Sebagai sebuah konsepsi pembangunan kawasan
perdesaan, agropolitan dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975).
Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan (rural
development) yang menekankan pembangunan perkotaan (urban development)
pada tingkat lokal perdesaan. Tiga isu utama mendapat perhatian penting dalam
konsep ini:
1. Akses terhadap lahan pertanian dan air,
2. Devolusi politik dan wewenang administratif
dari tingkat pusat ke tingkat lokal, dan
3. Perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan
nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian.
Memperhatikan kota desa sebagai site utama
untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi, pengembangan agropolitan lebih
cocok dilakukan pada skala kabupaten (district scale). Alasannya, skala
kabupaten akan memungkinkan akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat
pedesaan untuk menjangkau kota, sementara cukup luas untuk meningkatkan atau
mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan
cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi
keterbatasan-keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi. Selain itu,
dengan begitu pengetahuan lokal (local knowledge) akan mudah digabungkan
dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen
pedesaan. Pendekatan agropolitan sangat sesuai dengan semangat desentralisasi
(transformasi wewenang dari pusat ke daerah) dan demokratisasi sebagai bagian
dari perubahan politik di Indonesia kini.
Agropolitan memberikan ruang yang layak
terhadap perencanaan pembangunan pedesaan yang mengakomodir dan mengembangkan
kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi masyarakat
dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat timbal balik bagi masyarakat
pedesaan dan perkotaan (Douglas, 1998 dalam Hutagalung, 2004).
Disamping
itu, Kawasan agropolitan ini juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang
tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis di pusat
agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya
Disamping
itu, pentingnya pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia diindikasikan
oleh ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah, telah
terbentuknya kemampuan (skills) dan
pengetahuan (knowledge) di sebagian
besar petani, jaringan (network)
terhadap sektor hulu dan hilir yang sudah terjadi, dan kesiapan pranata
(institusi). Kondisi ini menjadikan suatu keuntungan kompetitif (competitive advantage) Indonesia
dibandingkan dengan negara lain karena kondisi ini sangat sulit untuk ditiru (coping) (Porter, 1998). Lebih jauh lagi,
mengingat pengembangan kawasan agropolitan ini menggunakan potensi lokal, maka
konsep ini sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial local (local social culture).
Secara
lebih luas, pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung
terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan
keterkaitan antar kota dalam bentuk pergerakan barang, modal, dan manusia.
Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan
antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian,
perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud (lihat
gambar 2.2).
Dalam
rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun
Master Plan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan
program pengembangan. Adapun muatan yang
terkandung didalamnya adalah :
1.
Penetapan pusat agropolitan yang
berfungsi sebagai (Douglas, 1986) :
- Pusat perdagangan dan transportasi
pertanian (agricultural trade/
transport center).
- Penyedia jasa pendukung pertanian (agricultural support services).
- Pasar konsumen produk non-pertanian
(non agricultural consumers market).
- Pusat industri pertanian (agro-based industry).
- Penyedia pekerjaan non pertanian (non-agricultural employment).
- Pusat agropolitan dan hinterlannya
terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW
Propinsi/ Kabupaten).
2.
Penetapan unit-unit kawasan pengembangan
yang berfungsi sebagai (Douglas, 1986) :
- Pusat produksi pertanian (agricultural production).
- Intensifikasi pertanian (agricultural intensification).
- Pusat pendapatan perdesaan dan
permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand for
non-agricultural goods and services).
- Produksi tanaman siap jual dan
diversifikasi pertanian (cash crop
production and agricultural diversification).
3.
Penetapan sektor unggulan:
- Merupakan sektor unggulan yang
sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya.
- Kegiatan agribisnis yang banyak
melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar (sesuai dengan kearifan
lokal).
- Mempunyai skala ekonomi yang
memungkinkan untuk dikembangkan dengan orientasi ekspor.
4.
Dukungan sistem infrastruktur
Dukungan infrastruktur
yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan
diantaranya : jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air, dan jaringan utilitas
(listrik dan telekomunikasi).
5.
Dukungan sistem kelembagaan.
- Dukungan kelembagaan pengelola
pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari Pemerintah
Daerah dengan fasilitasi Pemerintah Pusat.
- Pengembangan sistem kelembagaan
insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan.
Melalui keterkaitan
tersebut, pusat agropolitan dan kawasan produksi pertanian berinteraksi satu
sama lain secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan
dapat meningkatkan nilai tambah (value
added) produksi kawasan agropolitan sehingga pembangunan perdesaan dapat
dipacu dan migrasi desa-kota yang terjadi dapat dikendalikan (Djakapermana,
2003).
No comments:
Post a Comment