Friday, June 28, 2024

Kepuasan Pelanggan

 


Satisfaction berasal dari bahasa latin yaitu satis (cukup) dan focere
(melakukan atau membuat). Maka dari itu berdasarkan pendekatan
tersebut kepuasan dapat diartikan sebagai prosuk atau jasa yang mampu
memberikan lebih dari pada yang diharapkan oleh konsumen. Kepuasan
sendiri sebagai keseluruhan sikap yang ditunjukkan konsumen atas barang
atauppun jasa setelah mereka mendapatkan serta menggunakannya
(Sunarto, 2003). Dimana konsumen dapat mengalami salah satu dari tiga
tingkatan kepuasan umum seperti jika kinerja di bawah harapan, maka
konsumen akan merasa kecewa, akan tetapi jika kinerja sesuai denga apa
yang diharapkan, pelanggan akan merasa lebih puas serta apa bila kinerja
dapat melebihi harapan maka pelanggan akan merasa sangat puas dan
gembira (Ayu, 2009).
Sementara itu terdapat perbedaan yang signifikan pada definisi dari
kepuasan sendiri, yang dimana jika dicermati secara keseluruhan,
kepuasan sendiri dapat didefinisikan dalam tiga komponen umum yaitu (1)
kepuasan konsumen merupakan suatu respon berupa emosional atau
kognitif, (2) tanggapan yang berkaitan dengan fokus tertentu berupa
harapan, produk dan pengalaman konsumsi, (3) respon terjadi pada waktu
tertentu seperti saat setelah konsumsi, serta berdasarkan akumulasi
pengalaman. Kepuasan konsumen biasanya diartikan sebagai respon
secara emosional dan kognitif. Selain itu dasar emosional untuk kepuasan
sendiri dikonfirmasi oleh tanggapan konsumen. Pengidentifikasian
kepuasan konsumen sendiri biasanya mebutuhkan perbandingan kinerja
degan beberapa standar , mulai dari standart yang paling spesifik hingga
standar yang lebih umum. Seringkali terdapat banyak fokus yang menjadi
berbagai standar yaitu seperti produk, konsumsi, keputusan pembelian,
wiraniaga atau toko.
Menurut Kotler dan Susanto (2000) kepuasan adalah tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang
dirasakannya dibandingkan dengan harapannya. Jadi, tingkat kepuasan
merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja dengan harapan.
Pelanggan dapat mengalami salah satu dari tiga tingkat kepuasan umum.
Jika kinerja di bawah harapan, pelanggan kecewa. Jika kinerja sesuai
dengan harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan
sangat puas dan senang. Bauran pemasaran adalah seperangkat alat
pemasaran yang digunakan perusahaan untuk mengejar tujuan
perusahaannya (Isoraite, 2016). Dapat disimpulkan bahwa bauran
pemasaran adalah suatu perangkat yang terdiri dari produk, harga, promosi
dan distribusi, yang akan menentukan tingkat keberhasilan pemasaran dan
kesemuanya ditujukan untuk mendapatkan respon yang diinginkan dari
pasar sasaran. Isorate (2016) menyatakan bahwa bauran pemasaran sendiri
terdiri dari 7P (product, price, place, promotion, physical evidence,
process, and people).
Menurut Peter & Olson (2005) kepuasan pelanggan merupakan
rangkuman dari suatu kondisi psikis yang timbul dari emosi yang
mengelilingi harapan yang tidak cocok serta dilipatgandakan oleh perasaan
yang terbentuk melalui pengalaman saat mengkonsumsi. Dalam konsep
kepuasan konsumen akan dapat mendorong meningkatnya profit yang
dimana bahwa konsumen yang puas dengan membayar lebih untuk suatu
produk yang diterima serta lebih bersifat toleran jika terdapat kenaikan
harga. Tentunya hal ini akan meningkatkan margin dari perusahaan serta
kesetiaan konsumen terhadap perusahaan. Dimana konsumen yang akan
puas membeli produk lain yang dijual oleh perusahaan, sekaligus hal ini
akan menjadi pemasaran yang efektif melewati mulut ke mulut (word of
mouth) berupa hal positif (Kolonio & Soepeno, 2019).

Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

 


Loyalitas didefinisikan sebagai bentuk kesetiaan konsumen dan
perilaku konsumen yang menunjukkan bahwa konsumen tidak akan berpindah
ke merek lain (Supiyandi et al., 2022). Sedangkan, loyalitas merek merupakan
konsep untuk mengukur seberapa setia konsumen terhadap suatu merek
(Aaker, 1991), yang pada penelitian kali ini ingin meneliti kesetiaan terhadap
merek Tokopedia. Loyalitas merek dapat dikategorikan dalam 5 tingkatan yang
dapat dilihat pada Gambar 2.3, pada piramida paling bawah belum terdapat
loyalitas, di mana konsumen sangat sensitif terhadap harga dan dengan mudah
mengganti merek ketika dirasa harga lebih mahal ataupun merek lain memiliki
keunggulan yang lebih. Pada tingkatan kedua dari bawah, satisfied/habitual
buyer, para konsumen pada tingkatan ini cukup puas dengan produk maupun
layanan dari merek, dan tidak memiliki ketidakpuasan atau alasan lain untuk
berganti ke alternatif merek lain, namun mungkin berganti pada merek lain jika
dirasa merek kompetitor memiliki keuntungan yang lebih. Pada tingkatan
ketiga, terdapat konsumen yang telah puas dengan produk maupun jasa, namun
masih rentan terhadap switching atau berganti ke merek lain, jika biaya yang
harus dikeluarkan oleh konsumen lebih besar. Maka, pada tingkatan ini,
perusahaan harus memenangkan loyalitas konsumen dengan cara memberikan
benefit yang lebih dari pada pesaing. Pada tingkatan keempat dari bawah atau
kedua dari atas, terdapat konsumen yang benar-benar menyukai merek. Pada
tingkatan ini, konsumen memiliki keterikatan emosional pada merek, namun
bisa jadi konsumen belum benar-benar mengerti alasan mengapa konsumen
menyukai merek ini, bisa jadi hanya karena konsumen telah membeli produk
atau menggunakan jasanya sejak lama. Yang terakhir, tingkatan paling tinggi
yaitu konsumen yang merupakan konsumen yang ‘berkomitmen’ terhadap
merek. Konsumen pada tingkatan ini memiliki kebanggaan tersendiri dalam
membeli, menggunakan, maupun dengan suka rela dan percaya diri
menyarankan merek ini kepada orang di sekitarnya.

Persepsi Kualitas (Perceived Quality)

 


Persepsi kualitas merupakan penilaian konsumen akan kualitas suatu
produk atau jasa secara umum(Aaker, 1991). Persepsi kualitas juga
didefinisikan sebagai persepsi akan kualitas atau ‘superioritas’ mengenai
fungsi dari suatu produk atau jasa yang dimiliki oleh suatu merek, jika
dibandingkan dengan produk atau jasa lain (Supiyandi et al., 2022). Pertama-
tama, persepsi kualitas merupakan ‘persepsi’ konsumen, yang artinya bukanlah
merupakan suatu penilaian yang objektif. Persepsi kualitas tidak sama dengan
satisfaction, melainkan persepsi kualitas didefinisikan sebagai perasaan yang
intangible dan menyeluruh terhadap suatu merek, dan biasanya didasari oleh
beberapa dimensi, seperti karakteristik produk yang dinyatakan oleh merek
tersebut, misalnya, produk tersebut mengklaim bahwa produknya reliabel dan
memiliki kinerja yang prima. Ketika karakteristik merek yang diinginkan
‘sesuai’ dengan kenyataan menurut konsumen, maka konsumen akan
mempersepsikan kualitas merek tersebut sebagai merek yang berkualitas
tinggi.
Persepsi kualitas yang tinggi memiliki nilai, yang dikategorikan dalam
5 nilai menurut Aaker. Persepsi kualitas yang tinggi dapat menjadi reason-to-
buy, atau alasan untuk membeli produk atau jasa. Konsumen mungkin merasa
kurang memiliki dorongan untuk melakukan riset atau mencari informasi
sebelum melakukan pembelian, dan di sinilah pentingnya persepsi kualitas.
Ketika konsumen malas untuk mencari informasi, maka konsumen akan
langsung memilih merek yang dipersepsikan memiliki kualitas yang baik, dan
akan menghindari merek yang memiliki persepsi kualitas yang buruk

Asosiasi Merek (Brand Association)

 


Segala sesuatu yang diasosiasikan oleh konsumen mengenai suatu
merek, atau segala sesuatu yang ‘terhubung’ tentang merek, disebut dengan
asosiasi merek (Aaker, 1991). Asosiasi merek merupakan suatu konsep yang
sangat luas. Asosiasi merek dapat berupa perasaan konsumen ketika
menggunakan produk atau jasa, dapat berupa segmen konsumen (misalkan
segmen konsumen anak-anak, segmen konsumen wanita yang berorientasi
pada karir, dll.), dapat berupa karakteristik suatu merek atau produk, misalkan
warna dominan, simbol, objek, aktivitas, suara, bahkan kelas sosial, dan
lainnya. Suatu asosiasi akan merek akan menjadi lebih kuat ketika konsumen
mendapatkan paparan atau eksposur akan experience atau pengalaman
menggunakan produk maupun jasa, serta komunikasi produk. Ketika
konsumen benar-benar ‘menyaksikan’ dan ‘merasakan’ secara langsung, maka
asosiasi konsumen akan semakin kuat. Sebaliknya, jika konsumen tidak pernah
‘merasakan’ dan hanya pernah melihat iklan di televisi maupun papan iklan di
jalanan, asosiasi konsumen akan menjadi lebih rendah, jauh dibandingkan
dengan yang pernah merasakan secara langsung

Kesadaran Merek (Brand Awareness)

 


Kesadaran merek didefinisikan sebagai kemampuan konsumen untuk
mengenali (recognition) dan mengingat (recall) suatu merek (Supiyandi et al.,
2022). Kesadaran merek tidak cukup untuk membuat konsumen melakukan
pembelian. Namun, jika konsumen akan melakukan pembelian dan konsumen
melakukan pertimbangan untuk membeli suatu produk, konsumen sudah
hampir pasti tidak akan membeli produk ketika konsumen sama sekali tidak
mengenali merek tersebut, apalagi bila merek tersebut merupakan merek yang
relatif baru (Aaker, 1991). Konsumen menjadi lebih mudah dalam mengenali
dan mengingat produk dari suatu merek, ketika merek tersebut memilki nama
atau simbol yang memiliki hubungan dengan usaha yang digelutinya.
Misalnya, nama Tokopedia akan membantu (calon) konsumen atau audiens
iklan untuk mengingat, karena Tokopedia merupakan merek yang terjun dalam
platform perbelanjaan yang menaungi banyak ‘toko’.

Ekuitas Merek (Brand Equity)

 


Brand equity atau ekuitas merek merupakan sekumpulan aset dan
liabilitas dari suatu merek, nama serta simbol dari merek yang dapat
mengurangi ataupun menambah ‘nilai’ (value) dari suatu produk atau jasa
(Aaker, 1991). Teori mengenai ekuitas merek yang digunakan didasarkan oleh
teori ekuitas merek yang dicetuskan oleh David Allen Aaker. Menurut Aaker,
agar aset dan liabilitas tersebut dapat ‘mendasari’ suatu ekuitas merek,
pertama-tama aset dan liabilitas ini harus terhubung dengan nama dan atau
simbol dari perusahaan. Adanya ekuitas merek yang dipersepsikan oleh
konsumen akan membantu konsumen maupun calon konsumen untuk
menimbang-nimbang nilai dari suatu merek. Aset-aset dari ekuitas merek, bila
positif, akan berpengaruh secara signifikan terhadap kepercayaan diri
konsumen untuk melakukan keputusan pembelian produk atau jasa dari suatu
merek. Maka bila ekuitas suatu merek dipersepsikan negatif oleh konsumen,
atau konsumen merasa bahwa perusahaan selalu gagal untuk menyampaikan
janji-janjinya (dalam promosi maupun visi dan misi), konsumen akan merasa
kecewa dan tidak membeli produk maupun jasa dari merek tersebut, bahkan
mungkin hingga ke titik di mana konsumen akan menyebarkan informasi
negatif tentang produk atau jasa tersebut. Konsep mengenai ekuitas merek
sangat luas dan memiliki banyak adaptasi konsep, namun penulis
menggunakan teori Aaker yang telah dikenal sebagai pelopor konsep ekuitas
merek, yang juga digunakan oleh penelitian yang diacu oleh peneliti. Ekuitas
merek, menurut Aaker, memiliki empat dimensi yang dapat dijadikan alat ukur
ekuitas suatu merek, yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas,
dan loyalitas merek, yang akan dibahas satu-persatu lebih lanjut dan dengan
lebih detail pada poin berikutnya.

Keputusan Pembelian

 


Keputusan pembelian merupakan pemilihan antara dua atau lebih
alternatif pilihan yang dihadapi oleh konsumen ketika akan membeli suatu
produk atau jasa (Supiyandi et al., 2022). Proses pembelian dimulai ketika
pembeli atau calon konsumen merasakan adanya masalah yang harus
diselesaikan (karena ada stimuli dari internal ataupun eksternal), kemudian
konsumen mencari informasi mengenai produk, mengevaluasi alternatif apa
saja yang tersedia, serta apa saja manfaat yang didapat; alternatif manakah
yang memiliki manfaat paling banyak, dan akhirnya konsumen dapat
melakukan keputusan pembelian (Kotler & Keller, 2016). Menurut Supiyandi
et al., (2022), ekuitas merek merupakan pertimbangan besar bagi konsumen
dalam memutuskan untuk melakukan pembelian, karena ekuitas merek
membentuk citra positif suatu merek, sehingga meningkatkan keputusan
pembelian.