Saturday, July 20, 2019

    Obesitas Anak (skripsi dan tesis)

                Angka kejadian obesitas pada masa kanak-kanak  meningkat secara cepat  diseluruh dunia. Rata-rata penyebabnya adalah anak-anak menghbiskan lebih banyak  waktu  didepan TV, komputer atau perangkat video game dari pada bermain diluar ruangan. Ditambah dengan tipikal keluarga masa kini yang sangat sibuk dan biasanya hanya mempunyai sedikit waktu  untuk menyiapkan makanan sehari-hari. Edukasi nutrisi anak pada orang tua terus digencarkan, mengingat negeri Indonesia masih memiliki fenomena paradoks pediatrik yang unik,  jutaan anak mengalami malnutrisi, sementara di lain sisi jutaan anak pula yang mengalami obesitas.
 Obesitas pada anak-anak secara khusus akan menjadi masalah karena berat ekstra yang dimiliki sianak  pada akhirnya akan menghantarkan nya pada masalah kesehatan yang biasanya dialami orang dewasa seperti diabetes,tekanan darah tinggi, dan kolesterol tinggi. Obesitas pada anak juga secara otomatis meningkatkan angka kejadian Diabetes Mellitus (DM) tipe 2. Banyak hal yang – multi dimensional - yang menyebabkan anak menjadi obes, namun jalur metabolisme pada akhirnya akan menyebabkan imbalans energi, yakni ketidakseimbangan kalori yang masuk dengan kalori yang dihabiskan. DM tipe 2 yang sejak dulu menjadi langganan kaum tua, saat ini sudah menjamur merambah kalangan anak-anak (Aurora, 2007)
Anak yang obesitas, terutama apabila pembentukan jaringan lemaknya (the adiposity rebound) terjadi sebelum periode usia 5-7 tahun, memiliki kecenderungan berat badan berlebih saat tumbuh dewasa. Sama seperti orang dewasa, kelebihan berat badan anak terjadi karena ketidak seimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar; terlalu banyak makan, atau terlalu sedikit beraktivitas, atau pun keduanya. Akan tetapi, berbeda dengan orang dewasa, berat badan anak pada kasus obesitas tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan berat badan sebaiknya dihentikan atau diperlambat sampai proporsi berat terhadap tinggi badan mencapai normal. Perlambatan ini dapat dicapai dengan cara mengurangi makan sambil memperbanyak olahraga.

Faktor Obesitas (skripsi dan tesis)

Menurut para ahli, didasarkan pada hasil penelitian, obesitas dapat   dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :

1.      Umur

       Obesitas dapat terjadi pada semua umur, obesitas  sering  dianggap sebagai kelainan pada umur pertengahan

2.      Jenis kelamin

        Jenis kelamin ikut berperan dalam timbulnya obesitas terutama obesitas lebih umum dijumpai pada wanita

3.      Genetik 

       Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di dalam     sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula.  Dalam hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh.  Hal ini dimungkinkan karena pada saat  ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar (Tambunan, 2002).
          Orang yang obes lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan. Menurut dr. Inayah Budiasti, ahli nutrisi dari RS Jakarta fenomena makan cepat saji merupakan sala satu penyebab utamanya. Makanan cepat saji mengandung energy yang sangat tinggi karena 40-50% adalah lemak.sementara kebutuhan tubuh akan lemak hanya sekitar  15% sebagian besar kebutuhan tubuh adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan Protein 20%  (Budiasti,  2004)
  1. Kurang Gerak/Olahraga
                                   Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh. Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara umum; 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal (Tambunan,  2002)
                                    Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori  secara tidak langsung mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan mengalami penurunan metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olah raga secara tidak langsung akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi olah raga sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori, melainkan juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolisme normal.
  1. Pengaruh Emosional
                    Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang tidak teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi untuk pengganti kepuasan lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya.  Walaupun penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan berat badan tidaklah lebih terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa orang gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan /tekanan batinnya lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.
                                  Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat mencekam; orang dengan berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang mencekam (McKenna,1999).
              Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan kripik setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton film yang membosankan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun film yang membosankan  (Tambunan, 2002)
      6.Lingkungan
       Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika seseorang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk. Selama pandangan tersebut  tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan kegemukan (Tambunan, 2002) Aurora  (2007) berpendapat  bahwa lingkungan modern telah banyak mengurangi kesempatan untuk melakukan aktifitas fisik, trasfortasi yang nyaman, komputer, pekerjaan rumah (PR) yang banyak, film, dan televisi, serta makanan cepat saji telah mendorong kebiasaan hidup yang santai dan malas.

Obesitas (skripsi dan tesis)

 

Obesitas adalah istilah yang sering digunakan untuk menyatakan adanya kelebihan berat badan. Kata obesitas berasal dari bahasa Latin yang berarti makan berlebihan, Soerasmo dan taufan (2002)  menyatakan saat ini obesitas atau gemuk didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
        Di Indonesia masih ada anggapan bahwa gemuk merupakan suatu simbol kemakmuran, kesehatan dan kewibawaan. Oleh karena itu, masih banyak dijumpai  individu yang sengaja membiarkan dirinya dalam ke-adaan obesitas. Sementara di negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa, obesitas sudah dianggap sebagai suatu penyakit yang harus mendapat penanganan serius, mengingat dampaknya terhadap kesehatan (Syarif, 2002)  
      Di Indonesia berdasarkan data  RISKESDAS, (2007), (2008) dan WHO, (2005) laki-laki berumur lebih dari  15 tahun dengan lingkar perut di atas 90 cm atau perempuan dengan lingkar perut di atas 80 cm dinyatakan sebagai obesitas sentral. Prevalensi obesitas sentral pada perempuan 29% lebih tinggi dibanding laki-laki 7,7%. Menurut tipe daerah, obesitas sentral lebih tinggi di daerah perkotaan 23,6% dari pada daerah perdesaan 15,7%. Demikian juga semakin meningkat tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita per bulan, semakin tinggi prevalensi obesitas sentral.
         Orang yang obes lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan. Menurut   Budiasti (2004) ahli nutrisi dari RS Jakarta fenomena makan cepat saji merupakan sala satu penyebab utamanya. Makanan cepat saji mengandung energy yang sangat tinggi karena 40-50% adalah lemak. sementara kebutuhan tubuh akan lemak hanya sekitar  15% sebagian besar kebutuhan tubuh adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan Protein 20%.

Hubungan Antara Kecemasan dengan Religiusitas (skripsi dan tesis)

Chaplin mendefenisikan kecemasan sebagai suatu. Jadi kecemasan menghadapi masa depan merupakan suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan dimana seseorang merasa ada tekanan perasaan, ancaman, kekhawatiran, hambatan terhadap keinginan pribadi atau perasaan kecewa, rasa tidak puas dan tidak aman. Kecemasan dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu emosi yang ditandai dengan keadaan yang tidak menyenangkan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan yang penyebab timbulnya tidak jelas atau tidak kelihatan, selain itu kecemasan juga merupakan bentuk dari keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut.[1]



Hambly mengatakan kalau kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah religiusitas, religiusitas disini maksudnya adalah individu mempunyai kedekatan dengan Maha Pencipta yang mana dengan kedekatan tersebut dapat membuat seseorang tenang, aman sehingga rasa cemas dapat dihindari. [2]Dapat dikatakan bahwa semakin religiusitas seseorang maka kemungkinan mengalami kecemasan semakin rendah. Berdasarkan pendapat dari Hamly di atas penulis mengambil variabel religiusitas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kecemasan menghadapi depan religiusitas merupakan salah satu faktor yang paling mendasar dalam diri individu, yang faktor tersebut berhubungan langsung dengan pencipta individu itu sendiri. Anggasari yang mengartikan religiusitas sebagai keberagaman, yang berarti adanya unsur internalisasi agama itu dalam diri individu. Dalam penelitian menyatakan bahwa manusia religius adalah manusia yang mempunyai hati nurani serius, taat, saleh dan teliti menurut norma atau ajaran agama Islam.[3]

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas (skripsi dan tesis)

Thouless, membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu [1]:
  1. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial
Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.
  1. Faktor pengalaman
Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan.
  1. Faktor kehidupan
Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu : (a). Kebutuhanm akan keamanan atau keselamatan, (b). kebutuhan akan cinta kasih, (c). kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d). kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.
  1. Faktor intelektual
Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa setiap individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh dua macam faktor secara garis besarnya yaitu internal dan eksternal.
Faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitas seperti adanya pengalamanpengalaman emosional keagamaan, kebutuhan individu yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman, harga diri, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan pengaruh eksternalnya seperti pendidikan formal, pendidikan agama dalam keluarga, tradisi-tradisi sosial yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan sosial dalam kehidupan individu.

[

Dimensi Dalam Religiusitas Islam (skripsi dan tesis)

Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia, aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah) saja, tetapi juga ketikan melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan lahir. Oleh karenanya menurut Shihab bahwa agama meliputi tiga persoalan pokok yaitu tata keyakinan, tata peribadatan dan kaidah[1].
Adapun untuk mengetahui tinggi rendahnya tingkat religiusitas seseorang, kita dapat melihat dari ekspresi keagamaannya  yaitu terhadap kemampuan seseorang untuk mengenali/memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragamanya. Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan sesorang untuk memahami, mengahayati  serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang menganut suatu agama karena menurut keyakinannya agama tersebut yang baik, karena itu ia berusaha menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkannya dalam setiap tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketataan terhadap agamanya[2]
Beberapa dimensi yang dapat dijadikan sebagai indikator religiusitas seseorang menurut Ancok, yaitu[3] :
  1. Ideological Involvement (Dimensi Keyakinan), yaitu tingkatan sejauhmana orang menerima hal-halyang dogmatik di dalam agamanya. Misalnya apakah seseorang yang beragama percaya tentang adanya malaikat, surga, neraka dan lain-lain yang bersifat dogmatik.
  2. Ritual Involvement (Dimensi Peribadatan/Praktek Agama), yaitu tingkatan sejauhmana orang mengerjakan kewajiban ritual agamanya. Misalnya shalat, puasa, zakat dan lain-lain.
  3. Intellectual Involvement (Dimensi Pengetahuan Agama), yaitu sejauhmana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Misalnya mengetahui makna diadakannya nuzulul Qur’an, hari raya Idul Adha dan lain-lain.
  4. Experiental Involvement (Dimensi Penghayatan), yaitu dimensi yang berisikan pengalaman-pengalaman unik dan spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan. Misal apakah seseorang pernah dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasakan bahwa doanya dikabulkan Tuhan atau pernah merasakan bahwa jiwanya selamat dari bahaya karena pertolongan Tuhan, dan lain-lain.
  5. Consequential Involvement (Dimensi Pengamalan), yaitu dimensi yang mengukur sejauhmana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya.
Menurut Ancok, rumusan Glock dan Stark diatas mempunyai kesesuaian dengan Islam, sehingga ia membaginya juga dalam lima dimensi yaitu[4] :
  1. Dimensi Akidah/iman, yaitu mencakup keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, kitab suci, nabi, hari akhir serta qadha dan qadar. Iman adalah segi teoritis yang pertama-tama dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan prasangka.
Iman adalah engkau percaya (membenarkan dan mengaku) kepada Allah dan malaikat-Nya dan dengan Rosul-Nya, dan engkau percaya dengan hari Kebangkitan.
  1. Dimensi Ibadah, yaitu sejauh mana tingkat frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah seseorang. Dimensi ini mencakup pelaksanaan shalat, puasa, zakat dan haji. Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid. Beribadah dengan menyembah Allah berarti memusatkan penyembahan kepada Allah semata, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali kepada-Nya. Pengabdian berarti penyerahan mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahir dan batin bagi manusia kepada kehendak ilahi, itu semua dilakukan dengan kesadaran baik dalam hubungan secara vertical maupun secara horizontal.
  2. Dimensi ihsan, yaitu mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan menerima balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan melaksanakan perintah agama.
  3. Dimensi ilmu, yaitu tingkatan seberapa jauh pengetahuan seseorag tentang ajaran agamanya. Yang dimaksud dengan ilmu adalah segala macam ilmu yang dibutuhkan manusia dalam hidupnya, baik kebutuhan duniawi maupun ukhrowi. Ilmu adalah kehidupan hati dari kebutaan, cahaya mata dari kezaliman dan kekuatan tubuh dari kelemahan. Dengan ilmu seorang hamba akan sampai pada kedudukan orang-orang baik dan tingkatan yang paling tinggi. Ilmu adalah pemimpin dan pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu diilhamkan kepada orang-orang yang berbahagia dan diharamkan bagi orang-orang yang celaka.
  4. Dimensi Amal, yaitu meliputi bagaimana pengamalan keempat diatas ditunjukkan dalam tingkah laku seseorang. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh para pedagang.



Tingkat religiusitas seseorang tidak dapat lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi di sekitarnya, karena manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi tersebut terjadi saling mempengaruhi antara hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam hal ini Siti Partini, menyatakan bahwa terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi oleh rangsangan dari lingkungan sosial maupun kebudayaan, misalnya keluarga, norma, golongan, agama dan adat-istiadat.[5]

Pengertian Religiusitas (skripsi dan tesis)

Religiusitas berasal dari bahasa latin religio yang berarti agama; kesalehan; jiwa keagamaan. Henkten Nopel mengartikan religiusitas sebagai keberagaman, tingkah laku keagamaan, karena religiusitas berkaitan dengan erat dengan segala hal tentang agama (Henkten, 1994),
Secara etimologis religi yang berakar dari kata religare berarti mengikat yaitu merujukkan pada hal yang dirasakan sangat dalam, yang bersentuhan dengan keinginan seseorang yang menumbuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat. [1] hal ini senada dengan pernyataan bahwa Kata religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya adalah religere yang berarti mengikat (Gazalba, 1985). Matdarwan mengemukakan bahwa religere berarati melaksanakan dengan sangat teliti atau dapat pula dirartikan menyatukan diri. Disamping istilah religi sering pula dalam masyarakat digunakan istilah lain, seperti agama (Bahasa Indonesia), dien (Bahasa Arab) atau religion (Bahasa Inggris). Meskipun masing-masing mempunyai termonologis sendiri-sendiri akan tetapi dalam arti terminologis dan teknis yang berbeda akan tetapi semua istilah tersebut berartikan makna yang sama.
Religiusitas secara umum dapat dikaitkan dengan agama oleh karenanya pengertian dari religiusitas dapat dirujukkan pada pengertian agama. Agama sendiri dapat diartikan sebagai sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi (ultimate meaning).[2] Sedangkan Shihab menyatakan bahwa agama adalah ketetapan illahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya utnuk menjadi epdoman manusia.smeentara Shihab menyimpulkan bahwa agama adalah hubungan antara makhluk dengan khaliknya yang terwujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukan dan tercermin p[ula dalam sikap kesehariannya.[3]
Dister mengatakan kalau religiusitas merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengakui adanya kekuasaan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-Nya manusia merasa bergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, maka akan semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Pernyataan ini juga mengemukakan tentang kesadaran agama yang merupakan aspek kognisi dari aktivitas agama dan pengalaman agama yang membawa perasaan pada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan amaliah. Ilmu jiwa agama hanya mengungkap bagaimana perasaan dan pengalaman orang-orang secara individual terhadap Tuhan, tidak selamanya orang mampu menghadapi kesukaran yang menimpanya, dan tidak selamanya pula orang berhasil mencapai tujuannya dengan usaha yang terencana, teratur, dan telah diperhitungkan sebelumnya [4].
Sulaiman merumuskan secara sederhana pengertian dari religi atau religion yaitu[5] :
  1. Percaya pada kekuatan gaib yang mengikuti alam semesta dan bersifat suci.
  1. Bersikap terhadap kekuatan gaib itu untuk menerima kebaikan-kebaikan dan mencari keselamatan.
  2. Membentuk pribadi dalam kehidupan karena kepercayaan itu (pa[da masing-masing kelompok.



 Anggasari membedakan antara istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama atau religi menunjuk pada aspek formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek yang dihayati oleh individu. [6]Hal ini selaras dengan pendapat Dister yang mengartikan religiusitas sebagai keberagaman, yang berarti adanya unsur internalisasi agama itu dalam diri individu. menyatakan bahwa manusia religius adalah manusia yang mempunyai hati nurani serius, taat, saleh dan teliti menurut norma atau ajaran agama Islam.[7]