Wednesday, July 11, 2018

Populasi dan Habitat Orangutan (skripsi dan tesis)


Orangutan sangat tergantung pada hutan hujan tropis yang menjadi habitatnya, mulai dari hutan dataran rendah, rawa, kerangas hingga hutan pegunungan dengan ketinggian lebih kurang 1.800 m dpl (Rijksen, 1978). Menurut Payne (1988) dan van Schaik dkk. (1995) Orangutan hidup di dataran rendah dan kepadatan tertinggi terdapat pada ketinggian sekitar 200-400 m dpl.
     Orangutan ditemukan di wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, yaitu di Pulau Borneo dan Sumatera di wilayah bagian negara Indonesia dan Malaysia. Mereka biasa tinggal di pepohonan lebat dan membuat sarangnya dari dedaunan. Orangutan dapat hidup pada berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpus perbukitan dan dataran rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, sampai ke hutan pegunungan.
     Di Borneo Orangutan dapat ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan kerabatnya di Sumatera dilaporkan dapat menapai hutan pegunungan pada 1.000 m dpl. Di Kalimantan, batas ketinggian komunitas Orangutan berada pada sekitar 500-800 m dpl. Akan tetapi, Orangutan di Sumatera terutama jantan dewasa, terkadang dapat ditemukan di lereng gunung pada ketinggian lebih dari 1.500 m dpl. Menurut Corner (1978) batas ketinggian ini mungkin lebih mencerminkan ketersediaan pakan yang disukai daripada faktor iklim.
     Orangutan Sumatera (Pongo abelii lesson) merupakan salah satu hewan endemis yang hanya ada di Sumatera. Orangutan di Sumatera hanya menempati bagian utara pulau itu, mulai dari Timah Gajah, Aceh Tengah sampai Sitinjak di Tapanuli Selatan. Keberadaan hewa mamalia ini dilindungu Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan digolongkan sebagai ‘Critically Endangered’ oleh IUCN. Di Sumatera, salah satu populasi Orangutan terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru, Sumatera Utara. Populasi Oragutan liar di Sumatera diperkirakan sejumlah 7.300. Di DAS Batang Toru 380 ekor dengan kepadatan populasi sekitar 0,47 sampai 0,82 ekor per kilometer persegi. Populasi Orangutan Sumatera (Pongo abelii lesson) kini diperkirakan 7.500 ekor. Padahal pada era 1990-an, diperkirakan 200.000 ekor. Populasi mereka terdapat di 13daerah terpisah secara geografis. Kondisi ini menyebabkan kelangsungan hidup mereka semakin terancam punah. Saat ini hampir semua Orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah barat daya danau, yaitu Sarula Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Populasi Orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur (1.052 individu). Populasi lain yang diperkirakan potensial untuk bertahan dalam jangka panjang (viable) terdapat di Batang Toru, Sumatera Utara, dengan ukuran sekitar 400 individu.
No
Unit Habitat
Perkiraan Jumlah Orangutan
Blok Habitat
Hutan Primer (km2)
Habitat Orangutan (km2)
1
Seulawah
43
Seulawah
103
85
2
Aceh Tengah Barat
103
Beuntung (Aceh Barat) Inge
1297
352
261
10
3
Aceh Tengah Timur
337
Bandar-Serajadi
2117
555
4
Leuser Barat
2508
Dataran Tinggi Kluet (Aceh Barat Daya)  
G.Leuser Barat
Rawa Kluet
G.Leuser/Demiri Mamas-Bengkung

1209

1261
125
358
1727

934

594
125
273
621
5
Sidiangkat
134
Puncak Sidiangkat/Bukit Ardan
303
186
6
Leuser Timur
1052
Tamiang
Kapi dan Hulu Lesten
Lawe Sigala-gala
Sikundur-Langkat
1056
592
680
1352
375
220
198
674
7
Rawa Tripa
280
Rawa Tripa (Babahrot)
140
140
8
Trumon-Singkil
1500
Rawa Trumon-Singkil
725
725
9
Rawa Singkil Timur
160
Rawa Singkil Timur
80
80
10
Batang Toru Barat
400
Batang Toru Barat
600
600
11
Sarulla Timur
150
Sarulla Timur
375
375
Total
6667

14452
7031
Tabel 1. Perkiraan Luas Habitat dan Jumlah Orangutan di Sumatera
(Sumber : PHVA, 2004 dan revisi PHVA, 2004; Wich dkk, 2008)

Di Borneo, Orangutang tersebar hampir di seluruh pulau, kecuali di daerah yang bergunung tinggi dan dataran rendah yang banyak dihuni manusia. Orangutan terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Di Kalimantan Selatan, Orangutan tidak jumpai. Hal ini diduga karena gangguan habitat dan perburuan oleh manusia yang telah berlangsung lama atau penyebaran Orangutan tidak pernah mencapai pegunungan Mertatus (Rijksen dan Meijaard, 1999). Di Sebangau sendiri, sebaran Orangutan cenderung berada di radius sekitar 5 km dari pinggir sungai (Husson dan Morrogh-Bernard, 2003; Ancrenaz, 2007).
Orangutan di Borneo yang dikategorikan sebagai ‘endangered’ oleh IUCN terbagi dalam tiga subspecies: Orangutan di Borneo dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis, yaitu Pongo pymaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas sampai ke timur laut Sarawak; Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga Barat Sungai Barito; Pongo pymaeus morio, diperkirakan scara total populasi liarnya di alam hanya 45.000 gingga 69.000. Di Borneo, Orangutan dapat ditemukan di Sabah, Sarawak, dan hampir seluruh hutan dataan rendah Kalimantan, kecuali Kalimaantan Selatan dan Brunei Darussalam.
No.
Sub Spesies dan Nama Lokasi
Area (km)2
Perkiraan Populasi Orangutan
A
Pongo pygmaeus pygmaeus


1
Batang Ai (Sarawak)
240
119-580
2
Lanjak Entimau (Sarawak)
1688
1024-1181
3
Betung Kerihun
4500
1330-2000
4
Danau Sentarum
1090
500
5
Rawa Kapuas Hulu (Selat Sungai Kapuas, utara Melawi)
T?
?

Total
< 7500
3000-4500
B
Pongo pygmaeus wumbii


1
Gunung Palung
900
2500
2
Bukit Baka
350
175
3
Bukit Rongga & Parai
4200
1000
4
Tanjung Putting
4150
6000
5
Lamandau
760
1200
6
Mawas
5010
3500
7
Sebangau
5780
6900
8
Ketingan
2800
3000
9
Rungan Kahayan
2000
1000
10
Arut Belantikan
5100
6000
11
Seruyan
3000
1000
12
Bukit Raya
500
500
13
Sei. Kahayan & Sei Sambah
1500
1000
14
Sei. Sambah & Sei Katingan
1000
500
15
Sebangau Kahayan
700
700
16
Kahayan Kapuas
4000
300
17
Tanjung Keluang
2000
200
18
Cagar Alam Pararaum
500
>500
19
Cagar Alam B. Spt
>2000
>500

Total
>46250
>34975
C
Pongo pygmaeus morio


1
Taman Nasional Kutai


2
DAS Lesan (termasuk Hutan Lindung Sungai Lesan)
750
600
3
DAS Kelai (incl. Gunung Gajh, Wehea, dan beberapa areal HPH)
500
400
4
Sanggata-Bengalon & Muara Wahau sangat terfragmentasi
Highly Fragmented
3500
175
100
5
DAS Segah
300+
200
6
Samarinda, Muara Badak, Marang Kayu
1500
750
7
Pegunungan Kapur Sangkulirang/Mangkalihat
500
100
8
Rawa Sebuku/Sembakung



Total
10750
7825
Tabel 2. Perkiraan Luas Habitat dan Jumlah Orangutan di Kalimantan
(Sumber: PHVA, 2004 dan revisi PHVA, 2004; Wich dkk, 2008).


Morfologi Orangutan (skripsi dan tesis)


     Istilah Orangutan diambil dari bahasa Indonesia dan/atau bahasa Melayu, yang berarti manusia (orang) hutan. Mereka memiliki tubuh yang gemuk dan besar, berleher besar, lengan yang panjang dan kuat, kaki yang pedek dan tertunduk, dan tidak mempunyai ekor. Orangutan berukuran 1-1,4m untuk jantan, yaiu 2/3 kali ukuran seekor Gorila. Tubuh Orangutan diselimuti rambut merah kecoklatan. Mereka mempunyai kepala yang besar dengan posisi mulut yang tinggi. Orangutan jantan memiliki pelipis yang gemuk. Mereka mempunyai indera yang sama dengan manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, dan peraba. Telapak tangan mereka mempunyai 4 jari panjang ditambah 1 ibu jari. Telapak kaki mereka juga memiliki susunan jari-jemari yang sangat mirip dengan manusia (Wikipedia, 2006).
     Menurut WWF Indonesia (2003), uraian fisik Orangutan Borneo adalah sebagai berikut:
a.              Rambut di wajah Orangutan Borneo lebih sedikit ketimbang Orangutan sanak mereka di Sumatera.
b.             Memiliki tangan yang sangat panjang yang dapat mencapai 2 m panjangnya.
c.              Kakinya relatif pendek dan lemah, tetapi lengan dan tangannya sanga kuat.
d.             Merupakan mamalia pemanjat pohon terbesar, yang bergerak dari satu pohon ke pohon lain, dimana mereka tidak mau menuruni pohon untuk ssampai di tanah.
e.              Jantan dewasa dibedakan karena ukurannya yang besar, kantong tenggorokan dan bantalan pipi di setiap sisi wajahnya.
f.              Bergerak dengan tangan yang mengepal di tanah.
g.             Panjang tubuh lebih kurang 1,25 sampai dengan 1,5 m.
h.             Berat dewasa 30 sampai 50 kg untuk betina dan 50 sampai dengan 90 kg untuk jantan.
i.               Bulunya berwarna coklat keerahan (tengguli).
Identifikasi di lapangan, pola warna pada umumnya tengguli, bervariasi dari jingga sampai tengguli tua pada individu jantan. Sering terdeteksi melalui suara jeritan yang berbunyi seperti suara sendawa panjang yang dikeluarkan oleh jantan dewasa. Bersifta diurnal dan biasanya arboreal juga termasuk hewan yang soliter (Payne J. dkk., 2000).
Secara morfologi, Orang utan Sumatera (Pongo abelii) dan Orang utan Sumatera (Pongo pygmeus) sangat serupa, sekalipun kedua spesies tersebut kerapkali dapat dibedakan berdasarkan warna bulunya (Napier dan Napier, 1967 dalam Galdikas, 1984). Orang utan Kalimantan khususnya bila telah dewasa mengarah kepada warna coklat kemerah – merahan. Sedangkan Orang utan Sumatera berwarna lebih pucat. Perbedaan warna bulu ini dapat digunakan sebagai penuntun kasar. Orang utan Sumatera kadang – kadang mempunyai bulu putih pada bagian muka. Selain itu bulu Orang utan Sumatera lebih lembut dan lemas, sedangkan bulu Orang utan Kalimantan jarang–jarang dan terasa kasar (Galdikas, 1984).    Orangutan (atau Orang utan, nama lainnya adalah mawas) adalah sejenis kera besar dengan lengan panjang dan berbulu kmerahan, kadang scokelat, yang hidup di Indonesia dan Malaysia. Primata ini memiliki 3 kerabat lain yang termasuk dalam suku Pongidae atau Kera Besar (Great ape), yaitu Gorila, Simpanse, dan Bonobo, dan ketiganya hanya terdapat di Benua Afrika. Orangutan di Indonesia dibagi ke dalam 2 spesies yang berbeda, yaitu Pongo abelii yang trdapat di pulau Kalimantan dan Malaysia atau sering disebut Pulau Borneo. Di Pulau Borneo sendiri, spesies Pongo pygmaeus sendiri terbagi lagi ke dalam tiga subspesies, yaitu Pongo pygmaeus wurmbii, Pongo pygmaeus morio dan Pongo pygmaeus pygmaeus.
Ukuran tubuh Orang utan yaitu tinggi tubuh 4,5 kaki dan rentangan kedua lengannya sepanjang 92 inchi. Orang utan betina umumnya bertubuh lebih pendek daripada Orang utan jantan (Walker, 1954). Tangannya lebih panjang daripada kakinya dan memiliki genggaman yang kuat. Telapak tangannya yang memanjang dengan ibu jari yang pendek digunakan sebagai pengait saat mereka bergelantungan di pepohonan (villee et al., 1968).
Berat badan antara kedua sub spesies Orang utan tersebut tidak ada perbedaan yang nyata. Berat badan Orang utan Sumatera maupun Orang utan Kalimantan betina rata–rata adalah 37 kg, sedangkan berat badan Orang utan Sumatera yang jantan rata–rata 66 kg dan Orang utan Kalimantan 73 kg (Galdikas, 1984).
Orangutan memiliki rentang lengan yang sangat besar. Orangutan jantan    dewasa meregangkan tangannya hingga sekitar 7 kaki (2 meter) dari ujung jari ke ujung jari, jangkauan ini lebih panjang dibandingkan dengan tinggi orangutan berdiri, yaitu sekitar 5 kaki (1,5 meter). Ketika orangutan dalam posisi berdiri, tangan mereka hampir menyentuh tanah. Lengan orangutan sangat cocok untuk pola hidup mereka, karena orangutan menghabiskan banyak waktu mereka  di atas pohon (arboreal).  Orangutan lebih soliter daripada kera lainnya. Laki-laki penyendiri. Ketika mereka bergerak melalui hutan mereka membuat banyak gemuruh, melolong panggilan untuk memastikan bahwa mereka tetap keluar dari jalan masing-masing. The "long call" dapat didengar 1,2 mil (2 kilometer) jauhnya.
Berdasarkan analisis DNA Orangutan memiliki 97% kesamaan genetic dengan manusia. Kesamaan genetiknya dengan manusia menyebabkan mudah terjadi penularan penyakit dari Orangutan ke manusia maupun sebaliknya (zoonosis), di antaranya hepatitis (A,B,C), tuberkulosis, herpes, malaria, dan tifus. Di Indonesia telah ditemukan beberapa Orangutan sdengan SIV (Simian Immunodeficiency Virus) yang sangat mirip dengan HIV. Penularan penyakit zoonosis ini bisa terjadi apaila kita memakan daging Orangutan, kontak langsung melalui air liur, cairan tubuh lain, kotoran dan udara, terutama sapabila kita memelihara Orangutan. Hampir lebih dari 70% Orangutan liar yang dieselamatkan dari hutan di sekitar perkebunan kelapa sawit diketahui terinfeksi parasit cacing “strongloides” (cacing pari-paru) yang larvanya dapat membunuh satwa dan mmenginfeksi manusia melalui pori-pori kulit.

Taksonomi Orangutan (skripsi dan tesis)


     Orangutan termasuk hewan vertebrata, yang berarti bahwa mereka memiliki tulang belakang. Orangutan juga termasuk hewan mamalia dan primata. Orang utan termasuk dalam ordo Primata. Berdasarkan teori evolusi, nenek moyang Ordo Primata adalah binatang pemakan serangga atau insektavora. Hampir dari seluruh ordo Primata hidup didaerah tropis dan hanya beberapa spesies dari Carcopithecidae yang hidup didaerah subtropics. Ordo primata terdiri dari dua sub ordo yaitu Simiae dan Arthropoidae. Orang utan termasuk dalam ordo Simiae (Sajuthi, 1983). Menurut Grzimex (1972), Orang utan atau Pongo pygmeus termasuk : kelas  Mamalia, subkelas Eutheria, ordo Primata Sub ordo simiae, infra ordo catarrhina, super family pongidae, family homminoidae, genus pongo dan spesies Pongo pygmeus. Klasifikasi Orangutan menurut Ciszek dan Schommer (1999) adalah sebagai berikut:
            Kingdom         : Animalia
            Phylum            : Chordata
            Subphylum      : Vertebrata
            Class                : Mammalia
            Order               : Primates
            Suborder         : Haplorhini
            Family             : Homonidae
            Subfamily        : Pongidae
            Genus              : Pongo
            Species            : Pongo abelii lesson (Sumatera)
                                     Pongo pymaeus (Borneo)
            Subspecies       : Pongo pygmaeus pymaeus
                                     Pongo pygmaeus wurmbii
                                     Pongo pygmaeus morio
Para ahli zoology masih mempertanyakan apakah ada dua spesies yaitu Pongo pygmeus di Kalimantan dan Pongo abelii di Sumatera, atau hanya satu spesies Pygmeus dan yang berada di Sumtera diakui sebagai Sub Spesies Abelii (Walker, 1954). Menurut Sajuthi (1983), genus Pongo hanya terdiri dari satu spesies yaitu Pongo pygmeus. Menurut Napier dan Napier (1967) seperti yang dikutip oleh Galdikas (1984), spesies tersebut terdiri dari dua sub spesies yaitu Pongo pygmeus abelii (Orang utan Sumatera) dan Pongo pygmeus pygmeus (Orang utan Kalimantan). Dua spesies di dua pulau ini sebelumnya diklasifikasikan dalam subspesies, hingga saat ini keduanya menjadi spesies yang berbeda. Penelitian lanjut pada kelompok populasi orangutan di Kalimantan, menghasilkan Orangutan kalimantan (pongo pygmaeus) dikelompokkan dalam tiga sub spesies yang berbeda yaitu Pongo pygmeus wumbii, Pongo pygmeus pygmaeus dan Pongo pygmeus morio (Singleton et al. 2004).
The Asian Primate Classification yang diterbitkan oleh Brandon Jones et al. (2004) menyebutkan bahwa hanya ada dua subspesies orangutan, yakni Pongo pygmeus wumbii  dan Pongo pygmeus pygmaeus. Akan tetapi, pada PHVA orangutan terakhir (Singleton et al. 2004) ditambahkan satu lagi satu subspesies, yakni Pongo pygmeus morio. Warren et.al (2001) menggunakan analisa kontrol DNA pada mitokondria pada enam sample populasi orangutan yang berbeda, dan mengidentifikasi adanya empat sub populasi yang berbeda dengan keragaman wilayah geografis dan klaster teretentu. yaitu: (1) Kalimantan bagian barat daya dan tengah. (2) Kalimantan bagian barat laut dan Sarawak, (3) sabah dan (4) Kalimantan bagian timut. Berdasarkan penelitian subspesies oleh Waren diketahui jika dikorelasikan empat sub populasi ini dengan tiga sub spesies diatas, didapatkan sub populasi orangutan dikawasan Taman Nasional Sebangau Kalimantan tengah adalah orangutan sub spesies Pongo pygmeus wumbii.

Kerapatan dan Persebaran Tumbuhan Damar (skripsi dan tesis)



            Kerapatan suatu jenis didefinisikan sebagai jumlah unit tumbuhan per unit area. Obyek yang dihitung dapat berupa seluruh atau sebagian tumbuhan, tergantung jenis dan morfologi tumbuhan yang bersangkutan. Kerapatan suatu jenis ditentukan oleh kemampuan jenisyang bersangkutan untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya. Atau dengan kata lain bahwa kerapatan suatu jenis ditentukan oleh faktor lingkungan, yang meliputi tapak (keadaan tempat tumbuh), tanah, kelembapan udara, suhu, api, angin, cahaya, api, topografi, serta adanya kompetisi dengan jenis lain dan hubungan dengan dengan organisme-organisme lain (binatang pemakan biji, naungan, maupun asosiasi dengan jenis lain) (Soerianeara dan Indrawan, 2005). Kerapatan selum sepenuhnya bisa menggambakan sebaran populasi dalam sebuah habitat dengan lengkap. Adakalanya dua populasi mempunyai kerapatan yang sama tapi sangat berbeda dalam sebarannya. Oleh karena itu, selain diketahui nilai kerapatan suatu jenis perlu juga diketahui sebaran jenis dalam haitat yang bersangkutan (Prihadi, 1988).
            Frekuensi merpakan perbandingan banyaknya petak yang terisi oleh suatu jenis tertentu terhadap jumlah petak-petak seluruhnya, yang biasa dinyatakan dalam persen, dan merupakan ukuran dari uniformitas atau regularitas terdapatnya jenis tertentu dalam tegakan (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Nilai Frekuensi Relatif dari suatu jenis menunjukkan persebaran jenis tersebut pada habitatnya. Jenis-jenis yang menyebar secara luas akan mempunyai jenis tersebut pada habitatnya. Jenis-jenis yang menyebar secara luas akan mempunyai nilai Frekuensi Relatif yang tinggi, dan sebaliknya jenis-jenis yang penyebarannya sempit akan mempunyai nilai Frekuensi Relatif yang rendah (Indriyanto, 2006).
            Persebaran (dispersal) merupakan proses pengangkatan secara aktif (dinamis). Persebaran biji mempunyai 2 tujuan pokok, yaitu untuk mempertahankan jenis dan untuk mengembangkan atau memperluas areal jenis, (Van der Pijl, 1990). Pengetahuan tentang persebaran tumbuhan perlu diketahui yang lebih besar dari pada rata-rata kerapatan jenis per unit area (Ludwig dan Reynolds, 1988).
            Persebaran suatu makhluk (dalam hal ini tumbuhan) menurut Radjiman (1990) dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya :
  • Kemampuan tumbuhan untuk menghasilkan individu, baik secara vegetatif maupun generatif, dan daya tumbuh.
  • Cara pemencaran dan tuntutan terhadap lingkungan.
  • Faktor yang menghambat dan mendukung.
  • Daya adaptasi tumbuhan terhadap lingkungan