Pembaharuan hukum pidana selain merupakan
tantangan nasional akan tetapi juga menjadi kecenderungan Internasional seperti
terlihat antara lain dari laporan Konggres PBB mengenal “The Presention of
Crime and the treatment of Offenders”[1]
Berbicara
mengenai pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian kebijakan hukum
pidana (Penal Policy) di Indonesia tidak lepas dari membicarakan UUD
1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki
perundang-undangan nasioanal terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai
amanat dari tujuan Negara Indonesia, oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana
seyogyanya dijadikan sebagai pembangunan hukum nasional Indonesia, sebagaimana
dikatakan Barda ada 4 (empat) komponen utama yang harus diperhatikan dalam
pembangunan hukum nasional yaitu:
“Komponen
norma hukum dan perundang-undangan, aparatur penegak hukum, kesadaran hukum
masyarakat, dan pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum”.[2]
Berdasarkan
pemikiran Barda tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak
hukum merupakan salah satu komponen pembaharuan hukum pidana sekaligus sebagai
petugas hukum dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana kita ketahui, komponen
sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai
kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik
penegakan hukum terdiri dari atas unsur kepolisisn, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan, ada juga pendapat legislator merupakan komponen sistem
peradilan pidana. Sebagaimana dikatakan Yesmil dan Adang “Sistem peradilan
pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu
kebijakan krimanal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga
pembuat undang-undang”.[3]
Lebih
lanjut ia katakan:
“Peran
pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (crimal
politic) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan
pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum”.[4]
Hal
serupa dikatakan Muladi & Barda: “Sistem peradilan pidana hakekatnya
merupakan suatu proses penegakan hukum”[5]
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa, peran dan fungsi aparatur
penegak hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab
merupakan sesuatu hal yang penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip
negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan
dalam melakukan pembangunan hukum nasional itu penting, namun usaha
mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan integritas
dalam menjalankan tugas profesinya sebagai petugas hukum merupakan faktor utama
dalam penegakan hukum. Sebagaimana dikatakan Prof. Tjip: “Hukum tidak dapat
tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri
janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan)
hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan
perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi
persyaratan tertentu dan sebagainya”. [6]
Berdasarkan
pemaparan Prof Tjip di atas dapat kita ketahui bahwa, penegakan hukum merupakan
rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang
menjadi tujuan hukum. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam
realitas nyata, dan eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung
dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan oleh aparatur penegak hukum.
Berbicara masalah proses penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan
membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum itu
sendiri, dalam artian dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum itu bukan
semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara
hitam-putih berupa suatu peraturan hukum, namun hukum yang bias ditegakkan di
dalam masyarakat.
Pembaharuan hukum pidana selain merupakan
tantangan nasional akan tetapi juga menjadi kecenderungan Internasional seperti
terlihat antara lain dari laporan Konggres PBB mengenal “The Presention of
Crime and the treatment of Offenders”[1]
Berbicara
mengenai pembaharuan hukum pidana (penal reform) sebagai bagian kebijakan hukum
pidana (Penal Policy) di Indonesia tidak lepas dari membicarakan UUD
1945 sebagai suatu dokumen hukum yang berada di puncak hirarki
perundang-undangan nasioanal terutama alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 sebagai
amanat dari tujuan Negara Indonesia, oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana
seyogyanya dijadikan sebagai pembangunan hukum nasional Indonesia, sebagaimana
dikatakan Barda ada 4 (empat) komponen utama yang harus diperhatikan dalam
pembangunan hukum nasional yaitu:
“Komponen
norma hukum dan perundang-undangan, aparatur penegak hukum, kesadaran hukum
masyarakat, dan pendidikan hukum khususnya pendidikan tinggi hukum”.[2]
Berdasarkan
pemikiran Barda tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa, aparatur penegak
hukum merupakan salah satu komponen pembaharuan hukum pidana sekaligus sebagai
petugas hukum dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana kita ketahui, komponen
sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai
kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktik
penegakan hukum terdiri dari atas unsur kepolisisn, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan, ada juga pendapat legislator merupakan komponen sistem
peradilan pidana. Sebagaimana dikatakan Yesmil dan Adang “Sistem peradilan
pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrument dari suatu
kebijakan krimanal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga
pembuat undang-undang”.[3]
Lebih
lanjut ia katakan:
“Peran
pembuat undang-undang justru sangat menentukan dalam politik kriminal (crimal
politic) yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan
pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum”.[4]
Hal
serupa dikatakan Muladi & Barda: “Sistem peradilan pidana hakekatnya
merupakan suatu proses penegakan hukum”[5]
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa, peran dan fungsi aparatur
penegak hukum sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab
merupakan sesuatu hal yang penting dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip
negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Upaya pengembangan
dalam melakukan pembangunan hukum nasional itu penting, namun usaha
mempersiapkan penegak hukum profesional yang mempunyai dedikasi dan integritas
dalam menjalankan tugas profesinya sebagai petugas hukum merupakan faktor utama
dalam penegakan hukum. Sebagaimana dikatakan Prof. Tjip: “Hukum tidak dapat
tegak dengan sendirinya, artinya hukum itu tidak mampu mewujudkan sendiri
janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan)
hukum, seperti janji untuk memberikan hak kepada seseorang, memberikan
perlindungan kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang memenuhi
persyaratan tertentu dan sebagainya”. [6]
Berdasarkan
pemaparan Prof Tjip di atas dapat kita ketahui bahwa, penegakan hukum merupakan
rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang
menjadi tujuan hukum. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam
realitas nyata, dan eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung
dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan oleh aparatur penegak hukum.
Berbicara masalah proses penegakan hukum, maka secara otomatis kita akan
membicarakan faktor manusia dalam hubungannya dengan proses penegakan hukum itu
sendiri, dalam artian dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum itu bukan
semata-mata membicarakan hukum yang didasarkan pada apa yang tertera secara
hitam-putih berupa suatu peraturan hukum, namun hukum yang bias ditegakkan di
dalam masyarakat.
No comments:
Post a Comment