Showing posts with label ilmu pemerintahan. Show all posts
Showing posts with label ilmu pemerintahan. Show all posts

Thursday, March 23, 2023

Definisi Operasional Etika Birokrasi

 adalah nilai-nilai, asas-asas atau norma-norma etika yang mengatur perilaku moral para aparatur birokrasi di dalam menjalankan tugas dan jabatan, yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peneltian ini mengunakan enam landasan etika birokrat menurut Adler (2014) yaitu: (1) kebenaran (truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, (2) kebaikan (goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian, (3) keindahan (beauty), yang menyangkut prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan, (4) kebebasan (liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, (5) persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia yang satu dengan yang lain, dan (6) keadilan (justice), yaitu kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya.

Pengukuran Kepuasan Masyarakat terhadap Pelayanan Publik di Institusi Pemerintah

 Pemerintah dalam beberapa waktu terakhir terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Sebagaimana amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Negara memiliki kewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Untuk itu berbagai terobosan dan perbaikan telah dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik baik itu instansi pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Oleh karena itu, dalam hal ini perlu untuk mengetahui sejauh mana dampak yang dihasilkan dari perbaikan tersebut melalui pelaksanaan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan publik wajib melakukan Survei Kepuasan Masyarakat secara berkala minimal 1 (satu) kali setahun. Survei dilakukan untuk memperoleh Indeks Kepuasan Masyarakat. Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) ini diharapkan dapat mengetahui informasi pengguna layanan yang terdiri dari :

  1. Profil pengguna layanan;
  2. Persepsi pengguna layanan, dan;
  3. Keluhan, saran perbaikan serta aspirasi pengguna layanan.

Survei Kepuasan Masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat. Pedoman ini menggantikan pedoman sebelumnya dalam Permenpanrb No. 16 Tahun 2014 tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Peraturan sebelumnya dipandang tidak operasional dan memerlukan penjabaran teknis dalam pelaksanaannya. Sehingga perlu untuk disesuaikan dengan metode survei yang aplikatif dan mudah untuk dilaksanakan. Selain itu, Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dan pedoman yang jelas dan tegas bagi penyelenggara pelayanan publik.

Dalam Permenpan No. 14 Tahun 2017 disebutkan bahwa  SKM ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan sasaran :

  1. Mendorong partisipasi masyarakat sebagai pengguna layanan dalam menilai kinerja penyelenggara pelayanan;
  2. Mendorong penyelenggara pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik;
  3. Mendorong penyelenggara pelayanan menjadi lebih inovatif dalam menyelenggarakan pelayanan publik;
  4. Mengukur kecenderungan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.

Unsur-unsur yang menjadi fokus dalam pelaksanaan Survei Kepuasan Masyarakat terdiri dari 9 unsur yang terdiri dari :

  1. Persyaratan adalah syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif
  2. Sistem, mekanisme dan prosedur adalah tata cara pelayanan yang dilakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan
  3. Waktu penyelesaian adalah jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan
  4. Biaya/Tarif adalah ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam mengurus dan atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan Berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat
  5. Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan adalah hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Produk pelayanan ini merupakan hasil dari setiap spesifikasi jenis pelayanan
  6. Kompetensi Pelaksana adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi pengetahuan keahlian keterampilan dan pengalaman.
  7. Perilaku Pelaksana adalah sikap petugas memberikan pelayanan
  8. Penanganan pengaduan, saran dan masukan adalah tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut
  9. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan. Prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses(usaha,pembangunan, proyek). Sarana yang digunakan untuk benda yang bergerak (komputer,mesin) dan prasarana untuk benda yang tidak bergerak (gedung)

Prinsip Pelayanan Publik

  

Berdasarkan Undang Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu: Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan dalam rangka pengaturan, pembinaan, bimbingan, penyediaan fasilitas, jasa dan lainnya yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan kepada masyarakat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat Unit Penyelenggara Pelayanan Publik, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pelayanan publik harus selalu berubah mengikuti perkembangan masyarakat, karena masyarakat itu bersifat dinamis. Dalam hal ini pemerintah harus melakukan negosiasi dan mengkolaborasi berbagai kepentingan masyarakat. Sehingga pelayanan publik memiliki kualitas yang sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau.Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan pengguna jasa, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan publik yang profesional, kemudian Sinambela, dkk (2011) mengemukakan asas-asas dalam pelayanan publik tercermin dari:

  1. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

  1. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

  1. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

  1. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

  1. Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan status ekonomi.

  1. Keseimbangan Hak dan kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing- masing pihak.

Berdasarkan pengertian di atas, maka pelayanan publik akan berkualias apabila memenuhi asas-asas diantaranya: transparansi, akuntabilitas, partisipasif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, fasilitas, ketepatan waktu dan kemudahan.

 

Standar Pelayanan Publik

 Kualitas pelayanan pada masyarakat merupakan salah satu masalah yang mendapatkan perhatian serius oleh aparatur pemerintah. Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Penyusunan standar pelayanan dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam UU No.25 tahun 2009, adapun komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:

  1. Dasar hukum yaitu Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar.
  2. Persyaratan yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis pelayanan baik persyaratan teknis maupun administratif.
  3. Sistem, mekanisme dan prosedur yaitu tata cara pelayanan yang dibekukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
  4. Jangka waktu penyelesaian yaitu Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
  5. Biaya/tarif yaitu ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan masyarakat.
  6. Produk pelayanan yaitu hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
  7. Sarana, prasarana, dan / atau fasilitas yaitu peralatan dan fasilitas yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan termasuk peralatan dan fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.
  8. Kompetensi pelaksanaan. Dimana kKemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi pengetahuan keahlian, keterampilan dan pengalaman.
  9. Pengawasan internal yaitu pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja atau atasan langsung pelaksana.
  10. Penanganan pengaduan, saran dan masukan dengan melihat tata cara pelaksanaan pengamanan pengaduan dan tindak lanjut.
  11. Jumlah pelaksana yang dilihat dari tersedianya pelaksanaan sesuai dengan beban kerjanya.
  12. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan.
  13. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan resiko keragu-raguan, dan
  14. Evaluasi kinerja Pelaksana

Penilaian untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan kegiatan sesuai dengan standar pelayanan. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyusunan standar pelayanan publik tersebut dipakai sebagai pedoman dalam pelayanan publik oleh instansi pemerintah dan dapat dijadikan indikator penilaian terhadap kualitas pelayanan yang telah diberikan. Dengan adanya standar dalam kegiatan pelayanan publik ini diharapkan masyarakat bisa mendapat pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan proses yang memuaskan serta tidak menyulitkan masyarakat sebagai pengguna pelayanan.

Dimensi Dalam Etika Birokrasi

 Ada enam landasan etika yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak, yaitu: (1) kebenaran (truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, (2) kebaikan (goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian, (3) keindahan (beauty), yang menyangkut prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan, (4) kebebasan (liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, (5) persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia yang satu dengan yang lain, dan (6) keadilan (justice), yaitu kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. (Adler, 2014)

Secara khusus, pelaksanaan etika birokrasi di Indonesia di atur dalam PP.No.42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik ASN, dan dalam undang-undang di bidang kepegawaian. Dalam PP.No.42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik ASN disebutkan bahwa etika birokrasi adalah:

  1. Pemahaman terhadap norma-norma etika birokrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; yaitu tingkat pengetahuan dan pengertian aparatur terhadap norma-norma etika yang berlaku bagi aparatur birokrasi.(Widjaja 2003,)
  1. Penghayatan terhadap norma-norma etika birokrasi; yaitu tingkat kesadaran aparatur tentang arti pentingnya etika birokrasi.(Widjaja 2003,)
  2. Pengamalan terhadap norma-norma etika birokrasi; yaitu kepatuhan/ketaatan aparatur/pegawaimelaksanakan dan menerapkan norma-norma etika di dalam menjalankan tugas pekerjaan atau melakukan tindakan jabatan.(Widjaja 2003,)

Pengertian Etika Birokrasi

   Etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos yang berarti kebiasaan atau watak dan dalam bahasa prancis disebut etiquet atau etiket yang dapat diartikan sebagai kebiasaan atau cara bergaul dan berperilaku yang baik. Secara konsep, etika dipahami sebagai “suatu sistem nilai yang mengatur mana yang baik dan mana yang buruk dalam suatu kelompok atau masyarakat ”. Wahyudi (2018 : 8) mengemukakan bahwa etika (ethics) merupakan salah satu cabang filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis (philosophical judgement). Moral juga bisa merupakan suatu instrumen dalam suatu masyarakat, apabila suatu kelompok sosial menghendaki tuntunan bertindak untuk segala pola tingkah laku yang disebut moral. Frankena (dalam Wahyudi, 2011:78) menyampaikan bahwa etika mencakup filsafat moral atau pembenaran–pembenaran filosofis. Moralitas merupakan instrumen kemasyarakatan yang berfungsi sebagai penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola tingkah laku yang disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas akan serupa dengan hukum disatu pihak dan dengan etiket dipihak lain. Bedanya dengan etiket, moralitas memiliki pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan ‘keharusan.

Pemikiran  tentang  etika  kaitannya dengan  pelayanan  publik  mengalami perkembangan  sejak  tahun  1940-an melalui  karya  Leys (dalam  Keban, 2014: 50-51). Leys berpendapat: “bahwa seorang administrator  dianggap  etis  apabila  ia menguji  dan  mempertanyakan  standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan,  dan  tidak  mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan  tradisi  yang  sudah  ada”.  Terkait dengan  pernyatan di  atas,  (Wahyudi, 2011:  7) mendefinisikan  etika  pelayanan publik sebagai suatu  cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang  mengandung  nilai-nilai  hidup  dan hukum  atau  norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik..

 Darwin dalam Bisri dan Asmoro, (2019 : 24) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dalam  kaitan  tersebut, (Widodo,  2011:  241)  menyebutkan  etika birokrasi adalah  merupakan wujud  kontrol  terhadap  birokrasi  dalam  melaksanakan  apa  yang menjadi  tugas  pokok,  fungsi  dan kewenangannya.   Dengan demikian apabila aparatur menginginkan sikap,  tindakan dan perilakunya  dikatakan  baik,  maka  dalam menjalankan  tugas  pokok  fungsi  dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika birokrasi

 

Definisi Konsep Kesiapsiagaan Bencana Banjir

 adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna untuk mencegah menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi akibat tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah. Dalam hal ini kesiapsiagaan meliputi aspek:

  1. Pengetahuan tentang bencana,
  2. Kebijakan dan panduan meliputi kebijakan pendidikan yang terkait dengan kesiapsiagaan keluarga,
  3. Rencana tanggap darurat,
  4. Parameter peringatan bencana dan Parameter mobilisasi sumber daya

Definisi Konsep Partisipasi

 Menurut Basrowi (Dwiningrum, 2015), partisipasi masyarakat ditinjau dari bentuknya dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (a) Partisipasi secara fisik dan (b) Partisipasi secara non fisik.

Definisi Konsep partisipasi

  

Menurut Astuti   (2019), partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalam menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan tanggungjawab atas segala keterlibatan

Ukuran Kesiapsiagaan Bencana

 

Kajian tingkat kesiapsiagaan komunitas keluarga menggunakan framework yang dikembangkan LIPI bekerja sama dengan UNESCO/ISDR tahun 2006. Ada lima parameter yang digunakan dalam mengkaji tingkat kesiapsiagaan keluarga dalam kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana yaitu pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya.(LIPIUNESCO/ISDR, 2006):

  1. Pengetahuan tentang kebakaran serta risiko bencana mencakup pengertian bencana alam, kejadian yang menimbulkan bencana, penyebab terjadinya kebakaran, ciri-ciri terjadinya kebakaran, dampak terjadinya kebakaran.
  2. Kebijakan dan panduan meliputi kebijakan pendidikan yang terkait dengan kesiapsiagaan keluarga, UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Surat Edaran 70a/MPN/2010) kegiatan penyuluhan diharapkan mampu mobilisasi sumber daya di dalam keluarga untuk peningkatan kesiapsiagaan komunitas keluarga.
  3. Rencana tanggap darurat terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan agar korban bencana dapat diminimalkan. Rencana yang berkaitan dengan evakuasi mencakup tempat-tempat evakuasi, peta dan jalur evakuasi, peralatan dan perlengkapan, latihan/simulasi dan prosedur tetap (protap) evakuasi. Penyelamatan dokumen-dokumen penting juga perlu dilakukan, seperti copy atau salinan dokumen perlu disimpan di tempat yang aman.
  4. Parameter peringatan bencana yang meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Peringatan dini bertujuan untuk mengurangi korban jiwa, karena itu pengetahuan tentang tanda/bunyi peringatan, pembatalan dan kondisi aman dari bencana sangat diperlukan. Penyiapan peralatan dan perlengkapan untuk mengetahui peringatan sangat diperlukan, demikian juga dengan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu sesuai dengan lokasi di mana keluarga sedang berada saat terjadi bencana.
  5. Parameter mobilisasi sumber daya adalah kemampuan keluarga dalam memobilisasi sumber daya manusia (SDM) kepala keluarga dan anggota keluarga, pendanaan, dan prasarana-sarana penting untuk keadaan darurat. Mobilisasi sumber daya ini sangat diperlukan untuk mendukung kesiapsiagaan. Mobilisasi SDM berupa peningkatan kesiapsiagaan kepala keluarga dan anggota keluarga yang diperoleh melalui berbagai pelatihan, workshop atau ceramah serta penyediaan materi-materi kesiapsiagaan di Keluarga yang dapat diakses oleh semua komponen. (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006)

Kajian tingkat kesiapsiagaan komunitas keluarga menggunakan framework yang dikembangkan LIPI bekerja sama dengan UNESCO/ISDR tahun 2006. Ada lima parameter yang digunakan dalam mengkaji tingkat kesiapsiagaan keluarga dalam kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana yaitu pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya.(LIPIUNESCO/ISDR, 2006):

  1. Pengetahuan tentang bencana serta risiko bencana mencakup pengertian bencana alam, kejadian yang menimbulkan bencana, penyebab terjadinya bencana, ciri-ciri terjadinya bencana, dampak terjadinya bencana
  2. Kebijakan dan panduan meliputi kebijakan pendidikan yang terkait dengan kesiapsiagaan keluarga, UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Surat Edaran 70a/MPN/2010) kegiatan penyuluhan diharapkan mampu mobilisasi sumber daya di dalam keluarga untuk peningkatan kesiapsiagaan komunitas keluarga.
  3. Rencana tanggap darurat terkait dengan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan agar korban bencana dapat diminimalkan. Rencana yang berkaitan dengan evakuasi mencakup tempat-tempat evakuasi, peta dan jalur evakuasi, peralatan dan perlengkapan, latihan/simulasi dan prosedur tetap (protap) evakuasi. Penyelamatan dokumen-dokumen penting juga perlu dilakukan, seperti copy atau salinan dokumen perlu disimpan di tempat yang aman.
  4. Parameter peringatan bencana yang meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Peringatan dini bertujuan untuk mengurangi korban jiwa, karena itu pengetahuan tentang tanda/bunyi peringatan, pembatalan dan kondisi aman dari bencana sangat diperlukan. Penyiapan peralatan dan perlengkapan untuk mengetahui peringatan sangat diperlukan, demikian juga dengan latihan dan simulasi apa yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam waktu tertentu sesuai dengan lokasi di mana keluarga sedang berada saat terjadi bencana.
  5. Parameter mobilisasi sumber daya adalah kemampuan keluarga dalam memobilisasi sumber daya manusia (SDM) kepala keluarga dan anggota keluarga, pendanaan, dan prasarana-sarana penting untuk keadaan darurat. Mobilisasi sumber daya ini sangat diperlukan untuk mendukung kesiapsiagaan. Mobilisasi SDM berupa peningkatan kesiapsiagaan kepala keluarga dan anggota keluarga yang diperoleh melalui berbagai pelatihan, workshop atau ceramah serta penyediaan materi-materi kesiapsiagaan di Keluarga yang dapat diakses oleh semua komponen. (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006)

Berdasarkan uraian di atas maka indikator kesiapsiagaan bencana masyarakat dalam penelitian ini mengacu pada framework yang dikembangkan LIPI bekerja sama dengan UNESCO/ISDR tahun 2006 yang meliputi aspek Pengetahuan tentang bencana, Kebijakan dan panduan meliputi kebijakan pendidikan yang terkait dengan kesiapsiagaan keluarga, Rencana tanggap darurat, Parameter peringatan bencana dan Parameter mobilisasi sumber daya

Pengertian Kesiapsiagaan Bencana

 Kesiapsiagaan (preparedness) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (BPBD DKI Jakarta, 2013). Menurut BNPB (2008) kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktivitas lintas-sektor yang berkelanjutan. Kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir terdiri dari kegiatan yang memungkinkan masyarakat dan individu untuk dapat bertindak dengan cepat dan efektif ketika terjadi banjir. Hal ini membantu masyarakat dalam membentuk dan merencanakan tindakan apa saja yang perlu dilakukan ketika banjir (UNESCO, 2008). Tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin bahwa sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya masing-masing untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi  korban bencana sehingga dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi layanan (BNPB, 2008).

Dalam pernyataan lain disebutkan bahwa pengertian kesiapsiagaan adalah   serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisispasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Membangun kesiapsiagaan adalah unsur penting, namun mudah dilakukan karena menyangkut sikap dan mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat kesiapsiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana (Kementerian Sosial RI, 2011).

Berdasrkan uraian di atas maka kesiapsiagaan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna

Jenis Bencana Alam

 Bencana alam adalah peristiwa alam yang dapat mengakibatkan dampak bagi kehidupan manusia. Beberapa bencana alam:

  1. Gempa Bumi adalah peristiwa pergeseran lempeng bumi secara tiba-tiba.

Gempa bumi dapat menimbulkan terjadinya kerusakkan tanah, tanah longsor dan runtuhan batuan (Watt & Fiona, 2009).

  1. Tsunami adalah gelombang laut yang disebabkan oleh gangguan implusif dari dalam laut. Gangguan impulsif yang dapat mempengaruhi terjadinya tsunami. Faktor utama terjadinya tsunami adalah gempa bumi yang terjadi di dasar laut, gelombang tsunami yang terjadi besar atau kecil dapat ditentukan oleh karakteristik gempa bumi yang menyebabkan
  2. Tanah Longsor adalah bencana alam yang disebabkan oleh struktur tanah yang mengalami gangguan kestabilan. Faktor terjadinya tanah longsor dapat di akibatkan oleh curah hujan yang tinggi dan gempa
  3. Banjir adalah keadaan dimana suatu wilayah tergenang air, sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba akibat tersumbatnya sungai dan curah hujan yang tinggi (Bakornas PBP, 2005).
  4. Kekeringan adalah kurangnya ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan, dampakkekeringan muncul sebagai akibat dari kekurangannya air, kekeringan dapat menganggu perekonomian dan kehidupan masyarakat.
  5. Angin puting beliung adalah bencana alam yang disebabakan oleh perbedaan tekanan cuaca, pusaran angin puting beliung sangat kencang dengan kecepatan angin 120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis (Prahasta, E, 2003).
  6. Letusan Gunung Berapi adalah aktivitas vulkanik atau erupsi, gunung berapi berkaitan dengan zona kegempaan yang diakibatkan oleh batas lempeng. Batas lempeng dapat mengakibatkan perubahan suhu dan tekanan yang tinggi sehingga dapat melelehkan material di sekitarnya yang merupakan cairan pijar (magma). Magma akan meluap ke permukaan melalui rekahan permukaan bumi. Gunung berapi memiliki karakteristik, dapat dilihat melalui muntahan yang dihasilkan (Bakornas PBP, 2005). Gunung meletus terjadi karena magma yang berada di perut bumi mengalami tekanan tinggi oleh gas sehingga terdorong keluar. Letusan gunung berapi ini dapat menyemburkan abu sejauh 60 km lebih dan lavanya dapat membanjiri daerah lereng gunung sejauh 30 km. Dampak dari letusan gunung berapi dapat menimbulkan kerugian harta benda dan korban jiwa (Watt & Fiona, 2009). Berdasarkan pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa bencana gunung berapi merupakan bagian dari aktivitas vulkanik atau erupsi, dari letusan gunung berapi akan membawa bencana bagi 

Pengertian Bencana Alam

 Pengertian dari bencana adalah gangguan serius terhadap fungsi masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, material, atau lingkungan yang luas melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak dan harus mereka hadapi menggunakan sumber daya yang ada pada mereka (Asian Disaster Reduction Centre (2003) dan the United Nations (1992) dalam Kusumasari (2014). Ditambahkan oleh Routela, (2006 dalam Kusumasari, 2014)  bahwa bencana merupakan sebuah kondisi kerusakan dan goncangan yang menyebabkan kehancuran pada struktur sosial serta populasi yang terkena dampak bencana tidak mampu mengatasi peristiwa tersebut dan membutuhkan bantuan pihak luar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti dari bencana yaitu sesuatu yang dapat menimbulkan menimbulkan kerugian harta benda dan penderitaan. Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah bencana disebabkan oleh alam yang dapat mengganggu penghidupan manusia yang disebabkan oleh faktor non alam dan faktor alam maupun faktor manusia sehingga dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Berpijak dari pengertian di atas maka dapat pengertian bencana alam adalah gangguan yang  disebabkan oleh alam sehingga mengakibatkan kerugian materi, kerusakan lingkungan dan korban jiwa (Bakornas PBP, 2005). Bencana alam geologis adalah bencana yang di akibatkan oleh bumi, bencana alam geologis berdampak pada kehidupan manusia (Nurjanah, et al. 2012)

Bentuk–bentuk Partisipasi Masyarakat

 Partisipasi dapat dibagi kedalam beberapa bentuk. Menurut Basrowi (Dwiningrum, 2015) menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat ditinjau dari bentuknya dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

  1. Partisipasi secara fisik

Dimana partisipasi ini merupakan partisipasi yang dilakukan dalam bentuk menyelenggarakan sebuah pendidikan maupun usaha-usaha. Seperti usaha sekolah, membuat beasiswa, dan juga membantu pemerintah dengan cara membangun gedung untuk masyarakat atau dapat juga bentuk bantuan yang lain.

  1. Partisipasi secara non fisik.

Merupakan partisipasi yang melibatkan masyarakat dalam menentukan tujuannya. Seperti dimana harus menempuh pendidikan nasional dan juga meratanya wawasan maupun keinginan masyarakat untuk menuntut ilmu dengan cara melalui pendidikan. Sehingga pemerintah tidak kesulitan dalam memberikan arahan kepada masyarakat untuk bersekolah.

Mubyaro dalam Ndraha (1990:102-104) bahwa dalam suatu partisipasi masyarakat tentunya ada berbagai bentuk partisipasi masyarakat didalamnya. Diantaranya yaitu.

  1. Partisipasi dilakukan dengan cara berkontak langsung antar individu sebagai bentuk awal dari kegiatan sosial dimasyarakat.
  2. Partisipasi mampu untuk menyerap maupun menerima informasi baik menerima maupun menolak informasi yang diterima.
  3. Partisipasi bertujuan dalam ikut serta andil dalam sebuah pengambilan keputusan perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan.
  4. Partisipasi bergerak dengan menggunakan konsep pelaksanaan pembangunan.

 Sedangkan Davis dalam jurnal yang ditulis oleh Anthonius Ibori (2013:4) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat dibagi kedalam beberapa bentuk, yaitu :

  1. partisipasi dalam bentuk pikiran, ide atau gagasan.
  2. Partisipasi dalam bentuk tenaga
  3. Partisipasi dalam bentuk pikiran dan juga tenaga.
  4. Partisipasi dalam bentuk keahlian.
  5. Partisipasi dalam bentuk barang.
  6. Partisipasi dalam bentuk uang

Menurut Huraerah (2011:116) meyebutkan ada beberapa bentuk partisipasi massyarakat yaitu: partisipasi dalam bentuk pikiran, dalam bentuk tenaga, dalam bentuk harta maupun benda, dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, dalam bentuk sosial.

Berdasarkan pendapat diatas maka dalam penelitian ini indikator partisipasi mengacu pada pendapat Basrowi dalam Dwiningrum (2011 ) yang menyebutkan bahwa bentuk partisipasi masyarakat dibedakan kedalam dua bagian yaitu partisipasi fisik dan juga partisipasi non fisik. Yang mana partisipasi fisik adalah usaha kelompok masyarakat atau orangtua dalam bentuk pendidikan seperti menyelenggarakan dan mendirikan sekolah. Sedangkan partisipasi non fisik merupakan keterlibatan masyarakat dalam mementukan tujuan pendidikan guna untuk memperoleh ilmu pengetahuan melalui lembaga pendidikan.

Tahapan Partisipasi Masyarakat

 Mulyadi (2019 ) menyebutkan bahwa didalam partisipasi masyarakat terdapat beberapa tahapan partisipasi yang lebih nyata terjadi dimasyarakat diantaranya yaitu:    

  1. Partisipasi di dalam pengambilan keputusan.

Merupakan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan keputusan melalui rencana pembangunan. Seperti keikutsertaan dalam menghadiri rapat pembangunan desa, memberikan pendapatnya dalam kegiatan rapat desa, memberikan informasi pada rapat pembangunan desa, dan juga ikut serta dalam proses pembuatan keputusan.

  1. Partisipasi di dalam pelaksanaan.

Merupakan keterlibatan masyarakat didalam kegiatan pelaksanaan pembangunan desa bukan hanya pada tahap perencanaan. Pada tahap pelaksanaan ini masyarakat bisa memberikan kontribusi yang lebih konkrit seperti kontribusi dengan tenaga, kontribusi dengan uang, kontribusi dengan bahan.

  1. Partisipasi di dalam kemanfaatan.

Merupakan wujud dari peran masyarakat dalam keikutsertaan berpartisipasi di desanya. Apakah keikutsertaannya tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih positif bagi perkembangan pemerintah dan masyarakat desa. Bentuk keikutsertaan masyarakat tersebut dapat berupa mengikuti kegiatan dalam memelihara kebersihan rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal, ikut serta dalam kegiatan keagamaan, mengikuti kegiatan memelihara keamanan lingkungan secara suka rela, dan juga mengikuti kegiatan yang diadakan desa seperti kelompok usaha dibidang ekonomi,

  1. Partisipasi pada keikutsertaan dalam melakukan evaluasi.

 Merupakan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan memberikan penilaian pada pelaksanaan hasil dari mulai tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan. Keikutsertaan masyarakat dalam bentuk kritik terhadap jalannya pembangunan, memberikan argumen maupun saran terhadap jalannya pembangunan, dan yang terpenting adalah memberikan penilaian yang kemudian disampaikan kepada pemerintah desa sebagai bahan untuk evaluasi.

 Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tahapan partisipasi masyarakat terdiri dari partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan desa, partisipasi dalam kemanfaatan bagi pemerintah desa, dan juga partisipasi dalam keikutsertaan pada pengawasan dan memberikan penilaian pada tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan.

Pengertian Partisipasi

 Zamroni (2011) mengatakan bahwa partisipasi merupakan semua anggota masyarakat suatu negara yang memiliki suara didalam pembentukan dan pengambilan keputusan yang bersifat secara langsung maupun melalui organisasi yang mewakili kepentingan masyarakat umum. Partisipasi masayarakat merupakan suatu hak yang dimiliki masyarakat untuk ikut andil dalam pengambilan keputusan di dalam tahapan proses pembangunan, mulai dari awal perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun spelestarian lingkungan. Disini masyarakat tidak hanya sebagai penerima fasilitas maupun manfaat tetapi sebagai subjek pembangunan yang berkesinambungan (Dewi, Fandeli, & Baiquni, 2013). Selain pendapat di atas, Mulyadi (2019:13) mengatakan bahwa Partisipasi Masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan maupun menjalankan suatu proogram, yang mana masyarakat juga ikut merasakan manfaat dari kebijakan program tersebut. Selain itu dalam melakukan sebuah evaluasi masyarakat tentunya juga ikut dilibatkan agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut   Astuti   (2019), partisipasi adalah pelibatan seseorang atau beberapa orang dalam suatu kegiatan. Keterlibatan dapat berupa keterlibatan mental dan emosi serta fisik dalam menggunakan segala kemampuan yang dimilikinya (berinisiatif) dalam segala kegiatan yang dilaksanakan serta mendukung pencapaian tujuan dan tanggungjawab atas segala keterlibatan. Pengertian lain tentang partisipasi dikemukakan oleh Fasli Djalal dan Dedi Supriadi (2011), di mana partisipasi dapat juga berarti bahwa pembuat keputusan menyarankan kelompok atau masyarakat ikut terlibat dalam bentuk penyampaian saran dan pendapat, barang, keterampilan, bahan dan jasa. Partisipasi dapat juga berarti bahwa kelompok mengenal masalah mereka sendiri, mengkaji pilihan mereka, membuat keputusan, dan memecahkan masalahnya.

Berdasarkan apa yang disampaikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan semua anggota masyarakat dalam pembuatan dan pelaksanaan suatu program atau kebijakan yang mampu memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri.

Upaya Pemerintah Desa

 Pengertian Upaya. Menurut Tim Penyusun Departemen Pendidikan Nasional (2008:1787), “upaya adalah usaha, akal atau ikhtiar untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dan sebagainya”. Menurut Poerwadarminta (1991 : 574), “Upaya adalah usaha untuk menyampaikan maksud, akal dan ikhtisar. Upaya merupakan segala sesuatu yang bersifat mengusahakan terhadap sesuatu hal supaya dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan maksud, tujuan dan fungsi serta manfaat suatu haltersebut dilaksanakan”.Upaya sangat berkaitan erat dengan penggunaan sarana dan prasarana dalam menunjang kegiatan tersebut, agar berhasil maka digunakanlah suatu cara, metode dan alat penunjang yang lain.

Dengan menggunakan pendekatan dari segi bahasa terhadap kata Pemerintah dan Pemerintahan, kedua kata tersebut berasal dari kata “perintah” berarti sesuatu yang harus dilaksanakan. “Di dalam kata “perintah” tersimpul beberapa unsur yang merupakan ciri khasnya, yaitu :

  1. Adanya keharusan, menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan.
  2. Adanya dua pihak, yaitu yang memberi perintah dan yang menerima perintah.
  3. Adanya wewenang atau kekuasaan unruk memberi perintah.” Di dalam bahsa Inggris istilah “pemerintahan dan pemerintah tidak memiliki perbedaan yang disebut dengan “government”. Istilah ini bersumber dari latin yaitu “gubernauculum” yang berarti kemudi. Kata government dapat bermakna. Melaksanakan wewenang pemerintahan, Cara atau sistem memerintah, Fungsi atau kekuasaan untuk memerintah, Wilayah atau Negara yang diperintah, Badan yang terdiri dari orang-orang yang melaksanakan wewenang dan administrasi hukum dalam suatu Negara.”

Upaya pemerintah desa tidak terlepas dari peran pemerintah desa tercantum dalam Undang Undang No 6 Tahun 2014 Pasal 26 Ayat 1 disebutkan bahwa tugas aparatur desa menyelenggarakan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masayarakat desa. Saat ini upaya pemerintah semakin nyata memberikan hak bahwa perencanaan pembangunan harus melibatkan masyarakat.Dengan demikian masyarakat diharapkan aktif dalam perencanaan pembangunan agar cita-cita pembangunan dapat tercapai. Dengan kewenangan yang besar tersebut desa dalam perkembanganya harus mampu menyusun perencanaan pembangunan desa dengan melibatkan semua pemangku kepentingan di desa supaya tidak terjadi kepincangan. Selama ini, pemerintah pusat sudah banyak mengucurkan berbagai jenis program untuk meningkatkan pembangunan di desa.

Aparatur pemerintah desa sebagai penyelenggara pembangunan harus memiliki tanggung jawab atas perubahan yang akan terjadi, baik perubahan yang terjadi didalam masyarakat maupun perubahan sosial kemasyarakatan. Untuk itu pemerintah desa selaku kepala pemerintahan dalam usaha mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut harus memiliki kemampuan untuk berpikir atau berbuat secara rasional dalam mengambil keputusan yang akan terjadi ditengah-tengah masyarakat. Disamping itu keputusan yang nantinya kan diambil tanpa memberatkan rakyat banyak. Kemudian pemerintah desa juga hams memiliki peran yang cukup baik sebagai dinamisator, katalisator, maupun sebagai pelopor dalam setiap gerak pembangunan yang dilaksanakan untuk memperoleh dukungan (partisipasi) penuh dari masyarakat.

  1. Sebagai dinamisator ; tentunya pemerintah desa dalam hal ini kepala desa harus memiliki kemampuan dalam memberikan bimbingan, pengarahan, maupun dalam mengajak masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam setiap pembangunan.
  2. Sebagai katalisator ; ini berkaitan dengan aparatur pemerintah desa dalam melihat dan mengkoordinir langsung faktor-faktor yang dapat mendorong laju perkembangan pembangunan.
  3. Sebagai Pelopor ; Sebagai aparatur pemerintah yang memiliki kewibawaan tinggi, maka pemerintah desa harus dapat mengayomi masyarakat, memberikan contoh yang baik, memiliki dedikasi (loyalitas) yang tinggi, serta dapat memberikan penampilan yang baik pula terhadap masyarakat agar pemerintah dapat dihargai dan dihormati serta disegani oleh masyarakat.

Definisi Operasional Komitmen Organisasi

 adalah suatu keadaan dimana suatu individu memiliki dorongan atau keinginan untuk tetap berada di dalam suatu organisasi dan percaya pada nilai-nilai organisasi. Dalam penelitian ini menggunakan tiga aspek yaitu Komitmen Afektif (Affective Commitment), Komitmen Kontinuans (Continuence Commitment) dan Komitmen Normatif (Normative Commitment)

Definisi Operasional Organizational Citizenship Behavior

 

  1. adalah perilaku spontan (tanpa perintah) pegawai yang bersedia mengerjakan pekerjaan melebihi dari tugas mereka seperti biasa, mengusahakan kinerja melebihi apa yang diharapkan dan bermanfaat bagi organisasi. Dalam penelitian ini maka Organizational Citizenship Behavior menggunakan aspek obedience, altruism, conscientiousness, civic virtue, courtesy dan sportmanship.

Aspek dalam Komitmen Kerja

   Menurut Meyer dan Allen  dalam Luthans (2018) bahwa faktor-faktor penyebab komitmen kerja mengakibatkan timbulnya perbedaan bentuk komitmen organisasi yang dibaginya atas tiga aspek, yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuence commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga aspek komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang: (1) menggambarkan hubungan individu dengan organisasi, dan (2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi.

Meyer dan Allen dalam Luthans (2018) lebih memilih untuk menggunakan istilah aspek komitmen kerja daripada tipe komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam aspek tersebut. Adapun definisi dari masing-masing aspek tersebut adalah sebagai berikut:

  • Komitmen Afektif (Affective Commitment)

Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, pada siapa karyawan mengidentifikasikan dirinya, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut (Allen dan Meyer, dalam Luthans (2018).

Menurut Morgan dalam (Ahmad, S, K. Shahzad, S. Rehman, N. A. Khan & I.U. Shad 2010) komitmen afektif merupakan perasaan pribadi karyawan dan identifikasi dirinya pada organisasi dikarenakan kepercayaan yang kuat terhadap fungsi dan tujuan organisasi. Komitmen afektif dapat dikelompokkan menjadi empat kategori utama yaitu karakteristik pribadi, karakteristik struktur, karakteristik yang berhubungan dengan pekerjaan dan pengalaman kerja. Walaupun keempat kategori ini mempengaruhi komitmen afektif secara signifikan, kebanyakan literatur mendukung bukti bahwa pengalaman kerja mempunyai hubungan pengaruh yang lebih kuat (Mowder, et al., 1982 dalam Azliyanti, 2019).

  • Komitmen Kontinuans (Continuence Commitment)

Komitmen kontinuans berkaitan dengan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan yang berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat Becker yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain (Allen dan Meyer, dalam Luthans, 2018).

Menurut Morgan (1988) dalam Ahmad, et al. (2011) komitmen kontinuans merupakan persepsi seseorang terhadap kerugian yang akan dialaminya apabila meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans berdasarkan pada persepsi karyawan tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi. Komitmen ini pada saat awal dikembangkan dianggap sebagai aktifitas yang dianggap konsisten. Ketika individu tak melanjutkan lagi aktifitasnya pada suatu organisasi, maka akan timbul di hatinya suatu perasaan kehilangan. Oleh sebab itu selanjutnya komitmen ini disebut juga dengan exchanged oriented commitment atau komitmen yang berorientasi pada pertukaran atau biasa juga disebut komitmen komulatif (Dewayani, 2017).

  • Komitmen Normatif (Normative Commitment)

Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib bertahan dalam organisasi (Allen dan Meyer, dalam Luthans , 2018). Wiener (dalam Luthans, 2018) mendefinisikan aspek komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi.

Menurut Morgan (1988) dalam Ahmad, et al. (2010) komitmen normatif adalah perilaku yang ditunjukkan karyawan atas pertimbanan moral dan apa yang benar untuk dilakukan. Chang, C. C., M. C. Tsai dan M. S. Tsai (2011), menyatakan bahwa komitmen normatif mengacu kepada perasaan pekerja bahwa mereka berkewajiban untuk tetap tinggal dalam organisasi. Sedangkan Dewayani (2017) mengatakan bahwa komitmen normatif ini juga disebut sebagai komitmen moral, merefleksikan persepsi individu terhadap norma, perilaku yang dapat diterima, yang timbul sebagai akibat perlakuan organisasi terhadap karyawan. Misalnya dengan gaji yang mereka terima serta pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti. Perasaan wajib ini terus tumbuh sampai mereka merasa impas dan tidak mempunyai kewajiban lagi.

 Meyer dan Allen dalam Luthans (2018) berpendapat bahwa setiap aspek memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan aspek afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan aspek continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki aspek normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.