Sunday, July 21, 2019

Celebrity Endorser (skripsi dan tesis)

Penggunaan nara sumber (source) sebagai figur penarik perhatian dalam iklan merupakan salah satu cara kreatif untuk menyampaikan pesan (Kotler dan Keller, 2006). Pesan yang disampaikan oleh nara sumber yang menarik akan lebih mudah dan menarik perhatian konsumen. Shimp (2003) membagi endorser ke dalam dua tipe, yaitu celebrity endorser dan typical-person endorser.
Penggunaan selebriti di dalam mendukung iklan memiliki empat alasan utama, yaitu: Pemasar rela membayar tinggi selebriti yang banyak disukai oleh masyarakat. Selebriti digunakan untuk menarik perhatian khalayak dan meningkatkan awareness produk. Pemasar mengharapkan persepsi konsumen terhadap produk tersebut akan berubah.
Penggunaan selebriti menimbulkan kesan bahwa konsumen selektif dalam memilih dan meningkatkan status dengan memiliki apa yang digunakan oleh selebriti. Sedangkan pemasar memilih typical-person endorser untuk mendukung iklan, dengan alasan: Typical-person endorser biasanya digunakan sebagai bentuk promosi testimonial untuk meraih kepercayaan konsumen. Typical-person endorser dapat lebih diakrabi oleh konsumen karena mereka merasa memiliki kesamaan konsep diri yang aktual (actual-self concept), nilai-nilai yang dianut, kepribadian, gaya hidup (life styles), karakter demografis, dan sebagainya. Pemasang iklan harus sangat hati-hati dalam melakukan pemilihan endorser. (Belch dan Belch, 2001)
 Masing-masing faktor memiliki mekanisme yang berbeda di dalam mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen, yaitu :
  1. Source credibility, menggambarkan persepsi konsumen terhadap keahlian, pengetahuan. dan pengalaman yang relevan yang dimiliki endorser mengenai merek produk yang diiklankan serta kepercayaan konsumen terhadap endorser untuk memberikan informasi yang tidak biasa dan objektif. Kredibilitas memiliki dua sifat penting, yaitu: (a). Expertise, merupakan pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dimiliki endorser berkaitandengan produk yang diiklankan. (b). Trustworthiness, mengacu kepada kejujuran, integritas, dapat dipercayainya seorang sumber.
  2. Source attractiveness, endorser dengan tampilan fisik yang baik dan/atau karakter non-fisik yang menarik dapat menunjang iklan dan dapat menimbulkan minat audiens untuk menyimak iklan. daya tarik endorser mencakup: (a). Similarity, merupakan persepsi khalayak berkenaan dengan kesamaan yang dimiliki dengan endorser, kemiripan ini dapat berupa karakteristik demografis, gaya hidup, kepribadian, masalah yang dihadapi sebagaimana yang ditampilkan pada iklan, dan sebagainya. (b). Familiarity, adalah pengenalan terhadap nara sumber melalui exposure. sebagai contoh, penggunaan celebrity endorser dinilai berdasarkan tingkat keseringan tampil di publik, sedangkan penggunaan typical-person endorser dinilai berdasarkan keakraban dengan sosok yang ditampilkan karena sering dijumpai di kehidupan sehari-hari. (c). Likability, adalah kesukaan audiens terhadap nara sumber karena penampilan fisik yang menarik, perilaku yang baik, atau karakter personal lainnya.
  3. Source power, adalah karisma yang dipancarkan oleh narasumber sehingga dapat mempengaruhi pemikiran, sikap, atau tingkah laku konsumen karena pernyataan atau pesan endorser tersebut.
Selebriti diasumsikan lebih kredibel daripada non selebriti. Tampilan fisik dan karakter non fisik selebriti membuat sebuah iklan lebih menarik dan disukai oleh konsumen. Performa, citra, dan kepopuleran selebriti dapat lebih menarik perhatian target audience untuk menyaksikan iklan yang dapat mempengaruhi persepsi mereka untuk membuat keputusan dalam melakukan pembelian. Sedangkan, dengan menampilkan pendukung non selebriti atau ”orang biasa” dapat membuat konsumen merasa lebih dekat dan merasa familiar, akan menghasilkan keterlibatan pesan yang cukup tinggi, dan akhirnya akan mempengaruhi persepsi konsumen, sehingga tercipta persepsi yang positif terhadap produk yang diiklankan.
Tugas utama para endorser ini adalah untuk menciptakan asosiasi yang baik antara endorser dengan produk yang diiklankan sehingga timbul sikap positif dalam diri konsumen, sehingga iklan dapat menciptakan citra yang baik pula di mata konsumen. Iklan merupakan elemen yang penting dan saling berpengaruh dalam menanamkan brand image kepada konsumen, seiring dengan ciri fisik dan kualitas produk yang mengikuti suatu brand tertentu (Temporal & Lee, 2001)

Saturday, July 20, 2019

Iklan (skripsi dan tesis)

Iklan bisa didefinisikan sebagai semua bentuk presentasi non-personal yang mempromosikan gagasan, barang, atau jasa yang dibiayai pihak sponsor tertentu (Sulaksana, 2005). Senada dengan Sulaksana, Wells et al (2003) mengatakan bahwa iklan adalah komunikasi non-personal yang dibiayai oleh suatu lembaga sponsor yang dilakukan media massa dengan tujuan membujuk atau mempengaruhi khalayak. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kotler (2006) yang mendefinisikan iklan sebagai segala bentuk penyajian non-personal dan promosi ide, barang, atau jasa oleh suatu sponsor tertentu yang memerlukan pembayaran.
Iklan menurut Arens (Noviani, 2002) adalah struktur informasi dan susunan komunikasi non-personal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media. Sedangkan Durianto (2003) mendefinisikan iklan sebagai semua bentuk aktivitas untuk menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara non-personal yang dibayar oleh sponsor tertentu.
Periklanan mempunyai dua fungsi dasar, yaitu (Wells et al, 2003) :
  1. Iklan suatu produk bermaksud untuk menginformasikan atau merangsang pembelian produk tersebut oleh konsumen.
  2. Iklan sebuah institusi didesain untuk membuat tanggapan yang positif dari masyarakat pada perusahaan yang memasang iklan. Penekanan utamanya pada citra perusahaan dan bukan pada barang yang dijual.

Perilaku konsumen (skripsi dan tesis)

Abraham Maslow dalam Simamora (2003) mengatakan bahwa setiap tindakan didorong oleh motivasi. Sementara itu, motivasi berkaitan dengan kebutuhan. Motivasi adalah suatu tingkat kebutuhan untuk menstimuli seseorang untuk mencari pemuasnya. Teori sosial mengatakan bahwa perilaku konsumen dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka. Teori motivasi menempatkan motivasi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen. Sedangkan menurut teori anthropologi, perilaku seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya. Dalam pemasaran, teori-teori tersebut kemudian diurutkan mulai dari konteks yang lebih luas sampai yang lebih sempit, maka faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku konsumen adalah faktor kebudayaan, sosial, personal dan psikologis. Peran faktor-faktor tersebut berbeda untuk produk yang berbeda.
Perilaku konsumen adalah persoalan yang menggairahkan dan menantang! Perilaku konsumen adalah tentang orang-orang, apa yang mereka beli, alasan mereka membeli dan tahapan proses pembelian mereka. Perilaku konsumen adalah tentang pemasaran, bagaimana suatu produk atau jasa didesain dan dijual kepada konsumen di pasar. Dan perilaku konsumen adalah tentang pasar konsumen itu sendiri dimana jutaan orang melakukan pembelian pada jutaan outlet pasar.          
Pembuatan keputusan yang dilakukan konsumen berbeda-beda sesuai dengan tipe keputusan membeli, Assael (2001) membedakan empat tipe perilaku membeli konsumen, yaitu pertama, perilaku membeli yang komplek dimana para konsumen menjalani atau menempuh suatu proses membeli yang komplek dan bila mereka semakin terlibat dalam kegiatan membeli dan menyadari perbedaan penting diantara beberapa merek produk yang ada. Kedua, perilaku membeli mengurangi keragu-raguan, kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam kegiatan membeli sesuatu tapi dia hanya melihat sedikit perbedaan dalam merek. Ketiga, perilaku membeli berdasarkan kebiasaan yaitu perilaku konsumen yang tidak melalui sikap atau kepercayaan atau rangkaian perilaku biasa atau konsumen kurang terlibat dalam membeli dan tidak terdapat perbedaan nyata antar merek. Keempat, perilaku membeli yang mencari keragaman yaitu keterlibatan  konsumen rendah tapi ditandai oleh perbedaan merek yang nyata (Kotler, 2006).
Untuk mengetahui perilaku konsumen suatu produk yang dibidik oleh produsen maka dilakukan riset pemasaran. Pada prinsipnya konsumen memiliki keinginan dan kebutuhan yang memerlukan sarana pemuas tertentu (produk). Untuk itu, konsumen akan mencari produk yang paling sesuai dan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut secara efektif dan efisien. Ada perbedaan cukup mendasar antara kebutuhan, keinginan,dan permintaan. (Santoso, 2004).
  1. Kebutuhan adalah suatu keadaan merasa tidak memiliki kepuasan dasar. Kebutuhan melekat pada sifat dasar manusia, contohnya orang butuh makanan, pakaian, perlindungan, keamanan, hak milik, harga diri dan beberapa aspek dasar lainnya.
  2. Keinginan adalah hasrat akan pemuas tertentu dari kebutuhan tersebut.Orang dapat saja memiliki kebutuhan yang sama, namun keinginannya berbeda-beda. Misal ada tiga orang yang butuh makan, tetapi si A ingin makan sate ayam, si B ingin pizza, sedangkan si C ingin makan nasi goreng.
  3. Permintaan adalah keinginan akan suatu produk yang didukung dengan kemampuan serta kesediaan membelinya. Keinginan menjadi permintaan jika didukung dengan daya beli. Banyak orang ingin memiliki sedan BMW, tetapi hanya sedikit yang mampu dan mau membelinya.
Setiap produsen selalu mengharapkan bahwa produk yang dibuatnya sesuai dengan selera pasar (konsumen) sehingga terjadi adanya transaksi (pertukaran) di antara keduanya. Adanya transaksi (pertukaran) tidak berarti proses berhenti begitu saja. Produk yang telah dibeli akan digunakan dan dievaluasi, yaitu apakah memuaskan bagi konsumen atau tidak.Hal ini lah yang akan menentukan apakah akan ada proses pembelian ulang berikutnya atau tidak. Di sinilah peranan riset pasar, yaitu untuk dapat memberikan informasi mengenai kebutuhan, keinginan, dan permintaan konsumen serta mengidentifikasi kepuasan konsumen pengguna produk.

Green purchase intention (skripsi dan tesis)

Niat beli mengarah kepada tujuan atau niat, dan kecenderungan konsumen untuk membeli merek yang paling disukainya (Kotler dan Amstrong, 2008). Rashid (2009), mendefinisikan niat beli hijau sebagai probabilitas dan kesediaan seseorang untuk memberikan preferensi untuk produk hijau atas produk konvensional dalam pertimbangan pembelian mereka. Niat beli hijau dikonseptualisasikan sebagai probabilitas dan kesediaan seseorang untuk memberikan preferensi untuk produk yang memiliki fitur-fitur ramah lingkungan melalui produk tradisional lainnya dalam pertimbangan pembelian mereka. Berdasarkan penelitian Beckford et al. (2010), niat pembelian hijau adalah prediktor signifikan dari perilaku pembelian hijau, yang berarti bahwa niat beli secara positif mempengaruhi probabilitas keputusan pelanggan bahwa ia akan membeli produk hijau. Menurut Rehman and Dost (2013), teori Planned Behavior menegaskan bahwa niat beli hijau merupakan penentu penting dari perilaku pembelian aktual dari konsumen. Ini berarti bahwa semakin meningkat niat untuk membeli produk meningkat hijau, terjadi peningkatan kemungkinan bahwa seorang konsumen benar-benar akan melakukan pembelian. Niat beli hijau adalah jenis dari perilaku ramah lingkungan di mana konsumen menunjukkan kepedulian mereka terhadap lingkungan.
Niat membeli suatu produk didasari oleh sikap seseorang terhadap perilaku membeli produk tersebut (Promotosh dan Sajedul, 2011). Menurut Khan et al. (2012), niat beli menunjukkan seberapa jauh individu mempunyai kemampuan untuk membeli merek tertentu yang dipilih setelah melakukan evaluasi. Niat pembelian dapat diartikan sebagai suatu sikap senang terhadap suatu objek yang membuat individu berusaha untuk mendapatkan objek tersebut dengan cara membayarnya dengan uang atau pengorbanan (Schiffman dan Kanuk, 2008). Masih menurut Schiffman dan Kanuk (2008), niat merupakan salah satu aspek psikologis yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap sikap perilaku.
Purchase Intention adalah suatu keadaan dalam diri seseorang pada dimensi kemungkinan subyektif, yang meliputi hubungan antara orang itu sendiri dengan beberapa tindakan (Dens dan Pelsmacker, 2010). Dens dan Pelsmacker (2010), juga mengungkapkan

bahwa purchase intention mengacu pada hasil dari tindakan yang kelihatan dalam situasi, yaitu minat untuk melakukan respon nyata.
Niat pembelian merupakan aktivitas psikis yang timbul karena adanya perasaan (afektif) dan pikiran (kognitif) terhadap suatu barang atau jasa yang diinginkan (Schiffman dan Kanuk, 2008). Menurut Simamora (2004), niat adalah sesuatu yang pribadi dan berhubungan dengan sikap, individu yang berminat terhadap suatu obyek sehingga melakukan serangkaian tingkah laku untuk mendekati atau mendapatkan objek tersebut.
Schiffman dan Kanuk (2008) menjelaskan bahwa pengaruh eksternal, kesadaran akan kebutuhan, pengenalan produk dan evaluasi alternatif adalah faktor yang dapat menimbulkan niat beli konsumen. Pengaruh eksternal (input) tersebut terdiri dari usaha pemasaran dan faktor sosoal budaya. Kegiatan pemasaran perusahaan adalah stimulus untuk mendapatkan, menginformasikan serta meyakinkan konsumen untuk membeli dan menggunakan produk (Schiffman dan Kanuk, 2008).
Produk hijau adalah suatu produk yang dirancang dan diproses dengan metode untuk mengurangi efek-efek yang dapat mencemari lingkungan. Green purchase intention adalah faktor yang paling menentukan perilaku pembelian nyata konsumen terhadap produk hijau (Rehman dan Dost, 2013).

Knowlegde tentang lingkungan (skripsi dan tesis)

Fryxell and Lo (2003), mendefinisikan pengetahuan (knowledge) lingkungan sebagai suatu pengetahuan umum tentang fakta, konsep, dan hubungan tentang lingkungan alam dan ekosistem. Oleh karena itu, secara sederhana pengetahuan tentang lingkungan menggambarkan apa yang manusia ketahui tentang lingkungan. Haryanto (2014), mendefinisikan pengetahuan ekologi sebagai kemampuan individu untuk mengidentifikasi dan menentukan simbol dan konsep yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Koellner and Luis (2009), menyatakan bahwa pengetahuan tentang lingkungan merupakan kumpulan dari pengetahuan ekologi (ecological knowledge) yang dimiliki seseorang mengenai topik lingkungan.
Conraud-Koellner and Rivas-Tovar (2009) mendefinisikan pengetahuan lingkungan sebagai set pengetahuan ekologi yang seorang individu miliki dari topik lingkungan. Chan and Lau (2000) mendefinisikan pengetahuan lingkungan sebagai kumpulan dari pengetahuan seseorang mengenai isu lingkungan. Mostafa (2007) mendefinisikan pengetahuan lingkungan sebagai pengetahuan pada apa yang orang tahu tentang lingkungan, hubungan yang mengarah ke dampak lingkungan, dan apresiasi dari seluruh sistem lingkungan, dan tanggung jawab yang penting untuk perkembangan berkelanjutan.
Lee (2011), dalam penelitiannya mendefinisikan pengetahuan tentang lingkungan sebagai pengetahuan dasar seseorang tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu melindungi lingkungan yang memfasilitasi komitmen perilaku mereka untuk pembelian hijau. Apabila konsumen memiliki pengetahuan tentang isu-isu lingkungan, maka tingkat kesadaran mereka akan meningkat dan dengan demikian akan berpotensi, mempromosikan sikap yang menguntungkan terhadap produk hijau Aman et al. (2012). Menurut D'Souza et al. (2006), environmental knowledge berkembang dalam dua bentuk; (1) konsumen harus dididik untuk memahami dampak dari produk terhadap lingkungan; dan (2) pengetahuan konsumen dalam produk yang diproduksi dengan cara ramah lingkungan.
Conraud-Koellner and Rivas-Tovar (2009) percaya bahwa pengetahuan lingkungan dipengaruhi oleh etnosentrisme ekologi, tingkat informasi, perilaku terdahulu, dan persepsi mengenai produk hijau. Seseorang dengan pengetahuan lingkungan yang lebih tinggi akan cenderung lebih mundah untuk melakukan kegiatan pro lingkungan. Pengetahuan yang dimilikinya tentang lingkungan membuat dirinya paham bahwa apa yang dia lakukan akan berdampak baik atau buruk terhadap lingungan.
Menurut Barreiro et al. (2002) dalam Conraud-Koellner and Rivas-Tovar (2009) pengetahuan ligkungan dapat menjadi sebuah rangkaian mulai dari pengatahuan isu dan permasalahan lingkungan ke penyebab, dampak, seseorang yang bertanggung jawab, solusi

dan agen tanggung jawab dari masalah lingkungan. Pengetahuan dapat berasal dari tiga sumber utama yaitu tradisi budaya, pembauran dari pengetahuan ilmiah mengenai isu-isu lingkungan, dan pengalaman pribadi. Isu lingkungan telah hadir di media, sekolah, dan yang berkaitan dengan rekreasi alam. Hal ini akan memberikan sosialisasi mengenai lingkungan dengan lebih baik dan baru. Pengalaman personal hanya dapat dihitung jika seseorang telah membentuk rancangan kognitif berdasarkan pengalaman mereka. Rancangan ini harus termasuk ke dalam definisi, penyebab, akibat, dan siapa yang bertanggung jawab serta pemecahan dari masalah lingkungan.

Subjective Norm (skripsi dan tesis)

 

Bidin et al. (2009) mengemukakan bahwa norma subjektif (subjective norm) didefinisikan sebagai tekanan sosial yang diberikan oleh kelompok sosial seperti orang tua, guru, pengusaha, rekan-rekan, pasangan, dll untuk bertindak atas sesuatu. Norma subyektif ditentukan oleh hubungan antara beliefs seseorang tentang setuju atau tidak setujunya orang lain maupun kelompok yang penting bagi seseorang tersebut, dengan motivasinya untuk mematuhi rujukan tersebut. Simamora (2004) menyatakan bahwa norma subjektif dibentuk oleh dua komponen. Pertama keyakinan normatif individu bahwa kelompok atau seseorang yang menjadi preferensi menginginkan individu tersebut untuk melakukan suatu perbuatan. Kedua, motivasi individu untuk menuruti keyakinan normatif tersebut.
Norma subjektif (subjective norms) adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen dan Fishbein, 1980). Norma subjektif menilai apa yang dipercaya konsumen bahwa orang lain akan berpikir mereka harus melakukannnya. Dengan kata lain, norma subjektif memperkenalkan formulasi pengaruh kelompok referensi yang sangat kuat terhadap perilaku (Rastini, 2013).
Subjective Norm merupakan kepercayaan individu terhadap apa yang harus atau tidak harus dilakukan oleh individu tersebut. Sejauh mana seseorang memiliki motivasi (subjective norm) untuk mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya (Huda dkk., 2012).
Ajzen (2005) mengasumsikan bahwa norma subjektif ditentukan oleh adanya  keyakinan normatif (normative belief) dan keinginan untuk mengikuti (motivation to comply). Keyakinan normatif berkenaan dengan harapan-harapan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua,

pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya, tergantung pada perilaku yang terlibat. Secara umum, individu yang yakin bahwa kebanyakan referent akan menyetujui dirinya menampilkan perilaku tertentu, dan adanya motivasi untuk mengikuti perilaku tertentu, akan merasakan tekanan sosial untuk melakukannya.
Orang lain yang penting tersebut bisa pasangan, sahabat, dokter, dan lain-lain. Hal ini diketahui dengan cara menanyai responden untuk menilai apakah orang-orang lain yang penting tadi cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia menampilkan perilaku yang dimaksud (Carolyn dan Pusparini, 2013).

New Ecological Paradigm (NEP) (skripsi dan tesis)


Dalam penelitian mengenai perilaku ramah lingkungan, terdapat pendekatan yang melihat manusia sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan apabila berhadapan dengan lingkungan hidup yang lebih dikenal dengan paradigma New Ecological Paradigm (NEP). Pendekatan ini merupakan paradigm yang berlawanan dengan pendekatan human exemptionalism paradigm (HEP) yang melihat manusia sebagai spesies unik yang tidak terbebas dari kekuatan lingkungan dan memiliki kemampuan dalam mengatasi segalam masalah lingkungan. Pradigma NEP yang menitik beratkan pada hak mahluk hidup lain selain manusia menunjukkkan sikap positif manusia terhadap lingkungan (Poortinga, Steg & Vlek,

2004) Pendekatan sikap positif pada lingkungan (NEP) awalnya disebut dengan new environmental paradigm dan kemudian diganti dengan new ecological paradigm (Dunlop, Van Liere, Mertig & Jones, 2000).
Berdasarkan NEP terdapat lima dimensi sikap terhadap lingkungan (Dunlop dkk, 2000), dimensi itu terdiri dari (1) Fragility of nature’s balance, yang menjelaskan sikap individu mengenai rapuh dan rentannya keseimbangan alam, (2) the possibility of eco-crisis, menjelaskan mengenai sikap individu terhadap kejadian krisis pada alam (3) the reality of limits to growth, menjelaskan mengenai sikap individu mengenai kenyataan pertumbuhan dan umur alam yang terbatas, (4) antiantrhopocentrism yang menjelaskan keyakinan individu terhadap kesetaraan hak yang dimiliki antara alam dan manusia, dan yang terakhir (5) rejection of exemptionalism, yang menjelasakan mengenai keterbatan kemampuan manusia dalam memperbaiki alam.