Wednesday, November 13, 2019
Definisi Etos Kerja Islami (skripsi dan tesis)
Berkaitan dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia wajib memakmurkan bumi dengan mengelola segala kekayaan alam yang dianugerahkan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia. Dan dalam mengelola sumber daya alam dan manusia tersebut perlu diperhatikan mengenai etika Islam, yaitu kebebasan manusia untuk bertindak dan bertanggung jawab karena kepercayaannya terhadap kemahakuasaan Allah. Etika kerja dalam Islam merupakan pancaran nilai yang ikut membentuk corak karakteristik etos kerja Islam. Sebagai bagian dari akhlak, etika kerja Islami harus dikembangkan pada dua sayap, yakni sayap hubungan manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (mu‟amalah ma‟al khaliq), dan sayap hubungan manusia dengan sesama makhluk (mu‟amalah ma‟al khalq).
Pada sayap pertama, dikembangkan etika tauhi dan penghormatan yang layak bagi Allah dalam kerja. Jadi segala bentuk perilaku syirk, perbuatan dan perkataan yang secara langsung atau tidak langsung merendahkan atau menghujat Allah dapat dikategorikan tidak sejalan dengan etika kerja Islami. Sedangkan pada sayap yang kedua dikembangkan sikap-sikap proporsional dan perilaku yang bertolak dari semangat ketaatan pada norma-norma Ilahi berkaitan dengan kerja. Dua syarat mutlak suatu pekerjaan dapat digolognkan sebagai amal saleh yaitu: husnul fa’iliyyah yakni lahir dari keikhlasan niat pelaku; husnul fi’liyyah bahwa pekerjaan tersebut memiliki nilai-nilai kebaikan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh syara’, sunnah nabi, atau akal sehat (Asifudin, 2004). Keduanya disamping menjadi syarat amal saleh ternyata juga menjadi dasar dan jiwa etika kerja Islami yang bersifat spesifik. Terdapat tiga prinsip etis yaitu ikhlas menerima takdir. Pemahaman holistis proporsional terhadap takdir tidak membuat orang yang mengimaninya menjadi sikap pasif dalam berusaha dan bekerja. Ikhlas terhadap takdir mengandung nilai etis yang amat luhur dalam konteks habluminallah. Bertolak dari kerelaan terhadap takdir orang beriman dapat menerima kenyataan dengan hati lebih ikhlas dan istiqomah.
Semangat oleh kesadaran bahwa kerja merupakan karunia bernilai ibadah dan menghasilkan sesuatu yang diharapkan bersifat duniawi dan ukhrawi, akan melahirkan makna tersendiri bagi hidup dan kehidupan orang bersangkutan. Apalagi kalau pekerjaan itu sesuai dengan bidang yang diminati, hal tersebut akan membuka kemungkinan menyatunya kerja dengan rasa nikmat, yang menyebabkan orang tersebut merasakan nikmat dan bersyukur dalam bekerja (Asifudin, 2004). Etos kerja Islami, proporsional bila diterapkan oleh manusia dalam seluruh aktivitasnya, baik pada aktivitas keduniaan maupun ubudiyah formal. Dengan kesadaran dan semangat yang sama, bertolak dari niat ibadah dan mencari ridha Allah. Orang yang beretos kerja Islami disamping giat dalam aktivitas duniawi dia tentu giat pula menunaikan shalat, puasa, rukun Islam dan amalanamalan sunnah lainnya. Ibadah-ibadah mahdah dikerjakan dengan giat, olahraga, aktivitas sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan keduniaan apa saja sesuai dengan bidangnya akan ditempuh dengan semangat dan kesadaran yang sama. Sikap dan perilaku adil juga akan dikembangkan secara dinamis. Tiap-tiap kerja dijiwai dengan husnul fa‟iliyyah (niat ibadah yang ikhlas) serta husnul fi‟liyyah hingga berbagai aktivitas yang dilakukan memiliki nilai ibadah (Sulistyo, 2010).
Semua kerja yang secara baik membuahkan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi individu dan masyarakat, tidak merugikan dan tidak mengandung penipuan adalah pekerjaan yang masyru’. Sebaliknya kerja yang menimbulkan kerugian bagi orang lain dan mengandung penipuan adalah kerja tidak masyru’, meski membawa manfaat atau kemaslahatan bagi pelakunya. Sehubungan dengan etika kerja menurut Islam, perbuatan yang masyru’ otomatis sesuai dengan etika kerja Islami (Asifudin, 2004). Etika kerja dalam perspektif Islam dengan menitikberatkan pada sikap rela terhadap takdir, menegakkan proporsionalitas dan mentaati norma-norma agama (Islam). Secara teoritis ternyata dapat menimbulkan ciri-ciri tertentu, antara lain orang bersangkutan menjadi lebih mampu menerima kenyataan dengan jiwa besar, karena dihayati sebagai sesuatu dari Tuhan dan merupakan bagian dari pelaksanaan tugas untuk merubah nasib. Maka perlu dilakukan dengan ikhlas, wajar, rasional, antusias, bersyukur, hati terbuka, relatif lebih aktif, lebih baik, lebih tenang, lebih stabul, dan tanpa penyesalan tidak berguna. Norma-norma agama (Islam) pun selalu diindahkan dengan semangat ketaatan yang tinggi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment