Pertumbuhan kota ke area pinggiran karena meningkatnya kebutuhan dapat terjadi
secara alami. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan ke arah luar kota (non urban) terutama untuk memenuhi kebutuhan manusia berupa tempat bermukim
telah berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Proses perubahan
tersebut merupakan peristiwa terjadinya perubahan kenampakan fisik kotayang merembet kearah luar yang
disebabkan oleh adanya penetrasi dari suatu kelompok
penduduk
area
terbangun
kota
(built up
area) kearah luar,
sehingga wilayah perbatasan menjadi area yang dituju bagi orientasi
perkembangan kota (Adisasmita, 2006). Menurut pendapat Yunus (2002),
ketersediaan ruang di wilayah kota dalam kondisi tetap dan terbatas
mengakibatkan pengambilan ruang di area
pinggiran kota untuk memenuhi kebutuhan ruang yang digunakan sebagai tempat
tinggal dan fungsi-fungsi yang lain.
Tanda-tanda perkembangan kota yang menjalar
ke area pinggiran kota dikenal sebagai “invasion”
dan proses terjadinya kenampakan fisik kota menuju ke arah luar kota desebut
sebagai “urban sprawl” (Northam dalam
Yunus, 1994)
Penjalaran fisik kota menurut Northam dalam
Yunus (1994) terbagi menjadi tiga macam
model, yaitu :
a) Perkembangan Konsentris (concentric development) adalah penjalaran fisik kota yang bersifat
rata pada sisi luar yang terjadi dalam tempo yang lambat dan terdapat
tanda-tanda yang mengindikasikan adanya morfologi kota yang kompak.
b) Perkembangan fisik memanjang atau linier (ribbon/linear/axial development) merupakan
penjalaran fisik kota pada area yang berada di sepanjang jaringan jalan
dan mengikuti pola jaringan jalan
tersebut dan terdapat perbedaan penjalaran dalam setiap bagian perkembangan
kota.
c) Perkembangan yang meloncat (leap frog/chercher board development) merupakan
penjalaran fisik kota tanpa pola.
Spencer (1979:112), mengemukakan definisi beberapa alasan yang mendorong
perpindahan penduduk
ke daerah pinggirann kota: (1) penggunaan tanah untuk permukiman di
kota bersaing dengan tanah lain
yang lebih komersil, sehingga tanah yang tersedia untuk permukiman semakin berkurang ;(2)
penduduk kota semakin meningkat jumlahnya; (3) sarana transportasi menuju pinggiran kota menjadi lebih baik dan
fleksibel, sehingga memungkinkan penduduk
dan
perusahaan-perusahaan pindah lebih
jauh
dari pusat-pusat bisnis (kota), menyebar ke pinggiran kota mengikuti jalur transportasi; (4) orang-orang kota menginginkan tempat tinggal yang lebih luas dan tenang,
karena mereka merasa bahwa tempat tinggal di kota sangat padat dan sesak; (5) Pemerintah telah membantu penduduk
untuk mengusahakan pemilikan rumah yang menarik dengan syarat pembayaran yang ringan di daerah pinggiran kota.
Ruswurm, 1980
dalam Yunus (2004:131),
berpendapat bahwa, faktor-
faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pinggiran kota yakni: 1) Pertumbuhan penduduk (population growth); 2) persaingan memperoleh lahan (competition for land); 3)
hak-hak kepemilikan (property right); 4) kegiatan “developers” (developers activities); 5) perencanaan (planning controls); 6)
perkembangan teknologi (technological development);
7) lingkungan fisik
(physical environement).
Menurut pendapat Rugg (1979 : 71) dalam
Warsono (2006), pinggiran kota merupakan kota yang letak wilayahnya berada di perbatasan dengan
kota di sebelahnya yang memiliki hirarkhi lebih tinggi, berkarakteristik wilayah pedesaan dan kondisi intensitas wilayah terbangun lebih rendah dari
kota pusatnya,
intensitas ini akan menurun dari kota ke desa.
Menurut Bintarto (1989), gejala terjadinya perembetan kota dapat diidentifikasi dari
kenampakan
fisik kota ke arah luar yang dapat dilihat melalui terbentuknya zone-zone yang meliputi daerah-daerah : (1) area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah
peralihan antara desa kota (sub urban fringe),
(2) area batas luar kota yang memiliki sifat-sifat mirip kota (urban fringe),
dan (3) area terletak antara daerah kota dan desa yang
ditandai dengan penggunaan tanah campuran
(Rural-Urban-Fringe).
Bar-Gal, 1987 dalam Kustur (1997:4),
mengemukakan bahwa, sebagai daerah urban
fringe, dapat dilihat melalui berbagai karakteristik,
seperti peningkatan
harga tanah yang drastis, perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi
penduduk
dan tenaga kerja,
serta berbagai aspek sosial lainnya. Evers (1986:29-31) dalam
Warsono (2006)
berpendapat bahwa, gejala perkembangan perluasan kota terjadi yang
terjadi secara terencana maupun tidak direncanakan (natural), berdampak pada
perubahan konsep fungsi tanah sebagai gejala baru di
pinggiran kota terutama bagi penduduk asli.
No comments:
Post a Comment