Pertumbuhan kota ke area pinggiran karena meningkatnya kebutuhan dapat terjadi
secara alami. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan ke
arah luar kota (non
urban) terutama untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa tempat bermukim
telah berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Proses perubahan
tersebut merupakan peristiwa terjadinya perubahan kenampakan fisik
kotayang merembet kearah luar
yang disebabkan oleh adanya penetrasi
dari
suatu
kelompok penduduk area terbangun kota (built
up area) kearah
luar, sehingga wilayah perbatasan menjadi
area yang dituju bagi orientasi perkembangan kota (Adisasmita, 2006).
Menurut pendapat Yunus (2012), ketersediaan ruang di wilayah kota dalam kondisi
tetap dan terbatas mengakibatkan
pengambilan ruang di area pinggiran kota untuk memenuhi kebutuhan ruang
yang digunakan sebagai tempat tinggal dan fungsi-fungsi yang lain.
Tanda-tanda
perkembangan kota yang menjalar ke area pinggiran kota dikenal sebagai
“invasion” dan proses terjadinya kenampakan fisik kota menuju ke arah luar kota
desebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 2012)
Penjalaran fisik kota menurut Northam dalam Yunus (2012) terbagi menjadi tiga macam model, yaitu :
a) Perkembangan Konsentris (concentric development) adalah
penjalaran fisik kota yang bersifat rata pada sisi luar yang terjadi dalam
tempo yang lambat dan terdapat tanda-tanda yang mengindikasikan adanya
morfologi kota yang kompak.
c) Perkembangan yang
meloncat (leap frog/chercher board development) merupakan penjalaran fisik kota
tanpa pola.
Ruswurm, 1980 dalam Yunus (2012:131),
berpendapat bahwa,
faktor- faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pinggiran kota
yakni: 1) Pertumbuhan penduduk (population growth); 2) persaingan memperoleh lahan (competition for land); 3)
hak-hak kepemilikan (property right); 4) kegiatan “developers” (developers activities); 5)
perencanaan (planning controls);
6) perkembangan teknologi (technological development); 7) lingkungan fisik
(physical environement).
Menurut pendapat Rugg (1979 : 71) dalam Warsono (2006), pinggiran kota merupakan kota
yang letak wilayahnya berada di
perbatasan dengan kota di sebelahnya yang memiliki hirarkhi lebih tinggi, berkarakteristik wilayah pedesaan dan kondisi intensitas wilayah terbangun lebih rendah dari kota pusatnya, intensitas ini akan menurun dari kota ke desa.
Menurut Bintarto
(1989),
gejala terjadinya perembetan
kota dapat diidentifikasi dari kenampakan fisik kota ke arah luar yang dapat dilihat melalui terbentuknya zone-zone yang meliputi daerah-daerah : (1) area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah
peralihan antara desa kota (sub urban fringe),
(2) area batas luar kota yang memiliki sifat-sifat mirip kota (urban fringe),
dan (3) area terletak antara daerah kota dan desa yang
ditandai dengan penggunaan tanah campuran
(Rural-Urban-Fringe).
No comments:
Post a Comment