Tuesday, June 25, 2024

Sejarah konsep Brand personality

 


Menurut Griffin (2013:72), “Sebuah merek memiliki kepribadian,
yaitu suatu sifat yang secara gradual membentuk watak atau
kepribadian. Merek pada produk barang atau jasa menunjukan seperti
apa sifat atau kepribadian merek tersebut apabila merek itu merupakan
manusia. Para ahli periklanan dan praktisi pemasaran yang pertama
kali memunculkan istilah “brand personality”, sebelum para akademisi
melakukan penelitian dan menerima konsep tersebut. Pada awal tahun
1958, Martineau menggunakan istilah tersebut kepada suatu dimensi
non-material yang membuat sebuah penjualan took menjadi spesial,
yakni tokoh karakternya. King menulis bahwa cara orang-orang
memilih merek mereka adalah seperti mereka memilih teman mereka,
sebagai tambahan dari kemampuan dan karakteristik fisik, mereka
menyukainya seolah merek tersebut adalah manusia. Kemudian
penelitian dari agen periklanan J. Walter Thompson menunjukan
bahwa konsumen cenderung mensifati aspek kepribadian (personality)
terhadap merek dan sering membicarakan tentang aspek ini”.
Menurut Griffin (2013:74), “Brand Personality telah menjadi
perhatian utama dalam periklanan suatu merek pada tahun 1970.
Sejumlah agen di Amerika menggunakannya sebagai prasyarat untuk
segala bentuk komunikasi. Hal ini menjelaskan mengapa ide untuk
memiliki tokoh karakter yang terkenal yang merpresentasikan suatu
merek menjadi tersebar dimana-mana. Cara yang paling mudah untuk
menciptakan suatu karakter adalah untuk memberikan bagi merek
tersebut seorang juru bicara (spokeperson), atau seorang figur utama,
apakah secara nyata atau hanya secara simbolis. Pepsi Cola seringkali
menggunakan metode ini, begitu pula semua merek parfum atau merek
siap pakai lainnya”.
Menurut Griffin (2013:78), “Apabila ditinjau dari aspek identity,
maka brand bukan merupakan nama suatu produk. Brand merupakan
visi yang mendorong diciptakannya produk barang dan jasa dengan
atas nama brand tersebut. Visi tersebut adalah kunci yang diyakini oleh
brand serta nilai intinya disebut dengan identity. Dengan demikian
brand identity adalah suatu keyakinan dan nilai inti dari suatu produk.
Brand Physical atau Physique adalah suatu aspek brand yang terdiri
dari kombinasi fitur yang ditonjolkan oleh produk yaitu fitur yang
seketika muncul dalam pikiran ketika nama merek tersebut disebutkan,
seperti, gambaran konkrit merek, ciri khas kegunaan merek, atau
penampilan fisik merek. Suatu merek harus memiliki kulturnya yang
dimana setiap produknya diperoleh darinya. Kultur dalam pengertian
ini adalah seperangkat nilai yang berkontribusi dalam menciptakan
aspirasi dari suatu merek. Facet kultural merujuk kepada prinsip-
prinsip dasar yang mengatur brand dari aspek (ide) produk dan
komunikasi. Brand merupakan relationship. Merek kadang-kadang
juga memperhatikan transaksi dan pertukaran pada masyarakat, hal ini
benar berlaku secara khusus pada merek yang menawarkan jasa. Aspek
ini sangat penting bagi merek yang bergerak dalam bidang jasa seperti
perbankan. Facet relationship berperan dalam mendefinisikan perilaku
kinerja yang paling dikenal pada merek. Hal ini memberikan implikasi
terhadap perilaku merek, pelayanan yang diberikan, penghubungan
kepada konsumennya. Brand merupakan refleksi konsumen. Ketika
orang-orang ditanya mengenai suatu merek mobil, maka mereka
dengan segera menjawabnya berdasarkan klien yang diterima oleh
merek tersebut, seperti suatu brand khusus untuk kalangan muda,
orangtua, untuk pamer, dan sebagainya. Self-concept atau self-image
adalah sebuah gambaran kepribadian yang kompleks yang dimiliki
setiap orang. Dasar self-concept adalah bahwa kepemilikan benda oleh
seseorang berkontribusi dan merefleksikan identitas mereka, oleh
karena itu dikatakan: “we are what we have” kita adalah apa yang kita
miliki”

No comments:

Post a Comment