Menurut Lestari (2009) mendefinisikan perubahan
atau
pergeseran guna lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan
adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan yang paling rentan
terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh:
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai
agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem
lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya
berdekatan dengan daerah perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya.
Infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah
lahan kering.
4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman,
kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah
bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama
di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan.
Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan
lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut
terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk yang semakin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan
meningkatnya tuntutan akan kebutuhan hidup yang lebih baik. Menurut Irawan (2005), ada dua hal yang
mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan
perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas
di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan
pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor
lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua,
peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya
untuk menjual lahan.
Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga
faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal.
Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya
dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi. Pertumbuhan perkotaan
didorong oleh pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang ada baik dari
kelahiran maupun urbanisasi, hal ini menyebabkan kebutuhan ruang untuk tempat
tinggal juga akan meningkat sementara lahan perkotaan sangatlah terbatas.
Selain itu, pertumbuhan perekonomian kota seperti kebutuhan penyediaan
fasilitas umum, maupun infrastrutur untuk bisnis dan perdagangan juga samakin
membutuhkan ketersediaan lahan yang besar.
2. Faktor Internal.
Faktor ini
lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga
pertanian pengguna lahan. Kebutuhan sosial ekonomi masyarakat petani semakin
tinggi sehingga seringkali kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dari usaha
pertanian saja dan pada akhirnya hanya dapat dipenuhi dengan cara menjual lahan
pertanian yang mereka miliki dan beralih profesi ke non pertanian.
3. Faktor Kebijakan
Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan
pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama
terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek
lahan yang dilarang dikonversi. Pemrintah harus membuat kebihakan yang dapat
menyeimbangkan kebutuhan lahan dan kebutuhan pangan masyarakat.
Perubahan penggunaan lahan tersebut juga
bukannya tanpa ada sebab, terdapat empat faktor utama yang menyebabkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan (Bourne, 1982), yaitu:
1.
Perluasan
batas kota;
2.
Peremajaan
pusat kota;
3.
Perluasan
jaringan infrastruktur khususnya jaringan transportasi;
4.
Tumbuh
dan hilangnya pemusatan aktivitas tertentu.
Dalam perencanaan penggunaan lahan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, factor-faktor
tersebut antara lain manusia, aktivitas, serta lokasi kegiatan (Catanese,
1986:317).
Hubungan antara ketiga faktor tersebut sangat
berkaitan sehingga dapat disebut sebagai siklus perubahan penggunaan lahan.
Dari hubungan dinamik ini akan timbul bentuk aktivitas yang akan menimbulkan
beberapa perubahan (Bintarto, 1989: 73-74). Beberapa perubahan yang akan
terbentuk adalah sebagai berikut:
1.
Perubahan
Lokasi (Locational Change)
2.
Perubahan
Perkembangan (Developmental Change)
3.
Perubahan
Tata Laku (Behavioral Change)
No comments:
Post a Comment