berkonflik saling bertukar gagasan dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak,
- Campur tangan pihak ketiga, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik.
- Bersifat destruktif
- Penguasaan/domination, ketika salah satu pihak berupaya memaksakan kehendak, baik dilakukan secara fisik maupun psikis,
- Penyerahan/capitulation, ketika salah satu pihak, secara sepihak menyerahkan kemenangan kepada pihak lain,
- Pengacuhan/inaction, ketika salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik,
- Penarikan diri/withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri dari keterlibatan dengan konflik.
- Pemburu/pursuer, adalah individu yang berusaha membangun ikatan lebih dekat. Individu dengan ciri ini akan berusaha untuk meningkatkan kualitas relasinya dengan orang-orang terdekatnya. Ketika terjadi konflik dalam interaksi, mereka akan dengan sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok masalah, berdiskusi untuk memahami perspektif masing-masing kemudian bernegosiasi untuk mencapai kompromi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini konflik dimaknai secara positif dan dikelola secara konstruktif.
- Penghindar/distancer, adalah individu yang cenderung mengambil jarak secara emosi. Individu tipe ini akan memilih menarik diri dari kancah konflik, tidak memiliki kesediaan untuk berunding dan biasanya cenderung memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah. Cara pengelolaan demikian membiarkan konflik terpendam yang beresiko menimbulkan gejala depresi.
- Pecundang/underfunctioner adalah individu yang gagal menunjukkan aspirasi atau kompetensinya. Dalam upaya menghindari pertengkaran, individu dengan ciri pecundang akan memilih untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak lain. Dalam taraf tertentu, cara ini dapat memertahankan hubungan dari situasi yang buruk namun hanya bersifat stagnan dan tidak mampu meningkatkan kualitas hubungan.
- Penakluk/overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Individu dengan ciri penakluk akan menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi dan mengedepankan egonya. Tipe penakluk akan menghadapi konflik dengan pertikaian dan pertengkaran yang beresiko memunculkan perilaku agresi.
- Pengutuk/blamer, adala individu yang selalu menyalahkan orang lain atau keadaan. Individu dengan ciri pengutuk akan menjadikan konflik sebagai ajang pertengkaran, mengumbar amarah, bahkan seringkali mengungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok masalah yang menjadi sebab perselisihan. Individu demikian cenderung tidak mau mengakui kesalahan, selalu membela diri, dan menimpakan kesalahan pada pihak lain atau keadaan. Perilaku demikian beresiko memunculkan agresi.
Pengertian Pelatihan Manajemen Konflik (skripsi dan tesis)
Menurut Agochiya (Rosdiana, 2009), pelatihan merupakan suatu proses terdiri dari serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu, sehingga mengakibatkan perubahan perilaku sesuai dengan situasi dalam hidupnya. Pelatihan membantu pesertanya mengeksplorasi dan menyadari potensi serta bakat yang dimiliki. Melalui pelatihan pula, peserta terfasilitasi dalam mengidentifikasi kekurangan serta kelebihan dalam mencapai standar yang ditetapkan. Pelatihan merupakan cara efektif untuk memanfaatkan pengetahuan dan kompetensi yang telah ada untuk memaksimalkan hasil usaha seseorang. Prinsip-prinsip belajar dalam pelatihan merupakan prinsip adult learning yang berhubungan dengan pelatihan dan pendidikan.
Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta pelatihan. Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan. Beberapa metode dalam pelatihan yaitu ceramah, membaca, diskusi kelompok, permainan, dan bermain peran. Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi terbuka, dan diskusi panel.
Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Pruitt & Rubin (2004) mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Konflik dalam perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan. Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas. Ketika masalah muncul dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam juga. Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Lestari, 2014). Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.
Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam perkawinannya. Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.
Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).
Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik. Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Oleh karena itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan lebih baik.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Agochiya (Rosdiana 2009) mengungkapkan bahwa penggunaan teknik dan metode pelatihan dimaksudkan untuk memasilitasi proses pembelajaran selama program pelatihan dilaksanakan dengan cara meningkatkan partisipasi dan mendorong adanya interaksi di antara peserta pelatihan. Pemilihan teknik dan metode pelatihan memertimbangkan hasil pembelajaran yang diinginkan, keahlian trainer mengoptimalkan penggunaan suatu metode, serta fasilitas yang tersedia selama pelatihan. Beberapa metode dalam pelatihan yaitu ceramah, membaca, diskusi kelompok, permainan, dan bermain peran. Diskusi kelompok dibagi menjadi diskusi terstuktur, diskusi terbuka, dan diskusi panel.
Dalam penelitian ini intervensi yang diberikan adalah pelatihan manajemen konflik. Manajemen konflik menurut Wirawan (2010) ialah proses yang dilakukan dua pihak terlibat atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Pruitt & Rubin (2004) mendefinisikan manajemen konflik sebagai berbagai macam usaha yang dilakukan untuk menemukan solusi bagi kontroversi yang terjadi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Konflik perkawinan menurut Esere (2003) adalah perbedaan persepsi dan harapan-harapan di antara pasangan suami-istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain tentang latar belakang pengalaman yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Konflik dalam perkawinan berjalan ke arah positif atau negatif bergantung pada ada atau tidaknya proses yang mengarah pada saling pengertian dalam hubungan. Keterikatan antar pasangan berada dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, komitmen, maupun intensitas. Ketika masalah muncul dalam sifat hubungan demikian, perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif yang mendalam juga. Walaupun demikian, banyak keluarga sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Lestari, 2014). Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga dapat berfungsi ialah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan Rueter & Conger (Lestari 2012), keluarga yang memiliki interaksi hangat akan menghasilkan pemecahan masalah yang konstruktif, adapun keluarga dengan interaksi bermusuhan cenderung menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.
Menurut Walgito (2002), kemampuan mengelola konflik dalam perkawinan adalah kecakapan dan kesanggupan suami istri dalam mengendalikan dan mencari cara penyelesaian masalah dalam perkawinannya. Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik, untuk itu diperlukan kemampuan memanajemen konflik.
Kemampuan pasangan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011). Oleh karena itu, pasangan yang menjalani perkawinan perlu mengetahui bagaimana mengelola konflik dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat membantu pasangan perkawinan mengelola konflik. Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik yang diinginkan (Gunawan, 2011).
Byadgi (2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik. Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik. Oleh karena itu, pelatihan manajemen konflik dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi pasangan suami istri untuk dapat mengelola konflik dengan lebih baik.
Menurut Supraktiknya (1995), pengelolaan konflik yang baik akan berdampak pada perkawinan yang harmonis dan akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Faktor-faktor Determinan dalam Keharmonisan Keluarga (skripsi dan tesis)
Menurut Sarwono (1982), dalam menentukan ukuran kebahagiaan keluarga perlu diperhatikan faktor-faktor berikut:
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga (Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010) adalah:
Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan. Pemaafan merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).
Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.
- Faktor kesejahteraan jiwa
- Faktor kesehatan fisik
- Faktor perimbangan antara pengeluaran uang dan penghasilan keluarga
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga (Dewi & Sudhana, 2012; Purba, 2012; Nancy, dkk., 2014; Rachmawati, 2010) adalah:
- Komunikasi interpersonal
- Kecerdasan spiritual
- Nilai dalam pernikahan
- Pemaafan
Pemaafan memiliki implikasi yang substansial untuk relasi jangka panjang sebagai interaksi dari sebuah hubungan. Pemaafan merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperbaiki hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal yang terjalin baik antara suami istri akan berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam keluarga (Nancy, dkk., 2014).
- Penyesuaian perkawinan
Laswell & Laswell (Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa konsep penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapannya dengan kebutuhan, keinginan dan harapan dari pasangannya.
Subscribe to:
Comments (Atom)