Kata filsafat berasal dari bahasa yunani: philein (mencintai) dan
sophia (kebijakan). Jadi secara etimologis filsafat berarti cinta akan
kebijakan. Akan tetapi sophia memiliki makna lebih luas dari kebijaksanaan atau
wisdom dalam bahasa inggris. Herodotus, misalnya menggunakan kata kerja
philosophein dalam arti ”berusaha menemukan”. Dalam arti ini, istilah filsafat
bermakna kecintaan seseorang untuk mencari tahu dan memuaskan kerinduan
intelektualnya lebih dari kebijaksanaan. Pythagoras, salah satu murid Plato,
memahami sophia sebagai pengetahuan
hasil kontemplasi untuk membedakannya dari ketrampilan praktis hasil pelatihan
teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlit. Dengan demikian, dalam
belajar filsafat hendaknya berusaha mencari pengetahuan atau kebenaran dalam
arti ketrampilan praktis.[1]
Teori
tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala
dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf
lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan
mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak
jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang
memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang
objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang
kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [2]
Dalam
kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan
cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh,
dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas
oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang
sesuatu. Filsafat idealism memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi
sedangkan filsafat materialism memandang sebaliknya.
Dalam
konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang
dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum
identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa
hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat
yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum
bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[3] Keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan
substantif (substantive justice).
Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan
prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan
yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum
formal, seperti mengenai tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di
pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada
nilainilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati
nurani.
Dalam
perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh.
Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan
keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan.
Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan
hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang
dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama.
Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[4]
Lebih
lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam
keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan
distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pretasinya. Keadilan commutatief
memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya
dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari
pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan
perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa
yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain
berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh
jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya
bagi masyarakat. [5]
Dikenal
juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif
“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah
kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions).
Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls
mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original
position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls
memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu
di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi
lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan
lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls
sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).[6]
Kontribusi filsafat hukum terhadap keadilan didasarkan pada kesadaran bahwa
filsafat hukum adalah memperhatikan setiap pandangan (hukum) secara analitis
dan kritis. Artinya, apakah posisi setiap pandangan itu dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional atau tidak. Masalah hukum dan keadilan
tidak menjadi fokus perhatian seorang hakim atau praktisi hukum, ini berarti
mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hukum atau keadilan. Tentu saja
mereka harus memiliki, bahkan harus memiliki pengetahuan filosofi yang memadai
tentang hal tersebut. Kejelasan konseptual tentang hal itu penting bagi seorang
ahli hukum demi merumuskan hukum secara tepat dan sekaligus menerapkannya
secara bertanggung jawab. Akan tetapi, yang hendak ditegaskan adalah bahwa
bukan tugas utama seorang ahli hukum untuk menjelaskan esensi hukum atau
keadilan. Tentu saja mereka memiliki keyakinan atau kepercayaan tentang hukum
dan keadilan. [7]
Manusia dituntut untuk selalu mencari formula kebenaran
yang berserakan dalam kehidupan masyarakat, manusia akan melihat dari kenyataan
empiris sebagai bekal mengkaji secara mendalam, memberikan makna filosofis dengan
mengetahui hakikat kebenaran yang hakiki. Kaitannya dengan pembentukan hukum di
Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan
keadilan (gerechtigkeit) disamping
sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit)
dan kemanfaatan (zweckmassigkeit)
Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara
sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang
merupakan anugerah alamiah langsung dari Tuhan Yang maha Kuasa, yaitu hak asasi
manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku,
bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene
adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara
yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum
yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat
hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi
seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia, hukum hanya sarana,
sedangkan tujuan akhirnya adalah keadilan”, lalu bagaimana sebenarnya membentuk
hukum yang mencerminkan keadilan yang didambakan. [8]
Khususnya pada penegakan hukum Indonesia maka kajian filsafat hukum
meletakkan pada dasar hukum Indonesia yaitu UUD 1945. Fungsi dan kedudukan UUD
1945 di sistem hukum nasional ialah sebagai hukum dasar dalam penentuan hukum
selanjutnya, seperti halnya pada pembentukan hukum baru, hukum ini harus
mengacu pada uud dan tidak boleh bertentangan sama sekali, dan jika
bertentangan maka hukim ituctidak dapat dikatakan berlaku. Penataan kembali
susunan hirarkis peraturan perundang-undangan kiranya memang sudah sangat tepat
yaitu kembali ke falsafah UUD 1945 dan pelaksanaannya.
Filsafat
hukum Indonesia, di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap
pembukaan UUD 1945. Negara yang menganut paham negara teokrasi menganggap
sumber dari sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang
terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk
negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai
sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara
yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala
sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan
rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh
Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada
demokrasi parlementer). Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang
merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami
dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi
dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk
menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa,
dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering
terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum
barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (baca Al-Qur’an)
sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas
penduduk Indonesia adalah umat muslim.
Demikian pula Pancasila sebagai dasar negara
atau falsafah negara (fiolosofische
grondslag). Pancasila
merupakan Grundnorm atau sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945
adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan
UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh
UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum
tersebut meletakkan dasar-dasar filsafati hukum positif Indonesia.
Sebagai pandangan keadilan dalam hukum nasional
bersumber pada dasar negara. sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih
tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa
Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values
Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang
berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial. Secara spesifik
maka pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada
dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. alam keadilan yang di dasari oleh
Pancasila maka terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial.
Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan
kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan
kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya
harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja
keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab
orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya
hak yang ada pada diri individu.[9]
No comments:
Post a Comment