Wednesday, February 15, 2023

Derajat Otonomi Fiskal daerah

  

diberlakukannya Undang-undang nomor 22  tentang otonomi daerah telah memberikan arti khusus bagi terselenggaranya azas desentraliasasi yang semakin jelas artinya pemerintah pusat/daerah tingkat yang lebih atas tidak terlalu mencampuri urusan rumah tangga daerah. Desentralisasi pasa dasarnya ditujukan untuk lebih memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan funsi pelayanan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hakekat semangat otonomi harus tercermin dalam pengelolaan keuangan daerah (otonomi fuskal daerah) melalui perncanaan, pengawasan,pengendalian dan avaluasi seluruh fungsi fungsi pemerintahan yang telah disentralisasikan., dengan kata lain, daerah harus mempunyai kewenangan untuk merencanakan, menggunakan dan mempertanggung jawabkan pengelolaan seluruh sumber penerimaan daerah kepada masyarakat melalui DPRD tampa adanya intervensi pemerintah pusat seperti dimasa lalu (Turtiantoro, 2000:29-30) Hal-hal yang mendasar dalam azas desentralisdasi adalah komitmen untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, pengembangan dan fungsi dewan perwakilan rakayat.

Sala satu aspek yang dapat menetukan keberhasilan otonomi daerah adalah kemendirian pemerintah daerah (Radianto,1999:42) dengan demikia inplikasi pengembangan otonomi daerah tidak semata-mata merupakan penembahan ururasan yang diserahkan, melainkan juga seberapa besar wewenang yang diserahkan tersebut memberikan kemampuan menganbil prakarsa dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk desentralisasi fiskal sehingga daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya kepada pusat dan dapat membiayai kegiatan pembangunan daerah.) adapun  Sumber-sumber pendapatan dalam rangka pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, yakni terdiri atas :

  • Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencakup hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, serta lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah;
  • Dana Perimbangan meliputi bagian daerah dari PBB, BPHTB, dan penerimaan dari SDA, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK);
  • Pinjaman daerah; dan
  • Lain-lain penerimaan yang sah.

  Hal tersebut di atas juga dipertegas oleh Bird dan Vaillancourt (2000 : 167 – 169) bahwa sistem fiskal yang sangat sentralistis merupakan penyebab kemampuan Pemerintah Daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya yang tergantung pusat, sehingga telah mengakibatkan kecilnya porsi penerimaan sendiri dalam struktur pengeluaran daerah. Demikian pula, dengan ketergantungan yang tinggi terhadap transfer Pemerintah Pusat telah menyebabkan kurangnya insentif pencarian sumber-sumber untuk menutupi biaya daerah (fiscal needs). Dalam merencanakan berbagai peraturan tentang keseimbangan fiskal, Alisyahbana(2000:7),mengatakan bahwa beberapa permasalahan penting yg harus diperhatikan.Masalahyang penting tersebut yaitu desentralisasi fiskal dan hubungan antara pusat dan daerah.

Penelitian  tentang keuangan daerah di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa orang, antara lain Devas,dkk (1989 : 46), mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah sangat tergantung dari Pemerintah Pusat. Dalam garis besarnya, penerimaan daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya menutup seperlima dari pengeluaran Pemerintah Daerah. Meskipun banyak pula negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Namun demikian, Pemerintah Daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki tingkat otonomi yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” atau wewenang pangkal, artinya memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat  mengadakan perubahan  di sana  sini  pada tingkat jasa layanan yang disediakan.

Sebagai pembanding, data IMF Government Finance Statistic  1985 menggambarkan bahwa persentase penerimaan daerah total yang berasal dari penerimaan daerah sendiri yang  diserahkan pada beberapa negara,  Filipina (1976) 31 %, Thailand (1983) 54 %,  Malaysia (1981) 80 %, India (1982) 59 %,  Pakistan (1979) 89 %, Brazil (1983) 82 %,  Prancis (1983) 57 %, Amerika Serikat (1983) 78 %. Olehnya itu, mungkin sudah memadai jika 20 persen dari pengeluaran berasal dari sumber-sumber daerah. Wewenang pangkal dimaksud lebih jauh dikatakan bahwa yang penting adalah wewenang menentukan pengeluaran, wewenang atas sumber penerimaan saja belum cukup untuk otonomi daerah.

 Kesimpulan  dari hasil penelitian ini adalah bahwa peluang untuk menaikkan penerimaan daerah sangat kecil, karena banyak penerimaan khususnya pajak yang tidak memuaskan (potensinya kecil). Peluang untuk menciptakan jenis-jenis pajak yang baru juga kecil, sebab Pemerintah Pusat sudah menguasai lahan pajak yang penting, sehingga peluang untuk menaikkan penerimaan daerah dari sumber sendiri terbatas di satu sisi. Selain dari pada itu, Pemerintah Pusat juga menguasai hampir semua bidang pajak di sisi lain, maka alternatif yang dimungkinkan untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah memberikan (melimpahkan) beberapa sumber  penerimaan kepada daerah atau menggarap beberapa bidang pajak bersama-sama dengan daerah.

Tim Peneliti Fisipol UGM  bekerja sama dengan Litbang Depdagri  (1991) menentukan tolok ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total APBD, yaitu:

  1. Rasio PAD terhadap APBD    0,00  - 10,00 % ( sangat kurang );
  2. Rasio PAD terhadap APBD  10,10  - 20,00 % ( kurang );
  3. Rasio PAD terhadap APBD  20,10  - 30,00 % ( sedang );
  4. Rasio PAD terhadap APBD  30,10  - 40,00 % ( cukup );
  5. Rasio PAD terhadap APBD  40,10  - 50,00 % ( baik );
  6. Rasio PAD terhadap APBD  diatas 50,00  % ( sangat baik ).

Penentuan tolok ukur kemampuan keuangan daerah dilihat dari rasio antara PAD terhadap APBD tersebut dinilai wajar, mengingat sebagian besar sumber penerimaan di daerah telah dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah serta Pendapatan Asli Daerah lainnya terhadap total penerimaan daerah adalah sengat kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah Pusat mengkatagorikan bagi daerah yang rasio PAD terhadap APBD berada di atas 30 % dinyatakan sudah cukup mampu dalam pelaksanaan otonomi dilihat dari dari sisi keuangannya. Menyadari hal tersebut, Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran selalu memberikan  subsidi dan bantuan kepada daerah.

Jamaluddin (1990) menelaah tentang derajat desentralisasi fiskal Pemerintah Daerah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, Indonesia merupakan negara berkembang yang menduduki posisi fiskal yang paling rendah dari segi penerimaan. Hal ini berkaitan dengan sumber-sumber PAD yang kurang potensial, lemahnya administrasi dan struktur pajak belum memenuhi kriteria pajak yang ada. Sejalan dengan hal di atas, Lains (1985) meneliti tentang keuangan dan pembangunan daerah di Sumatera Barat menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan daerah ditemukan bahwa, kemampuan pembiayaan dengan PAD adalah kecil. Dengan kata lain, bahwa sebagian besar pembangunan daerah dibiayai oleh  Pemerintah Pusat.

Kecilnya proporsi PAD dalam total penerimaan daerah antara lain karena jenis-jenis pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan perlu adanya desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta sistem perpajakan, yaitu dengan pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah, juga diungkapkan bahwa, subsidi khusus mungkin lebih efisien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan bantuan umum.

Mardiasmo dan Makhfatih (2000: 8-12) menguarikan bahwa potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel yang dikendalikan (yaitu variabel-variabel kebijakan dan kelembagaan), dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah. Olehnya itu, dalam menghitung potensi perlu memperhatikan beberapa faktor berikut: (1) kondisi awal suatu daerah, (2) peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan daerah, (3) perkembangan PDRB per kapita ril, (4) pertumbuhan penduduk, (5) penyesuaian tarif, (6) tingkat inflasi, (7) pengembangan baru, (8) sumber pendapatan baru, (9) perubahan peraturan.

No comments:

Post a Comment